“Halo, Bos. Nona Joanna sudah kembali ke rumahnya,” lapor seorang pria di dalam avanza hitam yang membuntuti mobil Harry.
“Sama siapa, dia?”
Terdengar suara dingin dari orang yang dipanggil bos itu.“Sama lelaki yang menabraknya bos, ada anak kecil perempuan juga.”
“Oke, kau awasi saja dia sekalian selidiki siapa lelaki yang telah menabraknya itu.”
“Siap, bos!”
Setelah sambungan telepon itu terputus, Ardi tampak tersenyum dingin.
“Anna, aku tidak akan melepaskanmu, Sayang,” ucapnya psikopat, “kau milikku sejak awal.”
****
“Ini rumah, Kakak?”tanya Amelia ketika mobil Harry tiba di rumah Anna.
Wanita itu sontak tersenyum. “Bukan, Sayang. Ini rumah orang tua Kakak.”
“Kak Anna, janji ya besok ke rumah Amel?” ujar gadis cilik itu sambil menjulurkan jari kelingkingnya.
“Oke, tapi Kakak harus ke rumah sakit dulu ya menemui nenek,” jawab Anna sambil mengaitkan jari kelingkingnya ke jari mungil Amel.
“Oke, selamat malam Kakak Joanna cantik.”
Amelia kemudian merangkul Anna.“Selamat malam sayang, Amelia yang manis, yang imut yang pinter,” ujar Anna sambil mencium pipi Amelia gemes.
Harry memperhatikan keakraban Anna dengan putrinya.Dia masih saja heran dengan keduanya yang baru saja saling kenal namun terlihat sudah sangat dekat. Bahkan, keakraban keduanya terlihat tulus dan natural, berbeda jika dibandingkan dengan Elsa–perempuan yang sedang dekat dengan Harry saat ini.
“Jangan lupa, besok kita harus menemui nenek.” Anna mengingatkan Harry membuat pria itu tersadar dari lamunannya.
“Oke, jam berapa besok aku jemput?”
“Nggak usah dijemput, aku bawa mobil sendiri, kita janjian aja di rumah sakit jam sepuluh pagi.”
“Loh, kok jalan sendiri-sendiri? Kalian kan ceritanya pacaran, kalau pacaran itu jalannya harus bareng, harus bersama,” sela Amel.
“Terus gimana dong, Mel?”
“Ya Kakak harus bareng sama Papa. Nanti, Papa jemput Kakak dan bukain pintu buat Kakak.”
“Terus, jangan lupa saat di depan nenek Kak Anna harus gandeng tangan Papa,” tambah anak itu lagi.“Masa harus digandeng sih, Mel?”
“Ya iya dong Kak, kalau nggak nanti nenek nggak akan percaya kalau kalian pacaran,” balas Amelia.
Anna segera mencubit sayang pipi Amel. “Oh gitu ya, Mel? Yaudah, aku nurut apa kata teman imutku ini aja.”
“Emang kakak belum pernah pacaran, ya?” tanya Amelia polos yang membuat Anna tersenyum canggung dan menggeleng.
“Amel juga belum pernah, sih,” ucap anak itu lalu melihat pada Harry mendadak, “ya udah, nanti Papa ajarin Kak Anna pacaran, ya?”
“Ufz ….” Anna menutup mulutnya.
Ia tak bisa menahan tawa. Begitu pun, Harry ia tertawa melihat tingkah putrinya yang polos.“Ya udah, sudah malam, kamu harus segera tidur.” Harry mengingatkan putrinya.
“Baik, Pa.”
“Oh, iya Anna. Ini obatmu. Kata dokter, kalau kamu masih merasa pusing obatnya harus dihabiskan.”
“Terima kasih, Pak.”
“Kok Pak sih, Kak?” sela gadis kecil itu lagi.
“Oh, kakak salah lagi ya, Mel?”
“Mas dong Kak, ‘terima kasih Mas Harry' gitu.”
“Amel!” bentak Harry kesal yang membuat gadis kecil itu langsung terdiam dan tertunduk sedih.
Tanpa sadar, Anna melirik Harry sambil menggelengkan kepalanya–tak tega dengan teman imutnya itu.
Jadi, Anna memutuskan untuk mengikuti saran Amelia, “Oke, terima kasih, Mas Harry.”
Tak lupa, Anna tersenyum.“Amel jangan sedih ya, Sayang. Besok, dari rumah sakit, Kakak akan ke rumah Amel. Kita main bareng, oke?” bujuk Anna.
Amelia perlahan kembali mendongakkan wajahnya, “Janji ya, Kak?”
“Janji, tapi Amel senyum dulu, dong.”
