Sebuah kecelakaan besar telah merubah jalan hidup Nala. Ia terpaksa menjalani pernikahan yang tak dia inginkan demi membiayai sang mama yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Nala tak mampu menolak, karena hanya laki-laki asing itulah yang bisa membantunya. Pernikahan yang pada awalnya dilandasi dengan keterpaksaan demi urusan pribadi masing-masing itupun lambat laun semakin subur oleh cinta yang perlahan tumbuh diantara keduanya. Meskipun begitu, ada yang aneh dengan pernikahan ini. Sesuatu yang disembunyikan Bastian, membuat Nala diam-diam mencari tau secara mendalam tentang suaminya. Rasa penasaran Nala pada akhirnya terjawab, mengenai alasan sesungguhnya laki-laki bernama Bastian Wilantara itu menikahinya. Haruskah ia menceraikan suaminya karena telah menyembunyikan fakta menyakitkan tersebut?
Lihat lebih banyak"Gimana Nala bayarnya, Ma?"
Bayangan jika dirinya tak bisa membayar biaya rumah sakit mamanya, benar-benar membuat Nala takut. Jika ia tak bisa membayar biaya rumah sakit, maka sama saja dengan ia membunuh sang Mama, 'kan? "Tuhan ... tolong bantu hambamu ini." Buliran air matanya menggenang di pelupuk mata.Pemandangan mamanya yang tengah berbaring dengan berbagai alat bantu dari balik kaca panjang pintu itupun semakin buram, sampai pada akhirnya tangisnya kembali tak terbendung. Ia terisak, tanpa suara sebab tadi ia sudah banyak menangis dan meraung.Suara bariton tiba-tiba menyentak Nala yang tengah terisak hebat itu."Biar saya yang bayar biaya rumah sakit Mama kamu!"Pandangan mata Nala langsung beralih ke arah sumber suara dengan kening berkerut. “Maaf?” Ia mengerutkan dahi, lalu menghapus lelehan air mata di pipi dengan cepat.“Saya cuma mau nolong kamu.”Pria dengan tinggi menjulang dan pesona rupawan itu berkata dengan ekspresi dingin.“Ya Tuhan, apa lagi ini?” Nala memejamkan matanya sejenak. Ia berpikir, pria ini tengah mencoba mengerjainya. “Kalau lo mau bercanda, please … ini bukan waktu yang tepat.”“Saya tidak bercanda. Saya akan bayar biaya rumah sakit Mama kamu sekarang juga,” katanya sambil menatap Nala dengan lekat. "Asal kamu mau nikah dengan saya."Nala mendengus. Pria asing, muncul di hadapannya berniat menolong saja sudah begitu aneh menurutnya. Apalagi jika ia menawarkan sebuah syarat seperti di novel-novel? Lebih aneh lagi.“Udah ya, Om, gue nggak punya waktu bercanda,” kata Nala dengan nada frustrasinya. "Tolong, jangan ganggu gue.”Bukannya pergi, laki-laki itu menggelengkan kepala sebelum kemudian menarik bagian atas celananya dan berlutut di samping Nala. "Saya nggak lagi bercanda. Saya denger kamu butuh uang buat biaya rumah sakit Mama kamu, 'kan?"Meski masih bingung dengan kebetulan ini, tetapi Nala tiba-tiba mendapat secercah cahaya. Apa mungkin ini jawaban dari do'a yang baru saja dilangitkan olehnya? Apa mungkin Tuhan mengabulkan do'anya secepat ini?"Ah, sial!" Nala memekik pelan, tak percaya dengan apa yang dihadapinya dalam situasi seperti ini. "Lo orang gila dari belahan bumi mana, sih? Nggak ngotak banget kalau ngomong. Apa lo bilang tadi? Nikah?” Dada wanita itu naik turun, emosinya mulai naik karena merasa dipermainkan. “Wah ... parah, lo ini bujang lapuk apa gimana sih? Bisa-bisanya ngajak sembarang orang nikah, udah sange, ya? Noh, purel ada di mana-mana tinggal comot aja nggak perlu sampe nikah-nikah, tinggal kasih duit. Beres."Rasanya ingin sekali Nala menendang wajah laki-laki asing di depannya ini, tapi sejak kapan sih dirinya bisa sekasar itu? Mungkin, ini karena ia sudah terlalu kesal dengan ke-randoman pria itu. Padahal, sebenarnya Nala adalah gadis yang lembut. Sedari kecil mamanya selalu mengajarkan untuk tidak melakukan kekerasan."Nggak sange, astaga. Saya cuma mau bantu kamu. Anggap aja saya kasihan lihat kamu."Nala yang baru akan menjauh dengan mendorong kursi rodanya sendiri. Namun, laki-laki