Share

Sarapan Pertama

Hah, suasana di meja makan begitu tegang. Dua wanita berbeda usia itu saling melemparkan tatapan ganas, seakan-akan siap untuk menerkam lawannya kapan saja. Sementara Bastian yang baru bangun dari tidurnya masih mengeluh pusing. Pasalnya, tiba-tiba Nala menggedor-gedor pintu kamarnya hingga membuatnya terlonjak kaget.

"Ya ampun, cuma masak mie doang? Bisa-bisanya punya Istri kok begini."

Nala diam, mengamati bagaimana lawan bicaranya ini menyudutkannya, sembari menunggu respon dari laki-laki yang baru menikahinya tersebut. Apakah akan membelanya?

"Di dapur nggak ada apa-apa yang bisa dimasak, belum belanja. Aku lupa," sahut Bastian yang membuat Nala langsung tersenyum senang mendengarnya. "kamu juga ngapain pagi-pagi ke sini? Kapan pulangnya?"

"Semalem. Jahat banget kamu tuh!"

Bastian pusing. Kepalanya terasa pusing karena Sonya dan juga sisa-sisa minumnya semalam. Diliriknya ke arah Nala yang tampak diam saja menyimak obrolannya dengan Sonya. "Nggak kuliah?"

Brakkk

"Lah, iya! Kok bisa lupa." Panik, Nala panik bukan main. Ia langsung bangkit dari posisi duduknya, meraih tote bag miliknya dengan kasar. "aku berangkat dulu, udah telat."

Srggppp

Gerakan Nala terhenti saat tangannya dicekal oleh seseorang, netranya memicing melihat tangan besar tersebut. "Kenapa?"

"Ayo, saya anter." Bastian langsung bangkit dari posisi duduknya, sebelum mengalihkan pandangan ke arah Sonya. "kita bicara setelah ini,"

***

Di dalam mobil hanya ada keheningan yang terjadi diantara keduanya. Nala sendiri masih canggung dengan orang asing di sampingnya saat ini, sedari tadi ia hanya menunduk atau mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.

"Kamu biasanya naik apa kalau kuliah?"

Nala mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. "Motor."

"Mau dibelikan motor nggak? Biar enak nggak pusing-pusing lagi."

"Om?" Nala memicing memandang laki-laki di sampingnya ini. Sementara yang tengah diajaknya bicara hanya menoleh sekilas ke arahnya. Masih harus fokus dengan jalanan di depannya. "itu tadi pacar Om, ya?"

Tak ada raut wajah terkejut yang tertangkap indera penglihatan Nala. Bukankah itu membuktikan kalau tebakannya benar? Ah, lagi pula wanita itu juga yang mengakuinya sendiri.

"Om, boleh nggak nanti aku bicara?"

"Soal apa?"

"Kita," jawab Nala ragu-ragu.

Lampu merah menyala, membuat mobil yang ditumpangi Nala harus berhenti. Rungunya sejak tadi siap menunggu jawaban dari suaminya, tapi hanya ada keheningan. Ditariknya nafasnya perlahan, ia tau tak ada sesuatu yang benar-benar mudah. Baru sehari setelah pernikahan, sudah datang sosok lain di rumah tangga jadi-jadian ini.

"Om nggak budeg, 'kan?"

Bastian terkejut. Perempuan di sampingnya ini benar-benar frontal. "Astaga. Kamu ngomongnya kenapa jelek banget sih?"

"Ya abisnya diajak ngomong nggak nyaut-nyaut." Nala masih setia memandang sinis laki-laki di sampingnya ini, bahkan setelah mobil kembali berjalan. "Om punya niat apa? Om kok malah bawa pacar Om ke rumah? Ya ... bukan apa-apa nih ya maksudnya, tapi kan ...."

"Nggak. Dia nanti pergi, nggak tinggal sama kita," sahut Bastian cepat. Telinganya gatal, pagi-pagi sudah mendapat tuduhan.

Nala ini tak bodoh. Ia bahkan tau dengan betul wanita tadi menatap suaminya dengan perasaan suka. Wah, tiba-tiba saja ide gila muncul. Haruskah ia merealisasikannya? Itung-itung untuk memberi pelajaran pada wanita yang sudah merusak mood-nya pagi-pagi.

"Om, aku laper."

Bastian terkejut, ia juga baru teringat perempuan kecil di sampingnya kini belum makan apapun. "Aduh, gimana, ya? Apa aku beliin makanan buat kamu makan di kampus aja?"

