Ivy menatap semua tamu undangannya yang sama sekali tidak ia kenal. Dalam balutan gaun pengantin yang megah namun sederhana, ia berdiri di sudut ruangan, mencoba menghilangkan kegelisahan yang merasuk di hatinya. Pernikahannya baru selesai dilaksanakan satu jam lalu, namun perasaan ragu masih terus menghantui pikirannya.
Para tamu bersorak gembira, berbincang-bincang dan tertawa dalam suasana pesta yang meriah. Namun, Ivy merasa terasing di tengah keramaian itu. Pandangannya tertuju pada Nevan, suaminya yang kini sedang berbincang dengan teman-teman dan kerabatnya. Nevan tampak begitu bahagia, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Tapi Ivy, di sisi lain, merasa jiwanya terombang-ambing di antara kebahagiaan dan keraguan. Tidak hanya Nevan yang nampak bahagia, papa dan adiknya juga tidak henti memamerkan senyum hangat. Bayangan pernikahan yang sempurna telah lama Ivy impikan, namun kini ia berdiri di sini, merasa asing di hari yang seharusnya menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Ivy berusaha mengingat alasan-alasan mengapa ia setuju menikah dengan Nevan, mencoba menemukan secercah keyakinan di tengah kebimbangannya. "Hari ini adalah awal dari segalanya," pikir Ivy, mencoba meyakinkan diri. Tapi setiap kali ia melihat ke arah Nevan, hatinya kembali berbisik, mempertanyakan apakah ia telah membuat keputusan yang benar. Di sudut hatinya, Ivy berharap bahwa waktu akan membawa jawaban yang ia cari, dan bahwa cinta yang sejati akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, untuk saat ini, Ivy hanya bisa berdiri di sana, tersenyum pada para tamu yang berlalu-lalang, sambil menyembunyikan keraguan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia harus menghadapi segala tantangan yang datang, bersama dengan Nevan, pria yang kini menjadi suaminya. "Ivy kamu kecapean?" Perempuan itu tersentak di tengah lamunannya. Nevan tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya dengan raut wajahnya khawatir. "Aku gak apa-apa kok," jawab Ivy dengan senyum yang ia buat-buat. "Yaudah kita pulang, ya sekarang? Papa sama adek kamu biar teman saya yang antar." Papa Ivy harus kembali ke rumah sakit, juga adiknya yang besok tidak bisa meninggalkan uts nya harus pulang ke asrama. "Adek aku kayaknya pulang sama temannya." "Yasudah." Nevan mengangguk. Lantas mereka berdua meninggalkan gedung pernikahan mereka. **** Keesokan paginya, Ivy disibukkan dengan beberapa koper yang mengelilinya. Ia dan Nevan sudah sepakat jika akan pindah dari apartemennya Nevan. Nevan berencana menjual apartemennya untuk membeli rumah yang lebih sederhana dan sisa uangnya akan ia tabung untuk biaya sehari sebelum Nevan mendapatkan pekerjaan tetap. "Barang-barang saya tidak perlu terlalu banyak. Baju biasa dan beberapa kemeja saja. Sisanya saya akan jual," ucap Nevan muncul dari kamar mandi dengan rambut basahnya. "hmm, oke, " jawab Ivy seadanya. Melihat Ivy yang terlalu sibuk dengan barang-barang yang akan ia bawa, membuat Nevan sedikit kesal. Lantas pria itu menarik tangan sang istri dan mendudukkannya di pangkuannya. "Kenapa sibuk banget si?" "Kan saya lagi beres-beres, baju Pak Nevan banyak banget. Biar cepet selesai." Ivy hendak berdiri, melanjutkan aktifitas nya namun buru-buru Nevan tahan. "Jangan panggil saya Pak Nevan, saya kan sudah menjadi suami kamu." Ivy yang tidak nyaman dengan posisinya saat ini hanya bisa menggaruk kepalanya merasa sungkan. Ia benar-benar belum terbiasa. "Terus?" "Kamu bisa panggil nama saya, atau mas, sayang juga boleh." "Mas Nevan?" "Boleh, sekali lagi?" "Mas Nevan?" ulang Ivy. "Iya sayang." Pria itu tidak bisa lagi menahannya. Ia mengukung Ivy dalam dekapannya. Menempelkan bibirnya dengan tergesa. "Panggil saya begitu terus, ya?" bisiknya. "Mas Nevan.... " Panggilan Ivy terdengar sebuah rayuan yang memabukkan. Nevan nampak ganas dan membara dalam ciumannya. Namun kecupan itu harus terhenti saat Ivy melepaskan nya dengan paksa. "Aku mual, Mas," kata Ivy menjawab