Cahaya matahari pagi menyusup melalui tirai ruang observasi. Suasana masih sunyi.Elhan masih terlelap, wajahnya pucat dan tubuhnya tertutup sebagian oleh selimut rumah sakit. Di ranjang sebelah, Noel tampak nyenyak, tapi masih pucat.Mariana duduk di samping Elhan, wajahnya lelah namun enggan berpaling dari putranya. Ia bahkan belum berganti pakaian sejak semalam.Tiba-tiba, pintu diketuk dua kali dengan pelan.Seorang dokter muda masuk. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyiratkan bahwa ia membawa sesuatu yang penting. Tangan kirinya menggenggam clipboard.“Selamat pagi, Ibu Mariana, Bapak Nathaniel,” sapanya sambil sedikit menunduk.Mariana segera berdiri. Harap dan cemas berkelindan di matanya. “Ada kabar, Dok?”Dokter itu mengangguk. “Kami baru saja menerima hasil dari pemeriksaan laboratorium.”Sejenak, ia melirik anak-anak yang masih tidur, lalu menatap Mariana dan Nate dengan lebih serius. Ucapannya pelan, seolah tak ingin mengejutkan siapa pun.“Kami mendeteksi jejak senya
Setelah selesai berbicara di dapur, Mariana memotong beberapa irisan bolu untuk anak-anak, sementara Nate menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir. Tak lama kemudian, mereka kembali ke ruang keluarga. Nate membawa nampan berisi piring dan minuman, dan Mariana menyusul dengan senyum hangat.Ia meletakkan piring di hadapan kedua putranya.“Ini bolu buatan Nenek Ratna,” ujar Mariana lembut. “Yang rasa pandan, favorit kalian, kan?”Elhan sudah bersiap dengan ekspresi berbinar. “Elhan duluan, ya!” serunya, langsung menyantap sepotong besar dengan antusiasme khas anak-anak.Noel tak mau kalah. Ia mengambil potongan bolu di piringnya, menggigit pelan, lalu menutup mata sejenak. “Enak banget!”Mariana duduk di samping mereka, mengusap punggung Noel dengan lembut sambil tersenyum melihat kedua putranya menikmati makanan kesukaan mereka.Nate mengambil satu potong kecil dan mencicipinya. “Memang selalu seenak ini, ya. Aku bisa makan lima potong,” katanya terkekeh, lalu menyeruput teh hangatny
Satu minggu kemudian…Rumah orang tua Mariana dipenuhi aroma harum dari dapur. Ratna sedang memanggang kue bolu kesukaan cucu-cucunya, sementara Armand sibuk di taman belakang. Di ruang tengah yang sejuk dan terang oleh cahaya matahari pagi, Noel duduk bersila di atas karpet, begitu fokus pada robot kecil yang ia rakit sendiri.Tak jauh darinya, Thalia—putri Bianca—mengamati dengan sorot mata tak sabar. Rambut hitamnya dikuncir dua, dan ekspresinya menunjukkan kejenuhan.“Aku mau main juga,” ujar Thalia tiba-tiba. Tanpa menunggu tanggapan, ia melangkah cepat dan mendorong bahu Noel agar menjauh dari mainan itu.Noel terhuyung ke belakang. Siku kecilnya menghantam lantai.“Aduh!” serunya kaget. Ia tidak menangis, hanya memegangi lengannya dengan bingung.“Thalia!” Mariana segera bangkit dari kursi di dekat jendela dan menghampiri Noel. “Kamu nggak boleh main dengan cara seperti itu.”Namun sebelum Mariana sempat menegur lebih jauh, suara langkah cepat dan derap tumit memasuki rumah. Bi
Beberapa hari kemudian.Taman belakang kediaman Nate dan Mariana berubah menjadi lautan warna. Balon-balon biru dan putih bergelayut di sepanjang pagar, pita-pita berkilau melingkari pepohonan kecil, dan meja-meja kayu dihiasi kue-kue kecil serta kotak-kotak hadiah yang dibungkus rapi.Di tengah taman, sebuah spanduk besar bertuliskan ‘Happy 7th Birthday, Elhan!’ terbentang.Elhan berdiri di bawah spanduk itu dengan senyum lebar, mengenakan kaus bergambar pesawat luar angkasa favoritnya. Di sampingnya, Noel berusaha keras menahan diri agar tidak membuka kado lebih dulu.“Jangan sekarang, Noel,” bisik Elhan. “Kita harus tiup lilin dulu.”Musik anak-anak yang ceria mengalun pelan di latar. Beberapa anak tetangga dan teman sekolah Elhan berlarian di taman, sebagian lainnya mencoba permainan lempar bola atau melukis wajah di pojok yang sudah disiapkan.Di dekat meja kue, Mariana sibuk mengatur piring-piring kue sambil sesekali melirik ke arah kedua putranya yang sedang dikerubungi teman-t
Enam tahun kemudian…Langit biru cerah ketika Mariana baru saja tiba di makam Selene. Hari ini adalah peringatan kematian putrinya—yang tak sempat ia dekap dalam pelukan.Meski sudah bertahun-tahun berlalu, setiap langkah menuju batu nisan itu selalu membuat dadanya sesak. Tak ada waktu yang benar-benar bisa menyembuhkan kehilangan.Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih, kelopaknya lembut seperti angan tentang bayi perempuan yang tak pernah sempat ia nyanyikan lagu nina bobo. Rasa rindunya pada Selene tidak pernah menua, tidak pernah pudar, tidak pernah berubah menjadi kenangan biasa.Di belakang Mariana, suara langkah kecil terdengar menyusul.“Elhan, pelan-pelan,” ujar Nate lembut, menggandeng tangan putra mereka yang lebih kecil, Noel, yang kini berusia empat tahun.“Aku bawa bunga juga untuk Kak Selene, Ma,” ucap Elhan sambil memperlihatkan rangkaian bunga warna-warni hasil pilihannya sendiri.Mariana tersenyum sendu. “Terima kasih, Sayang. Kak Selene pasti senang.”Mereka
Mariana melangkah perlahan mendekati Nate yang duduk diam di sofa kamar mereka di kediaman Adikara. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di belakangnya, lalu melingkarkan kedua tangan ke leher sang suami, memeluknya dari belakang dengan pelan namun penuh kehangatan.Nate menoleh sedikit, tersenyum tipis. Ia lalu memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke lengannya Mariana, seolah menemukan jeda dalam kekacauan hari ini.“Gimana kalau makan malam dulu, Mas?” bisik Mariana lembut di dekat telinganya. “Kamu belum makan sejak siang, kan?”Nate menghela napas panjang, seolah baru menyadari perutnya memang kosong. Tapi bukan itu yang membuatnya letih. Kepalanya penuh.“Lapar sih iya,” gumamnya pelan. “Tapi rasanya semua makanan bakal hambar malam ini.”Mariana tak langsung menjawab. Ia hanya mengencangkan sedikit pelukannya, memberikan kehangatan yang tak bisa diucapkan dengan kata.“Aku tahu semuanya berat, Mas. Tapi kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian.”Nate membuka mata, lalu mena