Nala diam, otaknya memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia menarik garis senyum di bibirnya. "Om, gimana kalau kita cari sarapan dulu, tadi kan juga belum sarapan."

"Kuliah kamu gimana?"

"Hari ini bolos aja. Aku belum pernah bolos juga kok, jadi masih aman. Anggap aja ini sebagai cara pendekatan kita untuk yang pertama kali."

Setelah menimang-nimang, laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Tak apa bukan? Anggap saja sebagai permintaan maaf karena ucapannya semalam. Mobil yang dikemudikannya melaju semakin cepat, sebelum akhirnya berhenti di salah satu restoran yang menjadi tempat favoritnya.

Kening Nala berkerut saat menyadari di mana kini ia berada. Tak salah. Kepalanya langsung berputar menghadap laki-laki di sampingnya saat ini, ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. "Om suka tempat ini juga? Ini tempat favorit aku sama Mama. Sup ayamnya enak banget."

"Kam--" Belum juga ucapannya selesai, Nala langsung melepaskan sabuk pengaman yang melilit di tubuhnya tadi dengan kasar, lalu keluar begitu saja dari mobil.  Bastian hanya bisa menggelengkan kepalanya, agaknya perempuan yang telah resmi menjadi istrinya itu termasuk dalam golongan spesies bar-bar.

Keduanya duduk saling berhadapan di salah satu meja yang dekat dengan jendela, tentu saja ini atas pilihan Nala. Setelah menunggu hampir 10 menit, makanan yang keduanya pesan pun datang. Pramusaji menyajikan makanan dan menatanya dengan rapi, sebelum akhirnya pamit undur diri setelah meninggalkan senyuman santun.

"Kamu suka sup ayam, ya?" tanya Bastian saat Nala langsung menyerang semangkuk sup yang masih mengepulkan asap tipis.

Nala langsung menganggukkan kepalanya, tanpa mengalihkan pandangan pada lawan bicaranya saat ini. "Suka. Suka banget."

Bastian menarik garis senyum tipis di bibirnya, sebelum tangannya terulur untuk meraih sendok dan garpu. Keduanya mulai menikmati sarapan bersama, tak ada obrolan yang terjadi sampai pada akhirnya--

"Om?"

"Hmm?"

"Om sukanya sama yang montok dan semok, 'ya?"

Uhukkk

Bastian langsung tersedak kuah sup ayam yang baru saja masuk ke dalam mulutnya, tak siap dengan pertanyaan yang baru di dengarnya tersebut. Dengan kasar ia langsung meraih segelas air dan menenggaknya hingga hampir setengahnya.

Pandangannya beralih menatap sekitar. Rupanya saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian orang-orang. Tak salah memang, sebab perempuan di depannya ini bertanya dengan volume cukup keras. Telinganya memerah, dirinya malu.

"Kenapa nanya gitu sih?"

"Aku emang nggak semontok dan sesemok perempuan tadi, tapi body aku masih bisa dibentuk kok, Om."

Ingin rasanya Bastian menenggelamkan dirinya ke dasar bumi, orang-orang tengah menatapnya dan Nala dengan tatapan aneh. Pasti pikiran mereka macam-macam.

"Udah kan makannya? Ayo, pulang sekarang." Tanpa basa-basi lagi, Bastian langsung menarik tangan Nala, membuat Nala terkejut dengan tarikan cukup keras tersebut.

"Om, sabar Om. Jangan kasar-kasar."

Brakkk

Sesampainya di mobil, Bastian langsung menatap perempuan di sampingnya ini dengan tatapan kesal bukan main. Baru pertama kali ini dirinya bertemu dengan perempuan yang rem mulutnya tak berfungsi, parah sekali.

"Kamu tuh kenapa sih? Mulutnya kok nggak bisa dikontrol? Astaga ... saya sampai pusing dengernya."

"Kok pusing? Aku kan nanya buat solusi kita berdua, Om." Nala berbalik menatap tajam laki-laki di sampingnya saat ini. "aku tanya sama Om sekarang, jawab jujur ya Om?"

Lah? Kok? Situasinya berbalik. Harusnya Bastian yang marah, 'kan?

"Sebelumnya aku minta maaf buat yang tadi, nggak seharusnya aku nanyain itu di sana. Aku tadi cuma keinget sama pesan Mama, kata Mama kalau udah nikah apa-apa harus diobrolin sama Suami.

Deggg

Tiba-tiba saja kerongkongan Bastian terasa kering, susah payah baginya untuk menelan ludah. Sementara Nala masih menatapnya penuh selidik.

"Om bakalan cerain aku, 'ya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status