"A--Nal." Mendadak tubuh Bastian terasa membeku, susah payah ia menelan ludahnya sendiri dengan pandangan yang masih tertuju pada wanita di depannya ini yang masih setia menunggu jawaban darinya.
Dari reaksi terkejut yang diperlihatkan Bastian tentu saja Nala tau apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, membuatnya menganggukkan kepalanya samar. "Ayo, Om. Kita pulang."Tanpa menunggu lama lagi, Bastian kembali menyalakan mesin mobilnya, melajukannya dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota. Di sampingnya, Nala hanya diam sembari menatap lurus jalanan yang ada di depannya.TuutttPonsel Nala berdering, membuatnya buru-buru meraihnya, menatap sejenak nama yang tertera, dan menggeser icon berwarna hijau. "Ya, gimana?" tanyanya setelah meletakkan ponselnya di telinga."Aman. Dewa udah baikan, mungkin nanti sore atau besok pagi bakalan pulang.""Gue seneng dengernya. Bilangin sama dia, jangan banyak makan pedes. Oh iya, gue bakalan jenguk pas udah di rumah, ya.""Aman. Bye."Panggilan berakhir, membuat Nala merasa lega dengan kondisi sahabatnya itu. Perasaannya mendadak kembali tak nyaman dengan suasana seperti ini, membuatnya berusaha berpikir keras untuk mencari objek percakapan. Susah sebenarnya, karena dirinya yang memang tak tau apa-apa tentang laki-laki di sampingnya ini."Om, kerjanya Om apa?" Akhirnya pertanyaan ini keluar dengan baik dari mulut Nala.Bastian memutar stir ke kanan sebelum akhirnya bersuara. "Ada studio juga ngerangkap jadi fotografer ."Sontak saja kedua mata Nala langsung berbinar mendengarnya, senyumannya tertarik lebar dan ia pun langsung mengalihkan pandangannya ke samping. "Wahhhh ... berarti boleh dong kalau nanti gue sama temen gue ke sana? Kalau mau foto-foto di sana pastinya gratis, 'kan? Lumayan banget nggak perlu keluar duit."Tanpa ragu Bastian langsung menganggukkan kepalanya. "Ya, boleh.""Om, kita kayaknya musti nentui batas-batas teritorial dalam hubungan kita deh." Tak lekas menjawab, kening Bastian malah berkerut. "gue tau kalau Om nggak cinta sama gue, begitu juga sebaliknya. Kita aja nggak tau nih pernikahan bertahan sampe kapan.""Nala." Bastian tiba-tiba menepikan mobilnya ke kiri, agar ia bisa fokus berbicara dengan wanita di sampingnya kini.Sial, tatapan itu terlalu ... seksi menurut Nala. Seumur hidupnya ia belum pernah ditatap dengan tatapan dalam dan serius itu, tubuhnya bagaikan patung yang tiba-tiba kaku. Dua tangan besar itu langsung menyentuh kedua pundaknya."Kita jalanin sebaik-baiknya pernikahan ini, ya? Apapun alasan dibalik pernikahan ini, tetap saja ini adalah pernikahan yang sah dimata hukum dan agama.""Tapi kita nggak saling cinta.""Tetap saja kita nggak bisa main-main sama pernikahan ini, Nala. Kita lakuin yang terbaik buat pernikahan ini, okay?" Nala terdiam, membiarkan Bastian menarik diri dari hadapannya. Otaknya masih terpesona oleh pesona yang tertinggal dari suara berat, tatapan serius, dan juga nada bicaranya yang begitu menenangkan.Ah! Tidak tidak tidak apa-apaan ini, kenapa sih hatinya lemah sekali sama yang beginian? Mana pertahan diri yang sekuat tembok baja itu? Kalaupun nantinya ia akan dibuat jatuh cinta pada laki-laki di depannya ini, setidaknya itu harus terjadi nanti. Sekarang masih terlalu awal, rasanya sangat tak pantas jika ia jatuh cinta secepat ini, terlalu gampangan."Jadi gimana? Apa aja batas-batas teritorial di pernikahan kita." Bastian terkekeh pelan sembari melajukan kembali kendaraannya. Kenapa terdengar lucu di telinganya, bagaimana bisa kepikiran mengumpamakan dengan istilah yang digunakan untuk menentukan batas laut.Menenangkan diri, Nala membuang pandangannya ke arah luar jendela, mempersiapkan muka judesnya terlebih dahulu. "Number one, nggak boleh ya yang namanya ada orang asing masuk ke rumah apalagi kalau sampe nginep. Nggak etis banget, kecuali kalau dalam kondisi paling terdesak baru boleh, deh.""Dua. Aku bisa masak sih, tapi kalau beres-beres aku nol. Hehe." Nala langsung menoleh ke arah Bastian, tampang judes yang susah payah dipersiapkannya tadi langsung lenyap karena kekehan diujung kalimatnya.Bastian menganggukkan kepalanya. "Aman. Itu tugas saya.""Terakhir nih ya Om, aku minta tolong banget sama Om buat mastiin kondisi Mama baik-baik aja, ya.""Aman, saya bakalan pantau terus kondisi Mama kamu."Nala membalasnya dengan anggukkan kepala senang, tentu saja. Senyuman di bibirnya pun merekah sempurna, namun langsung luntur melihat laki-laki itu hanya memasang wajah datar. Tak asik lagi dipandang."Eh, Btw, Om. Ini yang paling penting dari segalanya. Takut kelupaan.""Iya, apa?""Om bukan orang yang masih menganut budaya patriarki, 'kan?"Buru-buru Bastian menggelengkan kepalanya. "Nggak lah, saya nggak sekolot itu."Nala mengacungkan jempolnya. "Terus? Om gimana? Aku syaratnya nggak aneh-aneh dan memberatkan loh. Om juga jangan ngebatesin pertemanan aku.""Iya, nggak muluk-muluk kok, asal kamu kabarin saya dan jaga diri aja." Bastian menekan klakson sebelum kembali berucap, "kamu masih muda, masih ada masanya seneng-seneng, nikmatin waktu buat main-main sama temen kamu.""Good. Ternyata ini sisi positifnya nikah sama bangkotan, sisi dewasanya masih nempel.""Saya nggak setua itu!" Sahut Bastian dengan nada tak suka.Nala meringis dalam diam, meruntuki kebodohan dirinya sendiri. Lagian kenapa sih mulutnya nggak bisa dikontrol, siapa juga yang seneng kalau dikatain tua bangkotan. "Bego banget. Mulut durhaka."Setelahnya tak ada lagi percakapan yang terjadi, selama perjalanan benar-benar hanya ada keheningan semata. Tak nyaman sebenarnya, tapi Nala sendiri juga tak minat untuk meminta maaf. Bukan tanpa alasan tentunya, permintaan maaf itu mahal, tak mungkin ia ucapkan hanya karena masalah seperti ini. Terlalu banyak meminta maaf juga malah hanya akan membuatnya dipandang rendah, jadi akan ia pakai nanti saja kalau ia membuat kesalahan yang besar.Mobil yang ditumpangi keduanya berhenti di depan rumah Bastian yang tak terlalu besar, tapi cukup jika hanya dihuni dua orang. Yang paling menarik di sini adalah halamannya yang luas dan juga ada beberapa pohon mangga dan jambu yang tertanam di pekarangan. Mantap betul buat santai-santai kalau sore.Bastian dengan kaki lebarnya melangkah terlebih dahulu, meninggalkan Nala yang jangkauan langkah kakinya relatif lebih pendek di belakangnya."Kok lama banget, sih! Kuliah di mana memangnya?" Langsung saja terdengar suara sambutan dari wanita yang masih setia menunggu di dalam rumah."Tadi--""Halo, Tante." Nala muncul dari balik pintu dengan senyuman lebarnya, membuat perempuan bernama Sonya langsung terkejut dibuatnya."Loh! Kok?" Sonya menunjuk Nala dengan jari telunjuknya. Tentu saja ia kaget kenapa wanita itu malah kembali ikutan pulang."Hehe. Aku masuk kamar dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban apapun dari siapapun, Nala kembali melangkahkan kakinya menuju kamar yang dihuninya semalam. Meninggalkan dua orang dewasa berbeda gender tersebut.Nala mendudukkan bokongnya agak kasar ke atas ranjang, tak terasa sakit sama sekali karena pantatnya terpantul oleh kasur yang begitu empuk. Ia menghela nafas kasar, perasaan kosong kembali menderanya.Pandangan matanya menatap lurus ke arah luar jendela. Sial, baru saja diam sejenak ia malah kepikiran dengan pernikahan barunya, bagaimana ia bisa bertahan dalam perkihakan ini? Apakah ia sanggup memenuhi janji mamanya?Ia menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, cincinnya cantik sekali. Terlihat simple dan sesuai dengan selera anak muda, tak menonjol seperti cincin pernikahan seperti pada umumnya."Haus." Kerongkongan Nala terasa kering, membuatnya lekas bangkit dari posisi duduknya. Melangkahkan kaki keluar dari kamar, sepanjang perjalanannya menuju dapur, tak lagi ia melihat keberadaan dua orang tadi. Ke mana perginya? "bodo amat lah, ngapain juga gue pikirin." Dibukanya kulkas dan ia langsung meraih minuman kaleng yang ada, membukanya dan menenggaknya langsung tanpa menjauhkan diri dari muka kulkas.Tiba-tiba saja Nala ingin berkeliling dan menjajah rumah ini, untuk beberapa waktu ke depan sampai batas waktu yang masih belum ditentukan ia akan tinggal disini, tak lucu kalau ia sendiri tak tau seluk beluk rumah ini.Sepertinya semalam ia terlalu fokus dengan makan malam, sampai dirinya tak menyadari di ruang tengah terpasang banyak hiasan dinding berupa foto. Mulai dari foto lampau hingga modern. Ah, iya sejenak dirinya teringat tentang pekerjaan suaminya yang seorang fotografer. Sudah pasti minat itu dimulai sejak dahulu sampai pada akhirnya menjadi pekerjaan impiannya."Ini di mana, ya? Kok bagus banget." Nala sontak memajukan langkahnya, melihat dengan jelas foto lampau dengan latar belakang danau. Di sana tergambar seorang wanita dengan posisi membelakangi kamera, memperlihatkan bagian belakang tubuhnya yang indah seperti bayangan siluet karena diambil saat matahari hampir tenggelam. "dari belakang aja cantik banget."Mata Nala membola saat ia menemukan objek yang membuatnya terkejut. "AAAAKKKKHHH!"Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru