Usai menyantap nasi goreng di pinggir jalan, Nala dan Bastian pun kembali ke rumah dengan perut terisi penuh."Om, besok masih libur, kan?"Bastian yang ditodong dengan pertanyaan seperti itupun lekas menoleh ke arah Nala dan menganggukkan kepalanya singkat. "Iya, kenapa?""Om masih ngerasa bersalah, nggak? Gue masih belum maafin soalnya. Makanan yang Om buat nggak enak."Ujung bibir Bastian tertarik, terdengar lucu di telinganya. "Iya, maaf. Jadi, saya harus gimana biar dimaafin, hm?""Emmm ... besok tuh aku pengen produktif. Kayak yang pagi-pagi work out, terus sambung masak sesuatu, nonton, dan yang lain-lain gitu.""Iya, boleh. Sesenengnya kamu aja, nikmati liburnya."Mendengar jawaban yang sama sekali tak diinginkannya itu lekas membuat Nala melirik tajam ke arah Bastian, berdecak dengan jelas hingga membuat Bastian kembali menoleh sekilas ke arahnya. "Hihhh. Gue ngomong gitu tuh ya maksudnya temenin, Om. Anggap aja sebagai bentuk permintaan maaf." Dirogohnya dengan kasar ponseln
Hari ini Bastian benar-benar menepati janjinya, dimulai dari jam enam pagi, Nala sudah bangun dan menggedor-gedor pintu kamar Bastian cukup kuat. Membangunkan pria itu dengan satu-satunya cara yang bisa dilakukan Nala.Agak terkejut sebenarnya saat melihat Bastian yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada datang menghampirinya untuk membukakan pintu. Bagaimana tidak kaget? Perutnya itu loh, kotak-kotak mantap.Work out yang keduanya lakukan salah satunya adalah berlari kecil di sekitaran rumah dan berlanjut dengan alat-alat gym milik Bastian yang ada di belakang."Capek, Om," keluh Nala dengan keringat deras mengucur dari keningnya."Iya, udah kok." Bastian pun bangkit dan meninggalkan alat terakhirnya, menghampiri Nala dan menyidorkan segelas air putih. "nanti lanjut apa acaranya?"Tak langsung menjawab, napas Nala masih begitu memburu. Dengan santainya Bastian meraih handuk kecil dan digunakannya untuk menyeka keringat Nala, perhatian kecil dan membuat Nala kembali ters
4 bulan kemudian ...."Om, ini gue bawain sekalian buat makan siang. Nanti ada rencana nongkrong sama temen-temen."Bastian yang tengah mengunyah makanan itupun lekas menoleh ke arah Nala. "Jam berapa pulangnya?""Ya, nggak tau juga. Btw, Om tau nggak hari ini tuh hari apa?" tanya Nala sembari mendudukkan bokongnya di samping Bastian, meraih segelas jus apel buatannya dan lekas menenggaknya."Selasa."Ya, memang benar sih ini hari selasa, tapi maksud Nala tuh bukan yang begini. Ada keheningan setelahnya, Nala sendiri tak lagi menimpali jawaban Bastian barusan. Ujung netranya melirik ke arah ponselnya, belum sempat menyala karena pesan masuk, Nala sudah terlebih dahulu meraihnya."Jangan terlalu malem pulangnya." Nala mendengar ucapan itu, tapi enggan merespon, fokusnya kini hanya tertuju pada sebuah pesan yang baru masuk.Tangan kanannya meraih tote bag miliknya dan lekas dimasukkan ponselnya tersebut ke dalamnya. "Ayo, Om. Nanti nggak usah di jemput.""Iya, nggak. Ada kerjaan di luar
"Kenapa diem aja? Hah?" Ujung bibir Bastian tertarik, kedua tangan besarnya diletakkan pada lengan Nala seraya meremasnya kuat-kuat. Tatapannya terlihat begitu nyalang dengan rahang mengeras, bahkan suara tubrukan antar giginya saja terdengar jelas di telinga Nala.Sakit, sakit sekali rasanya. Remasan tangan besar pada lengannya itu menciptakan rasa perih, Nala yakin sepenuhnya jika selepas ini lengannya pasti akan memar. Namun, ketimbang rasa sakit karena remasan kuat itu--rasa sakit pada hatinya jauh lebih menyesakkan.Meskipun Nala sudah susah payah menahan tangisnya dengan meremas kuat tangannya sendiri, pada akhirnya air mata itu tetap jatuh membasahi pipinya. "Kenapa nggak tanya baik-baik dulu?"Bastian terkekeh pelan, menjauhkan kedua tangannya dari tubuh Nala dan membuang pandangannya ke arah lain. "Apa yang musti ditanyain dulu? Yang gue lihat udah jelas. Lo nggak pulang semalaman, terus pulang sama cowol lain dan...." Bastian memajukan wajahnya, mengendus sisa-sisa bau alkoh
