Gisa menatap suaminya, menunggu jawaban apa yang akan suaminya berikan. Apakah Catra akan menuruti permintaan Fazzura dan melupakan janjinya pada Dean?
Kedua tangan Gisa mengepal, 'Please, Daddy! Jangan buat Mommy kecewa!' batin Gisa mengucapkan harapannya.
"..." Catra bergeming. Dia masih bungkam dengan alis yang berkerut.
Gisa menunggu dengan cemas jawaban apa yang akan suaminya berikan pada rubah licik itu. Dada Gisa berdetak cepat. Ia takut terluka dengan jawaban yang akan suaminya utarakan.
'Please Daddy!' mohon Gisa dalam hati.
"Abang!" panggil Fazzura kembali dengan nada manjanya.
Catra mengangkat tangannya keudara, meminta Fazzura untuk diam. Fazzura mengerucutkan bibirnya kesal. Sementara Gisa, mengerutkan dahinya bingung dengan apa yang suaminya lakukan.
Catra mengeluarkan iPhone miliknya, dari saku sweater yang dipakainya. "Novera, tolong hubungi pihak RS Queen Elizabeth dan minta mereka untuk mengirimkan perawat ke
Gisa tengah duduk diatas pangkuan Catra dengan milik mereka yang menempel satu sama lain. Saat ini Catra tengah mengulum ujung merah muda dan memainkannya dengan lidah. Gisa mendesah dengan tangan yang meremat bagian belakang kepala suaminya. Catra terus menggoda bagian sensitif dari dada istrinya, dengan permainan lidah dan beberapa kecupan serta sedotan yang membuat bagian dalam milik Gisa berkedut, memijat milik Catra yang tengah menancap gagah memenuhi milik Gisa yang sempit. "Ough ... Dad!" desahannya. Gisa mulai meliukan tubuhnya, bergerak dengan alami mencari kenikmatannya sendiri. Catra menyandarkan kepalanya pada jok mobil yang dibuat setengah berbaring. Matanya terpejam menikmati setiap gerakan lembut yang istrinya lakukan. Gerakan lembut yang mengurut setiap sisi dari milik Catra. Kedua tangan Catra tidak tinggal diam. Tangan itu mengelus, memijat dengan sesekali memelintir bagian dari dada Gisa yang menonjol. Gisa membusungkan dadanya, mem
"Daddy, si-siapa?" tanya Gisa ketakutan. "Sebentar," pinta Catra akan membuka jendela mobil. "Daddy, jangan!" Gisa menahan lengan suaminya, dengan kepala yang menggeleng pelan. "Percaya sama, Daddy!" sambil memegang dan mengelus tangan istrinya lembut. "Tapi, Dad," ucapnya. Namun Catra tidak menghiraukan ketakutan istrinya dan tetap membuka jendela mobilnya. "Maaf, Pak!" ucap seorang pria berjas hitam tersebut. "Semuanya sudah siap." lanjutnya. "Oke, saya kesana sekarang!" jawab Catra kemudian menutup kembali jendela mobil nya. Gisa membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gisa memberengut kesal, merasa sudah dibohongi oleh suaminya. Gisa membuang wajahnya kearah jendela luar, tempat duduknya. Catra dibuat gemas oleh tingkah istrinya yang sedang ngambek karena ulahnya. "Mommy kenapa?" tanya Catra polos. 'Pura-pura tidak berdosa, lagi!' gerutu Gisa dalam hati. Gisa masih bergeming,
Catra dan Gisa sampai di tempat sang anak, dengan Zeca sebagai pembimbing jalan. Dean tersenyum cerah diatas stroller yang sedang dinaikinya. Gisa risih karena menjadi pusat perhatian dari orang-orang disekitarnya. Namun inisiatif Gisa untuk memakai masker sebelum naik keatas heli tadi, dapat menyelamatkan identitas dan privasinya. Gisa dan Catra menghampiri sang anak. Tanpa menunggu lama, Catra langsung membawa tubuh mungil sang anak, kedalam pangkuannya. Dean membalik topi yang tengah dipakainya, sehingga bagian depannya menghadap ke belakang. Setelahnya, dia cium pipi kanan dan kiri dari sang Daddy. "Telima kasih, Daddy cudah datang!" bisiknya pada telinga Catra. Catra mengecup pipi sang anak, kemudian membalas bisikan dari anaknya. "Tidak masalah. Apapun Daddy lakukan untuk kamu, Baby!" bisiknya pada telinga Dean. Dean menatap mata hijau, Catra. Warna mata yang sama persis dengan bola mata yang dimiliki Dean. Dia mengangguk sambil
