Setelah melihat di dalam video tersebut, Mario kali ini benar-benar tidak bisa lagi mengelah dan mencari alasan untuk membela dirinya, karena bukti sudah sangat jelas sekali.
“Mau beralasan apalagi kamu sekarang, hah?!” tanya Kalula dengan nada yang rendah. Perasaan gadis itu saat ini benar-benar sakit sekali, pria yang sudah dia kenal selama dua tahun terakhir ini‒ pria yang selalu baik dan perhatian, ternyata tega mengkhianati dengan saudara tirinya. Berulang kali Kalula mengambil napas dalam-dalam seraya memejamkan matanya. Setelah itu, kakinya berjalan mundur dan mendongakkan kepalanya lagi menatap Mario, “Mulai saat ini, hubungan kita sudah benar-benar berakhir. Ini terkahir kalinya kita ketemu, aku tidak ingin melihatmu lagi dan jangan pernah ganggu aku setelah ini.” Tangis Kalula kembali pecah. Setelah mengatakan itu, Kalula beranjak pergi meninggalkan semua orang yang ada di sana. Nimas beberapa kali memanggil namanya, tetapi tidak di hiraukan. Gadis itu berjalan menyusuri trotoar sambil menangis, dia tidak tahu akan ke mana, sekarang dia tidak memiliki tempat tinggal untuk pulang. Kalula tiba di taman yang tampak sepi, tidak jauh dari toko tempatnya bekerja. Tiba-tiba saja hujan turun sangat deras, mengguyur seluruh tubuhnya hingga basah kuyup. Tetapi Kalula sama sekali tidak perduli, dan tetap diam duduk di tempatnya. Sebuah mobil hitam milik Sagala berhenti tidak jauh dari taman itu, kedua pria yang berada di dalam mobil itu terus menatap lurus ke arah Kalula, “Kasihan sekali perempuan itu, sudah di selingkuhi kekasihnya dan harus berujung tidur denganmu.” Ucap Erik. “Sialan kau!” Sagala menoyor kepala Erik, kedua pria itu memang sangat akrab karena mereka memang sudah bersahabat sejak kuliah, “Memangnya kenapa kalau tidur denganku, hah?! Aku ini tampan, dan aku juga seorang CEO, semua wanita sangat ingin tidur denganku tapi aku menolak mereka semua.” Sambungnya lagi. “Ya ya ya.. kau memang selalu percaya diri sekali dari dulu, tidak pernah berubah sedikitpun.” Balas Erik. “Ck.. perempuan itu ngapain sih kaya anak kecil banget, segala hujan-hujanan di sana.” Gerutu Sagala. Sementara Kalula sedang menunduk, pundaknya bergetar kuat karena menangis. Namun, tiba-tiba dia tidak merasakan ada air hujan yang jatuh ke tubuhnya lagi. Kemudian Kalula mendongakkan wajahnya dan tatapan matanya bertemu dengan sorot mata milik Sagala‒ pria itu sedang memegang payung dan melindungi dirinya dari air hujan. “Apa dengan cara hujan-hujan seperti ini semua masalah akan selesai?” tanya Sagala dengan nada datarnya, “Hujan-hujan di taman, kaya anak kecil.” Kalula saat ini sangat tidak ingin sebenarnya bertemu lagi dengan pria yang ada di hadapannya ini, gadis itu mencibir, “Lalu apa urusannya denganmu? Dan untuk apa juga kau kesini?” ketus Kalula yang merasa kesal. “Ck! Menyebalkan sekali perempuan ini.” Gumam Sagala. Sagala mulai kesal. Tetatpi dia juga merasa kasihan karena tubuh Kalula karena terlihat sudah mulai kedinginan itu, langsung mengangkat tubuh mungil Kalula dengan satu tangan lalu menggendongnya seperti karung beras. “Lepaskan aku!” “Kau akan membawaku kemana?” “Jangan teriak! Nanti ada orang yang lihat, di sangka aku mau menculikmu.” Ujar Sagala. Pria itu segera menurunkan Kalula di jok mobil belakang dengan cukup keras, lalu Sagala juga ikut duduk di sebelahnya, “Pulang sekarang.” Titahnya pada Erik. Kendaraan tidak terlalu banyak yang berlalu lalang di jalan, karena memang sudah malam di tambah lagi sedang hujan deras, pasti semua orang lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah, tidak seperti Kalula yang justru masih kelayapan. Beberapa menit berlalu. Mobil hitam yang di naiki oleh