Wajah Mariana pucat pasi. Matanya sedikit membesar dan bibirnya bergetar tanpa suara. Ketakutan terlihat jelas di wajah cantiknya hingga membuat Nate segera mengambil alih situasi.Nate melangkah cepat, mengunci pintu belakang rapat-rapat, lalu kembali menghampiri Mariana dan menggiringnya ke ruang tengah tanpa berkata sepatah kata pun. Begitu wanita itu duduk di sofa, Nate berdiri di depannya sambil menatapnya lekat.“Malam ini kamu tidur di rumahku,” ucap Nate mantap. “Tidak ada penolakan.”Mariana lantas mendongak. “Aku—”“Jangan membantah, Mariana,” potong Nate cepat dan tegas, seperti keputusan yang tak bisa ditawar lagi.Nate menarik napas perlahan, kemudian mencoba menjelaskan dengan tenang. “Aku sendiri yang mengunci pintu belakang saat hari pertama kamu pindah. Aku ingat betul karena aku sempat keluar untuk memeriksa teras belakang.”Mariana terdiam. Tubuhnya langsung kaku dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Perasaannya memburuk seiring dengan ucapan Nate barusan.“Kalau
Tubuh Mariana kembali menegang sejenak saat mendengar nama itu disebutkan. Sendok di tangannya yang sempat terangkat kini kembali tergeletak di piring.“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya berdegup panik.Nate menarik napas sebelum menjawab. “Karena hanya dia satu-satunya yang akan bertindak gila terhadapmu. Sekarang aku memang belum memiliki bukti nyata, tapi aku akan terus menyelidiki ini sampai kita tahu pasti siapa pelakunya. Dan kalau memang itu dia, aku akan pastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi.”Mariana menunduk, menatap sendok yang kini tergeletak di piring.“Kalau benar dia …,” bisiknya getir. “Berarti dia bisa masuk ke mana pun. Ke rumah, ke kamarku, mandi di kamar mandiku dan menggunakan handukku—”“Apa?” Nate langsung memotong cepat, nada suaranya meninggi. “Dia bahkan mandi di kamar mandimu dan menggunakan handukmu?”Mariana menegang. Ia langsung menggigit bibir, menyesali ucapannya yang terlontar tan
Mariana berdiri di depan pintu rumah yang dulu pernah ia sebut rumah. Rumah tempat ia berusaha bertahan, hingga akhirnya memilih melepaskan. Jemarinya sempat ragu menyentuh bel pintu. Tapi pikiran tentang seseorang yang menyusup ke rumahnya—dan Nate yang menyebut nama Bara dengan penuh keyakinan—membuatnya menekan tombol itu.Tak lama kemudian, pintu dibuka. Bianca muncul di ambang pintu, mengenakan baju rumah longgar dengan perut buncitnya yang semakin menonjol. Wajahnya tampak terkejut sekilas, namun dengan cepat berubah menjadi datar.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Bianca, nada bicaranya ketus tanpa basa-basi.Mariana menelan ludah. Rasanya menjengkelkan melihat Bianca, tapi ia harus menghadapinya demi kelancaran misi.“Aku cuma mau ambil beberapa barangku yang mungkin tertinggal,” jawab Mariana tenang, walau jantungnya berdetak tidak karuan. “Waktu itu buru-buru pindah, aku belum sempat periksa semuanya.”Bianca menyilangkan tangan. “Kayaknya nggak ada yang tertinggal. Semua udah ka
Mariana menatap benda di atas meja kerja Nate—kantong plastik bening itu. Rasanya mual hanya dengan mengingat kembali bahwa seseorang yang pernah tidur di ranjang yang sama dengannya, bisa melakukan hal sejijik itu.Di seberangnya, Nate berdiri dengan tangan terkepal. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap bukti fisik yang baru saja Mariana serahkan.“Ini cukup, Na. Kita bisa bawa ini ke polisi,” ucap Nate, suaranya tenang tapi dingin. Padahal di dalam sana, amarahanya bergejolak luar biasa.Mariana menggigit bibir. Ia tahu Nate benar. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan meninggalkan Bara, hatinya kembali digelayuti konflik. Bukan karena cinta yang tersisa—tapi karena Bianca.“Sayang ….” Mariana menarik napas. “Bisa kita tunda dulu?”Dahi Nate mengernyit. “Tunda? Kamu serius?”Mariana mengangguk pelan. “Bukan karena aku ragu. Tapi karena Bianca.”Nate menghela napas. “Dia bukan korban dalam hal ini, Mariana. Dia memilih tetap bersama pria yang sudah menyakitimu. Dia bahk
