Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia.
Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif.Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakukan Sheyra nyatanya banyak yang suka dan mengatakan jika hasilnya begitu luar biasa."Kak Sheyra!" Panggilan dari arah luar kamar kostnya itu membuat Sheyra terburu-buru menyambar tas selempang dan tas berisi kamera yang telah disewanya. Ketika dia membuka pintu, Raditya sudah berdiri di sana sambil kedua tangannya yang berkacak pinggang."Katanya belum dapat kameranya? Ini apa?" tanya Radit sangsi.Sheyra terkekeh menanggapi. "Di tempat rental yang biasa Kakak pinjam, kameranya udah dibalikin sama yang sewa," jawabnya memberikan alasan."Lagian, kenapa Kakak nggak minta duit ke Papa aja buat beli kamera? Aku yakin, Papa pasti kasih kok," ucap Radit seperti tanpa beban yang segera Sheyra tanggapi hanya dengan gelengan kepala.Karena tak berniat untuk memperpanjang pembahasan mengenai sang Papa—yang mungkin telah melupakan Sheyra sebagai anak perempuannya, Sheyra pun mengajak Radit untuk berangkat ke lokasi pemotretan saat itu juga. "Berangkat sekarang aja, yuk! Kakak mau lihat-lihat lokasinya dulu biar nanti hasil fotonya bisa I*******m able."Akhirnya, keduanya pun berangkat menuju lokasi yang sudah dikirimkan oleh teman Radit yang ingin menyewa Sheyra sebagai fotografer dadakannya. Katanya, mereka ingin membuat kenang-kenangan selagi masih bisa bersama, sebelum akhirnya mereka naik kelas dan mungkin akan terpisah karena sistem di sekolahnya yang di setiap kenaikan kelas, maka semua siswa akan diacak dan dibagi hingga beberapa ruangan.Tidak membutuhkan waktu lama, Sheyra pun telah tiba di tempat lokasi serupa objek wisata buatan manusia berupa taman bernuansa alam bebas, dan mereka yang akan menjadi objek di dalam foto itu juga sudah datang tidak lama setelah Sheyra dan Radit tiba. Karena tak ingin menyia-nyiakan waktu yang hari itu sedang memiliki cuaca yang begitu cerah, Sheyra pun memulai pemotretannya.Sekitar setengah jam pemotretan, hasil jepretannya pun tampak memuaskan. Sehingga, Sheyra memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu begitu juga dengan teman-teman Radit. Sambil menunggu mereka melihat-lihat hasilnya, Sheyra memutuskan untuk menelepon Kafka.Sebelum itu, dia lebih dulu mempersiapkan diri dengan duduk pada bean bag yang berjajar rapi di atas rumput sintetis yang diletakkan di dekat pagar pembatas kaca. Dan saat Sheyra menatap lurus ke depan, netranya pun langsung terpana pada indahnya pemandangan ibu kota bila dilihat dari ketinggian yang di atas rata-rata."Gilak! Bagus banget!"Namun, Sheyra harus segera mengakhiri rasa takjubnya karena waktunya tidak banyak dan setelah ini dia harus melakukan pemotretan lagi."Halo, Ka," sapa Sheyra setelah panggilan video call nya diterima, dan menampilkan wajah tampan Kafka yang memenuhi layar ponsel Sheyra.Sheyra melihat jika saat ini mata Kafka tampak memicing, seperti sedang mengamati pemandangan yang berada di belakang Sheyra. "Kenapa? Kok bingung gitu?" tanya Sheyra yang membuat Kafka menggeleng pelan.[Kamu lagi di mana? Kok tempatnya bagus banget?]Pertanyaan dari Kafka itu segera Sheyra jawab. "Masih ada di daerah ibu kota kok. Lagi pemotretan. Teman-teman Radit sewa aku untuk jadi fotografer dadakan."Terdengar kekehan renyah di seberang sana yang tanpa sadar telah membuat Sheyra menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk bulat sabit.