Kalula itu memasuki sebuah halaman rumah yang sangat luas sekali, bahkan lebih luas dari rumahnya. Matanya terlihat sangat takjub. “Cepat turun!” ucap Sagala ketus, “Apa kau ingin tetap disini, hmm?!” Dengan kesal Kalula pun turun dari dalam mobil, kemudian langkah kakinya mengikuti pria itu tepat di belakangnya. Sesampainya di dalam rumah, dia di buat melongo lagi dengan ruangan demi ruangan yang ada di rumah ini. “Sunggah sangat kaya sekali pria ini, rumahnya aja semewah ini.” ucap Kalula tetapi hanya di dalam hati, “Sepertinya dia bukanlah orang yang sembarangan.” Sambungnya lagi, karena dia melihat beberapa orang pria yang memakai baju serba hitam sedang berjaga di beberapa titik sudut rumah ini. “Tika! Tolong kamu bantu dia untuk bersih-bersih di kamar yang ada di sebelah kamar saya.” Titah Sagala pada salah satu maid nya. “Baik, tuan.” Jawab Tika seraya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, “Mari ikuti saya, nona.” Ajak wanita itu. Tanpa membantah, Kalula pun segera mengikuti Tika menuju ke lantai dua, “Silahkan masuk, nona.” Tika membukakan pintu kamar tersebut, lalu mempersilahkan gadis itu untuk masuk terlebih dulu, setelah itu dia juga ikut masuk ke dalam. “Kamar yang sangat indah.” Seru Kalula. Kedua matanya benar-benar sangat di manjakan dengan suasana kamar itu. Kamar yang cukup luas dengan nuansa putih dan sedikit sentuhan fitur dinding berwarna gold menambah kesan mewah. Di tambah lagi memiliki jendela yang cukup lebar, sehingga membuat siapapun yang menempati kamar itu akan di suguhkan pemandangan yang indah di pagi hari. “Silahkan, nona. Air hangatnya sudah siap, di dalam juga sudah ada handuk.” Ucap Tika, membuyarkan lamunan Kalula. “Ah.. terimakasih, maaf sudah merepotkan.” Ucap Kalula. “Sudah tugas saya untuk melayani anda, nona.” Jawab wanita itu, “Jika anda membutuhkan sesuatu lagi, bisa memanggil saya dengan memencet tombol yang ada di samping tempat tidur itu.” Tika menunjukkan sebuah tombol. *** Keesokan harinya. Kedua mata Kalula mengerjap pelan menyesuiakan cahaya yang masuk mengenai matanya, “Nyenyak sekali tidurku semalam.” Ucapnya seraya meregangkan otot-otot tubuhnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam. Gadis itu segera turun dari tempat tidur, membersihkan diri di dalam kamar mandi. Baru keluar dari kamar mandi dan masih mengenakan handuk yang melilit tubuhnya sebatas paha itu, langsung berteriak karena di kejutkan oleh keberadaan Sagala. “Ng-ngapain anda masuk ke kamar saya?!” seru Kalula. Gadis itu terlihat sekali sangat gugup, kedua tangannya memegang lilitan handuknya dengan sangat erat agar tidak terlepas. “Kamar ini ada di rumah saya, jadi suka-suka saya ingin masuk ke kamar mana saja.” Pria itu menjawab dengan nada datar. Dia tidak tahu apa, jika Kalula sudah sangat gugup. Jantungnya berdetak tidak beraturan saat ini, rasanya seperti akan melompat dari tempatnya. “Cepatlah bicara, mau apa kau masuk ke sini?” tanya Kalula sudah mulai sedikit kesal, “Aku harus segera pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.” “Mendekatlah,” ujar Sagala seraya menatap Kalula, “Lagipula saya mengajakmu ke sini tidak untuk menjadi pembantu.” Sementara gadis itu terdiam kaku di tempatnya. Untuk apa pria itu menyuruhnya untuk mendekat, membuat takut dan berpikiran yang tidak-tidak saja. “Kenapa masih berdiri disitu? Atau mau saya gendong lagi, hmm?!” ujarnya lagi. “T-tidak perlu.” Kalula segera melangkah cepat dan berdiri di depan Sagala. Pandangan mata keduanya saling bertemu. Gugup‒ itu sudah pasti Kalula rasakan saat ini, bahkan detak jantungnya pun berpacu sangat cepat dari biasanya. “Kalula Anjani Putri, anak dari Teo Atmaja pemilik