Putus cinta dari Joshua membuat Ivy stres hingga mabuk-mabukan. Namun ia tidak menyangka karena hal tersebut Ivy harus terpaksa menikah dengan Nevan, sekretaris Joshua. Padahal Ivy dan Nevan belum pernah berinteraksi apalagi saling menaruh hati. Satu hari setelah menikah, Ivy dikejutkan dengan fakta yang menyatakan jika alasan Nevan menikahinya adalah bentuk balas dendam Nevan kepada keluarga Joshua yang sudah lelaki itu pendam selama bertahun-tahun. Tentu saja Ivy sangat amat kecewa sampai menyesali pernikahannya dengan Nevan. Apa alasan Ivy menyetujui pernikahannya dengan Nevan? Dan bagaimanakah kelanjutan pernikahan Ivy dan Nevan? Ikuti kisahnya!!!!
Lihat lebih banyakIvy terbangun dengan kepala yang terasa seperti dihantam palu godam. Matanya masih setengah tertutup, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menyerang penglihatan nya. Dengan tubuh yang terasa berat, ia perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur, merasakan setiap sendi dan ototnya berteriak protes.
Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Mulutnya kering dan berbau tidak sedap, sisa-sisa alkohol dari semalam masih terasa. Dengan mata setengah terpejam, Ivy mengamati kamar yang ditidurinya berantakan—pakaian yang berserakan di lantai, dan—pakaian berserakan? "Shit!!" erangnya tertahan. Ivy membulatkan matanya. Namun ia dapat bernapas dengan lega setelah memeriksa pakaiannya yang masih lengkap menempel di badan kurusnya. Ia melirik kopernya yang bersandar di tembok. "Selamat..., " katanya. Ivy khawatir ia melakukan hal bodoh saat semalam mabuk berat. Sebuah pertanyaan besar muncul dibenaknya, dimanakah sekarang dirinya berada? "Kata siapa kamu selamat?" Pria bertubuh atletis muncul di balik pintu kamar mandi. Hanya mengenakan handuk yang diikat sampai pinggang memamerkan dada bidang dan perut kotak-kotaknya. Rambut basahnya menyempurnakan ketampanan pria itu pagi ini. "Hah?" Ivy sampai dibuat terpanah dengan pesonanya. Matanya bahkan tidak berkedip sampai pria itu tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya, mencolek ujung hidung Ivy dengan telunjuknya yang basah. "Kamu tidak ingat dengan kejadian semalam?" Ivy mencoba menenangkan diri, berusaha mengingat kejadian semalam dan apa maksud pertanyaan pria di hadapannya kini. Namun bukannya teringat dengan kejadian semalam, kepalanya malah semakin terasa pening. Perutnya mendadak mual, terasa diaduk-aduk seakan menuntut dikeluarkan. Dengan sigap pria itu menyodorkan segelas air putih yang sudah ia siapkan kepada Ivy. "Minum dulu," titahnya seraya membantu Ivy memegangi gelas. Ivy meneguknya dengan rakus, berharap bisa mengusir kekeringan dan rasa pahit di mulutnya. Setelah beberapa saat, dia berusaha berdiri, tapi keseimbangannya masih goyah. Ia hampir tersungkur jika pria itu tidak segera menarik pinggangnya. Pandangan mereka saling bersikobok. Sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan, Ivy menegakkan kembali tubuhnya. Kemudian menyambar gagang koper miliknya dengan tergesa. "Mau kemana?" Belum Ivy sampai meraih gagang pintu, tangan kokoh pria itu menahannya. "Saya mau pulang, lepasin tangan saya, Pak." Ivy berusaha menepis tangan pria itu. "Kamu tidak ingin meminta maaf?" Satu alisnya naik sebelah. Urusan kepala pusing dan perut mualnya belum selesai, pria itu sudah menyuruh Ivy untuk minta maaf. Bagaimana Ivy meminta maaf jika kejadian semalam saja tidak ia ingat sedikitpun? Tapi karena Ivy tidak mau urusannya semakin runyam, ia menuruti perkataan pria itu, "Maaf ya, Pak Nevan. Makasih atas tumpangan nginepnya. Saya pulang dulu!" Ivy ngacir sebelum pria bernama Nevan itu menahannya lagi. **** Di tengah