Gadis manis itu pun tersenyum.“Nah gitu dong, itu baru teman Anna, nanti pulang Amel langsung bobo ya.”
“Iya Kak,” sahut Amel patuh.
“Oke, daah Amel, see you tomorrow.”
“Daah Kak Anna, love you.”
“Love you Amel.”
Anna tersenyum mengingat semua tingkah lucu gadis cilik itu.
Ia segera masuk ke rumahnya dan menuju kamar.
Setelah duduk di tepi ranjang, segera ia keluarkan ponsel dan menghubungi sang ibu.
“Halo, Ma. Anna enggak jadi ke rumah sakit jenguk nenek malam ini. Kepala Anna masih pusing. Kata dokter, harus istirahat dulu.”
“Ya sudah. Kamu istirahat aja,” ucap sang ibu, “tapi, bener kamu enggak apa-apa, An?”
“Nggak apa-apa Ma, cuma pusing. Ini sudah di rumah, kondisi nenek gimana, Ma?”
“Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar.”
“Oke, besok Anna ke sana.”
Panggilan keduanya pun terputus.
Anna memutuskan untuk segera mandi dan berganti pakaian. Diambilnya obat yang diberikan Harry dan meminumnya--mempersiapkan diri untuk hari esok yang panjang.
Pagi-pagi sekali, Harry sudah menjemputnya sesuai janji.
Keduanya pun pergi ke rumah sakit tempat nenek Anna dirawat.
“Bagaimana Amel, Mas?" tanya Anna membuka obrolan.
“Sudah di sekolah. Dia tadi berpesan agar kamu jangan lupa untuk datang.”
“Ia aku tidak lupa,” jawab Anna sambil tersenyum.
“Ada lagi pesan Amel yang bikin aku tertawa.”
“Pesan apa?”
“Aku disuruh ngajarin kamu pacaran,” geleng Harry menahan senyum, “ada-ada aja, bisa jadi pinteran kamu daripada aku.”
“Sok tahu, dari mana Mas tahu aku pinter pacaran?”
“Memang benar kamu belum pernah pacaran?” Harry balik bertanya.
“Benar, memang kenapa?”
“Aku kok nggak yakin, ya. Secara kamu cantik dan usia kamu bukan remaja belasan tahun lagi, masa iya nggak ada cowok yang ngantri?”
“Yang ngantri banyak tapi kalau akunya nggak mau, gimana?”
“Wah, jangan-jangan kamu....”
“Apa? Mau bilang aku lesbi, penyuka sesama jenis?” delik Anna tajam, “aku masih normal, ya. Memang, dulu aku pernah suka sama cowok waktu usia-usia belasan gitu lah. Tapi, dia nyakitin aku. Ya sudah, aku nggak tertarik lagi.”
Harry menaikkan sedikit bibirnya. “Memang, usia kamu sekarang berapa?”
“Desember tahun ini, 25 tahun. Masih muda, kan? Tapi, nenek nggak ngerti juga mendesak terus untuk menikah.”
“Terus, sampai kapan kamu akan bersandiwara di depan nenek kamu?” tanya Harry sembari fokus pada jalanan.
“Entahlah, nanti aku pikirin lagi caranya. Setidaknya, untuk saat ini, aku bisa menyelamatkan nenek dulu.”
Harry mengangguk santai–membuat Anna sadar dia belum berterima kasih pada pria di sampingnya ini.
“Terima kasih ya Mas, udah mengerti,” ucapnya.
“Tidak perlu berterima kasih, aku melakukannya karena putriku. Selama Amel ingin aku membantu, ya akan aku bantu,” jawab Harry datar.
‘Hmm, bapaknya Amelia angkuh juga ternyata. Aku jadi penasaran.’ Anna membatin di dalam hatinya.
Sementara itu, di rumah sakit, mama Anna sedang menunggu dengan cemas karena nenek belum juga sadar.
Biasanya, penyakit nenek kambuh tidak akan membuat wanita itu tidur selama ini.
“Ma …” Anna memeluk mamanya ketika sampai.
“Akhirnya kamu datang juga An,” sahut mama.
“Bagaimana kondisi nenek, Ma?”
“Sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah semalaman di ruang ICU, tapi masih belum sadar.”
“Boleh Anna melihat nenek, Ma?” pinta Anna seketika.
“Ya, masuklah! Ajak nenekmu bicara.”
Anna mengangguk sebelum menyadari bahwa sang mama menatap pria di sampingnya dengan penasaran.
“Oh, iya Ma! Kenalkan, ini Mas Harry.” Anna mengenalkan Harry kepada mamanya.
“Pagi Tante, saya Harry,” ujar Harry sopan.