Bianca terduduk di tepi ranjang, kedua tangannya menekan perutnya yang kian membesar. Napasnya tercekat, dan air mata yang tadi sempat berhenti, akhirnya jatuh lagi.“Aku cuma ingin keluarga kecil yang utuh,” bisiknya pilu.Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayang-bayang Mariana yang terus menari di pelupuknya. Mariana dengan tatapan lembut, Mariana yang selalu terlihat tenang bahkan saat disakiti. Mariana yang ... selalu dicintai.Sementara dirinya? Bianca tak lebih dari bayangan. Ia merasa seperti selingan di hidup Bara—wanita yang dinikahi karena keterpaksaan, bukan karena pilihan.“Aku istrinya sekarang. Kenapa dia nggak bisa lihat itu?”Ia membuka mata, menatap lantai dengan pandangan kosong. Ada denyut di pelipisnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah denyut di dadanya. Perasaan diabaikan, tak dipilih, meski sudah memberikan segalanya.Bianca menggenggam ujung selimut, kemudian memeluknya erat. Sesuatu di dalam dirinya terasa seperti retak. Tapi bukan retak yang membuatnya in
Keesokan paginya di ruang kerja Nate.Mariana menggenggam cangkir tehnya yang sudah mendingin. Tangannya terasa beku. Dan gemuruh di dadanya belum juga reda sejak tadi malam.Ia pikir kepindahannya ke rumah baru akan memberinya sedikit rasa aman. Tapi pagi ini, ketenangan itu kembali digerus—oleh Nate.“Aku ingin kamu melihat ini dulu,” ucap pria itu, matanya tajam menatap layar tablet di hadapannya.Mariana menoleh perlahan. Jantungnya langsung melonjak saat Nate memutar sebuah rekaman video.Gambar dari sudut gelap halaman rumah itu mulai bergerak.Seseorang muncul di layar—sosok pria berjaket gelap, topi menutupi sebagian wajahnya.Namun Mariana tak butuh waktu lama untuk mengenali siluet itu.Tubuhnya menegang. “Itu ….”“Bara,” potong Nate. “Rekaman CCTV dari rumah tetangga. Dia masuk lewat pintu samping rumahmu. Waktu rekaman menunjukkan pukul dua dini hari.”Sepuluh menit yang lalu, Nate menerima video itu dari orang kepercayaannya. Ia memang sudah menduga sesuatu sejak semalam,
Mata kedua orang tuanya membelalak seketika. Mereka saling berpandangan, kaget, tak percaya.“Aku menemukan celana dalam yang hilang di gudang rumah Bara,” lanjut Mariana. “Bianca memang bersikeras mengatakan bahwa itu miliknya, tapi aku tahu persis, itu milikku. Dan pagi ini, Pak Nathaniel menerima rekaman CCTV dari tetangga yang memperlihatkan Bara menyelinap masuk ke rumahku.”Tubuh Ratna seketika menegang. Sementara Armand hanya diam dengan rahang mengeras, dan tinjunya mengepal di atas lutut. Wajahnya tampak menahan amarah yang mulai mendidih.“Apa yang kamu bilang barusan benar, Mariana?” tanya Armand akhirnya. Mariana mengangguk pelan. “Benar, Yah. Aku nggak akan datang ke sini membawa cerita seperti ini kalau aku nggak punya bukti. Kalian bisa lihat sendiri videonya kalau mau.”Nate merogoh ponsel dari dalam saku celananya, lalu dengan tenang menyodorkannya ke arah Armand. “Ini, Om.”Armand mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia menonton rekaman itu dalam diam. Wajahn
Beberapa hari kemudian…Nate duduk di sebuah ruangan sempit dengan cahaya temaram. Di depannya, terbentang jendela kaca dua arah yang memisahkannya dari ruangan lain—tempat di mana beberapa pria berbadan besar sedang ‘memberi pelajaran’ pada seseorang.Dari balik kaca itu, Nate memperhatikan dalam diam. Sorot matanya tajam tanpa emosi.Di luar, seorang pria yang sudah babak belur tetap mencoba memberontak meski jelas tubuhnya nyaris tak kuat berdiri.“Lepaskan aku, bangsat! Kenapa kalian menghajarku, hah?!” teriak Bara, suara seraknya menggema penuh amarah.Nate hanya tersenyum miring mendengar itu. Tidak puas, tapi cukup untuk menenangkan rasa geram di dadanya. Pria itu—Bara—baru saja menerobos masuk ke rumah Mariana dan mencuri barang-barangnya.Dan sekarang, dia ada di tempat yang seharusnya.“Siapa yang menyuruh kalian?!” Bara kembali melawan. “Suruh aja bos kalian keluar, hadapi aku langsung kalau berani!”Salah satu pria paling kekar mendekat. Ia mencengkeram kerah kemeja Bara d
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.“Tante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.” Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.“Benar. Aku memang bilang kamu sengaja,” ucap Mariana tenang. “Karena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.”“Mariana,” tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen