Bianca terdiam seketika, tubuhnya terpaku di tempat. Wajahnya memucat karena teriakan Mariana yang tak pernah ia sangka akan terdengar sekeras itu. Mariana yang selalu tenang, Mariana yang selalu mengalah, kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang tak bisa ditawar.Ratna muncul terburu-buru, membawa botol susu yang nyaris terlepas dari tangannya.âAda apa ini?!â serunya panik. âBianca? Mariana?âBianca menoleh, matanya mulai berkaca. âIbu, kak MarianaâĶ diaâdia gendong Thalia! Dia bisa saja menyakitinya!âRatna menatap putri bungsunya dengan tajam, lalu pada Mariana yang masih berdiri tegak di tempatnya.âBianca, kamu keterlaluan!â ucap Ratna penuh penekanan. âApa kamu pikir Mariana tega menyakiti keponakannya sendiri?â bentaknya.âIbu malah belain dia?â isak Bianca.Ratna menarik napas berat. âJangan mulai, Bianca. Dan jangan berpikiran pendek. Nggak semua orang punya niat jahat,â katanya tajam.Bianca memeluk bayinya erat-erat. Ia merasa terpojokkan.Mariana yang masih dia
Setelah urusan di butik selesai, Nate mengajak Mariana makan siang di sebuah restoran elegan di tengah kota. Meski masih siang, lilin putih menyala di setiap meja, dan musik akustik lembut mengalun dari sudut ruangan.Mariana mengenakan blus putih sederhana dan celana kain krem. Terlihat sederhana, tapi cukup untuk menonjolkan kecantikannya. Nate tak berhenti meliriknya sejak mereka duduk, dan Mariana mulai merasa gugup.âJangan terlalu menatapku begitu,â ujar Mariana pelan sambil memainkan kukunya.Nate menyandarkan punggung ke kursi, lalu tersenyum lebar. âKenapa? Aku hanya sedang menikmati pemandangan terbaik hari ini.âMariana hendak membalas, tapi pandangannya tertumbuk pada dua sosok yang baru masuk ke restoran. Arya dengan setelan kemeja rapi, berdiri di sebelah Arsita yang tersenyum manis sambil melambaikan tangan.âAku harap kamu tidak keberatan,â kata Nate sambil berdiri hendak menyambut orang tuanya. âMama yang minta ikut makan siang sama kita. Lalu Papa juga menyusul.âArs
Hari-hari berlalu dalam kesibukan. Seperti hari ini misalnya, Mariana mengikuti Arsita ke sebuah butik langganan keluarga Adikara. Tempat yang selama bertahun-tahun hanya menangani klien khusus dari kalangan atas.Mariana sempat terkesima ketika tahu kebaya untuknya bisa langsung diprioritaskan dan dijadwalkan fitting hanya dalam waktu singkat. Rupanya nama keluarga Adikara memang bukan sekadar simbol semata.Suasana butik itu elegan dan sunyi. Beberapa kain kebaya tergantung rapi di sisi ruangan, dengan warna-warna pastel yang lembut dan mewah.âSilakan duduk dulu, Sayang. Ibu pemilik sekaligus kepala perancang akan segera datang,â ucap Arsita ramah seperti biasa. Ia duduk di sofa panjang dekat rak display, lalu menyesap teh melati dari cangkir porselen.Mariana mengangguk sopan dan duduk berseberangan dengan wanita paruh baya itu.âTerima kasih sudah mau repot-repot memilihkan kebaya untuk aku, Ma,â ucap Mariana pelan. Rasanya agak canggung harus memanggil Arsita âMamaâ tepat sebelu
Ratna berdeham lembut sebelum bicara lagi, âTapiâĶ Ibu ingin Mariana tinggal di sini sampai hari pernikahan.â Suaranya tegas, membuat suasana menjadi hening sejenak.Semua terdiam menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.Ratna menatap Mariana dengan penuh perhatian. âIbu tahu rumah Nathaniel memang tempat yang aman untuk kamu, tapi Ibu yakin Bara nggak akan berani menyentuh kamu lagi. Kami sudah memberikan peringatan keras padanya. Selain itu, dia pasti takut berurusan lagi dengan seseorang seperti Nathaniel.âMariana terdiam, tidak langsung menjawab.Ratna menarik napas panjang sebelum melanjutkan, âIbu khawatir kalau kamu terus tinggal di sana, nanti akan muncul berita atau kesalahpahaman yang nggak kita inginkan.âMariana mengangguk pelan. Ia memandang kedua orang tuanya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke Nate yang duduk tenang.âBaik, aku akan tinggal di sini seperti yang Ibu katakan,â ucapnya lembut.Senyum tipis terbit di wajah Ratna. Armand juga mengangguk setuju. Tidak
