Malam pertama Nala ia habiskan dengan berbagi cerita bersama Dewa. Nala tak menutup mata, ia tau jika Dewa menaruh rasa padanya, sementara Dewa sendiri juga tau jika Nala justru menaruh hati pada Kak Rafi, yang notabe-nya adalah kakaknya sendiri.
Percakapan yang berisi penuh dengan kata-kata penghibur itu berakhir saat jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Nala membaringkan tubuh lelah itu di ranjang, matanya tak kunjung mengantuk, membuatnya hanya bisa menatap langit-langit kamar. Entah jam berapa tepatnya Nala benar-benar tertidur, terakhir kali dirinya melihat jam masih menunjukkan pukul 3 pagi.
"Eughh."
Jika biasanya pasangan baru akan mengambil cuti dari semua aktivitas yang dilakukan sehari-hari, maka berbeda dengan Nala. Ia sama sekali tak memiliki kesepakatan melakukan hal itu dengan laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya tersebut, jangankan melakukan kesepakatan, sekedar untuk berbicara ringan saja hampir tak pernah.
"Ah! Pusing." Nala memegangi kepalanya yang terasa pening, mungkin karena durasi tidur yang jauh lebih singkat dari biasanya. Meskipun dengan tenaga lemah, Nala menyingkap selimut yang telah memberi kehangatan pada tubuhnya sepanjang malam. "tuh tua bangka ke mana?" gumamnya yang sama sekali tak menemukan keberadaan laki-laki itu di samping tempat tidurnya.
Tak mau ambil pusing, Nala langsung bergegas menuju kamar mandi, membasuh dirinya di bawah guyuran shower yang baru pertama kali dirasakan, sebab selama ini ia hanya mandi dengan menggunakan gayung. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk membersihkan diri. Nala langsung ke luar dan mengganti pakaian yang dibawa dari rumah. Nala membawa barang-barang yang dianggapnya penting ke tempat asing ini, bersiap ngontrak sampai batas waktu yang masih belum ditentukan.
Usai bersiap-siap, Nala langsung keluar dari kamar dengan tote bag yang setia tersampir di pundaknya. Sepanjang kakinya melangkah, pandangan matanya terus memutari isi rumah yang masih dalam jangkauan. Sama sekali tak menemukan keberadaan orang lain, apakah semalam ia ditinggal seorang diri di sini?.
"Ini gue lagi simulasi alam kubur kayaknya, sepi banget."
Gerakan kaki Nala langsung terhenti saat otaknya kembali mengingat nasihat dari mamanya. "Jadilah istri yang berbakti buat Suami."
Sial! Ingin sekali rasanya Nala membenturkan kepalanya ketembok dengan keras agar bisa amnesia, menyingkirkan ingatan itu dari otak sempitnya. "Terus gue harus ngapain?" Kakinya kembali berayun, melangkah menggunakan tuntunan dari hatinya untuk mencari keberadaan dapur. Untung saja tak lama kemudian ia menemukan tempat itu, dibukanya isi kulkas yang ada. Kosong.
"Cuma ada mie sama sosis?" gumamnya yang hanya menemukan dua bungkus mie goreng dan sosis. "bodo amat ih! Udang untung dimasakin, lagian mie nya nggak mekar juga, kan bukan mie kuah,"
Takkk
"Welcome dikehidupan menjadi babu untuk Suami sendiri." Dengan malas Nala meletakkan tote bag miliknya ke atas meja. Andai saja ia menikah dengan laki-laki yang dicinta, pasti ia akan dengan senang hati dan senyum lebar saat melakukan kewajibannya sebagai Istri.
Tentu saja tak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk memasaknya. Nala kembali menatap hasil masakannya, tak minat untuk makan, padahal ada sosis goreng kesukaannya. "Tuh orang ke mana sih? Bikin ribet aja, pait-pait."
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, membuatnya dengan cepat langsung merogoh benda pipih tersebut dari dalam tas. Dua netra cokelat itu membola saat mendapati pesan dari Vivi yang mengatakan Dewa sedang dilarikan ke rumah sakit, entah apa menyebabnya. "Apa lagi sih ini, tiap hari kok ada aja yang bikin gue emosi."
Nala langsung meraih dengan kasar tote bag tersebut, melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa tanpa ingat untuk menutup makanan yang baru saja matang tersebut dengan tudung saji. Ingatannya kini hanya tertuju pada sosok Dewa yang dilarikan ke rumah sakit tanpa alasan yang belum ia ketahui penyebabnya.
Langkah kakinya berhenti tepat di depan tangga, Nala mendongakkan kepalanya ke atas, menimang-nimang apakah ia perlu membangunkan laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya itu. "Gimana, gue juga nggak tau kamarnya, males banget juga nggak sih." Jarinya terketuk-ketuk di permukaan tote bag- nya, bibirnya dilipat ke dalam dengan tatapan yang masih tertuju pada lantai atas.
Dddrrrtttt
Dengan cepat Nala langsung merogoh ponsel dari dalam tote bag miliknya, netranya memicing mendapati pesan yang baru saja dikirimkan oleh Kak Rafi.
(Nala, kalau kamu nggak bisa ke rumah sakit, nggak usah dipaksain, nggak apa-apa kok. Di sini ada anak-anak yang lain juga, Dewa juga pasti ngerti kondisi kamu sekarang. So, istirahat aja, pasti capek banget kan semalam abis wleowleo hahahaha)
"Brengsek!" Nala langsung mematikan ponselnya begitu saja tanpa ada niatan untuk membalas pesan tersebut.
Bagaimana bisa dirinya suka dengan orang yang bahkan sama sekali tak peka seperti sosok Rafi itu. Dan ... apa katanya? Capek karena abis wleowleo? Bagaimana kalau anak-anak yang lain tau kalau semalam dirinya habis ditolak mentah-mentah oleh laki-laki tua itu? Malu banget!
"Emang boleh hidup se-Tai ini?" ucapnya dengan wajah lesu.
Nala memandang sinis lantai atas, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya dan lekas melangkahkan kakinya pergi. Niatnya untuk membangunkan suaminya langsung menguap oleh mood-nya yang anjlok.
Tingg ... tunggg
"Siapa sih? Pagi-pagi udah namu aja," gumamnya sembari mempercepat langkah kaki. Keningnya berkerut dengan bibir yang maju beberapa sentu, menandakan suasana hatinya sedang buruk.
Ceklekkk
Kening Nala semakin berkerut mendapati tamu seorang wanita, matanya pun memicing memindai penampilan wanita di depannya itu dari atas hingga bawah, tak terlewatkan sejengkal pun.
Sama hal nya dengan wanita di depannya ini yang juga memindai penampilan Nala. Tentu saja penampilan keduanya sangat berbeda jauh, Nala yang hanya mengenakan celana jeans yang dipadupandakan dengan kaos hitam dan dibalut kemeja yang kancingnya dibiarkan lepas. Sementara wanita di depannya itu tampak jauh lebih anggun dengan dress bermotif bunga-bunga selutut.
"Maaf, Tante. Cari siapa?"
Wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Tante' itu tak bisa menutupi wajah terkejutnya, agak kurang ajar bocah di depannya itu. Namun, buru-buru ia merubah raut wajahnya senormal mungkin. "Pacar saya mana? Belum bangun?"
"Pacar?" mata Nala memicing, otaknya memproses cepat siapa yang dimaksud wanita di depannya ini. "maaf, siapa?"
"Kenalin." Wanita itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Nala. "saya Sonya, pacar Bastian Wilantara," ucapnya dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Tampak sangat bangga saat mengatakan status-nya barusan.
Wah ... Nala lupa, padahal semalam ia pulang ke sini hanya dengan laki-laki yang ber-status sebagai suaminya itu. Tentu saja kata 'Pacar' yang dikatakan perempuan di depannya ini pasti ditujukan pada suaminya.
Nala menarik senyum tipis di bibirnya, lantas menggerakkan tangan yang bersalaman tersebut naik-turun. "Gue Nala, ISTRI Bagas Wilantara," balas Nala dengan raut wajah tengilnya.
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru