Share

Chapter 2. Pacar Pura-pura

Harry menggelengkan kepala. Tampak jelas pria itu tak percaya dengan ucapan Anna.

“Apa saya nggak salah dengar?” tatap Harry tajam pada Anna, “nikah?” 

“Iya … nikah, tapi palsu,”  ujar Anna polos.

Harry memejamkan mata. Pria itu merasa ucapan Anna tak masuk akal.

Mungkinkah, wanita di depannya ini gegar otak gara-gara jatuh sebelumnya?

“Sayang, kamu tunggu di sini, ya,” ucap Harry mendadak menatap putrinya, “Papa akan menemui dokter. Sepertinya, Nona Anna mengalami gangguan di kepalanya, sehingga berbicara asal.” 

Mendengar itu, mata wanita itu sontak membulat. “Eiit, tunggu ... tunggu. Saya enggak gegar otak, saya normal dan sehat, saya sadar,” sahut Anna cepat.

“Lalu, kenapa kamu bicara ngawur? Kamu kira nikah itu bisa buat main-main?” ketus pria itu.

“Kamu kan belum kenal saya. Kamu lihat saya sudah punya anak, kan? Kamu tidak berpikir bagaimana perasaan istri saya?”

Anna menunduk seketika–menyadari tindakan konyolnya.

Wajar saja bila pria di hadapannya ini marah, kan?

Hanya saja, Amel tiba-tiba memotong ucapan sang ayah, “Pa, istri Papa siapa? Bukannya Amel enggak punya mama?”

Anak itu tersenyum jahil–membuat Harry tampak sedikit gugup. “I-iya ... itu misalkan, Sayang.”

“Jadi, enggak boleh seenaknya minta nikah sama orang  asing yang belum dikenal,” tambah pria itu lagi kembali memasang wajah angkuh pada Anna.

Amelia tampak mengangguk.

“Maaf, maksud saya bukan nikah sungguhan,” ucap Anna akhirnya setelah berhasil mengendalikan diri, “hanya pura-pura agar nenek saya tidak menyuruh saya nikah.”

“Saya juga enggak mau nikah. Makanya, saya kabur sampai tertabrak mobil Anda,” jelas wanita itu lagi tanpa disuruh.

Tampak, Harry memijit kening. “Maksudnya, bagaimana?” 

Anna menghela napas sambil menepuk  keningnya. “Duh, gimana ngejelasinnya?”

Drrt!

Suara ponsel Anna yang bergetar–membuat wanita itu segera membuka tasnya.

[ 7 Panggilan Tak Terjawab ]

Melihat itu, Annna membelakkan mata. Mama dan papanya tampak menghubunginya berkali-kali!

Segera, wanita itu menelpon balik kontak mamanya. “Halo–”

“Anna kamu di mana? Kenapa panggilan Mama dan Papa enggak diangkat dari tadi.” Terdengar suara Mama bergetar karena marah.

“I-iya, Ma. Maaf Anna baru buka handphone. Anna mengalami sedikit kecelakaan. Ini baru siuman makanya baru angkat panggilan Mama.”

“Kecelakaan? Kecelakaan apa? Anna, apa sebenarnya yang terjadi?” Suara mamanya kini berubah cemas.

Anna menghela napas. “Tadi, waktu Anna kabur, Anna lari sampai tidak lihat sekeliling sehingga tertabrak mobil. Sekarang, Anna ada di rumah sakit, tapi Anna enggak apa-apa kok, Ma. Nanti Anna segera pulang, Mama tenang saja, oke.”

“Apa?” teriak mamanya, “Tenang? Bagaimana tenang? Sebenarnya, ada apa? Mengapa kamu kabur? Tadi, Ardi marah-marah sama nenek karena dia merasa dipermainkan. Dia bilang tidak terima dipermalukan seperti ini."

“Ha? Tidak terima kenapa?” Kening Anna mengerut. “Memang, dia rugi apa? Apa dia sudah keluar biaya besar? Bilang sama dia, Anna akan ganti rugi.”

“Tidak penting soal ganti rugi itu, Anna. Masalahnya, setelah mendengar ucapan Ardi, nenek sangat marah, hingga mengalami serangan jantung, sekarang kondisinya kritis.”

“K–kritis?” beo Anna tak percaya. “Ya, Tuhan….Nenek kritis?”

“Sudah. Cepat kamu ke mari. Kalau terjadi hal yang buruk sama nenek, Om dan Tante kamu pasti akan menyalahkan kamu meski mereka sayang denganmu.”

Tuut! 

Panggilan pun terputus.

Anna memejamkan matanya. Tanpa sadar, air mata sudah mengalir deras di kedua pipinya.

Melihat itu, Amelia segera bertanya, “Kak Anna, kenapa menangis?”

Anak itu bahkan mengusap tangan Anna lembut, membuat wanita itu terisak. “Nenek Kakak kritis, dan semua karena Kakak.” 

Amelia segera memeluknya.

Anak kecil yang mudah tersentuh itu bahkan ikut menangis bersama Kakak Anna yang baru dikenalnya.

Melihat pemandangan di depannya, Harry sedikit melunak. Pria itu tampak menarik nafas dalam sebelum berbicara, “Sebenarnya, apa yang terjadi? Coba ceritakan pelan-pelan karena anak saya juga jadi ikut menangis.” 

Mendengar suara Harry, Anna sadar akan tindakannya.

Perlahan, wanita itu melepaskan pelukan Amel dan berusaha tersenyum pada anak itu. “Amel kenapa ikut menangis?”  Diulurkannya tangan dan menghapus air mata gadis cilik di depannya itu.

