Sudah satu Minggu Nevan ditinggalkan Ivy setelah istrinya itu mengetahui tujuan Nevan menikahinya. Karena singkatnya perkenalan mereka, Nevan juga jadi tidak tahu harus mencari Ivy kemana, ia juga tidak mengenal satu pun teman Ivy yang bisa ia tanyai. Beberapa hari ini Nevan hanya datang ke rumah sakit menjenguk mertuanya berharap Ivy ada di sana. Namun sepertinya Ivy tahu hal itu, maka Nevan tidak pernah bertemu dalam ketidakbetulan itu. Nevan juga tidak bisa cerita ke papanya Ivy soal rumah tangganya khawatir akan memperburuk kondisi beliau.
Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi Nevan hanya bisa melamun. Mengingat bayang-bayang wajah Ivy dalam otaknya. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan setelah semuanya terjadi, tapi ia benar-benar tidak ingin Ivy pergi dari hidupnya. "Woy!!! Ada berita bagus! Bukan bagus lagi ini si tapi berita luar biasa!" Jantung Nevan hampir merosot ke lambungnya mendengar suara pemuda bergaya selenge yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah nya nampak cerah dan bersemangat. Memancarkan aura kegembiraan yang tiada tara. "Keputusan lo buat nikahin si Ivy emang the best, Van. Baru seminggu kalian nikah perusahaan Joshua udah oleng," katanya heboh. "Jangan berlebihan. Perusahaan Joshua itu perusahaan besar. Gak mungkin langsung oleng cuma karena hal sepele. Ngomong yang bener," tegur Nevan. Unmesh berdecak seraya menyandarkan punggungnya di tempok. Menatap Nevan heran. "Kenapa gak mungkin? Gini, mungkin karena Joshua lagi galau jadi dia grasak-grusuk ambil keputusan. Takut keduluan sama orang. Terutama lo, jadilah perusahaan nya rugi besar." Entah mengapa pemuda itu tersenyum sombong seolah dirinya lah penyebab masalah perusahaan Joshua. "Rugi kenapa?" tanya Nevan penasaran. Ia tahu tidak mungkin Joshua dibiarkan mengambil keputusan sendiri. Biasanya dia akan bertanya kepada penasehat bisnisnya. Meski Joshua orangnya tidak sabaran, untuk beberapa hal termasuk masalah soal perusahaan ia akan melibatkan orang lain untuk mengambil langkahnya agar tidak salah jalan. "Lo udah tau kan pembangunan hotel yang di Bali itu belum dapet izin dari menteri?" "Setau gue gitu, karena sebelum gue di pecat gue yang ngurusin. Tapi gak tau sekarang." "Sampe sekarang belum ada izin tapi dia maksain. Pembangunan nya udah di mulai. Dan karena itu, perusahaan Joshua dapet somasi. Bukan cuma menteri si yang gak setuju warga sekitar juga pada gak setuju. Karena menurut analisis tata letak wilayah, kalau nantinya hotel itu benar-benar berdiri, akan ada masalah soal lingkungan. Di tempat itu kan merupakan tempat wisata alam yang harus dijaga keasriannya. Dikhawatirkan kalau hotel itu benar didirikan tidak hanya keasrian wilayah itu yang akan berlahan hilang tapi juga pembangunan hotel juga akan berdampak buruk terhadap lingkungan merambat ke masyarakat dalam jangka waktu panjang." Nevan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar menjelaskan Unmesh. "Maka dari itu gue milih bikin penginapan sederhana, yang lebih ramah lingkungan dan tidak akan terlalu memakan tempat. Meski kita harus lebih cerdas dalam mencari investor sebab mungkin para investor kurang tertarik, tapi itu cukup menjanjikan. Orang-orang yang datang ke sana kan untuk mencari hiburan sekalian refreshing. Dan mereka pasti akan mencari suasana baru. Hotel memang bisa menyediakan fasilitas mewah dan servis yang bagus. Tapi dengan kita menjaga kelestarian budaya di sana dan tentu kenyamanan pengunjung, orang-orang akan lebih memilih tempat penginapan kita," timpal Nevan. "Iya, dan ini kesempatan lo buat tarik investor yang mundur