MasukTadi, setibanya Nevan di ruang rawat papanya Ivy dengan wajah babak belur, papanya Ivy segera memanggil seorang suster dan meminta agar luka Nevan segera diobati, namun pria itu segera menolak dengan halus. Ia hanya meminta kontak obat itu ditinggalkan dan lukanya akan dirinya obati sendiri.
Dan alasan itu ia buat agar Ivy lah yang mengobati luka wajahnya. Perempuan yang beberapa menit lalu menyeretnya keluar dan membawanya ke tengah taman dengan sebuah kejengkelan yang terbelenggu di tengah kerongkongan. "Pak Nevan gila apa?! Papa saya sakit jantung loh, Bapak gak takut kalau tiba-tiba papa saya masuk ICU gara-gara cerita Bapak?!" Ivy berkacak pinggang, menghalangi sinar matahari yang menyembur wajah babak belur Nevan. Nevan sudah terduduk di atas kursi besi panjang, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang terasa patah-patah. "Buktinya enggak kan?" Santai Nevan sedikit menengadah. "Ya emang enggak, tapi kalau nanti papa saya kepikiran gimana? Bapak mau tanggung jawab?" Ivy masih mempertahankan nada suaranya yang meninggi. Tidak peduli beberapa orang yang juga ada di sana melihatnya risih. "Mau." Santai Nevan. Kejengkelan Ivy sudah pada puncak yang tidak bisa ia utarakan lagi. Pria di hadapannya ini benar-benar menguji kesabarannya. "Pak, maksud Bapak kaya gini tuh, apa sih sebenernya? Saya udah capek loh. Masalah saya banyak, belum Pak Nevan sekarang tambahin. Bapak gak ada rasa kasihan sedikitpun ke saya?" Suara Ivy melemah. Namun bukannya menjawab, tanpa permisi tangan kekar Nevan menarik tangan Ivy, tidak cukup kuat hanya sentuhan lembut yang berhasil membuat hati Ivy meluluh. "Kamunya menghalangi pencahayaan saya, wajah kamu jadi enggak terlihat. Duduk, kamu bisa lanjutkan marah-marah nya setelah duduk, saya sudah siap," tuturnya. Entah kemana umpatan-umpatan yang sudah Ivy siapkan sedari tadi, tidak tahu melebur dimana kemarahan yang membara di dalam dadanya, dalam sekejap semuanya lenyap seperti segerombol awan hitam yang menyemburkan air ke bumi yang tandus. Mendadak dingin, mendadak tenang. "Marah-marahnya sudah selesai?" Nevan bertanya lagi. Ivy tidak menjawab, hanya sebuah decakan kesal terdengar lalu dengan sengaja wajah masamnya mengindari tatapan lembut Nevan. "Saya sudah siapkan semuanya, pernikahan kita. Kamu takut kan papa kamu sakit karena memikirkan ini? Karena itu saya berkata jujur dan berbicara kepada beliau agar beliau tidak khawatir. Kamu tenang aja, semuanya akan baik-baik aja. Selain itu, saya tidak akan meninggalkan kamu setelah kejadian semalam. Saya bilang kan dari awal, apel yang sudah saya gigit tidak akan saya tinggalkan sampai mengering." Ivy menolah dengan tatapan berbeda dari sebelumnya. "Kamu ngerti kan maksud saya, Iv?" Nevan membawa bahu Ivy untuk menghadapnya. Menatap perempuan itu dengan serius. "Saya akan bertanggung jawab. Apalagi melihat kondisi kamu sekarang. Kamu butuh seseorang agar hidup kamu sedikit ringan." "Pak Nevan tuh emang jago ya dalam hal begini, pantesan Joshua betah kerja sama Pak Nevan. Klien gak akan nolak kalo cara bicara pak Nevan kaya barusan." Ivy masih ingin marah-marah, tapi wajah teduh Nevan berhasil membujuknya. "Termasuk kamu?" Satu alis tebal Nevan naik. Bibirnya ikut tertarik tersenyum samar. Dan Ivy baru menyadarinya, Nevan