Pagi-pagi sekali, Gisa sudah sibuk dengan peralatan memasaknya. Sebuah celemek berwarna pink, melilit indah pada tubuh rampingnya. Gisa bawa rambut panjangnya yang menjuntai untuk dia gulung keatas membentuk bound. Dengan mahir, Gisa memotong beberapa bahan untuk dia olah menjadi makanan sehat, yang akan dibawa pulang oleh sang bibi. Bi Sera tetap ingin pulang kerumahnya dan menolak untuk tinggal bersama Gisa, di mansion mewah milik suaminya. Pagi ini, porsi memasak Gisa 3 kali lebih banyak dari pada biasanya. Selain memasak untuk Bi Sera, Gisa pun memasak untuk Melisa, ibu dari Fazzura yang saat ini masih dirawat di rumah sakit. Saat bangun pagi tadi, bahkan suaminya masih terlelap dengan tangan yang melilit posesif pada pinggang Gisa. Sebenarnya, Gisa masih ingin bermalas-malasan diatas tempat tidur. Tapi apa daya, kewajibannya untuk menyiapkan sarapan setiap pagi, mau tidak mau membuatnya beranjak dari tempat tidurnya dan mulai berkutat den
Catra dan yang lainnya melanjutkan kembali sarapan mereka. Sementara Abhi sudah melesat pergi entah kemana. "Dad, memang Zeca mau nikah?" tanya Gisa pada suaminya. Gisa sempat terkejut saat suaminya menuturkan kalau asisten pribadinya itu, akan menikah. Gisa hanya khawatir, jika Zeca harus menikah karena sebuah perjodohan. Cukup dia saja yang menikah mendadak karena dipaksa oleh keadaan. Gisa masih beruntung karena menikahi lelaki sebaik Catra. Dia tidak dapat membayang jika lelaki itu bukan suaminya yang sekarang. "Gak," jawabnya acuh. Tangannya terangkat untuk menghapus sudut bibirnya menggunakan serbet yang tersimpan diatas pahanya. Gerakannya anggun dengan tangan yang dia lipat kembali setelahnya. "Hem?" bingung Gisa dengan alis yang berkerut. "Enggak! Itu rencana Tuan Arsenio! Dia hanya ingin memastikan sesuatu saja." lanjut Catra. "Memastikan?" tanya Gisa kembali. Catra sudah menyelesaikan sarapannya. Di menatap a
Abhi berlari diantara kerumunan orang-orang yang memadati Bandara, pagi ini. Matanya meneliti seluruh ruangan yang terjangkau oleh pengelihatannya. Setiap perempuan yang mempunyai perawakan serta model rambut seperti Zeca, Abhi hentikan terlebih dahulu untuk dia pastikan kalau orang tersebut adalah orang yang Abhi cari. Namun nihil, tidak ada Zeca diantara perempuan-perempuan tersebut. Setelah mendengar kabar Zeca akan menikah begitu tiba di Italia, dengan refleks Abhi berlari keluar dari kediaman Catra dan melajukan mobilnya menuju Bandara. Setelah sampai bandara pun Abhi dengan tidak sadarnya terus mencari-cari sosok Zeca yang bahkan kalau bertemu pun dia bingung akan memberi jawaban apa jika Zeca mempertanyakan kedatangannya. Abhi berjalan mendekati Public Information Service.Dia bertanya tentang jadwal penerbangan ke Italia, yang ternyata sudah lepas landas 10 menit yang lalu. "Ckk, Lo telat, Bi!" desis Abhi sambil berjalan
Gisa dan Danisha masuk kedalam ruangan mereka, setelah Danisha dapat menormalkan kembali ekspresinya dari keterkejutan. Siapa yang tidak terkejut, jika ternyata teman magang yang merupakan juniornya, adalah istri dari pemilik perusahaan tempat dia mencari nafkah. Gisa dan Danisha menempati tempatnya masing-masing. Gisa mulai mengerja kan apa yang menjadi tugasnya. Ini adalah Minggu terakhir Gisa bekerja sebagai anak magang dan tinggal menunggu pemberitahuan tentang diterima atau tidaknya Gisa sebagai karyawan tetap di perusahaan Ganendra Group. Saat mereka semua tengah fokus pada pekerjaannya masing-masing, tiba-tiba ... BRAK ... Seseorang menggebrak meja dengan cukup keras, sehingga mengagetkan semua orang yang ada di ruangan tersebut. Gisa memegang dadanya sambil terjengkat karena kaget. Sementara Danisha dan Milea, latah dengan menyebutkan hal-hal yang menggelikan. "Derina!" bentak Danisha. Ya! Yang menggebrak meja a
"ZEZE!!" bentak Abhi refleks sambil menarik tangan Zeca untuk menjauh dari pria tersebut. Semua orang yang hadir memfokuskan perhatiannya pada Abhi, termasuk Tuan Arsenio. Zeca membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kak Abhi!" pekik Zeca dengan kedua tangan yang terangkat menutup mulutnya. "Baby, dia siapa?" tanya seorang pria yang tadi Zeca cium pipinya. "Baby? Baby, kamu bilang? Ch!" Abhi berdecih sambil tersenyum sumbang. Kedua tangan Abhi terlipat pada pinggang nya. "Abhi!" bentak Zeca. Abhi melebarkan matanya tidak percaya kalau Zeca berani membentaknya demi membela pria tersebut. "Jadi pernikahan ini didasari atas suka sama suka? Bukan karena perjodohan? Begitu?" tanya Abhi menggebu. Zeca mengerutkan keningnya. "Kenapa Kak Abhi marah? Kalau pun saya menikah, apa hubungannya dengan, Kak Abhi?" tanya Zeca bingung. Abhi tertawa sumbang mendengar pertanyaan dari Zeca. Memang benar, kena