Share

Pembelaan Adik Ipar

Mereka semua terperanjat kaget saat mendengar suara barang-barang seperti sengaja dilempar ke lantai. Gavin yang semula sudah tertidur lelap pun jadi menangis.

"Sepertinya dari rumahmu itu, Lian. Coba kita lihat, jangan-jangan, memang sudah gila betulan si Sari sampai ngamuk-ngamuk kaya gitu," ucap bu Tri yang seketika membuat Lian geram.

Lian menitipkan Gavin pada Kamila dan ia bersama dengan ibunya pergi ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Benar dugaan bu Tri, di dapur, ia melihat Sari tengah melempar barang-barang dapur ke lantai.

"Hei! Sudah hebat kamu rupanya, main buang-buang barang begini? Emang, kamu bisa gantinya kalau sampai rusak, hah?!" Bu Tri berteriak dengan tatapannya yang nyalang.

"Mana Gavin, Mas?!" teriak Sari dengan tatapan nyalang.

Lian sedikit terkejut melihat reaksi sang istri. Selama enam tahun berumah tangga, baru kali ini Lian melihat Sari menatapnya dengan tatapan seperti itu.

"Heh, Sari! Yang sopan kamu kalau ngomong sama suami. Mau jadi isteri durhaka, kamu?!"

Pertanyaan bu Tri sama sekali tidak digubris oleh Sari. Dengan segera, ia berlari menuju rumah sang ibu mertua. Tadi, ia tidak sengaja mendengar percakapan Lian bersama dengan bu Tri dan juga Kamila. Sekarang, Sari yakin jika anak bungsunya sedang bersama adik iparnya itu.

"Lian! Malah bengong kamu. Cepat, susul isteri gilamu itu! Bisa-bisa dia nanti nyakitin menantu kesayangan Ibu."

Lian tersadar dari keterkejutannya, dengan gerakan secepat kilat, Lian berlari menuju rumah sang ibu dan benar saja, sampai di sana, Lian melihat Sari baru saja menampar wajah Kamila.

"Sariii!" teriak bu Tri nyaring saat tangan kurus Sari berhasil mendarat tepat di wajah sang menantu kesayangan.

Sari juga segera mengambil Gavin dari gendongan Kamila saat adik iparnya itu tengah sibuk mengusap pipinya yang terasa panas.

"Sudah kelewatan isteri kamu itu, Lian! Kasih dia pelajaran, atau Ibu yang akan melakukannya!"

Lian maju kian mendekat ke arah Sari. Tangannya sudah terangkat guna melakukan hal yang sama seperti yang baru saja Sari lakukan terhadap Kamila, namun, suara seorang laki-laki lebih dulu menghentikan niatan Lian.

"Hentikan, Mas!"

Ketiga orang di dalam rumah itu menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, Sandi, suami Kamila itu menatap sang kakak dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dengan gerakan sedikit cepat, Sandi menghampiri mereka yang masih terdiam.

Kamila yang semula terdiam juga tiba-tiba berlari menghambur ke dalam pelukan sang suami. Tak lupa kedua matanya ia paksa untuk mengeluarkan air mata. Berharap agar Sandi iba terhadapnya.

"Mas, Mbak Sari udah nampar aku. Lihat! Pasti di pipiku ada bekas tangannya, kan? Sakit sekali," adunya dengan air mata yang terus membanjiri pipi.

"Apa karena itu, Mas Lian mau menampar Mbak Sari kembali?" tanya Sandi pada sang kakak yang masih terlihat marah. Sedangkan Sari, dia buru-buru mendekap Gavin dengan wajah yang tiba-tiba terlihat panik.

"Aku cuma mau mendidik Sari, San. Bisa-bisanya dia nampar Kamila yang gak melakukan apa-apa."

"Bukan begitu cara mendidik seorang isteri, Mas. Dengan kamu menyakiti isteri, bukan didikan yang kamu berikan padanya, melainkan sebuah rasa sakit yang akan membekas selamanya."

Mendengar ucapan Sandi, Kamila terlihat muram. Menurutnya, justru Sandi yang keterlaluan karena tidak membelanya sebagai isterinya, melainkan membela Sari yang hanya kakak iparnya.

"Kamu, kok, malah belain Mbak Sari, sih, Mas? Yang isteri kamu itu, aku atau dia?"

"Aku tidak bermaksud membela Mbak Sari, Kamila. Bukan berarti juga aku tidak peduli padamu. Aku hanya ingin meluruskan apa yang dilakukan oleh Mas Lian yang memang salah."

Bu Tri yang sedari tadi sudah ingin melihat Sari diberi pelajaran oleh Lian pun menjadi kesal dengan Sandi. Memang, dari dulu, bu Tri tidak terlalu suka dengan sikap dan sifat Sandi yang lebih banyak menurun dari ayahnya, yaitu suaminya sendiri.

Sandi memang anak yang baik, pendiam dan juga penurut. Tapi, Sandi tidak sepenurut Lian kepada ibunya. Jika Lian bisa dan mau melakukan apapun yang ibunya minta, lain hal dengan Sandi. Jika menurut Sandi, apa yang diminta sang ibu tidaklah baik, maka, lelaki itu akan dengan tegas menolaknya.

"Halah! Kamu itu tahu apa, sih, San? Masmu itu cuma mau kasih pelajaran buat isterinya. Memangnya, kamu terima kalau isteri kamu ditampar begitu saja tanpa melakukan apa-apa?" ucap bu Tri dengan mata melotot. Sandi sudah biasa melihat ibunya bersikap seperti itu, jadi, ia tak pernah ambil pusing dalam menghadapinya.

"Bu, segala sesuatu itu pasti ada sebab dan akibatnya. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Mbak Sari sudah menjadi kakak iparku selama enam tahun. Tentu aku sudah sangat hapal dengan sifatnya. Tidak mungkin Mbak Sari menampar Kamila kalau tidak ada penyebabnya."

"Jadi, kamu nuduh aku yang cari gara-gara duluan, Mas? Tega kamu sama aku, Mas! Sama isteri sendiri saja kamu tidak percaya."

Kamila yang terlanjur sakit hati dengan ucapan Sandi pun berlalu masuk ke dalam kamar. Sandi hanya mampu mengelus dada. Menghadapi ibu dan juga isterinya itu sama-sama melelahkan.

"Kamu lihat! Sekarang isteri kamu yang ngambek cuma gara-gara kamu belain si wanita gila itu. Udah, Lian, kamu bawa istri gilamu itu pulang. Muak Ibu lihat muka dia!" hardik bu Tri pada Lian dan Sari.

Sari pun hanya pasrah saat Lian menarik tangannya dengan keras. Ia memekik sakit saat pergelangan tangannya dicengkeram erat oleh sang suami. Sandi yang melihat wajah kesakitan kakak iparnya itu menjadi tidak tega. Apalagi, dalam gendongan Sari masih ada Gavin yang tengah menangis.

"Apa lagi, sih, San?!" teriak Lian dengan nada jengkel saat Sandi menghentikan langkahnya dengan cara menahan lengan sang kakak.

"Lepaskan tangan Mbak Sari, atau ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status