itu menghentikan pergerakannya. Ia memandang laki-laki itu sejenak. Cukup tampan. Badannya juga bagus, pakaiannya rapi, tampak seperti orang kaya. Namun, otaknya yang semula lurus, kali ini tidak bisa untuk berpikiran tidak buruk pada laki-laki itu."Om boti, ya? Mau nikahin saya cuma buat nutupin aib, Om?" kata Nala sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah laki-laki itu.Jaman sekarang memang lagi musim spesies seperti ini, 'kan? Pria tampan menikahi wanita hanya sebagai status, untuk menutupi kebelokannya. Tampan sih, tapi sukanya sama yang tampan juga!Laki-laki itu langsung mengusap wajahnya dengan kasar, membuang pandangannya ke arah lain, lalu menarik napasnya panjang. Ia harus menahan kekesalannya, bertindak sesuai usianya. “Apa yang salah dengan saya?” Laki-laki itu terdengar lelah menanggapi pikiran buruk Nala padanya. “Semua tuduhan kamu, tidak ada yang benar.” Ia memandang wanita di kursi roda itu dengan tatapan penuh. "Saya niatnya memang mau nolong kamu. Sebagai balasannya, kamu nikah sama saya.”Nala memandang lekat-lekat wajah pria asing di depannya ini, sebelum berkata, "Om cari pembantu? Atau mau nikahin saya habis itu saya dijual sebagai ganti uang untuk bayar biaya rumah sakit?"Tak ada sesuatu positif yang bisa dilihat Nala dari laki-laki di depannya ini. Lagi pula, coba pikirkan, memangnya di jaman serba duit ini ada yang mau memberikan uang secara cuma-cuma? Tidak, manusia baik sudah punah di muka bumi ini."Dengerin saya baik-baik," ucapnya dengan tegas, raut wajahnya berubah serius. Tangan besar itu langsung menarik kursi roda Nala, membuat yang tengah duduk di atasnya bisa sepenuhnya melihat ke pria itu. " Saya bukan orang jahat. Bukan juga mau memperbudak kamu, dan apalagi tadi? Boti? Astaga ... saya nggak tau kenapa kamu bisa nyimpulin itu semua dengan gampangnya. Saya di sini cuma niat bantu kamu, kamu—""Kenapa musti nikah?" potong Nala cepat, setelahnya ia mendelik tajam. Dari pandangan sekilasnya setelah dilihat beberapa detik, memang tak nampak adanya raut wajah kriminal dari orang di depannya ini. Tapi tetap saja, ia tak boleh percaya begitu saja pada orang asing. Seperti pepatah 'Jangan menilai orang dari cover-nya saja', bisa saja orang di depannya ini adalah monster berwajah polos.Yang ditanya langsung berdeham, mengubah mimik wajahnya agar tak seserius tadi. "Saya punya masalah, kamu juga punya masalah. Semua orang di dunia punya masalah. Di sini, permasalahan saya soal pernikahan. Anggap saja, pernikahan kita nanti itu cuma sebagai formalitas."Mata Nala kembali memicing. "Om Bisex, ya?" Lagi-lagi hanya kecurigaan dan penilaian buruk yang ada di otaknya tentang pria itu.Telinga dan wajah pria itu memerah, malu mendengar tuduhan yang diutarakan padanya barusan. Merasa wanita di hadapannya ini sulit menerima niat baiknya, pria itu mengembuskan napas panjang.“Ini adalah penawaran terakhir saya,” pria itu berdiri dari posisinya. Ia mulai lelah meladeni dan meyakinkan wanita di hadapannya. “Ini juga kesempatan terakhir kamu untuk menyelamatkan mamamu. Apa kamu tidak memikirkannya? Dari mana kamu bisa dapat uang segitu banyak dengan cepat? Pikirkan baik-baik.”Deggg!Saat pria itu membawa serta mamanya dalam perbincangan mereka, otak Nala yang semula dipenuhi pikiran buruk, tiba-tiba membeku. Bayangan mamanya yang terbaring lemah, juga masa depannya yang mungkin akan buruk jika tak bisa mendapatkan uang 200 juga secepat mungkin, kini menguasai pikirannya.Tidak, Nala tidak mau sesuatu yang buruk menimpa mamanya. Sepersekian detik, ia mengerjap. Tawaran dari pria asing itu agaknya memang satu-satunya solusi.“T-tunggu, Om!” Nala berteriak, menghentikan gerakan pria asing itu yang sudah siap-siap melangkah pergi dari hadapannya. “Sepertinya, saya berubah pikiran.”Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen