Brahmana tengah menyambut para pelayat di depan pintu masuk. Tidak ada keluarga lain, baik dari mendiang ayah ataupun ibunya. Dia sebagai tetua merasa bertanggung jawab untuk menjadi perwakilan dari keluarga Fazzura.
Brahmana beberapa kali mencuri pandang, ke arah di mana Gisa berada. Dia mengkhawatirkan kondisi Gisa, yang terlihat sedang tidak enak badan. Wajah Gisa bahkan masih terlihat pucat.
Catra sendiri masih berada di lantai dua rumah Melisa. Lantai dua itu sendiri merupakan tempat dimana kamar Fazzura berada. Catra masih belum terlihat turun, setelah sebelumnya membopong tubuh Fazzura yang tiba-tiba tidak sadarkan diri tepat dihadapannya.
Kayanna berjalan menghampiri Gisa, saat dilihatnya sang kakak ipar tengah melamun dihadapan peti yang berisikan jenazah sang tante. "Abang kemana?" tanya Kayanna sambil celingukan mencari keberadaan sang kakak. Kayanna sendiri, tidak mengetahui kejadian sebelumnya.
Gisa diam, tidak merespon pertanyaan dari ad
Terima kasih selalu mendukung mommy❤️❤️❤️
"Kamu sudah menikah?!" pekik Nio terkejut. Namun, dari raut wajahnya terlukis sebuah kekecewaan. Di sisi lain, Catra tersenyum puas. Dia bangga dengan istrinya yang setiap di dekati pria lain, selalu mengingat statusnya yang sudah mempunyai seorang suami. "Ya. Gisa sudah menikah 4 bulan yang lalu." jawab Gisa. Ardenio tersenyum canggung. "Wow, selamat. Kakak kira, kamu masih sendiri," "Ardenio," Ardenio menjulurkan tangannya pada Kayanna sambil memperkenalkan dirinya. "Kayanna." jawab Kayanna menyambut uluran tangan Ardenio. "Kakak tidak memperkenalkan diri pun, Anna sudah tau," lanjut Kayanna. Catra yang melihat Kayanna bertingkah layaknya seorang ABG, lantas memutar bola matanya jengah. "Wah, apa ini sebuah pujian?" tanya Ardenio ramah. "Faktanya memang begitu, kak. Kita satu alumni, dan kakak ketua osis di sekolah Anna dulu. Siapa juga yang tidak mengenal seorang Ardenio sang kapten basket!" lanjut Kayanna membuat Gi
"ARDENIO!! BERHENTI SEKARANG!!" teriak Catra penuh amarah. Semua orang yang ada di sana mematung melihat kemarahan Catra. Beberapa orang mulai bertanya tentang apa yang membuat seorang Catra marah seperti itu. Ardenio dan Brahmana yang sudah berada jauh di depan Catra, menghentikan langkahnya sambil berbalik menatap Catra dengan kompak. Ardenio mengerenyitkan dahinya bingung. "Kenapa?" tanya Ardenio membuat Catra semakin marah dengan pertanyaan tersebut. Sementara itu, kakek Brahmana hanya menatap tajam sang cucu. "Kenapa? Apa kamu tidak lihat apa yang sedang anak muda ini lakukan?" tanya Brahmana tegas. "Ayo! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" ucap Brahmana sambil sedikit mendorong punggung Ardenio agar bergegas pergi dan tidak menghiraukan gertakan cucunya. Catra melebarkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang di lakukan sang kakek padanya. Bagaimana bisa sang kakek membiarkan istrinya dibawa oleh pria lain? 'Apa ini
"Turunkan istri saya!! Dia istri saya!! Nirwasita Gistara Savrinadeya, adalah istri dari seorang, Catar Dewantara Ganendra!" ucap Catra kencang sambil menekankan setiap kalimat yang diucapkannya. "Apa?" pekik Ardenio tidak percaya. Begitu juga dengan orang-orang yang kebetulan ada di sana. "Kenapa? Anda tidak percaya? Apa anda perlu bukti kalau saya suaminya?" tanya Catra sinis, sambil membawa Gisa dari gendongan Ardenio. "M-maaf. Bukan itu maksud saya pak Catra." bantah Ardenio sopan. "Sebelumnya, saya minta maaf untuk kelancangan saya, karena sudah menyentuh istri, Pak Catra. Sungguh, saya tidak ada maksud lain, saya__" "Pergilah! Saya tidak membutuhkan penjelasan, anda!" perintah Catra dengan arogan, dan nada yang terdengar dingin. "Abang!" bentak Brahmana sambil berjalan mendekati Catra dan Ardenio. "Jangan bilang, kalau kamu sudah lupa bagaimana caranya berterima kasih pada orang lain!" tegas Brahmana memperingatkan cucunya.