[Udah kaya tahu bulat aja, di goreng dadakan.]Mendengar itu, akhirnya Sheyra pun ikut tertawa. Namun, tawanya itu tak berlangsung lama setelah menyadari jika Kafka yang berada di seberang sana kedapatan sedang menatapnya dengan pandangan dalam.[Ketawa aja. Kamu cantik banget kalau lagi ketawa gitu. Sampai mata kamu menyipit gitu. Mungkin kalau dekat, udah aku gigit pipi kamu dengan gemas deh.]Helaan napas pelan pun Sheyra hembuskan. Dia tersenyum sendu sambil menatap layar ponselnya di mana wajah Kafka tampak di dalamnya. "Padahal baru dua minggu, tapi kangennya aku udah nggak ketulungan gini."Tidak ada sahutan dari seberang, tetapi wajah Kafka masih mengisi layar ponselnya penuh dengan kelopak mata yang berkedip-kedip pelan. Saat Sheyra lihat Kafka berniat membuka mulutnya, tiba-tiba ada suara seorang perempuan diikuti wajah pemilik suara tersebut yang turut bergabung dan masuk ke dalam layar.Hal itu pun seketika membuat jantung Sheyra rasanya telah berhenti untuk berdetak. Apalagi ketika mendengar sapaan akrab perempuan tersebut yang menggunakan bahasa Indonesia dan terdengar sudah begitu lama mengenal Kafka.[Ka? Lagi teleponan sama siapa? Aku cariin kamu loh sejak tadi.]Lalu, wajah Kafka pun menghilang dari layar dan yang terlihat saat ini hanyalah pemandangan dinding ruangan bernuansa maskulin. Sheyra tak bisa mendengar dengan jelas tentang pembicaraan antara Kafka dan perempuan itu, yang membuat perasaanya pun mendadak tak karuan.Tidak berapa lama, sosok Kafka kembali muncul setelah sebelumnya layarnya bergerak-gerak tak jelas. Karena gerakan gusrak-gusruk itulah, sekilas, Sheyra bisa melihat benda yang letaknya berada di belakang Kafka, yang tidak lain merupakan ranjang tidur. [Shey? Sorry, teleponnya aku tutup dulu ya? Aku ada urusan mendadak.]Kafka berpamitan begitu saja, seperti tak berniat untuk menjelaskan sesuatu mengenai perempuan tadi—yang telah berhasil membuat Sheyra merasa cemburu. Belum sempat Sheyra menjawabnya, panggilan video itu sudah diputus secara sepihak oleh Kafka.Dan yang bisa Sheyra lakukan saat ini hanyalah memandangi dengan nanar pada layar ponselnya yang semula menyala, tetapi kini sudah berganti menjadi gelap. "Siapa dia?" monolog Sheyra dengan perasaannya yang mulai tak karuan.Kepalanya sibuk menduga-duga tentang urusan mendadak yang Kafka maksudkan. "Urusan mendadak? Bersama seorang perempuan, di dalam kamar?" Dan pikirannya mulai berkelana kemana-mana.Apalagi bila mengingat bahwa Kafka memiliki nafsu yang cukup besar bila sedang bersamanya. Bahkan, laki-laki itu sampai tak sanggup menahan gejolak dalam dadanya hingga berakhirlah Kafka meniduri dirinya.Tunggu! Jangan katakan jika Kafka tak mampu menahan nafsunya saat sedang berjauhan dengannya, sehingga yang dilakukan kekasihnya itu saat ini adalah berusaha melampiaskannya bersama perempuan lain?Mengingat hal itu, sontak Sheyra pun mengepalkan telapak tangannya erat, merasakan dadanya yang bergemuruh hebat disertai denyutan nyeri yang menekan jantungnya dengan kuat. "Nggak mungkin," ucap Sheyra berusaha menenangkan isi kepalanya sendiri yang sudah berpikiran macam-macam.Bersambung .."Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A