memiliki senyum berbeda dari orang yang pernah ia temui. Senyumnya menyejukkan sekaligus menghangatkan perasaannya. Ivy buru-buru memalingkan wajahnya, ia takut Nevan melihat area tulang pipinya yang tiba-tiba terasa memanas. Hal tersebut mengundang kekehan ringan Nevan. "Pantesan Joshua sampai semangat banget pukulin saya tadi, orang kamunya ternyata selucu ini, ya?" celetuk Nevan. Ivy sudah berbalik menatap Nevan dengan dahi berkerut dan alis menukik. Wajah selidiknya terpasang, lantas kemudian ia melayangkan sebuah pertanyaan, "Pak Nevan udah naksir saya dari dulu ya? Saat saya masih pacaran sama Joshua?" Tanpa dugaannya, pria itu tanpa ragu mengangguk. Lagi, Ivy dibuat geming. Menyesal berkali-kali melayangkan pertanyaan yang belum siap ia dengarkan jawabannya. Pria ini benar-benar tidak bisa ditebak. "Iya, itu sebabnya saya tidak pernah menyapa kamu atau mengobrol sama kamu. Saya tidak bisa mengontrol diri jika sudah di dekat kamu. Saya menghargai Joshua sebagai pacar kamu. Kamu tahu? Saat saya tahu Joshua beberapa kali mengkhianati kamu, tangan saya sudah gatal ingin menghajarnya. Tapi beberapa kali juga saya harus menahan nya, sebab kamu ternyata memaafkan kan dia." "Emang tolol aja. Kayaknya memang saya kecintaan banget sama dia." Tatapan Ivy berlari pada daun bunga mawar yang bergoyang-goyang diterpa angin. "Tapi sekarang masa itu sudah selesai. Saya akan bantu kamu menyembuhkannya. Tapi sebelum saya bantu kamu menyembuhkan luka di hati kamu, boleh saya minta tolong kamu dulu?" tanya Nevan hati-hati. Tidak mau merelakan waktunya hanya untuk menikmati keheningan, suara halus Nevan kembali mengudara. Bersamaan dengan angin yang menyambar-nyambar rambut legam Ivy. "Apa?" Ivy menoleh memberi perhatian. "Bibir saya masih sakit, kamu bisa obati? Saya kesulitan untuk mengoleskan salepnya." Ivy melihat seluruh permukaan wajah Nevan, sudut bibirnya memang paling parah diantara luka yang lainnya. Mungkin itu yang membuat Nevan sesekali meringis saat ia menggerakkan bibirnya ketika berbicara. Ivy mengambil alih kotak obat yang sedari tadi ada dipangkuan Nevan. Ia mulai mengolesi satu persatu luka di wajah Nevan yang sudah tertutup dengan darah kering itu dengan salep. "Tadi Pak Nevan di bawa kemana sama Joshua? Gak diapa-apain kan?" "Saya cuman dipecat—" "HAH?" "Aw!" "Eh, maaf-maaf." Ivy segera menyingkirkan tangannya saat tidak sengaja menekan jarinya ke luka Nevan. "Terus gimana?" "Apanya?" "Pak Nevan lah!" "Gak gimana-gimana. Memangnya kenapa?" Ivy berdecak. Menutup salep itu dan memasukannya kembali ke dalam kotak obat. "Karir Bapak terancam kalau sudah berurusan dengan Joshua. Bisa-bisa Bapak gak bisa kerja di mana pun." "Ancamannya si begitu. Tapi gak apa-apa, saya yakin kamu gak akan ninggalin saya hanya karena saya tidak bekerja di perusahaan besar." Santai sekali mulutnya, Nevan pikir Ivy ini perempuan yang hanya akan pasrah dan menerima apa adanya jika pasangannya tidak memiliki pekerjaan? Itu terlalu naif, hidup ini butuh uang. Modal cinta tidak akan bisa membantunya membiayai biaya pengobatan ayahnya dan membayar semeteran adiknya. "Tapi saya akan selalu berusaha sekuat yang saya bisa. Konon katanya, perempuan yang baik itu bisa menerima keadaan lelakinya dalam keadaan sulit dan bahagia. Tapi