koridor rumah sakit yang mulai ramai pengunjung, Ivy berjalan perlahan sambil menyeret kopernya yang berat. Suara roda koper yang berdecit menjadi satu-satunya suara yang mengiringi langkahnya. Napasnya terdengar teratur namun berat, menandakan kelelahan yang terasa di setiap inci tubuhnya. Ivy berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan ingatan yang berserakan di kepalanya. Kepalanya terasa berat dan pusing, seolah-olah ada kabut tebal yang menghalangi pikirannya. Dia menatap lantai mengkilap, mencoba memaksa diri mengingat apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Pak Nevan semalam. "Apa gue berbuat macem-macem?" Ia menggeleng. "Ah masa gue yang macem-macem si?" elaknya kemudian. Ingatan tentang semalam samar-samar muncul, seperti potongan puzzle yang hilang. Dia ingat suara bising musik Dj yang memekakkan telinganya, lampu-lampu club yang menyakitkan mata, dan gelak tawa yang mengelilinginya. Namun, detail-detail penting tetap tersembunyi di balik kabut ingatannya. "Yang gue inget gue mabuk, terus gak sengaja ketemu Pak Nevan di jalan. Terus—" Ivy mengerang. "Terus gue ngapain lagi?!" Ivy kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba, secercah ingatan muncul—wajah Nevan yang tersenyum asimetris, kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhatian, sebuah kecupan ganas yang mendarat bertubi-tubi tanpa ampun. Mata Ivy melotot sempurna. Ia menggelengkan kepalanya. "Gak mungkin gak mungkin. Ini pasti efek gue semalem mabuk. Gak mungkin Pak Nevan yang kalem dan berwibawa itu berbuat yang enggak-enggak sama gue." Ivy mempercepat langkah pendeknya, berharap bisa menghilangkan kilasan ingatannya barusan. Akhrinya Ivy sampai di sebuah kamar rawat inap VVIV. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya langsung tertuju pada ranjang di sudut ruangan, tempat penghuni ruangan itu berbaring. "Masih tidur," katanya pelan. Ivy menahan napas, berharap tidak membangunkan penghuni ruangan itu. Langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang dingin dan mengkilap. Setiap derit roda koper dan desah napasnya terasa begitu keras di telinganya sendiri. Ia berjalan mendekat, dengan hati-hati menghindari kursi dan meja kecil yang mungkin bisa terantuk. Namun, saat ia semakin dekat, Ivy menyadari sesuatu yang membuatnya terhenti. Sepasang mata terbuka menatapnya dari ranjang. Penghuni ruangan itu sudah bangun. Wajahnya menunjukkan campuran antara keheranan dan ketenangan, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Ivy. Ivy membeku sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Papa udah bangun?" tanyanya, lantas duduk di kursi samping ranjang sosok pria yang sangat berjasa akan hidupnya itu. Penghuni ruangan itu, seorang pria dengan tatapan lembut, menggangguk pelan. "Sudah, papa udah bangun dari tadi. Semalaman papa gak bisa tidur. Mungkin efek kemarin cuci darah," jawabnya, suaranya serak namun tenang. Dengan perasaan campur aduk antara resah dan takut, Ivy melepaskan pegangannya pada koper dan membiarkan beban yang ia bawa terasa sedikit lebih ringan. "Papa udah sarapan?" "Belum, Nak. Sebentar lagi paling suster anterin sarapannya," ucap Galih—papanya Ivy "Loh, Nak kenapa pagi-pagi begini bawa-bawa koper?" Ia baru sadar jika putrinya itu membawa koper. Jantung Ivy kembali berdegup kencang. Seharusnya, sebelum ia masuk ke ruangan papanya ia menitipkan kopernya lebih dulu agar papanya tidak bertanya seperti barusan. Ia tidak mungkin mengatakan jika dirinya di usir dari kontrakan sebab tidak sanggup lagi membayar sewa. Semua tabungan terkuras habis untuk membayar semesteran adik juga perawatan papanya sekarang. "Enggak, Pa. Aku