"Kenapa? Nggak niat ya minta maafnya?" Kata-kata Nala kembali terdengar kala hampir tiga menit tak ada jawaban.Bastian sendiri masih dengan wajah memerahnya, sejak tadi gerak-geriknya tampak gelisah. Sepertinya laki-laki itu tengah memikirkan banyak hal di kepalanya. Apapun itu, Nala tidak perduli. Anggaplah ia egois, tapi ini adalah salah satu dari bentuk perjuangannya.Tak bisa tersenyum, yang ada hanyalah senyuman ke bawah. Nala terus menatap pria di depannya ini, masih mampu untuk menunggu jawaban yang akan diterimanya. Entah apa jawaban dari Bastian, yang jelas ia harus siap walaupun kecewa.Bastian menarik nafas panjang seraya membusungkan dadanya, sebelum pandangannya bertemu dengan Nala. Setelah dipikir-pikir permintaan Nala tak salah, malah dirinya sendiri yang kebangetan. Tentu saja ia tau pernikahan ini tak mudah untuknya dan Nala, terlebih bagi Nala sendiri yang harus menikah di usai muda dalam kondisi terpaksa. Tapi lihatlah, wanita itu bahkan jauh lebih berani dari pada
Kurang dari dua jam, semua barang-barang milik Nala sudah tertata rapi di kamar Bastian--Kamar keduanya mulai detik ini, kecuali perlengkapan kampus yang sengaja ditinggal di kamar lama--sengaja diubah menjadi ruang belajar Nala."Woahhh." Nala mengerjabkan matanya beberapa kali, meskipun tak pandai masak, ternyata Bastian sangat andal dalam hal tata menata. Namun, tetap saja masih banyak ruang yang kosong, mengingat seberapa besar kamar ini.Ujung netra Nala melirik ke arah Bastian yang tengah menata vas bunga di meja pojok, hanya bunga hiasan agar ruangan ini terkesan lebih hidup."Nanti malam mau makan di luar?" Bastian membalikkan tubuhnya, melangkahkan kaki ke arah Nala yang kini tengah duduk manis di atas ranjang.Semakin Bastian mendekat padanya, maka Nala pun semakin mendongak agar netranya bisa menangkap wajah laki-laki itu. Keningnya berkerut. "Bukannya tadi Om pergi, ya? Gue pikir Om belanja atau apa gitu, nggak, ya?"Bastian tersenyum tipis sebelum menggelengkan kepalanya
"Ayo, Om." Desak Nala yang rupanya tak memberi ampun, tak memberi jeda untuk Bastian berpikir.Karena desakan Nala itulah yang membuat Bastian lekas menganggukkan kepalanya samar, memiringkan tubuhnya ke arah Nala. Tangan besar itu terulur untuk menjangkau tengkuk Nala, memastikan keduanya dalam posisi yang baik. Melihat Nala yang memejamkan mata membuat Bastian tersenyum, ditariknya tengkuk Nala agar semakin dekat dengannya.Sentuhan benda kenyal dan lembut itu membuat tubuh Nala seperti disengat listrik bertegangan tinggi, ini adalah kali pertama bibirnya dijamah oleh seseorang. Kebahagiaan Nala tentu saja berlipat ganda, merasa dirinya berhasil menjaga kehormatannya, dan tentu saja merasa bangga karena yang pertama melakukan adegan intim dengannya adalah laki-laki sah dalam hidupnya.Lumatan pelan itu mulai terasa, tentu saja pemimpinnya adalah Bastian. Tak perlu susah payah bagi Bastian untuk menjamah masuk ke dalam mulut Nala--sebab perempuan itu sendiri yang menyambut kedatangan
"Udah, ya, Wa. Mungkin emang ini jalan terbaik buat kalian." Usapan lembut Nala tak berhenti membelai punggung laki-laki yang masih terisak tersebut. "kan masih bisa ketemu juga."Di dalam dekap Nala--Dewa menyelesaikan luapan emosinya yang ditahannya sejak semalam dan belum sepenuhnya keluar. Air matanya masih ingin mengalir, dadanya masih terasa sesak. Bahkan ia meruntuhkan harga dirinya sendiri, menunjukkan sisi lemahnya di depan wanita yang masih ada dalam hatinya."Jangan sedih-sedih lagi, ya. Kasihan Mama kamu kalau masih dipaksa buat bertahan, makin sakit dianya. Kalau ini sakitnya mungkin cuma diawal aja, nanti bakalan lebih baik kedepannya. Nala menghela nafas kasar, emosinya kembali memuncak mengingat cerita Dewa tadi. "emang bajingan banget bapak lo, Wa. Ngewe doang kerjaannya, moga membusuk deh tu otongnya."Perlahan Dewa mulai menjauhkan wajahnya, agaknya ia sudah siap memperlihatkan wajah berantakannya. Melihat itu tangan Nala pun lekas terulur untuk menyeka sisa air mat