lelaki baik, akan selalu mengusahakan agar perempuan yang ia cintai tidak merasa kesulitan. Saya mau, kita diantara perempuan dan lelaki baik itu ya sebagai pasangan nanti." Namun mendengar ucapan Nevan, tekadnya untuk menolak Nevan secara tiba-tiba melebur menjadi sebuah kemakluman yang seharusnya Ivy terima. Ketulusan yang Nevan berikan untuknya memang pantas dibayar dengan sebuah kepercayaan. Uang memang bisa memberi Ivy kebahagiaan dan kepuasan, tapi Ivy tidak akan menemukan laki-laki seperti Nevan untuk kedua kalinya. "Kamu mau kan menikah dengan saya?"Unmesh berdiri dari duduknya, di kursi lain Joshua ikut terkejut. “Ada apaan si? lo di telepon polisi?”Unmesh langsung menatap Joshua sinis. “Mata lo empat biji. Ini Manda bawa berita bagus,” ucapnya.“Oh, yaudah duduk. Ngapain pakai berdiri segala?”Jika dipikir-pikir benar juga. Tapi Unmesh hanya reflek mendengar suara antusias Manda. Ia jadi tidak sabar mendengar kabar baik yang dimaksud Manda. Sebab ini menyangkut karir masa depannya.Unmesh duduk kembali. “Gimana, Man?”“Kayanya mereka beberan berantem gede, deh. Soalnya tadi pagi mereka berangkat pakai mobil yang beda. Terus barusan Nevan pulang sendiri, padahal Ivy masih di kantor. Dan lo tahu, mereka bahkan gak bertegur sapa. Nevan malah kaya mau nawarin pulang bareng sama gue. Tapi gak jadi karena ada Ivy yang baru aja turun.”“Terus?” Unmesh makin penasaran.Dari kursi seberang Joshua cengo, obrolan mereka tidak terdengar. Bibirnya bergerak-gerak meminta Unmesh membesarkan volume ponselnya. Padahal dalam cerita mereka diala
“Lo pantau gimana keadaan hubungan Nevan sama Ivy. Jangan lupa lapor gue.”Manda mengangguk mendengar arahan dari Unmesh melalui sambungan teleponnya. Sekarang ia sudah berada di depan kantornya. Berdiri di depan jendela lobi siapa tahu Nevan akan segera datang. Sebab biasanya bosnya itu datang yang segini.“Iya, gue bakal pantau terus. Tapi gue yakin mereka bakal berantem. Nanti gue bantuin panas-panasin deh,” usul Manda. Kalau soal mengobrak-ngabrik hubungan orang Manda sepertinya memiliki bakat. Yang seharusnya dia pendam saja.“Kenapa emang? Ada sesuatu terjadi antara lo sama Nevan pas perjalanan dinas kemarin? Atau?”Manda berdecak. Matanya sedikit menyipit mana kala cahaya matahari menyerang wajahnya. Ia lalu berpindah ke tempat yang lebih teduh. “Ya kali. Lo tahu Nevan bukan tipe cowok yang gampang ke goda. Pokoknya ada lah, lo gak usah kepo dulu. Kalau berhasil nanti gue ceritain.”“Oke lah. Jangan lupa pantau terus.”“Iya.” Awalnya Manda masih ingin melanjutkan obroalannya de
“Lo yakin ini bakal berhasil?”Joshua mengangguk dengan wajah jemawa. Ia menyesap kopinya sembari tersenyum asimetris. “Yaiyalah, gue udah bersikap senatural mungkin. Bahkan gue cuma bisa senyumin Ivy doang di saat gue mau peluk dia seerat-eratnya. Dia pasti gak bakal curiga.”“Halah taik kucing! Bucin tolol!” Cemooh Unmesh. “Ya mungkin Ivy gak ngeh, tapi apa Nevan bakal percaya? Lo juga tahu sendiri gimana karakter Nevan. Dia gak akan sembarangan marah sebelum dia menyelidiki kebenarannya,” tambahnya.Joshua berdecak. “Gue lebih pinter dari lo. Gue bukan mau bikin Nevan percaya, tapi cukup emosi dia sedikit tersulut. Lo gak akan ngerti. Emosi karena memang lagi marah, sama emosi karena cemburu. Orang cemburu itu kadang otaknya gak bisa dikontrol karena menyangkut perasaan.”“Maksudnya?” Unmesh mengernyit.“Gue juga kata apa?” Joshua melirik Unmesh remeh. “Kita cuma cukup bikin dasar masalahnya. Biar mereka sendiri yang bakar. Nevan gue yakin gak akan langsung percaya. Tapi dia akan
