Share

Chapter 3. Sandiwara Dimulai

“Halo, Bos. Nona Joanna sudah kembali ke rumahnya,” lapor seorang pria di dalam avanza hitam yang membuntuti mobil Harry.

“Sama siapa, dia?” 

Terdengar suara dingin dari orang yang dipanggil bos itu.

“Sama lelaki yang menabraknya bos, ada anak kecil perempuan juga.”

“Oke, kau awasi saja dia sekalian selidiki siapa lelaki yang telah menabraknya itu.”

“Siap, bos!”

Setelah sambungan telepon itu terputus, Ardi tampak tersenyum dingin.

“Anna, aku tidak akan melepaskanmu, Sayang,” ucapnya psikopat, “kau milikku sejak awal.”

****

“Ini rumah, Kakak?”tanya Amelia ketika mobil Harry tiba di rumah Anna. 

Wanita itu sontak tersenyum. “Bukan, Sayang. Ini rumah orang tua Kakak.”

“Kak Anna, janji ya besok ke rumah Amel?” ujar gadis cilik itu sambil menjulurkan jari kelingkingnya.

“Oke, tapi Kakak harus ke rumah sakit dulu ya menemui nenek,”  jawab Anna sambil mengaitkan jari kelingkingnya ke jari mungil Amel.

“Oke, selamat malam Kakak Joanna cantik.” 

Amelia kemudian merangkul Anna.

“Selamat malam sayang, Amelia yang manis, yang imut yang pinter,” ujar Anna sambil mencium pipi Amelia gemes.

Harry memperhatikan keakraban Anna dengan putrinya.Dia masih saja heran dengan keduanya yang baru saja saling kenal namun terlihat sudah sangat dekat. Bahkan, keakraban keduanya terlihat tulus dan natural, berbeda jika dibandingkan dengan Elsa–perempuan yang sedang dekat dengan Harry saat ini. 

“Jangan lupa, besok kita harus menemui nenek.” Anna mengingatkan Harry membuat pria itu tersadar dari lamunannya.

“Oke, jam berapa besok aku jemput?”

“Nggak usah dijemput, aku bawa mobil sendiri, kita janjian aja di rumah sakit jam sepuluh pagi.”

“Loh, kok jalan sendiri-sendiri? Kalian kan ceritanya pacaran, kalau pacaran itu jalannya harus bareng, harus bersama,” sela Amel.

“Terus gimana dong, Mel?”

“Ya Kakak harus bareng sama Papa. Nanti, Papa jemput Kakak dan bukain pintu buat Kakak.”

“Terus, jangan lupa saat di depan nenek Kak Anna harus gandeng tangan Papa,” tambah anak itu lagi.

“Masa harus digandeng sih, Mel?”

“Ya iya dong Kak, kalau nggak nanti nenek nggak akan percaya kalau kalian pacaran,” balas Amelia.

Anna segera mencubit sayang pipi Amel. “Oh gitu ya, Mel? Yaudah, aku nurut apa kata teman imutku ini aja.” 

“Emang kakak belum pernah pacaran, ya?” tanya Amelia polos yang membuat Anna tersenyum canggung dan menggeleng.

“Amel juga belum pernah, sih,” ucap anak itu lalu melihat pada Harry mendadak, “ya udah, nanti Papa ajarin Kak Anna pacaran, ya?”

“Ufz ….” Anna menutup mulutnya.

Ia tak bisa menahan tawa. Begitu pun, Harry ia tertawa melihat tingkah putrinya yang polos.

“Ya udah, sudah malam, kamu harus segera tidur.” Harry mengingatkan putrinya.

“Baik, Pa.”

“Oh, iya Anna. Ini obatmu. Kata dokter, kalau kamu masih merasa pusing obatnya harus dihabiskan.”

“Terima kasih, Pak.”

“Kok Pak sih, Kak?”  sela gadis kecil itu lagi.

“Oh, kakak salah lagi ya, Mel?”

“Mas dong Kak, ‘terima kasih Mas Harry' gitu.”

“Amel!” bentak Harry kesal yang membuat gadis kecil itu langsung terdiam dan tertunduk sedih.

Tanpa sadar, Anna melirik Harry sambil menggelengkan kepalanya–tak tega dengan teman imutnya itu.

Jadi, Anna memutuskan untuk mengikuti saran Amelia, “Oke, terima kasih, Mas Harry.”

Tak lupa, Anna tersenyum.

“Amel jangan sedih ya, Sayang. Besok, dari rumah sakit, Kakak akan ke rumah Amel. Kita main bareng, oke?” bujuk Anna.

Amelia perlahan kembali mendongakkan wajahnya, “Janji ya, Kak?”

“Janji, tapi Amel senyum dulu, dong.” 

Gadis manis itu pun tersenyum.

“Nah gitu dong, itu baru teman Anna, nanti pulang Amel langsung bobo ya.”

“Iya Kak,” sahut Amel patuh.

“Oke, daah Amel, see you tomorrow.”

“Daah Kak Anna, love you.

Love you Amel.”

Anna tersenyum mengingat semua tingkah lucu gadis cilik itu. 

Ia segera masuk ke rumahnya dan menuju kamar.

Setelah duduk di tepi ranjang, segera ia keluarkan ponsel dan menghubungi sang ibu.

“Halo, Ma. Anna enggak jadi ke rumah sakit jenguk nenek malam ini. Kepala Anna masih pusing. Kata dokter, harus istirahat dulu.”

“Ya sudah. Kamu istirahat aja,” ucap sang ibu, “tapi, bener kamu enggak apa-apa, An?”

“Nggak apa-apa Ma, cuma pusing. Ini sudah di rumah, kondisi nenek gimana, Ma?”

“Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar.”

“Oke, besok Anna ke sana.”

Panggilan keduanya pun terputus.

Anna memutuskan untuk segera mandi dan berganti pakaian. Diambilnya obat yang diberikan Harry dan meminumnya--mempersiapkan diri untuk hari esok yang panjang.

Pagi-pagi sekali, Harry sudah menjemputnya sesuai janji.

Keduanya pun pergi ke rumah sakit tempat nenek Anna dirawat.

“Bagaimana Amel, Mas?" tanya Anna membuka obrolan.

“Sudah di sekolah. Dia tadi berpesan agar kamu jangan lupa untuk datang.”

“Ia aku tidak lupa,” jawab Anna sambil tersenyum.

“Ada lagi pesan Amel yang bikin aku tertawa.”

“Pesan apa?”

“Aku disuruh ngajarin kamu pacaran,” geleng Harry menahan senyum, “ada-ada aja, bisa jadi pinteran kamu daripada aku.”

“Sok tahu, dari mana Mas tahu aku pinter pacaran?”

“Memang benar kamu belum pernah pacaran?” Harry balik bertanya.

“Benar, memang kenapa?”

“Aku kok nggak yakin, ya. Secara kamu cantik dan usia kamu bukan remaja belasan tahun lagi, masa iya nggak ada cowok yang ngantri?”

“Yang ngantri banyak tapi kalau akunya nggak mau, gimana?”

“Wah, jangan-jangan kamu....”

“Apa? Mau bilang aku lesbi, penyuka sesama jenis?” delik Anna tajam, “aku masih normal, ya. Memang, dulu aku pernah suka sama cowok waktu usia-usia belasan gitu lah. Tapi, dia nyakitin aku. Ya sudah, aku nggak tertarik lagi.”

Harry menaikkan sedikit bibirnya. “Memang, usia kamu sekarang berapa?”

“Desember tahun ini, 25 tahun. Masih muda, kan? Tapi, nenek nggak ngerti juga mendesak terus untuk menikah.”

“Terus, sampai kapan kamu akan bersandiwara di depan nenek kamu?” tanya Harry sembari fokus pada jalanan.

“Entahlah, nanti aku pikirin lagi caranya. Setidaknya, untuk saat ini, aku bisa menyelamatkan nenek dulu.”

Harry mengangguk santai–membuat Anna sadar dia belum berterima kasih pada pria di sampingnya ini.

“Terima kasih ya Mas, udah mengerti,” ucapnya.

“Tidak perlu berterima kasih, aku melakukannya karena putriku. Selama Amel ingin aku membantu, ya akan aku bantu,”  jawab Harry datar.

‘Hmm, bapaknya Amelia angkuh juga ternyata. Aku jadi penasaran.’ Anna membatin di dalam hatinya.

Sementara itu, di rumah sakit, mama Anna sedang menunggu dengan cemas karena nenek belum juga sadar.

Biasanya, penyakit nenek kambuh tidak akan membuat wanita itu tidur selama ini.

“Ma …”  Anna memeluk mamanya ketika sampai.

“Akhirnya kamu datang juga An,” sahut mama.

“Bagaimana kondisi nenek, Ma?”

“Sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah semalaman di ruang ICU, tapi masih belum sadar.”

“Boleh Anna melihat nenek, Ma?” pinta Anna seketika.

“Ya, masuklah! Ajak nenekmu bicara.”

Anna mengangguk sebelum menyadari bahwa sang mama menatap pria di sampingnya dengan penasaran. 

“Oh, iya Ma! Kenalkan, ini Mas Harry.” Anna mengenalkan Harry kepada mamanya.

“Pagi Tante, saya Harry,”  ujar Harry sopan.

Mama Anna tersenyum ramah. Namun, ia tidak bisa menutupi keterkejutannya. Segera, wanita itu menarik putrinya sambil berbisik curiga, “Anna, siapa laki-laki ini?”  

“Nanti Anna jelasin semuanya Ma. Sekarang, Anna dan Mas Harry masuk dulu.”

Ia pun mengangguk meski masih bingung menatap pria yang dibawa putrinya.

Perlahan, kedua anak manusia itu masuk bersama wanita itu  ke ruangan sang Nenek yang masih terbaring lemah di tempat tidur. 

Selang infus membelit tangan hingga ke hidungnya dan gerakan napasnya pun lemah.

Anna seketika meraih tangan neneknya yang dingin. 

Air matanya pun jatuh–tak kuasa menahan kesedihan.

Semua ini karena dia.

“Nek, maafin Anna ya, Nek. Anna sudah membuat Nenek seperti ini. Tapi Nek, Nenek harus tahu kenapa Anna melarikan diri dari Ardi, karena dia bukan laki-laki yang baik.”

Harry mendengarkan keluh kesah gadis yang jadi pacar pura-puranya itu.

Melihat langsung, pria itu baru menyadari masalah yang dihadapi Anna sangat pelik. 

Tapi, cara ini pun tidak benar. Hanya saja, dia sudah berjanji jadi akan mengikuti saja permainan ini.

“Tapi, Nenek jangan khawatir ya. Sebenarnya, Anna sudah punya calon Nek. Ini sekarang dia ada di sini sama Anna.”

Mama yang mendengarkan sedari tadi akhirnya mengerti siapa Harry

Hanya saja, ia sungguh bingung.

Benarkah dia pacar Anna? Bukankah, putrinya itu selalu bilang belum punya pacar?

Mama Anna bergelut dengan berbagai pertanyaan di hatinya, hingga  tiba-tiba Harry berteriak pelan mengejutkannya.

“Tangan Nenek bergerak!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status