perusahaan TA Group.” Ujar Sagala membuat Kalula melongo, “Dan karena kejadian kemarin malam, kau di usir kan dari rumahmu oleh pria tua bangka itu.” Bagaimana bisa pria itu mengetahui identitasnya, siapa yang memberitahunya. “Tidak perlu terkejut seperti itu. Mendapatkan informasi tentangmu itu bukanlah hal yang sulit bagi saya.” Ucap nya lagi. “Cih... sombong sekali.” Cibir Kalula. “Jika kau sudah mengetahui tentang identitasku, lalu apa yang kau inginkan dariku, hah?!” tanya Kalula ketus. Terlihat pria itu menjelaskan apa saja yang harus di lakukan oleh Kalula. Sagala tampak serius dalam berbicara. Sementara Kalula hanya mendengarkan seraya menampilkan ekspresi terkejut. Jelas saja gadis itu terkejut, secara tiba-tiba Sagala memintanya untuk berpura-pura untuk menjadi kekasihnya. “Bagaimana, Kalula? apakah kamu paham?” tanya Sagala setelah menjelaskan beberapa tugas gadis itu selama menjadi pacar pura-puranya. “Ide gila macam apa ini? kenapa jadi tiba-tiba aku harus menjadi kekasihnya?” batin Kalula cukup terkejut, “Ck! Kekasih pura-pura, Kalula.” sambungnya lagi seraya memukul dahinya sendiri. “Hmmm.. akan aku pikirkan lagi,” jawab gadis itu. “Kalau sudah tidak ada yang mau di bicarakan lagi, anda boleh keluar sekarang karena saya akan berganti baju.” Usir Kalula. Kalula mengantar Sagala sampai di depan pintu kamarnya, gadis itu segera memutar tubuhnya dengan cepat. Namun, baru saja dia akan menutup pintu terdengar suara Sagala memanggil lagi. “Tunggu sebentar!” Di saat Kalula berbalik badan, dia sangat terkejut karena posisi Sagala sangat dekat dengannya. Aroma tubuh pria itu menusuk indera penciumannya. Gadis itu teringat kembali dengan kejadian yang mereka alami kemarin malam. “Kenapa bengong? Apa yang kau pikirkan?” ucap Sagala. Pria itu sedikit merendahkan kepalanya. Hingga terpaan nafasnya mengenai rambut gadis itu. “S-siapa yang bengong?!” Kalula dengan berani langsung mendongakkan kepalanya. Deru napas milik pria itu menerpa wajah milik Kalula, sehingga membuat gadis itu semakin gugup, “Situasi seperti apa ini, Kalula. Tenang, Kalula. Gak boleh kelihatan gugup.” Baru saja Kalula hendak berbicara, tiba-tiba suara maid mengagetkan mereka berdua. Kalula dan Sagala reflek langsung saling menjauhkan diri. Kemudian dengan cepat, Kalula bersembunyi di belakang tubuh pria itu. “Ada apa, Tika?” tanya Sagala dengan nada dingin. “Mmmm.. itu tuan‒ di bawah ada yang mencari anda.” Jawab Tika gugup, karena dia tahu telah menganggu tuannya itu. “Baiklah.. kau boleh kembali, dan katakan padanya untuk menungguku di ruang tamu.” Ucap pria itu. Tanpa menjawab, Tika segera membungkukkan tubuhnya dengan sopan lalu berbalik dan kembali ke lantai bawah. Setelah maid tadi pergi, Sagala kembali membalikkan badannya menghadapa Kalula yang masih bersembunyi di balik tubuhnya itu, “Kau kenapa masih disini? Kau tidak berniat untuk menggodaku dengan penampilanmu seperti ini kan?” bisik Sagala di dekat telingan gadis itu. Pria itu sedikit merendahkan kepalanya. Hingga terpaan napas miliknya mengenai telinga Kalula dan sukses membuat tubuh gadis itu meremang. “S-siapa juga yang ingin menggoda mu! Sudah pergi sana!” Kalula mendorong tubuh Sagala hingga pria itu melangkah mundur, setelah itu dengan cepat dia langsung menutup pintu kamarnya dengan sangat keras. “Menyebalkan sekali. Kenapa sih pria itu senang sekali berbicara dengan jarak sedekat itu? Apa dia tidak tahu bagaimana keadaan jantungku jika dia seperti itu.” Gerutu Kalula. Sementara di ruang tamu, Sagala sudah duduk di sofa tunggal seraya menampilkan ekspresi wajah datar. “Ada apa kau kesini pagi-pagi sekali, hmm?!”Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p