Di hari libur seperti ini Ivy merasa kesepian. Terlebih Nevan tidak ada di rumah. Maka daripada ia hanya merebahkan diri di depan televisi ia berencana untuk lari pagi mengelilingi taman. Ia juga merindukan lontong kari favorit Nevan. Pagi ini ia akan datang lebih pagi agar ia tidak kehabisan. Ia juga mau pamer kepada Nevan nanti agar suaminya itu cepat pulang.Seperti biasa taman komplek akan terlihat padat jika di hari libur seperti ini. Ada yang hanya mengajak anak mereka main, mengajak pasangannya lari, ada juga yang hanya duduk menanti mentari meninggi. Ivy sudah dua kali mengelilingi taman, lumayan juga tubuhnya sudah berkeringat. Perutnya juga ikut bergemuruh.Ia duduk sebentar di kursi semen untuk meneguk air mineral sebelum ia menuju warung lontong kari.Ia mengambil foto dirinya yang sedang banjir keringat kepada Nevan. Namun tumben sekali suaminya itu tidak cepat merespon seperti biasanya. Semalam sewaktu menelepon juga Nevan nampak lebih dingin. Ia menjawab dengan seadanya
Pukul empat sore Ivy baru saja pulang dari kantor. Karena tidak ada rencana apapun dan Nevan masih tiga hari lagi di Bali, Ivy memutuskan untuk pulang naik kendaraan umum. Ia berjalan di trotoar setelah turun dari bus. Menikmati embusan angin sore yang lumayan melegakan. Itung-itung ia bernostalgia.Ia melihat kafe yang dulu sering ia singgahi. Lalu ia masuk ke dalam memesan kopi. Setelah kopinya datang, gerimis membasahi jalanan. Jendela di kafe itu juga terlihat berembun. Ivy jadi tidak menyesal karena mampir dulu ke kafe ini dulu. Ivy menikmati kopinya sembari membalas pesan Nevan yang belum ia balas. Ia juga memotret kopi yang tinggal setengah miliknya itu untuk mengabari suaminya jika ia belum sampai rumah.Saat sedang sibuk mengetik, seseorang duduk di menghadapnya. Praktis Ivy mengangkat wajahnya. Meski raut wajahnya nampak biasa saja, Ivy tidak bisa berbohong jika ia sangat terkejut dengan kehadiran pria yang kini sedang tersenyum kepadanya itu.“Bagaimana kabar nya Ivy? Aku d
“Oh, oke.” Ivy kembali melanjutkan makan lontongnya. Meski jauh di lubuk hatinya ia tidak rela. “Berapa hari?”“Satu minggu. Aku takut kamu marah. Ternyata apa yang aku takutin gak terjadi. Aku sedikit lega,” ucap Nevan dibarengi senyum.“Ngapain marah? Kamu kan kerja. Kecuali....”“Gak akan,” potong Nevan. “Aku bakalan jaga jarak sama dia.” Nevan meraih tangan Ivy untuk meyakinkan. “Tunggu sebentar lagi ya, aku masih cari-cari sekretaris buat gantiin Manda.”Nevan bukan tidak merasa jika suasana Ivy mendadak lebih dingin. Tapi mau bagaimana lagi, ini untuk masa depan perusahaannya.“Iya, aku paham kok. Kamu fokus saja sama kerjaan kamu,” ucap Ivy.“Atau kamu ikut saja, yu? aku juga khawatir ninggalin kamu sendirian di rumah,” pinta Nevan.“Aku harus urus adekku, belum ngurusin acara kepergian papa. Kamu tenang saja, nanti ada Qaiz kok yang jagain aku.”“Beneran kamu aman?” tanya Nevan sekali lagi.Ivy mengangguk. “Aman, nanti kan kita bisa telpon. Sekarang sudah canggih, kamu bisa ta