“Amel sedih lihat Kakak menangis, Amel juga jadi ingat nenek.”

“Ya sudah Kakak enggak akan menangis, tapi Amel juga jangan menangis lagi, ya?” bujuk Anna yang disambut dengan anggukan anak itu.  

Ketika melirik Harry yang menatapnya penasaran, Anna kemudian menghela napas pelan. “Dua hari lalu nenek saya datang. Beliau terus menanyakan kapan saya menikah. Jujur, saya memang belum kepingin menikah. Saya masih ingin menikmati hidup saya sendiri. Mama dan papa saya juga enggak masalah, tapi nenek beda. Beliau terus mendesak saya untuk menikah, karena saya belum juga menunjukan calon suami pilihan saya, akhirnya nenek memaksa saya untuk menerima pilihannya.”

Anna kembali menghela napas, ia memandang dinding kamar dengan tatapan kosong.

“Malam ini, nenek memaksa saya untuk ngedate dengan seorang lelaki kaya yang saya tidak kenal, tapi saya tidak suka sama sekali, sikapnya tidak sopan dan tatapan matanya membuat saya mual.”

“Kakak, kalau mual muntah aja,” potong Amelia, Anna tertegun.

“Oh iya, ya. Hehe.”

“Amel, jangan bercanda!”  ujar Harry menatap putrinya.

“Iya, Pa.”

“Saya mencari cara untuk menggagalkan kencan dengan lelaki itu. Akhirnya, saya mencari alasan untuk kembali ke kamar, lalu melompat dari balkon dan kabur. Nenek sangat marah, apalagi lelaki itu juga marah-marah sama nenek karena tidak terima dipermainkan. Akhirnya, penyakit jantung nenek kambuh, dan sekarang di rumah sakit masih belum sadar,” lanjut Anna.

“Itu sebabnya kamu meminta saya untuk nikah sama kamu?” tanya Harry sedikit kesal. Dia sebenarnya sedikit prihatin, tetapi pria itu paling tidak suka dilibatkan dalam masalah orang lain.

“Ya, tapi bukan sungguhan cuma untuk pura-pura,” cicit Anna pelan.

“Bagaimana mungkin nikah bisa pura-pura, nikah adalah sesuatu yang sakral.”

“Sakral kalau sungguhan, ini kan bohongan.”

“Pokoknya, saya nggak setuju dengan ide gila ini,”  tegas Harry.

“Saya mohon untuk kali ini saja bantu saya. Setidaknya, untuk menyelamatkan hidup nenek saya.”

Anna memohon. Ia terlihat sedih dan putus asa karena tidak tahu lagi harus bagaimana.

“Pa, kenapa Papa dan Kak Anna nggak pacaran aja dulu?” 

Kali ini, Amelia memberikan ide yang membuat keduanya terkejut. 

“Pacaran?!” seru Anna dan Harry hampir berbarengan menatap anak tersebut.

“Tuh, kan udah kompak, hihihi,” seloroh Amelia sambil tertawa, “serasi, deh!”

“Amel, jangan bercanda!” Harry mengingatkan kembali putrinya. 

Anak kecil itu menaikkan bahu, tampak seperti orang dewasa. “Pacaran pura-pura, Pa. Nanti, Kak Anna bilang ke nenek kalau Papa calon suami Kak Anna.”

Mendengar ucapan anak lucu itu, Anna kembali bersemangat, “Wah, boleh juga tuh usulannya! Amel pintar, ya.”

Amelia tertawa. Gadis manis itu bahkan mengajak Anna tos.

Diam-diam Harry memperhatikan keakraban antara Amelia dan Anna. Sepertinya, anak itu sangat menyukai Anna.

Jarang sekali, ia melihat Amelia bisa tertawa lepas begitu.

Harry tampak memijit keningnya, sebelum akhirnya duda satu anak itu kembali berbicara, “Baiklah, saya setuju, tapi ada syaratnya.”

Kini giliran Anna dan Amelia yang terkejut, keduanya menatap Harry.

“Syarat apa?” tanya Anna cepat.

“Kamu harus jadi baby sitter untuk putri saya.”

Anna dan Amelia saling berpandangan. “Pa, Amel sudah besar tidak perlu baby sitter. Lagian, ada si bibi di rumah.”

“Maksud Papa, menemani kamu karena bulan depan, Papa harus keluar negeri untuk urusan bisnis. Jadi, kamu enggak bosan dengan si bibi.”

“Oh …” angguk anak itu,  “kalau itu, Amel setuju.” 

“Gimana, Kak?”

Amelia kini menatap Anna.

“Deal, saya setuju,”  jawabnya cepat.

“Yeay, mulai sekarang kita berteman.”  

Amelia kembali bersorak dan mengajak Anna kembali tos tangan.

“Baiklah, saya akan mengantar kamu pulang,” ucap Harry kembali.

“Tapi, saya harus ke rumah sakit tempat nenek dirawat.”

“Apa kamu mau ke rumah sakit dengan pakaian seperti ini?”

Harry menatap Anna.

Wanita  itu  memang masih mengenakan gaun malam yang sedikit terbuka dan juga sedikit kotor karena terjatuh di jalan tadi.

“Iya juga sih, saya juga nggak nyaman dengan pakaian begini,” ucap Anna menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “ini karena nenek yang memaksa.” Akhirnya, Anna pun setuju untuk menunda mengunjungi neneknya. Harry juga segera menyelesaikan administrasi lalu mengantar Anna pulang.

Hanya saja, tanpa mereka sadari, sebuah mobil mengikuti mereka sejak mereka keluar rumah sakit.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
urif aditya
anaknya ngegemesin ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status