Catra mengangkat panggilan tersebut, tanpa melihat nama si pemanggil. "Abang ... " "Bisa Abang ke rumah mama sekarang? Zurra takut ... " lirihnya sambil terisak. Catra mengerutkan dahinya. Dia membuka mata, kemudian melihat nama si pemanggil yang tertera dalam telepon genggam miliknya. "Kenapa?" tanya Catra dengan suara seraknya yang khas. "Abang bisa kesini? Zurra takut sendirian," lirihnya meminta Catra untuk datang. "Sendiri? Bukannya Anna dan Abhi ada di sana?" tanya Catra heran. "I-iya ..., tapi ... mmm ... kalau banyak orang kan lebih tenang," jawab Fazzura tergagap dengan pertanyaan Catra. "Abang tidur di rumah sakit. Gista sedang benar-benar membutuhkan Abang saat ini. Lagipula, disana kan banyak orang juga, Zurra. Disini Gista hanya berdua sama Abang," jelas Catra. "Sudahlah. Abang istirahat dulu." ucap Catra mengakhiri panggilannya. Fazzura mengumpat kesal, saat Catra menutup panggilannya begit
Catra pandangi wajah damai sang istri. "Apa yang akan mommy lakukan, kalau mommy tau, sebenarnya Daddy ayah kandung, Dean?" bisik Catra sambil jarinya menyentuh setiap lekuk dari wajah istrinya. "Da-daddy!!" lirih Gisa sambil perlahan membuka matanya. Catra melebarkan matanya, kaget. 'Mommy gak dengar kan, apa yang baru saja daddy ucapkan?' batin Catra bertanya pada dirinya sendiri. "Da-daddy!" panggil Gisa kembali, dengan kedua tangan yang terangkat untuk menyentuh setiap bagian dari wajah suaminya. Seterusnya, mata itu turun untuk menerawang tubuh dari sang suami yang tidak memakai atasan. Catra masih bertelanjang dada. "Mommy tidak sedang bermimpi kan?" tanya Gisa tidak percaya. Tangan yang awalnya menyentuh wajah dari suaminya, kini pindah dan menyentuh setiap lekuk otot-otot padat dari dada Catra. "Ini semua tampak nyata!" ujarnya kembali. "Sssshhh ... Mom!" desah Catra yang mendapat sentuhan dari jari-jari lembut istrinya.
"Daddy ... kenapa lama sih?" gerutu Gisa yang masih menunggu kedatangan suaminya. Hari sudah semakin malam. Keadaan di rumah sakit pun, mulai sepi dengan sedikit aktivitas yang ada. Gisa mengusap lehernya, kemudian menggosokkan kedua tangannya untuk mentransfer hangat pada tubuhnya. "Ih ..., tau gini, mommy tungguin sampai selesai di dalam!" gerutu Gisa kembali. Dia kesal, suaminya tak kunjung datang. Padahal, jarak dari kamar perawatan Gisa menuju lobby, tidak terlalu jauh. Gisa mengalihkan perhatiannya, saat mendengar keributan di sampingnya. Beberapa perawat perempuan yang tengah berjaga malam, saling berbisik, bercerita dengan antusias. "Pantas di belakang ribut, ternyata tuan muda datang." ucap Gisa kesal, karena suaminya selalu menjadi pusat perhatian. Para perawat muda di buat menganga, saat Catra datang dengan rambut yang masih terlihat basah. Dia berjalan memakai celana, dengan panjang hanya sebatas paha atas. Celana pendek itu, berha
"Mom, apa restorannya masih jauh?" tanya Catra pada istrinya. Wajahnya tertekuk, kesal. Dalam seketika, mood Catra menjadi buruk, saat istrinya merengek untuk ikut ke Singapura. Tentu saja Catra tidak mengijinkan. Mana bisa dia jauh dari Gisa. Dia tidak akan tahan, tidur tanpa memeluk istrinya. Bau tubuh Gisa, sudah menjadi candu baginya. "Ckk ... " Gisa hanya menanggapi pertanyaan suaminya dengan decakan. "Hmmm ... " Catra menghembuskan nafas kasarnya. "Oke, Daddy salah. Daddy minta maaf!" ucap Catra dengan lancarnya. Kalau di pikir kembali, minta maaf untuk apa? Entahlah Catra pun tidak tahu. Sebenarnya, ini trik yang diajarkan Abhi padanya. Saat perempuan marah tanpa sebab yang jelas, pria hanya perlu meminta maaf, tanpa harus tau kesalahan apa yang dia perbuat. Seumur hidupnya, ini kali pertama Catra merendah dan meminta maaf pada seseorang. Catra bahkan meminta maaf untuk hal yang menurut Catra bukan kesalahannya. Inilah yang dina
Catra dan Gisa, pagi ini tengah berada di bandara, untuk mengantar kepergian sang anak yang akan ke Singapura. Pesawat yang ditumpangi Dean, kakek Bram dan Kayanna sudah lepas landas 30 menit yang lalu. Gisa tidak jadi ikut bersama sang anak ke Singapura, karena harus terbang ke Solo bersama suaminya, untuk melayat. Gisa ingin berterima kasih secara langsung, di depan pusara sang bodyguard yang telah menyelamatkan nyawa suaminya. Mereka akan terbang sebentar lagi. Keduanya, saat ini tengah menunggu kedatangan Abhi yang rencananya akan ikut ke Solo. Catra duduk menyandar pada bahu sofa ruang tunggu VVIP, dengan kepala sang istri yang menyandar pada bahu miliknya. Kedua tangan sang istri, memeluk perut Catra, sambil sesekali jari-jari istrinya itu, menyentuh dan mengelus perut sixpack miliknya. "Dad, apa boleh setelah pulang nanti, mommy terbang ke Singapura?" tanya Gisa pada suaminya. "Mommy tega meninggalkan Daddy sendirian di sini?" tanya Cat