~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~
Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan.Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali.Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya.Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa bernapas dengan lega. Dia tegakkan punggungnya saat sosok kekasihnya itu sudah mendekat, menghampirinya."Aku lama ya? Maaf ya," ucap Kafka tampak menunjukkan raut bersalahnya."Nggak papa. Wajar kok," jawab Sheyra yang kemudian mendapatkan usapan lembut di puncak kepalanya.Saat Kafka berniat duduk di sebelahnya, Sheyra pun bergeser dari duduknya untuk sedikit memberikan ruang bagi Kafka. Setelah keduanya duduk bersebelahan, hening pun mengisi suasana di antara mereka. Entah Sheyra maupun Kafka, keduanya sama-sama sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. Tak lupa, tatapan keduanya juga tampak kosong, menatap lalu-lalang orang-orang yang lewat di depan mereka."Mau beli camilan nggak?" tawar Kafka yang memecahkan keheningan.Sheyra menggeleng sebagai jawaban. "Aku masih kenyang," jawabnya tanpa menoleh pada Kafka.Namun, hal itu tak berlangsung saat Sheyra merasakan sebuah tangan dingin yang menggenggam telapak tangannya. Sejenak, Sheyra menunduk untuk kemudian menoleh dan dia bisa melihat Kafka yang kini sedang melemparkan tatapan sendu ke arahnya."Nanti habis dari sini, kamu bisa pesan taksi sendiri 'kan? Soalnya, Arya nggak bisa datang karena katanya ada acara penting." Pertanyaan itu membuat Sheyra tersenyum tipis. Dalam hati, dia pun berkata, 'Cuma pesan taksi sih, bisa. Yang nggak bisa tuh nahan rindu terlalu lama.'"Bisa kok." Dan kata yang Sheyra keluarkan nyatanya tidak sesuai dengan apa yang benaknya katakan."Shey?" panggil Kafka sambil membingkai salah sisi wajah Sheyra karena kini, Sheyra telah berpaling muka dan tak mau menatapnya."Hm?" Sheyra bergumam sambil mengulas senyumnya."Aku bisa batalin semuanya kalau kamu nggak setuju aku lanjut S2 ku di luar negeri," ucap Kafka.Tentu saja ucapan Kafka langsung membuat Sheyra membelalakkan mata. "Aku nggak pernah bilang gitu ya, Ka," elak Sheyra yang memang tak pernah menentang keputusan dari Kafka.Kafka menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan bibinya yang mengulas senyuman manis. "Kamu memang nggak ngomong apa-apa, tetapi sikap kamu udah bisa menjelaskan semuanya.""Serius, Shey, kamu boleh cegah aku kalau memang kamu nggak setuju. Karena sorot mata kamu itu nggak bisa bohong. Kamu kaya nggak rela aku pergi," lanjut Kafka lagi.Dengan kelopak mata yang mengerjap lemah, Sheyra pun menggeleng pelan. Dia tidak mungkin mencegah kepergian Kafka karena menyadari bahwa dirinya tidak bisa menjamin masa depan sang Kekasih. Namun, Sheyra juga tidak rela melepas kepergian Kafka dalam kurun waktu yang tidak sebentar dan akan berada di jarak yang sangat jauh dari jangkauannya."Jangan korbankan apapun demi aku, Ka. Kamu berhak mendapatkan apapun yang kamu inginkan di dunia ini selagi kamu berusaha sendiri untuk mencapainya. Jangan jadikan aku sebagai alasan karena status kita yang masih sebatas pacaran—""Kamu bilang hanya sebatas?" Dengan nada hampir tak percaya, Kafka pun menyela ucapan Sheyra sebelum perempuan itu berhasil menyelesaikan kalimatnya."Memang benar 'kan? Semuanya bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu."Kafka menggeleng cepat. "Tapi nggak dengan cintaku, Shey. Kamu sedang meragukan aku?" tanya Kafka terdengar tidak terima.Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan Kafka merenggang, Sheyra pun menghembuskan napasnya pelan untuk menekan egonya kuat-kuat. Untuk saat ini, dia tidak boleh menunjukkan rasa keberatannya yang akan membuat Kafka ragu mengejar mimpi-mimpinya."Nggak, Ka. Aku percaya sama kamu. Percaya sama cintamu ke aku. Aku yakin, kita bisa lalui semua ini dengan berhasil," jawab Sheyra dan tak lupa untuk memaksa sudut-sudut bibirnya agar mau tertarik ke atas, membentuk senyuman seperti bulan sabit.Sontak, ucapannya itu membuat Kafka langsung menarik tubuhnya agar masuk ke dalam pelukan Kafka. Sheyra juga merasakan kecupan beberapa kali di puncak kepalanya diikuti dengan dekapan Kafka yang semakin erat dan hangat.Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sheyra pun membalas pelukan tersebut dengan tak kalah hangat. Dia sembunyikan wajahnya pada dada bidang milik Kafka yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk pulang setelah menghadapi beratnya kehidupan yang menghampirinya. "Aku pasti bakal kangen banget," ucap Sheyra manja.Kafka pun merenggangkan jarak untuk menatap wajah kekasihnya tanpa melepas pelukannya. "Nanti kita teleponan terus. Kalau perlu, kita mesti video call setiap jam."Dan Sheyra pun pada akhirnya terkekeh pelan, walau kekehannya itu tak mampu mengurangi sedikitpun kecemasan yang dirasakannya. Setidaknya, sikapnya itu tak membuat Kafka merasa berat hati untuk meninggalkan dirinya."Janji ya? Video call setiap waktu?" ucap Sheyra sambil mengangkat jari kelingkingnya agar Kafka mau berjanji padanya."Janji," jawab Kafka yang kini bergerak menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Sheyra.Dan di waktu yang sudah tak lama itu, keduanya pun memanfaatkannya untuk mengobrol dan membicarakan hal-hal yang membahagiakan. Sampai tak terasa, suara operator pun terdengar dan meminta para penumpang pesawat untuk masuk ke gate penerbangan, pertanda jika pertemuan Sheyra dan Kafka harus segera berakhir."Udah, sana masuk! Nanti ketinggalan pesawat loh," suruh Sheyra seperti tak membutuhkan kehadiran Kafka lagi di sana.Hal itu pun membuat bibir Kafka mencebik kesal. Namun, pada akhirnya Kafka pun mengangguk patuh sambil berusaha bangkit dari duduknya yang gerakannya itu segera diikuti oleh Sheyra.Setelah sama-sama berdiri dengan posisi saling berhadapan dan menatap netra satu sama lain, Kafka pun berujar pelan. "Tunggu aku pulang ya, Shey. Aku janji, dalam waktu kurang dari dua tahun itu harus udah bisa menyelesaikan pendidikan ku. Kamu ... Mau 'kan nunggu aku selama itu?"Sheyra mengangguk yakin dengan bibir yang tak pernah luntur untuk mengulas senyum. "Iyaa.." jawab Sheyra gemas."Udah, pergi sana!" usir Sheyra yang membuat Kafka tertawa.Sebelum benar-benar pergi, Kafka pun mendekatkan bibir untuk kemudian melabuhkan kecupan di kening Sheyra dengan penuh kelembutan.Sheyra bisa merasakan cinta yang sangat besar saat bibir Kafka itu menyentuh keningnya dan ada juga rasa hangat sekaligus sesak yang mendadak mengisi relung kalbunya setelah menyadari jika hari-hari Sheyra ke depan mungkin tak akan lagi sama seperti dulu.Kafka yang biasanya akan menemani kemana pun Sheyra pergi, mulai hari ini tidak akan ada lagi Kafka yang seperti itu karena raganya dan raga Kafka sudah terpisah jarak dan waktu."Aku pergi. Tetaplah mencintaiku walau aku berada jauh dari jarak pandang mu." Itu merupakan kalimat terakhir dari Kafka sebelum laki-laki itu benar-benar melangkah meninggalkan Sheyra.Laki-laki itu melambaikan tangan yang segera Sheyra balas dengan hal serupa. "Selamat sampai tujuan, Kafka! Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai!" teriak Sheyra sambil tersenyum lebar, tak memedulikan tatapan orang lain kepadanya.Setelah Kafka tak terlihat lagi, senyum yang semula menghias bibirnya seketika luntur, berganti dengan bibir yang melengkung ke bawah dan bergetar karena menahan tangis. Tanpa bisa dibendung lagi, air matanya luruh begitu saja membasahi pipinya yang mulai memerah.Kafka sudah jauh dari jangkauannya dan hal itu harus membuat Sheyra terbiasa. Mulai hari ini, dia harus berusaha sendiri dengan apapun yang akan dirinya lakukan karena sosok penyelamat itu sudah tak lagi ada.Semakin dia teringat hal itu, maka semakin sesenggukan pula tangisnya saat ini. "Kenapa cengeng banget sih, aku," gerutu Sheyra pada dirinya sendiri.Bersambung..."Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A