lupa bilang ya sama papa kalau kita akan pindah kontrakan. Yang lama terlalu jauh sama tempat kerja aku," bohong Ivy. "Bukannya udah deket ya, Nak? Kenapa pindah lagi? Ada masalah?" Galih nampak ragu. Ivy kembali gugup. Keringat dingin membasahi dahinya. "Kurang deket itu, Pa. Kalo kontrakan yang sekarang cuma lima langkah udah sampe ke kantor hehe." Ia meremas ujung bajunya. "Ngawur kamu. Mana ada kontrakan yang cuma lima langkah dari kantormu. Wong di samping kantormu aja apartemen-apartemen tinggi. Mana ada kontrakan di sana!" "Ada loh, Pa. Itu agak nyerempet pinggirannya." Lagi, Ivy memamerkan cengirannya. Meski nampak ragu, Galih berusaha percaya dengan putri sulungnya. "Jangan-jangan kamu mau pindah ke apartemen pacarmu, ya? Papa udah lama gak ketemu Joshua. Sehat dia? Kabarnya baik?" Nama Joshua disebut, mulut Ivy mendadak kelu. Papanya memang sudah dekat dengan Joshua, yang dia kenal sebagai calon menantunya kelak. Maka tidak heran jika papanya itu bertanya bagaimana kabar Joshua. Tapi setelah apa yang terjadi, bagaimana Ivy menceritakan semuanya kepada sang papa? "Nak? Kamu baik-baik aja kan?" Suara lembut papanya berhasil menarik kesadaran Ivy dari lamunan. "Joshua.... "Langit sore itu memudar perlahan, seakan ikut kehilangan cahaya setelah satu jiwa berpulang. Awan menggantung berat di atas pemakaman, dan gerimis turun seperti air mata langit—pelan, tapi terus-menerus. Di antara payung-payung hitam yang berderet rapat, suara doa dan isak tangis berpadu menjadi satu, membentuk suasana yang nyaris tak tertahankan.Ivy dan adiknya tidak menangis. Hanya saja ia merasa sebagian langitnya runtuh. Ivy dirangkul Nevan sementara adik Ivy berada di satu payung bersama dengan Qaiz menyaksikan prosesi pemakaman papanya. Pemakaman dihadiri juga teman-teman papanya Ivy. Juga tetangga rumah dan dan teman-teman dekat adiknya Ivy.Di ujung liang lahat, Ivy berdiri kaku, tubuhnya gemetar meski jaket tebal membungkusnya. Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih—bunga yang papanya tanam dihalaman rumah—yang kini tampak kusam oleh hujan. Matanya merah, tapi tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Semua sudah kering, seperti jiwanya yang kosong.Ketika jasad papa Ivy
Ruangan yang dipenuhi cahaya putih dingin terasa lebih menyeramkan dibandingkan dengan kamar mayat. Bau obat-obatan menusuk, bercampur dengan suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan—ritmis, tapi rapuh. Tirai tipis di sekeliling ranjang bergoyang lembut diterpa hembusan AC. Di tengahnya, seorang lelaki tua terbaring lemah, tubuhnya nyaris tertutup oleh selimut rumah sakit, wajahnya pucat dan berpeluh.Selang-selang menempel di lengan, di hidung, di dada—seolah-olah setiap helaan napasnya kini bukan lagi miliknya sendiri, tapi pemberian dari mesin-mesin di sekitarnya. Di sisi kakan dan kiri ranjang, kedua putrinya duduk dengan tangan menggenggam erat tangan papanya. Jemarinya gemetar, bibirnya terus bergetar mengucap doa yang tak terdengar. Kini doanya bukan lagi mengharapkan pria yang sangat mereka sayangi itu sembuh, melainkan agar papanya tenang setelah semua penderitaan yang mengikutinya selama ini.“Bu, waktunya sudah hampir tiba,” ucap seorang perawat dengan suara pelan, m