Mama Anna tersenyum ramah. Namun, ia tidak bisa menutupi keterkejutannya. Segera, wanita itu menarik putrinya sambil berbisik curiga, “Anna, siapa laki-laki ini?”
“Nanti Anna jelasin semuanya Ma. Sekarang, Anna dan Mas Harry masuk dulu.”
Ia pun mengangguk meski masih bingung menatap pria yang dibawa putrinya.Perlahan, kedua anak manusia itu masuk bersama wanita itu ke ruangan sang Nenek yang masih terbaring lemah di tempat tidur.
Selang infus membelit tangan hingga ke hidungnya dan gerakan napasnya pun lemah.
Anna seketika meraih tangan neneknya yang dingin.
Air matanya pun jatuh–tak kuasa menahan kesedihan.
Semua ini karena dia.“Nek, maafin Anna ya, Nek. Anna sudah membuat Nenek seperti ini. Tapi Nek, Nenek harus tahu kenapa Anna melarikan diri dari Ardi, karena dia bukan laki-laki yang baik.”
Harry mendengarkan keluh kesah gadis yang jadi pacar pura-puranya itu.
Melihat langsung, pria itu baru menyadari masalah yang dihadapi Anna sangat pelik.
Tapi, cara ini pun tidak benar. Hanya saja, dia sudah berjanji jadi akan mengikuti saja permainan ini.
“Tapi, Nenek jangan khawatir ya. Sebenarnya, Anna sudah punya calon Nek. Ini sekarang dia ada di sini sama Anna.”
Mama yang mendengarkan sedari tadi akhirnya mengerti siapa Harry.
Hanya saja, ia sungguh bingung.
Benarkah dia pacar Anna? Bukankah, putrinya itu selalu bilang belum punya pacar? Mama Anna bergelut dengan berbagai pertanyaan di hatinya, hingga tiba-tiba Harry berteriak pelan mengejutkannya.“Tangan Nenek bergerak!”
Roda kehidupan terus berputar, mesin waktu pun terus berpacu. Hari demi hari berganti menjadi bulan, bulan pun terus berubah. Akhirnya kehamilan Anna pun genap 9 bulan.Seorang bayi laki-laki tampan telah dilahirkan, wajahnya sangat mirip dengan Harry, bak pinang dibelah dua. Anna merasa sangat takjub, ia benar-benar merasakan hidupnya menjadi sangat sempurna.Dulu, Anna selalu berpikir, menikah, lalu punya Anak, sangat merepotkan. Setiap hari hanya mengurus anak, sangat tidak bebas, itu sebabnya ia selalu berkeras menolak untuk menikah.Namun siapa sangka, berawal dari ide gilanya yang meminta lelaki yang tak dikenalnya itu untuk menikahinya. Ya, semua memang meluncur begitu saja tanpa ia pikirkan apa yang akan terjadi nantinya.Bermimpi pun tidak pernah, kalau ia akan menjadi istri seorang konglomerat berkebangsaan Inggris. Saat itu ia hanya asal meminta Harry menikahinya, yang dipikirkannya adalah bagaimana menyelamatkan sang nenek yang sedang koma.Siapa sangka, bak gayung bersam
“Ada apa Hubby?” tanya Anna melihat suaminya mematung setelah menerima panggilan telepon, “telepon dari mana?”Harry tidak menjawab, tapi kedua mata lelaki itu berkaca-kaca, ia langsung menatap Amelia dan bergegas memeluknya.“Sayang, Mommy …” Suara Harry terbata-bata seakan tak bisa lagi berbicara.“Ada apa dengan Sis Anne, Hubby?” potong Anna, ia menjadi cemas.Harry menghela napas panjang, ia berusaha mengatur berbagai perasaan yang bergejolak di hatinya, pria itu pun memeluk Amelia dan Anna. “Sis Anne … siuman.”“Apa? Mom sudah bangun?” Amelia seakan tidak percaya, Harry mengangguk.“Oh Tuhan!” Amelia langsung memeluk Harry dan Anna, tangis ketiganya pun pecah, tangis haru dan bahagia, sungguh tak bisa terucapkan dengan kata-kata.Begitu pun Nanny, wanita paruh baya itu tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia adalah saksi perjalanan keluarga ini, seketika terlintas semua kenangan masa lalu, saat-saat ia mulai mengasuh dua putra keluarga terkemuka ini, David dan Harry.Wanita itu p
