"Atau apa? Memangnya, apa yang mau kamu lakukan, Sandi? Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku dengan Sari!" sentak Lian yang tak suka dengan sikap sang adik.
"Jangan pikir, aku gak tahu kalau kamu sering main tangan sama Mbak Sari karena suruhan Ibu, Mas. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi atas kasus kekerasan dalam rumah tangga."Ucapan Sandi telak membuat rahang Lian mengeras karena geram. Sedangkan bu Tri, ia cukup terkejut saat Sandi seolah tengah mengancam kakaknya sendiri. Mendengar kata 'polisi' ternyata juga membuat bu Tri sedikit takut dan merasa geram dengan anak bungsunya itu."Heh, Sandi! Jangan macam-macam kamu, ya! Masa, kamu mau laporin kakakmu sendiri ke polisi."Sandi yang semula masih menghadap ke arah Lian dan Sari pun kini berbalik menjadi menghadap ke arah bu Tri yang tampak emosi. Sandi sangat menyayangi ibunya, tapi, jika wanita yang sudah melahirkannya itu berbuat salah, tentu Sandi tak akan segan untuk mengingatkan."Sandi gak tahu, apa yang bikin Ibu begitu tidak menyukai Mbak Sari. Tapi, Sandi hanya mengingatkan Ibu saja, kalau apa yang selama ini Ibu lakukan itu salah. Dan untuk kamu, Mas Lian. Dulu, aku sendiri yang menjadi saksi, betapa kamu mencintai dan memperjuangkan cinta kamu buat Mbak Sari. Tapi, kenapa kamu selalu menuruti Ibu untuk menyakitinya?"Lian terdiam, ia mengingat hal itu. Tentang ia yang berjuang untuk mendapatkan restu dari kedua orang tua Sari untuk meminangnya. Sari yang nyaris dijodohkan dengan anak seorang camat pun urung karena Lian berhasil merebut hati kedua orang tua Sari.Karena Sari adalah anak yang penurut, ia pun menerima pinangan Lian atas saran bapaknya. Sebenarnya, Sari juga sudah menaruh hati kepada Lian sejak lama. Hanya saja, anak itu terlalu pemalu. Sehingga, ia hanya bisa menyembunyikan perasaannya. Dan tanpa Sari tahu, ternyata Lian juga sama menaruh hati padanya.Lian bilang, Sari itu gadis yang anggun. Kecantikan yang dimilikinya tak seperti gadis kebanyakan. Sari begitu alami tanpa polesan. Sikap sopan dan pemalunya juga lah yang membuat Lian jatuh hati pada anak kepala dusun itu.Lamunan Lian buyar saat telinganya mendengar suara rintihan dari arah belakangnya. Rupanya, Sari yang tengah merintih dengan tangan mencengkeram erat perut bagian bawahnya. Dengan sigap, Lian mengambil Gavin dari gendongan Sari."Mbak Sari, kamu kenapa, Mbak?" tanya Sandi cepat saat melihat kakak iparnya merintih kesakitan."Perutku ... sakit."Tak tahan dengan rasa sakitnya, dengan wajah yang sudah kian memucat, tubuh Sari tiba-tiba saja limbung. Beruntung, Sandi dengan sigap menopang tubuh ringkih itu."Mas, bantu aku angkat tubuh Mbak Sari! Kita letakkan di sofa saja!" pekik Sandi yang sudah menopang seluruh berat tubuh Sari.Sebenarnya, bisa saja mengangkat tubuh Sari sendirian. Tapi, ia merasa segan, sebab masih ada Lian selaku suami Sari di sana. Lian pun mengangguk dan mendekati ibunya untuk menitipkan sang anak."Tolong pegang Gavin sebentar, Bu.""Halah, pasti cuma pura-pura itu. Emang dasar, tukang cari gara-gara, drama terus hidupnya."Kedua anak lelakinya tak menggubris ucapan bu Tri. Tubuh Sari sudah sempurna merebah di atas sofa. Lian mengipasi wajah Sari dengan kipas tangan milik bu Tri yang tergeletak di atas meja. Sedangkan Sandi, lelaki itu masuk ke dalam kamarnya untuk mencari minyak angin."Udah pulang belum wanita gila itu?" tanya Kamila yang semula tengah asik bermain ponsel sambil duduk berselonjor di atas ranjang."Jaga ucapanmu, Mila! Mbak Sari bukan wanita gila. Dia sedang pingsan di depan sana. Aku mau cari minyak angin, di mana kamu menyimpannya?"Kamila merotasikan bola matanya malas, pandangannya kembali tertuju pada