dari perusahaan Joshua," kata Unmesh tersenyum penuh makna. "Ya, pasti." "Gue si percaya sama lo hahaha. Tapi gue liat-liat beberapa hari ini lo keliatan murung. Kenapa?" Ditanya begitu Nevan menghela nafas, melepaskan kaca mata anti radiasi nya. "Udah satu Minggu Ivy gak pulang. Menurut lo gue harus gimana?" "Ya lo cari lah kocak. Cuma dia yang bisa bantu lo buat rebut investor Joshua." Nevan tercenung. **** "Gue nginep sehari lagi ya di sini, Is?" Qaiz Drew, atau yang lebih akrab di panggil Is itu memutar bola matanya malas. Sahabat perempuannya ini sudah seperti gelandangan yang mengemis tempat tinggal. Masalahnya Ivy sudah tinggal di apartemennya selama satu Minggu. Ini bukan soal Qaiz yang tidak mau uang belanjanya bertambah menjadi tiga kali lipat karena Ivy banyak makan. Namun Qaiz khawatir jika Ivy akan di cap sebagai perempuan tidak baik karena menginap di apartemen seorang bujang yang tinggal seorang diri. Apalagi Ivy kini sudah memiliki suami. Apa tidak di tinju nanti jika suami Ivy tahu jika istinya kabur ke apartemen nya? "Yaudah cere-in si Nevan. Kawin dah sama gue biar lu bisa tinggal di sini semau lu!" Qaiz berkacak pinggang. Menatap jengah sahabat perempuannya itu. Ivy bangkit dari rebahannya. Memasang wajah malas. "Halah, pake segala ngajak gue kawin. Diajak serius sama pacar sendiri aja ketar-ketir lu!" "Ya itu mah beda. Gue belum siap jadi suami. Kan kalo gua kawin sama lu gak perlu nunggu siap dulu. Gua gak perlu mempersiapkan banyak uang, karena gua yakin lu bisa cari uang sendiri." "Yeu itu mah lo gak mau bertanggung jawab." "Gue kan mau jadi bapak rumah tangga." "Jidat lo sini gue jadiin tangga," cibir Ivy. "Omong-omong boleh ya gue nginep di sini sehari... Lagi aja. Sebelum gue dapet kontrakan." Dua telapak tangan Ivy menempel memperlihatkan wajah melasnya berharap Qaiz memberi izin. "Vy, gue bukan gak suka lo tinggal di sini. Gue malah seneng bisa hemat biaya nyuci sama beresin rumah gue karena lo selalu bersih-bersih. Tapi gue gak bisa terus-terusan liat orang yang ngeliatin lo dengan tatapan merendahkan pas tau kalau lo tinggal sama gue. Dan gue juga gak enak sama suami lo, Vy. Kayaknya lo harus pulang dan selesain masalah kalian. Dengan cara lo terus menghindar semuanya bakalan nambah buruk." Ivy memainkan ujung selimutnya. "Dari awal juga udah buruk, Is. Gue juga gak tau kenapa gue bisa berpikir kalau gue bisa nerima Nevan waktu itu. Padahal dia gak jauh beda sama Joshua. Seumur hidup itu lama, Is." Ivy menunduk merasakan sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya. "Iya, seumur hidup itu lama maka dari itu lo harus dari sekarang memperbaiki nya. Kalau lo terus menghindar kaya gini gimana ada kemajuan?" sahut Qaiz. Didalam diamnya Ivy tercenung. Mengatuptukan bibirnya rapat-rapat karena tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Qaiz. "Masalah itu ibarat tsunami yang gak bisa lo hindarin kedatangannya. Lo cuma punya dua pilihan buat ngehadapinnya. Satu lo harus bertahan dengan berusaha berenang agar lo bisa selamat walaupun gak ada jaminan lo bisa selamat. Kedua lo bisa diem aja dan berakhir akan tenggelam." "Ya kalau gitu gue mending tenggelam, gue juga gak tau kan akan selamat atau engga saat gue berusaha bertahan? Ngapain cape-capek!" Qaiz menghela napas panjang. "Lo bener. Secara logika memang manusia akan memilih sesuatu yang pasti daripada memperjuangkan yang gak pasti." Ivy saat itu setuju, selaras dengan angukan kepalanya yang semangat. "Tapi dengan lo pasrah dan memilih tenggelam lo gak akan pernah merasa berharga dan berterima kasih kepada diri lo, Vy karena berarti lo udah nyerah. Maksud gue, misal lo liat orang-orang ikut lomba panjat pinang. Mungkin kalau dilihat hadiahnya gak seberapa. Atau lo bisa beli sendiri. Tapi di sisi lain lo juga mau hadiahnya. Sayangnya lo memilih gak ikutan lomba itu. Pasrah, toh lo mikir gak akan bisa manjatin tiang itu. Dan ternyata orang-orang itu bisa naik ke tiang itu berhasil ngambil hadiah itu seraya tersenyum bangga disitu orang-orang itu mendapatkan kebahagiannya. Bukan soal barangnya yang gak seberapa, tapi soal perjuangannya untuk mendapatkan itu. Dan dengan cara itu manusia bisa menghargai apa yang dia sekarang miliki." "Mengambil tindakan sesuatu memang tidak menjanjikan hasil yang lo inginkan, Vy. Tapi dengan tidak berbuat apa-apa juga masalah tidak akan pergi dengan sendirinya. Berusaha itu tidak melulu soal keberhasilan. Namun proses yang lo lalui, setidaknya lo gak akan nyesel dikemudian hari karena lo gak berbuat apa-apa," imbuh Qaiz. "Jadi gue harus ngapain?" "Nanem cabe! Males gue ah." Qaiz berdecak sebal lantas keluar begitu saja dari kamarnya meninggalkan Ivy yang masih mencerna ucapannya. "JADI GUE HARUS TEMUIN NEVAN, IS?" teriak Ivy berharap Qaiz mendengar ucapannya. "LEMOT BANGET OTAK LO BUSET! TEMUIN DIA MANFAATIN BALIK!" Rupanya Qaiz masih ada di sana."Da, jam 10 tolong siapin ruang meeting. Sama tolong ingetin Unmesh, check lagi materi yang mau di presentasiin nya. Dia suka lupa."Manda yang baru saja meletakkan segelas teh di meja Nevan mengernyit. "Loh bukannya nanti jam dua? Belum ada konfirmasi dari Mba Sila ke saya," tanya Manda heran. "Pak Santoso jam dua sudah harus ke luar kota. Jadi meeting nya di majuin. Beliau sendiri yang konfirmasi ke saya."Manda mengangguk. "Baik, Pak." Ia mengangguk. "Eh tapi, Pak—"Nevan mengalihkan perhatiannya ke Manda yang nampak ragu, ingin mengatakan sesuatu. "Kenapa?""Pak Nevan baik-baik aja kan?"Pria itu menunjuk dirinya sendiri. "Saya?""Iya.""Saya gak kenapa-kenapa. Memang kenapa?" Yang ditanya lebih keheranan mendapat pertanyaan seperti itu. Manda menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Kata Unmesh Pak Nevan jarang cuti. Jadi saya khawatir takut Pak Nevan sakit.""Oh." Nevan mengangguk paham, melanjutkan, "saya sudah bilang kan, saya ada urusan."Karena sepertinya Nevan tidak membahas
"Jo? Are you oke?" Ivy seharusnya marah saat Joshua tiba-tiba memeluknya tanpa permisi. Tapi mendengar lelaki itu terisak Ivy tidak tega. Setidaknya hanya sebuah pelukan mungkin yang bisa memenangkan Joshua. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen banget." Joshua semakin mengeratkan pelukannya. Ia merindukan kekasihnya, ah maksudnya mantan kekasih yang sudah lama tidak ia jumpai. Entah, mungkin alam semesta sudah tidak merestui, ia tidak pernah bertemu dengan Ivy dikesempatan mana pun. Maka saat ia melihat Ivy dari kejauhan. Ia buru-buru menghampiri perempuan itu. Beruntung ini bukan hanya halusinasi dan sekarang ia bisa mendekapnya. "Jo? Kamu gak apa-apa?" Ivy kembali memastikan. Tangisan Joshua terdengar menyakitkan. Joshua melepaskan pelukannya. Wajahnya bersimbah air mata. Ia menatap keruh Ivy. "Aku gak pernah baik-baik aja setelah kamu pergi, Ivy. Aku gak pernah baik-baik aja." Ia menyelipkan rambut Ivy kebelakang telinga. Tidak mengijinkan sehelai rambut pun menutupi wajah yang