“Ada apa?” tanya Vincent kepada anak buahnya, “cepat periksa!”“Baik Boss” Pria itu pun bergegas, sementara Vincent membuka laci mejanya, mengeluarkan 2 buah pistol yang tergeletak di sana.“Gawat Boss!” ujar anak buah Vincent yang tadi melihat ke luar.“Ada apa?”“Kita sudah dikepung!” jawab lelaki itu terengah-engah.“Sial!” Vincent segera memeriksa monitor keamanan, baku tembak pun mulai terdengar.“Boss! Anda harus bersiap menyelamatkan diri, biar di sini anak-anak yang menghadapi.”“Ok, kamu kumpulkan bahan-bahan penting, cepat!”“Siap, Boss!” Tidak berapa lama keduanya pun masuk ke ruang rahasia.“Boss, bagaimana dengan Nona Rebecca?”“Ah tidak penting, kita tidak membutuhkannya, biar saja dia ditangkap tidak banyak juga informasi yang dia tahu.”“OK.” Keduanya pun memasuki lorong rahasia yang gelap dan sempit, namun lorong itu cukup panjang.Sementara itu pihak kepolisian terus merangsek masuk, baku tembak pun terdengar saling bersahutan, hal itu terdengar pula ke kamar Reb
Harry sangat cemas, berbagai bayangan buruk melintas begitu saja di benaknya, hal itu membuatnya jadi kurang fokus. Nyaris mobilnya menyenggol mobil lain.“Son, tenangkan dirimu. Jika kau tidak fokus seperti ini, akan sangat buruk dampaknya, sedapat mungkin kau harus menghindari guncangan.”Nanny mengingatkan Harry sambil menepuk bahu lelaki itu lembut. Harry menghela napas, lalu mengurangi kecepatan laju mobilnya.“Nyonya, apa rasanya kencang sekali?” tanya Nanny pada Anna sambil menletakan tangannya di atas perut Anna yang tidak mampu berbicara lagi, ia hanya mengangguk pada Nanny.“Oke, sepertinya kram perut, coba untuk rileks dan mengatur napas.” Anna kembali mengangguk, ia pun mengikuti intruksi Nanny.Tidak lama berselang mereka pun tiba di rumah sakit, Harry segera menggendong istrinya dan membawanya ke unit gawat darurat, tim dokter pun segera melakukan pemeriksaan.Harry sangat gugup, ia mondar-mandir gelisah. Nanny kembali menenagkannya, dan meminta anak asuhnya itu untuk d
Pelayan itu terengah-engah, nampak ia lari tergesa-gesa. “Ada apa?” tanya Nanny. Anna dan Amelia pun berhenti, ikut memperhatikan si pelayan.“Ada orang mabuk menabrak gerbang depan, ditegur security malah dia yang marah-marah dan minta ganti rugi.”Anna dan Nanny saling berpandangan sekilas, namun Nanny segera meminta izin kepada Anna untuk melihat ke luar.“Nyonya dan Nona tenang saja, biar saya yang urus,” ujar Nanny.“Okay, Nanny. Lihat saja kerusakannya, kalau dia minta ganti, bawa saja mobilnya ke bengkel, lalu panggil tukang untuk memperbaiki gerbang jika ada kerusakan.”“Baik Nyonya, saya permisi dulu.” Nanny pun bergegas ke luar diikuti pelayan tadi, Anna dan Amelia pun duduk sambil minum air putih.“Aneh ya, Ma. Masa dia yang menabrak malah minta ganti rugi sama kita.” Amelia berpendapat, mengomentari keributan yang dijelaskan sang pelayan.“Ya namanya orang cari keuntungan, bisa macam-macam, Sayang.” Anna tersenyum sambil meneguk air di botolnya.”Cari keuntungan?” Amel m
Postman gadungan itu tersentak, ia menoleh dan melihat ke samping. Seorang lelaki mengenakan jaket dan kaca mata hitam dengan wajah dingin menodongkan pistol ke arahnya,Sontak lelaki yang sedang membuka seragam petugas post itu menggigil ketakutan, ia mengikuti isyarat si penodong untuk masuk ke dalam mobil, yang berhenti tidak jauh dari mereka, lalu melaju meninggalkan tempat itu.Sedangkan di kediaman Barnes, Harry tiba di rumah setelah mendapat telepon dari Nanny, wanita itu segera menyerahkan surat kedua yang dikirim si penjahat. Ia semakin marah membaca isinya, namun Nanny mengingatkan agar Harry tenang dan menenangkan Anna yang masih syock karena membaca isi surat itu.Harry segera menemui Anna yang sedang duduk sendirian di kamar. Wanita itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Yah, Anna memang sedang berusaha memperkirakan berbagai kemungkinan, bahkan yang terburuk.Tidak dipungkiri, sebelum menikah Anna adalah seorang gadis tomboi yang pemberani, ia tidak gentar menghadapi