Ruang ICU terasa seperti dunia yang berhenti di antara hidup dan mati. Suhu dingin dari pendingin ruangan menyelimuti kulit, bercampur dengan aroma tajam antiseptik yang menusuk hidung. Lampu putih menggantung tanpa belas kasih, menyoroti wajah-wajah pucat yang tertidur dalam diam yang berat.Suara mesin monitor menjadi satu-satunya irama—seolah menandai detak waktu yang enggan berjalan. Tabung oksigen mendesis pelan, selang-selang menelusuri tubuh-tubuh rapuh di ranjang logam. Tirai-tirai tipis di antara ranjang bergoyang perlahan tiap kali perawat lewat, langkahnya cepat tapi hati-hati, membawa catatan dan harapan dalam diam.Di sudut, ada adik Ivy yang duduk dengan tangan terlipat, mata mereka tak beranjak dari angka-angka di layar monitor. Ivy menunduk, berdoa dalam bisu, sementara Qaiz sekadar memandangi wajah papanya Ivy—yang tak bergerak, namun masih di sini.Segalanya terasa hening, namun sarat dengan gema ketakutan dan harapan yang menegang di udara. Di ruang itu, bahkan napa
Cahaya matahari sudah menembus kaca lobi kantornya, menandakan jika pagi sudah mulai berganti siang. Dugaannya salah total. Ivy tidak masuk kantor hari ini. Sembari berjalan menuju ruangannya, karena ia tidak mungkin terus menunggu Ivy sampai sore atau pekerjaannya tidak akan selesai satu pun, Nevan membawa kekecewaan yang amat besar. Otaknya terus bertanya-tanya apakah Ivy merasa permasalahannya sebesar itu sampai Ivy tidak masuk kantor? Kemungkinan besar istrinya itu tidak sudi melihatnya.Nevan baru keluar dari lift dan langsung disuguhkan dengan keberadaan Unmesh. Temannya itu sepertinya habis mengambil kopi di pantry.“Baru dateng?” tanyanya menyamai langkah Nevan.“Dari tadi, cuman gue tunggu Ivy dulu,” jawab Nevan jujur.Melihat wajah Nevan masam Unmesh dengan mudah menebak. “Lo ada masalah lagi sama dia?”“Setiap rumah tangga pasti selalu ada aja ujiannya. Dan itu sangat wajar.” Semenjak Unmesh selalu menyudutkan Ivy, Nevan sekarang jadi lebih hati-hati jika berbicara dengan
Nevan mengusap wajahnya. Ia tercenung di atas ranjang. Ia perlu menetralkan pikirannya sebelum ia menemui Ivy dan mengajak istrinya itu bicara. Setelah dirasa cukup, Nevan keluar dari kamar. Tapi Ivy tidak ada di ruang tv, Nevan bergegas menuju dapur dan tidak ada tanda tanpa keberadaan Ivy. “Kemana Ivy?” gumamnya.Kakinya melangkah ke halaman. Ia memutari rumahnya namun Ivy tidak kunjung ia temukan. Ia kembali masuk memeriksa rak sepatu. Benar saja sendal yang selalu Ivy pakai tidak ada. “Dia pergi kemana?” Ia menghela napas.Sikap Ivy yang seperti ini yang Nevan kurang sukai dari, selalu pergi saat ada masalah. Padahal mereka hanya perlu bicara dan menyampaikan apa yang tidak mereka sukai satu sama lain. Bukan menghindar membiarkan kesalahpahaman diantara mereka semakin memperumit masalah.Pria itu menghubungi Ivy beberapa kali, pesan Ivy yang tidak sempat ia buka akhirnya ia baca satu persatu. Ia merasa bersalah untuk hal ini. Nevan lantas mengirim pesan kepada Ivy berharap Ivy su
Bangun tidur Nevan sudah tidak ada di rumah. Ini kali pertama pertengkaran mereka melebihi pagi setelah sepakat saling memaafkan satu sama lain. Di meja makan sudah tersedia roti panggang dan sepucuk surat bertuliskan,Aku ke kantor duluannya. Jangan lupa sarapan.Ivy jadi merasa bersalah. Ia lantas mengunyah roti panggang yang sudah dingin itu. “Harusnya gue semalam gak kebawa emosi juga,” kata Ivy.Setelah itu Ivy bergegas siap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia harus meminta maaf kepada Nevan. Seperti kata pepatah jangan terlalu berharap, di kantor Ivy tidak bertemu dengan Nevan. Bolak-balik ia datang ke ruangannya suaminya itu tidak ada. Pesan yang kemarin yang ia kirim bahkan belum pria itu lihat sama sekali. Ivy juga tidak sudi jika harus bertanya kepada Manda. Atau ia akan hipertensi.“Nevan sudah makan siang belum ya?” gumam Ivy. Ia duduk di kantin menyantap makan siang seorang diri.Setelah selesai Ivy berinisiatif membawakan makan siang ke ruangan Nevan walaupun dia belum j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen