Share

Saran Dari Bidan

Sari memukuli tubuh sang suami. Lian terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangan hingga akhirnya ia merasa berang.

Plak!

Mata Sari membulat sempurna, dengan deru napas yang kian berat, Sari seakan menjadi patung dengan posisinya yang masih setengah berbaring di atas sofa.

"Apa-apaan kamu, Mas!" sentak Sandi. Segera lelaki itu mendekati Sari yang masih bergeming dengan tatapan kosong.

"Mbak Sari? Mbak Sari gak apa-apa?"

Seakan telinganya tuli untuk mendengar suara Sandi. Mata Sari justru tertuju pada bayi merah yang ada dalam gendongan Sandi. Lekas, wanita itu meraih Gavin untuk dipeluknya.

"Jangan tinggalin Ibu, Nak. Gavin di sini saja sama Ibu, ya? Jangan mau ikut Tante Mila, Gavin anaknya Ibu."

Sari menciumi wajah mungil Gavin. Bayi merah itu tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan ibunya. Justru, Sandi yang kini tengah memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya itu.

"Memang sudah gila si Sari ini," gumam Lian yang tertangkap pendengaran Sandi.

"Aku mau bicara sebentar sama kamu, Mas. Kita keluar."

Meski sebenarnya enggan, tapi, Lian pada akhirnya mengangkat bokongnya juga dari empuknya sofa milik sang ibu yang dibelikannya tahun lalu itu.

"Ada apa?" tanya Lian ketus. Sebelum menjawab, Sandi terlihat mengambil napas panjang.

"Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di antara kamu, Mbak Sari dan juga Mila, Mas? Kenapa Mbak Sari jadi berubah agak aneh seperti itu? Dan apa yang membuat Mbak Sari menampar Mila? Pasti ada alasannya, kan?"

"Bukan agak aneh, San. Mbakmu itu memang aneh hari ini. Kamu tahu? Dia bahkan tega menenggelamkan Gavin di dalam bak mandi berisi air keran. Untung saja, anak itu tidak mati."

"Jaga bicaramu, Mas!"

"Memang itu kenyataannya. Kalau tadi aku gak langsung mergokin Sari, pasti Gavin udah mati tenggelam. Kalau masalah Sari yang menampar Mila, itu pasti juga karena sikap aneh Sari hari ini. Aku juga gak tahu, tiba-tiba aja Sari datang ke rumah ibu dan nampar Mila yang lagi gendong Gavin."

"Apa ini ada kaitannya dengan Mila yang ingin mengadopsi Gavin?"

Lian terdiam, ia pikir, Sandi belum tahu tentang hal itu. Kamila tidak pernah bilang padanya jika Sandi sudah mengetahui rencana Kamila tersebut.

"Kalau memang benar hal itu ada kaitannya, tidak berlebihan kalau Mbak Sari sampai menampar Mila."

Mata Lian membulat mendengar ucapan Sandi. Ia tak habis pikir, Sandi sangat terlihat jika lebih membela Sari ketimbang istrinya sendiri.

"Kamu ini aneh, San. Masa, kamu lebih membela orang lain dari pada isterimu sendiri," cibir Lian dengan wajah mengejek.

"Kenapa memangnya? Di sini, memang Kamila yang bersalah. Aku tidak memandang dia isteriku atau bukan. Yang aku lihat, siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Mas saja, biarpun Mbak Sari benar, tetap kamu mau menghajarnya. Itu baru yang namanya tega sama isteri."

Lian semakin geram dengan ucapan demi ucapan yang dilontarkan adiknya. Baru saja ia hendak menjawab, tiba-tiba saja Sari berlari dari dalam rumah mertuanya itu. Dengan tergopoh-gopoh dan memeluk Gavin dengan begitu eratnya, seakan jika ia melonggarkan sedikit saja pelukannya, Gavin akan terjatuh.

Tak lama setelah itu, Kamila juga ikut keluar dari dalam rumah. Wajahnya terlihat begitu kesal. Melihat di sana masih ada Lian dan Sandi, Kamila pun mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan kepada kakak iparnya tersebut.

"Aku gak jadi ambil Gavin buat aku rawat, Mas. Mbak Sari udah bener-bener gila kayanya. Lihat aku aja udah kaya lihat hantu. Kalau ibunya gila kaya gitu, aku takut kalau anaknya juga ikutan gila."

Setelah mengucapkan hal itu, Kamila kembali masuk ke dalam rumah. Sandi yang tak habis pikir dengan ucapan sang isteri pun berlalu mengejarnya masuk ke dalam.

Lian begitu malu kali ini dengan Kamila. Sikap Sari yang aneh dan disebut-sebut gila oleh ibu dan juga adik iparnya membuat Lian geram. Sebelum Sari membuatnya lebih malu jika kondisinya diketahui orang-orang, Lian memutuskan untuk mengajak Sari pergi ke bidan desa yang rumahnya tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka.

****

Bidan bernama Hesti itu meringis melihat kondisi luka bekas operasi Sari. Sepertinya, Sari terlalu banyak bergerak dan melakukan aktifitas. Luka bekas operasinya terlihat sedikit bengkak.

Tepat saat Sari berhasil dibawa oleh Lian ke rumah bidan Hesti, Sari mengeluh perutnya sakit luar biasa. Karena Sari yang terus merintih, bidan Hesti memberinya suntikan anti nyeri, sehingga kini Sari terlihat jauh lebih tenang.

"Kapan Ibu Sari harus kontrol ke rumah sakit, Pak?"

Lian terlihat mengingat-ingat, bola matanya melirik ke atas karena hal itu. Tak lama, ia kembali menatap bidan muda yang masih berstatus lajang tersebut.

"Tiga hari lagi, Bu."

"Kalau dilihat dari kondisi lukanya, sebaiknya, Bu Sari dibawa ke rumah sakit lebih cepat. Tak perlu menunggu jadwal kontrol karena ini termasuk darurat. Dan untuk hal-hal yang sudah Bapak ceritakan tadi, saya berpikir bahwa, sepertinya Ibu Sari mengalami gejala Baby Blues Syndrome."

"Apa itu, Bu?"

Tentu saja Lian awam dengan nama penyakit itu. Dalam hatinya, ia sudah sangat takut jika itu merupakan penyakit yang berbahaya. Selain karena merasa kasihan dengan Sari, Lian juga memikirkan biaya yang akan ia keluarkan jika Sari benar-benar mengalami sakit parah.

"Gangguan suasana hati paska melahirkan, Pak. Seorang ibu setelah melahirkan harus benar-benar dijaga. Baik kondisi fisik maupun mentalnya karena ibu yang baru melahirkan sangat rawan mengalami kondisi tersebut. Saya juga sebenarnya belum yakin akan hal itu, bukan ranah saya juga untuk mendiagnosa pasien seperti ini. Jadi, saran saya, bawa Ibu Sari ke rumah sakit sebelum terlambat, Pak."

Lian terus memikirkan hal itu sepanjang perjalanan ke rumah. Sampai tak terasa jika kini motornya sudah mulai memasuki pekarangan rumahnya. Sari tak mengatakan apapun padanya di sepanjang perjalanan. Begitupun setelah sampai, Sari langsung melenggang pergi masuk ke dalam rumah. Namun, baru saja Sari memasuki rumahnya, ia sudah berteriak histeris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status