benda pipih di tangannya."Yakin dia pingsan betulan? Jangan-jangan, cuma mau cari perhatian kamu."Tangan Sandi yang masih sibuk mencari botol minyak angin di dalam laci itu terhenti. Merasa bahwa apa yang dikatakan sang istri sudah begitu kelewatan."Kamila, berhenti bicara ngawur. Mbak Sari itu kakak iparku, isteri dari kakak kandungku sendiri. Aku sudah mengenalnya selama enam tahun, aku kenal betul siapa dia."Kamila melempar asal ponsel di tangannya. Wajahnya merengut, terlihat sekali jika ia tak suka dengan jawaban yang dilontarkan suaminya. Ia pun berdiri lalu berjalan dan berhenti tepat di depan sang suami."Kamu kenapa, sih, Mas? Dari dulu selalu saja lebih membela Mbak Sari dari pada aku. Harusnya kamu itu bela aku, isteri kamu!"Merasa perdebatan itu tak akan ada ujungnya, Sandi memutuskan untuk segera keluar dari kamar karena matanya tak sengaja menangkap adanya botol bening itu di atas bufet di sebelah ranjangnya."Kalau kamu masih mau berdebat, nanti saja. Di luar, Mbak Sari masih membutuhkan pertolongan.""Lho, kok, malah pergi, sih? Mas! Berhenti atau aku bakal pulang ke rumah orang tuaku hari ini! Mas!"Sandi sudah berada di ruang tamu dan memberikan botol minyak angin itu kepada Lian. Dengan segera, Lian membuka tutup botol itu dan didekatkannya ke arah lubang hidung Sari."Sandi, itu isterimu kenapa teriak-teriak?" tanya bu Tri yang sedikit khawatir dengan menantu kesayangannya itu."Nanti juga berhenti sendiri, Bu. Biarkan saja.""Kamu ini, San, istri lagi marah malah ditinggal ngurusin orang gila. Awas kamu, kalau sampai menantu kesayangan Ibu kenapa-kenapa!"Tak mau melihat adegan yang memuakkan di hadapannya, bu Tri memilih untuk pergi melihat Kamila yang masih terdengar uring-uringan di dalam kamar. Gavin yang masih digendongnya pun ia berikan kepada Sandi."Gendong dulu, nih!"Terlihat adanya pergerakan dari Sari. Dahinya mengerut seperti menahan sakit, lalu tak lama, kelopak mata yang sedikit menghitam itu perlahan terbuka."Jahat! Dasar kamu orang jahat!"Sari memukuli tubuh sang suami. Lian terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangan hingga akhirnya ia merasa berang.Plak!Mata Sari membulat sempurna, dengan deru napas yang kian berat, Sari seakan menjadi patung dengan posisinya yang masih setengah berbaring di atas sofa."Apa-apaan kamu, Mas!" sentak Sandi. Segera lelaki itu mendekati Sari yang masih bergeming dengan tatapan kosong."Mbak Sari? Mbak Sari gak apa-apa?"Seakan telinganya tuli untuk mendengar suara Sandi. Mata Sari justru tertuju pada bayi merah yang ada dalam gendongan Sandi. Lekas, wanita itu meraih Gavin untuk dipeluknya."Jangan tinggalin Ibu, Nak. Gavin di sini saja sama Ibu, ya? Jangan mau ikut Tante Mila, Gavin anaknya Ibu."Sari menciumi wajah mungil Gavin. Bayi merah itu tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan ibunya. Justru, Sandi yang kini tengah memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya itu."Memang sudah gila si Sari ini," gumam Lian yang tertangkap pendengaran Sandi."Aku mau bica
"Sari? kamu kenapa?" tanya Lian saat mendapati Sari terlihat seperti kebingungan. Tubuhnya terus bergerak kesana dan kemari seperti mencari sesuatu."Anakku ... anakku, di mana? Tidak boleh ada yang mengambil anakku!"Rupanya Sari tengah mencari keberadaan bayinya. Lian juga tidak tahu. Tadi, Lian menitipkan Gavin pada ibunya di rumah ini. Atau mungkin, Gavin sedang diajak pergi ke rumah ibunya di sebelah."Kamu tenang dong, Sar! Gavin gak akan kemana-mana. Paling juga lagi di rumah ibu. Jangan lebay kamu!"Tanpa menunggu lebih lama, Sari berlari menuju rumah sang ibu mertua. Benar saja, di sana, Gavin sedang dibiarkan tergeletak di atas sofa tanpa didampingi apapun. Sedangkan, ibu Tri sedang asik menonton acara televisi bersama dengan menantu kesayangannya."Ibu kalau tidak ikhlas menjaga anakku, lebih baik tidak usah dijaga sekalian," ujar Sari dingin membuat bu Tri seketika menghentikan gerakan rahangnya yang tengah mengunyah jajanan ringan."Ngomong apa, kamu? Gak sopan! Udah anak
Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri."Apaan, sih, kamu."Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri."Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana."Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib
Sari masih tetap mematung di tempatnya berdiri. Lian, suaminya itu tengah menatapnya dengan tajam setelah baru saja keluar dari kamar dengan menggendong Gavin yang sepertinya masih terjaga."Tidur kamu di dalam kamar mandi?""M-mas, itu jamnya mati, kan?" tunjuk Sari pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam."Otakmu itu yang mati!" ucap Lian geram. Sari semakin gugup melihat kilat marah dari mata Lian.Rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi baju bagian pundak dan punggungnya, membuatnya merasa kedinginan padahal tadi tidak. Lian yang melihat gelagat Sari pun menghampirinya."Kia sudah kusuruh pulang dari tadi dan aku baru saja pulang jam sebelas. Kata Kia, kamu sudah di dalam kamar mandi sejak dia pulang sehabis Isya'. Ngapain aja kamu? Keramas malam-malam begini, habis main sama siapa kamu?"Sari tersentak saat Lian dengan teganya mengatakan hal itu. Seolah, suaminya itu tengah menuduhnya berselingkuh."Apa maksud kamu, Mas? Aku cuma mandi gak lebih dari lim
"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia
"Kamu mau kemana, Lian?" tanya bu Tri saat Lian beranjak dari duduknya "Mau ke poli kandungan sebentar, Bu. Mungkin sudah waktunya Sari dipanggil.""Kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, begitu?"Wajah bu Tri sudah tampak khawatir. Ia takut jika Lian meninggalkan dirinya sendirian di ruang rawat itu. Tadi, saat bu Tri buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tak melihat jika Kamila sedang mengepel lantai.Lantai yang masih basah membuat bu Tri terpeleset dan jatuh hingga berakhir pingsan. Lian yang memang sudah bersiap untuk pergi mengantarkan Sari itu pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Ia meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil untuk mengantar bu Tri ke rumah sakit. Sari diminta oleh Lian ikut dengan mobil, sedangkan ia sendiri pergi dengan membawa motor. Gavin dan Kia mau tidak mau ia titipkan kepada Kamila meski awalnya adik iparnya itu keberatan.Bu Tri terpaksa dirawat karena tensi darahnya tiba-tiba naik. Kaki kirinya juga terkilir cukup parah, membuatnya kesuli
Kamila terkesiap saat mengetahui Sari sudah berdiri di hadapannya. Setelah melempar tatapan tajam kepada Kamila, Sari buru-buru berjongkok untuk menghampiri Kia yang masih menangis. Kini, tubuh anak itu pun basah sebab Kamila yang baru saja mengguyurnya dengan satu gayung penuh air."Apa yang sudah anakku lakukan sampai kamu tega guyur Kia kaya gini, Mil?"Kamila sebenarnya takut, tapi, ia berusaha untuk menutupi semua itu. Ia berdehem kecil dan memasang wajah garang di hadapan Sari."Anak kamu itu nyusahin tahu, Mbak! Cerewet banget. Minta makan, dikasih ini gak mau, itu gak mau. Malah makanan yang udah susah payah aku masakin di hancurin semuanya sama dia," ujar Kamila seraya menunjuk ke arah Kia yang masih menangis.Sari berusaha menenangkan sang anak dengan cara memeluknya, namun, apa yang ia dapati sungguh membuat hatinya berdenyut sakit. Kia menolak pelukannya dan berlari menuju rumahnya."Aku gak mau sama Ibu. Ibu jahat, mau lempar Kia ke dalam sungai."Sari mematung. Otaknya m