keheranan Nevan. "Mulut aku bau?" "Bukan. Gak tau tiba-tiba mual, perutku gak enak." Nevan mengerutkan keningnya. "Terkahir kamu menstruasi kapan?" Ivy berpikir keras. "Satu minggu lalu. Apa aku hamil?" **** Tadi pagi, Nevan mengatakan bahwa ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu di restoran temannya untuk menambah penghasilan mereka. Ivy merasa bangga dan senang mendengar kabar itu. Pikirnya, Nevan adalah sosok yang selalu berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi mereka. Namun, pagi ini, saat Ivy melewati pusat kota dalam perjalanan ke sebuah janji temu, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Di antara gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk jalanan, ia melihat Nevan. Tapi bukan di restoran temannya seperti yang ia katakan. Nevan berdiri di depan sebuah gedung kantor besar, berbicara dengan rekan-rekan kerjanya mengenakan jas lengkap bukan seragam yang tadi pagi dia kenakan sebelum pamit bekerja. Ivy merasa dadanya sesak. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Mengapa Nevan berbohong? Apa yang sebenarnya terjadi? Ia merasa dibodohi, kepercayaannya pada Nevan seakan runtuh seketika. Dengan langkah berat, Ivy mendekati gedung tersebut. Ia menunggu tidak jauh dari tempat Nevan berdiri, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari Nevan. "Hebat juga lo, bisa rebut cewek nya Joshua dengan mudah. Gue yakin, dengan ini Joshua merasa dirinya udah kalah 1-0 dari lo. Balas dendam lo bisa selangkah lebih mudah. Bertahun-tahun lo harus nahan biar bisa balas dendam sama keluarga dia, akhirnya ada celah juga. Ya itung-itung sebagai permulaan." Langkah Ivy terhenti mendengar percakapan antara Nevan dan Unmesh—teman Nevan yang sempat dia kenalkan di pesta pernikahan kemarin sebagai pemilik restoran tempat Nevan bekerja—hati Ivy mendadak mencelos. "Joshua udah nyakitin ceweknya duluan. Jadi gue berhak ambil Ivy dari dia," jawab Nevan tanpa mengalihkan atensinya dari layar Ipad-nya. "Tapi staregi lu bagus, Joshua kan ahli waris satu-satunya keluarganya. Jadi dengan lo nikahin Ivy, Joshua akan merasa lo itu saingan dia. Tapi dalam konteks merebutkan Ivy. Dia kan cinta banget tuh sama si Ivy." "Obses bukan cinta," koreksi Nevan. "Nah!" Unmash menjentikkan jarinya. "Dengan begitu Joshua akan melakukan apapun demi bisa rebut Ivy tadi lo kan? Itu bisa lo pake buat hancurin perusahaan keluarga dia. Dan rebut hak keluarga lo," imbuhnya sembari memamerkan senyum puasnya. Mematikan Ipad-nya, Nevan mengangkat wajah. "Itu tujuan utama gue." "Gue bakal bantu lo, tenang aja." Unmash mengangkat kedua jempolnya. "Gue bilang sama Ivy kerja sama lo sebagai pelayan di resto punya lo. Seragam gue udah ditaro di mobil?" Unmesh mengangguk. "Hari ini gue balik jam empat," ucap Nevan tidak manggapi ucapan Unmesh lagi. "Udah dong, tenang penyamaran kita akan berhasil." "Hari ini gue janji bakal ajak dia jalan-jalan pake gaji pertama gue sebagai pelayan restoran." "Perlu gue siapin mobil?" tawar Unmesh. Nevan melirik temannya itu sinis. "Dari mana ada sejarahnya pelayan resto pake mobil mewah?" Unmesh cengengesan. "Lupa gue." "Gue cabut dulu kalo gitu. Salin dokumen yang ada di flashdisk yang tadi gue kasih. Itu data rahasia perusahaan Joshua." Nevan menyerahkan iPad nya kepada Unmash kemudian berbalik, berniat ingin segera pulang. Namun orang yang ingin segera ia temui tahu-tahu sudah berdiri tengah menatapnya gamang. Jantung Nevan mendadak terasa berhenti bekerja. Ivy berdiri dengan sorot mata kecewa. Pipinya sudah basah entah sudah berapa lama istrinya itu menangis. Dan yang lebih Nevan khawatir kan, sejak kapan Ivy berada di belakangnya nya? Tapi melihat ia melangkah maju mendekatinya dengan air mata yang terus berderai, Nevan menebak jika Ivy mendengar semuanya. "Sejak awal, saat kamu mau nikahin aku dengan asalan sebuah pertanggung jawaban seharusnya aku nolak." Ivy tertawa miris. "Harusnya aku curiga, kalo bukan karena ada sesuatu hal yang kamu inginkan dari aku, kamu gak akan nikahin aku kan?" "Enggak gitu, Ivy. Kamu salah paham." Nevan berusaha menggenggam tangan Ivy namun segera perempuan itu tepis. "Salah paham? Pak Nevan bilang kerja di restoran temen Pak Nevan. Tapi ini apa? Ini perusahaan milik Pak Nevan kan? Alasan Pak Nevan nikahin saya juga biar bisa balas dendam sama Joshua. Dimana salah pahamnya? Jelasin ke saya!" Dada Ivy terasa sesak. Ia merasa sangat kecewa, kepercayaannya lagi dan lagi di khianati. "Mas jelasin, semuanya. Tapi jangan panggil Mas, Pak lagi. Mas jelasin di rumah ya?" pinta Nevan dengan suara lembut. "Itu sudah menjelaskan jika hubungan kita sekarang udah sejauh dari sebelum pak Nevan mengenal saya." Ivy berbalik mengambil langkah lebar meninggalkan Nevan. Nevan tidak mau hanya diam saja. Ia menyusul Ivy dan mencegahnya untuk pergi. "Mas bisa jelasin. Dengarkan dulu." Ia mencengkram pergelangan tangan Ivy, cukup kuat namun tidak menyakiti perempuan itu sama sekali. Hanya agar Ivy menghentikan langkahnya dan mendengar penjelasannya. "Ucapan pak Unmesh tadi sudah cukup jelas. Tolong kasih saya waktu buat mikirin kelanjutan pernikahan kita ini. Saya butuh waktu dan saya harap Pak Nevan bisa ngerti." Cengkraman tangan Nevan melonggar. "Kalau memang itu mau kamu, saya gak bisa larang. Tapi kamu pulang ke rumah kita aja, ya? Biar saya yang nginep di rumah Unmesh buat beberapa hari sampai kamu tenang." "Gak usah, saya bisa menginap di rumah teman saya. Saya permisi." Ivy menyeret kakinya pergi meninggalkan Nevan dengan perasaan sesak. Hatinya hancur lebur. Mendapati kenyataan yang tidak ia duga-duga. Sementara Nevan, laki-laki itu hanya bisa memandangi punggung Ivy yang semakin menjauh dari jangkauan matanya. Ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan istrinya itu meninggalkan nya. Nevan bahkan tidak tahu bagaimana kelanjutan pernikahannya dengan Ivy setelah ini. Apakah Ivy akan menggugatnya atau tidak.Langit sore itu memudar perlahan, seakan ikut kehilangan cahaya setelah satu jiwa berpulang. Awan menggantung berat di atas pemakaman, dan gerimis turun seperti air mata langit—pelan, tapi terus-menerus. Di antara payung-payung hitam yang berderet rapat, suara doa dan isak tangis berpadu menjadi satu, membentuk suasana yang nyaris tak tertahankan.Ivy dan adiknya tidak menangis. Hanya saja ia merasa sebagian langitnya runtuh. Ivy dirangkul Nevan sementara adik Ivy berada di satu payung bersama dengan Qaiz menyaksikan prosesi pemakaman papanya. Pemakaman dihadiri juga teman-teman papanya Ivy. Juga tetangga rumah dan dan teman-teman dekat adiknya Ivy.Di ujung liang lahat, Ivy berdiri kaku, tubuhnya gemetar meski jaket tebal membungkusnya. Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih—bunga yang papanya tanam dihalaman rumah—yang kini tampak kusam oleh hujan. Matanya merah, tapi tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Semua sudah kering, seperti jiwanya yang kosong.Ketika jasad papa Ivy
Ruangan yang dipenuhi cahaya putih dingin terasa lebih menyeramkan dibandingkan dengan kamar mayat. Bau obat-obatan menusuk, bercampur dengan suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan—ritmis, tapi rapuh. Tirai tipis di sekeliling ranjang bergoyang lembut diterpa hembusan AC. Di tengahnya, seorang lelaki tua terbaring lemah, tubuhnya nyaris tertutup oleh selimut rumah sakit, wajahnya pucat dan berpeluh.Selang-selang menempel di lengan, di hidung, di dada—seolah-olah setiap helaan napasnya kini bukan lagi miliknya sendiri, tapi pemberian dari mesin-mesin di sekitarnya. Di sisi kakan dan kiri ranjang, kedua putrinya duduk dengan tangan menggenggam erat tangan papanya. Jemarinya gemetar, bibirnya terus bergetar mengucap doa yang tak terdengar. Kini doanya bukan lagi mengharapkan pria yang sangat mereka sayangi itu sembuh, melainkan agar papanya tenang setelah semua penderitaan yang mengikutinya selama ini.“Bu, waktunya sudah hampir tiba,” ucap seorang perawat dengan suara pelan, m