Sore harinya, Mariana menemui orang tuanya di kediaman mereka. Ayahnya sedang duduk santai di teras ketika Mariana datang. Begitu melihat putri sulungnya turun dari mobil, senyum lebar langsung merekah di wajah pria paruh baya itu.âNa âĶ,â sambut Armand hangat sambil bangkit dari kursinya. âKamu terlihat berseri-seri.âMariana tersenyum tersipu, lalu menghampiri dan memeluk sang ayah.Armand menatap putri sulungnya dengan heran namun tak menanyakan lebih jauh. Ia hanya menepuk-nepuk punggung Mariana sebelum mengajaknya masuk.âAyo masuk dulu. Ibu kamu ada di dalam,â ucapnya.Namun Mariana menahan tangan ayahnya sebentar, lalu menarik napas dalam. âAyah âĶ sebelum aku ketemu Ibu, aku mau bicara dulu sebentar.âNada suaranya serius, tapi lembut. Armand mengernyit pelan, memperhatikan wajah putrinya yang tampak tenang meski ada secercah gugup di matanya.âAda apa, Na?âMariana menatap ayahnya lurus-lurus. Ia lalu meraih jemarinya sendiri, menyentuh cincin di jari manisnya sejenakâgerakan
Nate menempelkan dahinya pada dahi Mariana. âTerima kasih,â bisiknya, âkarena telah memberiku kesempatan.âMariana tersenyum lembut. âAku nggak tahu masa depan akan seperti apa, Nathaniel. Tapi aku ingin menjalaninya bersamamu.âNate mengangguk kecil. âKita jalani perlahan. Tak perlu terburu-buru. Yang penting, kita sama-sama.âMalam itu berakhir dengan hangat. Mereka tak bicara banyak lagi, hanya saling menggenggam tangan saat kembali ke mobil, duduk berdampingan dengan tenang seperti sepasang kekasih yang akhirnya menemukan rumahnya masing-masing.Sesampainya di rumah, Mariana masuk ke kamar sambil memegangi cincin di jarinya. Ia menatap benda kecil itu dengan mata sayuâbukan karena ragu, tapi karena terharu. Ia menyentuh bingkai foto Bella di atas meja kecil di pojok kamar, lalu tersenyum.âAku akan menjaga Elhan sebaik mungkin. Dan juga Nathaniel,â ucapnya pelan. âKamu tahuâĶ dia membuatku ingin terus hidup setelah kehilanganmu dan Selene.âLalu Mariana mematikan lampu, naik ke temp
Malam itu, Nate mengajak Mariana makan malam romantis di ruang privat sebuah hotel berbintang. Dengan balutan gaun peach sederhana membalut kulit putihnya, Mariana tampak begitu menawan.Kini, mereka duduk berhadapan, saling menatap penuh cinta sambil menunggu hidangan datang. Ruangan itu mewah, dihiasi mawar putih yang harum semerbak, dengan jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota berkelap-kelip di malam hari.âPemandangannya indah banget,â ujar Mariana dengan mata berbinar. Pandangannya tak lepas dari jendela yang memamerkan cahaya kota.Nate mengikuti arah pandangnya, lalu tersenyum kecil. âSudah lama kita tidak menghabiskan waktu seperti ini. Aku pilih tempat ini karena ingin memberimu malam yang spesial.âMariana menoleh, membalas senyum Nate dengan lembut. âTerima kasih, Sayang,â ucapnya tulus.Nate mengangguk, lalu menggenggam tangan Mariana yang tergeletak di atas meja, mengusapnya perlahan dengan sentuhan penuh kasih.Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa h
Nate sedang mondar-mandir di ruang tengah dengan langkah gelisah ketika suara langkah kaki mendekat. Ia spontan menoleh, dan napasnya langsung mengalir lega ketika Mariana muncul dengan senyum manis. Tanpa pikir panjang, ia berlari menghampiri sang kekasih.âKamu ke mana saja?â tanyanya tanpa basa-basi. Tatapan matanya menyapu wajah Mariana, memastikan wanita itu baik-baik saja.Mariana sempat terkejut, lalu menjawab santai, âAku ke minimarket.ââMinimarket?â Nate mengulang.âIya,â Mariana mengangguk sambil menenteng kantong belanjaan kecil. âAda yang harus kubeli.âNate menatap wanita itu sejenak. Tak lama, matanya langsung melunak. âKenapa tidak bilang ke Mbok Darmi atau aku?âMariana menghela napas pendek. âAku pikir cuma sebentar. Lagi pula, kamu masih di jalan pulang tadi.âNate mengusap wajahnya pelan. âKamu tidak menjawab teleponku tiga kali. Kamu tahu betapa khawatirnya aku?â katanya tegas.Mariana mengerjap beberapa kali. âAku lupa bawa ponsel. Ketinggalan di kamar,â jawabnya
Ponsel Nathaniel bergetar pelan di atas meja kaca saat rapat baru saja berakhir. Ia melirik ke layar, dan alisnya langsung bertaut. Lima panggilan tak terjawab dari satu namaâMama. Nate mengangguk singkat pada para anggota eksekutif yang mulai beranjak, lalu meraih ponselnya dan melangkah keluar ruangan. Begitu tiba di koridor luar, ia segera menekan tombol panggil untuk menghubungi kembali ibunya. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara lembut sang ibu menyapa dari seberang. âNathaniel, kamu bisa pulang ke rumah malam ini?â Nate bergumam sebentar. âAda apa, Ma?â tanyanya seraya berjalan menyusuri lorong menuju ruangan CEO. âTidak ada apa-apa,â jawab Arsita cepat. âTapi Mama ingin makan malam bareng kamu. Sudah lama kamu tidak mampir. Pulang, ya? Malam ini.â Arsita setengah memohon. âBaiklah. Setelah pulang kantor, aku mampir,â jawab Nate tanpa basa-basi. *** Langit mulai menggelap ketika Nate memasuki halaman rumah orang tuanya. Sorot lampu taman menyambutn