"Mau kemana?"Ivy sudah dihadang saat ia baru saja akan bangun dari tempat tidur. Lelaki yang masih mengenakan piyama biru itu membawa nampan berisi dua lapis roti dan susu hangat. "Sarapan dulu. Nanti siangan kita cari makan di luar."Ivy malah mengerutkan dahi. Menengok jam dinding lalu beralih menatap Nevan. "Pak Nevan gak kerja? Ini udah jam delapan. Saya telat!"Lagi, Nevan tidak membiarkan Ivy beranjak dari tempat tidurnya saat Ivy sudah berdiri dan hendak pergi. Nevan mendudukan Ivy dan menyuapkan satu potong roti ke dalam mulut Ivy. "Hari ini saya cuti. Dan kamu izin sakit. Saya sudah urus. Kamu habiskan saja sarapannya. Jangan ngeyel," peringat Nevan. "Tapi kan saya baru beberapa hari kerja. Karyawan lain pasti curiga kalau jsaya ada apa-apa sama Pak Nevan.""Ya memang ada apa-apa?""Pak Nevan!""Kenapa?" ucap Nevan lempeng. Ia sibuk membuka satu persatu kemasan obat untuk Ivy. "Tau, ah!"Nevan mengulum senyum kemudian menyerahkan beberapa butir obat kepada Ivy. "Minum d
Pintu ruangan Ivy diketuk tiga kali. Tapi si penghuni enggan untuk membuka, bahkan barang hanya menyahuti panggilan si pengetuk. Karena Ivy tidak kunjung membuka pintu, Nevan memberanikan diri untuk masuk setelah mengucapkan permisi. Hanya untuk memastikan jika mungkin Ivy sedang tidak ada di ruangannya. Rupanya perempuan itu ada, sibuk menatap intens layar komputer. Mungkin tidak terdengar, pikir Nevan. Lelaki itu lantas masuk dengan dua paperbag yang ia tenteng. Juga duga gelas kopi brand terkenal yang ia apit diantara tangan kiri dan dadanya. "Makan dulu Ivy, kamu belum makan kan?" Nevan mempersiapkan hidangannya untuk Ivy di atas meja. Pun untuk dirinya.Saat hendak menyuapkan makanannya, mata Nevan bertumbuk pada Ivy yang nampak acuh tak acuh dengan kehadirannya. Nevan menyimpan lagi sendoknya. "Ivy kamu gak denger saya?"Nevan baru menyadari ada yang tidak beres. "Ivy?" Sekali lagi ia memanggil. Nevan juga memastikan jika Ivy tidak sedang memakai penyumpal telinga atau sejenis
Pukul setengah satu dini hari Ivy dan Nevan baru berbaring di ranjang kamar Nevan sebab tadi saat Ivy hendak masuk ke dalam kamarnya seekor kecoa terbang hampir mendarat di kepala perempuan itu jika satu detik saja Ivy telat menghindar, walaupun ia berakhir menindih tubuh Nevan. Kini keduanya kalut dengan rasa canggung. Berbaring dengan posisi ujung sama ujung dibatasi sebuah guling ditengah-tengah yang menjadi pembatas wilayah antara keduanya. Sungguh di luar prediksi, mereka akhirnya kembali tidur dalam kamar dan ranjang yang sama setelah kejadian itu. "Besok saya bersihkan biar tidak ada kecoa lagi." Suara Nevan mengudara memecahkan keheningan. Dalam diam Ivy berpikir keras harus merespon apa. Ia masih malu dengan kejadian tadi saat tiba-tiba ia menindih Nevan. Sungguh memalukan. "Kamu sudah tidur?" Nevan menoleh hanya untuk menemukan Ivy yang tengah melamun memandangi langit-langit dengan pandangan gamang. "Saya tidak bisa tidur.""Kamu tidak nyaman tidur di kamar saya?"Ivy
Hampir pukul 10 malam Ivy baru keluar dari ruangannya. Tidak ada yang ia lakukan, hanya bolak balik memeriksa catatan keuangan tahun lalu yang ia minta ke Bu Fifi. Ia hanya sengaja mengulur waktu agar nanti sampainya di rumah Ivy tidak usah repot-repot menghadapai Nevan. Sebelum turun, Ivy melongok di balik tembok memastikan jika Nevan sudah meninggalkan kantor. "Dah balik kayaknya." Berjalan santai sambil meregangkan otot punggungnya yang lumayan pegal menuju lift. Lift turun ke lantai dasar menuju baseman. Perempuan itu celingukan mencari mobil yang ia pinjam dari sahabatnya. "Perasaan di sini," gumamnya. Tak sengaja ia menyenggol mobil lain saat hendak mengambil kunci yang ia jatuhkan. Mobil itu mengeluarkan suara yang mengagetkan nya. "Sumpah jantung gue mau copot!" Si pemilik mobil keluar dengan muka bantalnya. Yang membuat Ivy kembali terkejut untuk kedua kalinya. "Kok lama?" tanyanya dengan mata setengah tertutup. "Pak Nevan ngapain?" "Nunggu kamu." "Hah?"