Ruang ICU terasa seperti dunia yang berhenti di antara hidup dan mati. Suhu dingin dari pendingin ruangan menyelimuti kulit, bercampur dengan aroma tajam antiseptik yang menusuk hidung. Lampu putih menggantung tanpa belas kasih, menyoroti wajah-wajah pucat yang tertidur dalam diam yang berat.Suara mesin monitor menjadi satu-satunya irama—seolah menandai detak waktu yang enggan berjalan. Tabung oksigen mendesis pelan, selang-selang menelusuri tubuh-tubuh rapuh di ranjang logam. Tirai-tirai tipis di antara ranjang bergoyang perlahan tiap kali perawat lewat, langkahnya cepat tapi hati-hati, membawa catatan dan harapan dalam diam.Di sudut, ada adik Ivy yang duduk dengan tangan terlipat, mata mereka tak beranjak dari angka-angka di layar monitor. Ivy menunduk, berdoa dalam bisu, sementara Qaiz sekadar memandangi wajah papanya Ivy—yang tak bergerak, namun masih di sini.Segalanya terasa hening, namun sarat dengan gema ketakutan dan harapan yang menegang di udara. Di ruang itu, bahkan napa
Cahaya matahari sudah menembus kaca lobi kantornya, menandakan jika pagi sudah mulai berganti siang. Dugaannya salah total. Ivy tidak masuk kantor hari ini. Sembari berjalan menuju ruangannya, karena ia tidak mungkin terus menunggu Ivy sampai sore atau pekerjaannya tidak akan selesai satu pun, Nevan membawa kekecewaan yang amat besar. Otaknya terus bertanya-tanya apakah Ivy merasa permasalahannya sebesar itu sampai Ivy tidak masuk kantor? Kemungkinan besar istrinya itu tidak sudi melihatnya.Nevan baru keluar dari lift dan langsung disuguhkan dengan keberadaan Unmesh. Temannya itu sepertinya habis mengambil kopi di pantry.“Baru dateng?” tanyanya menyamai langkah Nevan.“Dari tadi, cuman gue tunggu Ivy dulu,” jawab Nevan jujur.Melihat wajah Nevan masam Unmesh dengan mudah menebak. “Lo ada masalah lagi sama dia?”“Setiap rumah tangga pasti selalu ada aja ujiannya. Dan itu sangat wajar.” Semenjak Unmesh selalu menyudutkan Ivy, Nevan sekarang jadi lebih hati-hati jika berbicara dengan
Nevan mengusap wajahnya. Ia tercenung di atas ranjang. Ia perlu menetralkan pikirannya sebelum ia menemui Ivy dan mengajak istrinya itu bicara. Setelah dirasa cukup, Nevan keluar dari kamar. Tapi Ivy tidak ada di ruang tv, Nevan bergegas menuju dapur dan tidak ada tanda tanpa keberadaan Ivy. “Kemana Ivy?” gumamnya.Kakinya melangkah ke halaman. Ia memutari rumahnya namun Ivy tidak kunjung ia temukan. Ia kembali masuk memeriksa rak sepatu. Benar saja sendal yang selalu Ivy pakai tidak ada. “Dia pergi kemana?” Ia menghela napas.Sikap Ivy yang seperti ini yang Nevan kurang sukai dari, selalu pergi saat ada masalah. Padahal mereka hanya perlu bicara dan menyampaikan apa yang tidak mereka sukai satu sama lain. Bukan menghindar membiarkan kesalahpahaman diantara mereka semakin memperumit masalah.Pria itu menghubungi Ivy beberapa kali, pesan Ivy yang tidak sempat ia buka akhirnya ia baca satu persatu. Ia merasa bersalah untuk hal ini. Nevan lantas mengirim pesan kepada Ivy berharap Ivy su
Bangun tidur Nevan sudah tidak ada di rumah. Ini kali pertama pertengkaran mereka melebihi pagi setelah sepakat saling memaafkan satu sama lain. Di meja makan sudah tersedia roti panggang dan sepucuk surat bertuliskan,Aku ke kantor duluannya. Jangan lupa sarapan.Ivy jadi merasa bersalah. Ia lantas mengunyah roti panggang yang sudah dingin itu. “Harusnya gue semalam gak kebawa emosi juga,” kata Ivy.Setelah itu Ivy bergegas siap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia harus meminta maaf kepada Nevan. Seperti kata pepatah jangan terlalu berharap, di kantor Ivy tidak bertemu dengan Nevan. Bolak-balik ia datang ke ruangannya suaminya itu tidak ada. Pesan yang kemarin yang ia kirim bahkan belum pria itu lihat sama sekali. Ivy juga tidak sudi jika harus bertanya kepada Manda. Atau ia akan hipertensi.“Nevan sudah makan siang belum ya?” gumam Ivy. Ia duduk di kantin menyantap makan siang seorang diri.Setelah selesai Ivy berinisiatif membawakan makan siang ke ruangan Nevan walaupun dia belum j