Share

Bab 8. Off sosial media

Author: Kiaria Ann
last update Last Updated: 2024-03-29 20:18:34

Di Melbourne, Australia.

Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra.

"Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus.

"Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada.

Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut serius.

Kafka hela napasnya pelan, sebelum akhirnya menurut pada titah mamanya. "Kenapa sih, Ma?" tanyanya sedikit kesal.

"Setelah ada di sini, Mama amati, ternyata kamu lebih suka menghabiskan waktu kamu di dalam kamar. Bahkan, setelah kamu pulang kuliah dan entah dari mana, yang selalu kamu tuju itu kamar. Memangnya, di kamar ada apa sampai kamu dibuat betah seperti itu?" Bu Diana tampak tak suka dengan sikap yang ditunjukkan Kafka akhir-akhir ini selama beberapa Minggu tinggal di Melbourne.

"Mama dan Papa jauh-jauh dari Indonesia bahkan sampai beli apartemen dan mobil di sini, kalau bukan untuk kamu, untuk siapa lagi? Tapi, kamu yang kami perjuangkan justru seperti tak peduli dan lebih suka menghabiskan waktumu di dalam kamar, daripada bercengkerama dengan Mama dan Papa—"

"Bukan begitu maksud Kafka, Ma," sela Kafka yang membuat mamanya itu mengangkat tangan, pertanda jika Kafka tak boleh menyela ucapan beliau.

Mamanya itu tampak terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak Kafka ketahui. Sampai beliau pun akhirnya kembali membuka suara dan membuat Kafka gelagapan sendiri. "Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya sang Mama terdengar mengintimidasi.

Menunduk, Kafka pun mengangguk membenarkan tuduhan sang Mama padanya. Sontak saja, beliau terkekeh sinis sebelum akhirnya kembali bersuara. "Tinggalkan perempuan seperti dia. Fokuslah dengan pendidikan kamu, Ka."

"Ma? Aku nggak bisa. Dia—"

"Baru pacar 'kan?" sela Bu Diana, seakan tahu kalimat apa yang akan putranya berikan sebagai alasan.

"Aku nggak bisa, Ma. Aku udah dewasa dan udah tahu apa yang aku butuhkan. Dan Sheyra, dia adalah seseorang yang aku butuhkan juga. Dia yang membuatku bersemangat setiap harinya," jawab Kafka tanpa menghilangkan sedikit pun rasa hormatnya pada wanita yang telah melahirkannya itu.

Bu Diana tertawa kencang mendengar penuturan Kafka. Tawa yang terdengar bagaikan sebuah ejekan, seakan ucapan Kafka hanyalah sebuah candaan semata. "Kamu bilang, perempuan itu yang buat kamu bersemangat? Dia udah kasih kamu apa aja sampai kamu bisa bilang gitu di depan Mama? Lalu, apa kabar Mama dan Papa yang rela merintis usaha di sini hanya untuk membuat kamu tak merasa sendirian tinggal di negara asing? Apa itu nggak cukup membuat kamu bersemangat?"

*****

Sekuat apapun Sheyra berusaha untuk berpikir positif tentang Kafka yang kini jauh di sana, tetap saja pikiran buruk berjejalan menghampiri. Kekhawatirannya meningkat saat menyadari bahwa dirinya sudah tak gadis lagi, karena kegadisannya itu telah ia serahkan pada Kafka.

Sheyra takut bila Kafka akan meninggalkan dirinya dalam keadaan 'seperti itu', dan itu berarti jika tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menikahinya setelah tahu bila Sheyra sudah tak perawan lagi. Sebab, tinggal di Indonesia itu selalu menjunjung tinggi kehormatan dan martabat seorang wanita.

Kemudian, bila seorang perempuan menikah dalam keadaan masih gadis, maka hal itu merupakan pencapaian tertinggi di masyarakat yang sulit sekali di lakukan di zaman yang apa-apa sudah dianggap mitos.

"Tenang, Shey. Mungkin itu saudara jauh atau apalah. Kafka nggak mungkin cari yang baru," monolog Sheyra untuk menenangkan diri sendiri.

Keesokan harinya, Sheyra mencoba untuk kembali menghubungi Kafka karena semalaman nomor kekasihnya itu tidak aktif. Bahkan, Kafka sampai melupakan rutinitasnya setiap hari yaitu melakukan panggilan video sebelum tidur.

Di percobaan panggilan yang pertama dan kedua, nomor telepon Kafka masih belum bisa dihubungi. Namun, Sheyra tak langsung menyerah. Dia membiarkan ponselnya tergeletak untuk beberapa saat guna memberikan jeda barangkali sinyalnya buruk.

Sampai beberapa detik kemudian, ponselnya pun akhirnya menyala-nyala, menampilkan nama Kafka sebagai sang Penelepon.

Dengan mata yang berbinar cerah, Sheyra pun tergesa-gesa memencet ikon hijau sampai panggilan suara itu terhubung. "Halo, Ka? Kamu kenapa semalam nggak nelepon? Padahal, aku nungguin loh. Terus, kemarin itu, suara perempuan, dia siapa? Aku berhak tahu kan, Ka?" cecar Sheyra yang langsung memberondong Kafka dengan banyak pertanyaan.

Terdengar kekehan renyah di seberang sana yang membuat Sheyra seketika mencebikkan bibirnya kesal. Dia tidak suka Kafka yang bersikap santai padahal dirinya sudah begitu panik dan khawatir.

[Maaf karena kemarin aku banyak banget tugas. Jadi, nggak bisa sleep call.] jawab Kafka.

"Terus, suara perempuan itu ... Siapa?" lirih Sheyra takut dianggap terlalu posesif dan cemburuan.

[Dia sepupuku yang kebetulan kuliah S1 di sini. Orang tuanya juga tinggal di sini]

Sheyra tampak mengangguk-angguk walau gerakannya itu mungkin tidak akan pernah Kafka lihat. "Oh, kamu punya sepupu dan aku nggak pernah tau."

Seketika, Sheyra baru menyadari jika Kafka memang tak pernah mengenalkannya kepada keluarga Kafka. Padahal, hubungan yang terjalin antara Sheyra dan Kafka sudah berjalan sejak bertahun-tahun lamanya.

[Shey?]

Panggilan dari seberang itu membuat Sheyra tersentak dari lamunan. "Ya? Kenapa?" tanyanya refleks.

Kafka terdengar bergumam panjang, seperti bingung ingin memulai kalimatnya dari mana. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya Kafka pun kembali membuka suara.

[Kayaknya, aku bakal off semua sosial mediaku deh. Kata Mama, aku di suruh fokus belajar biar dalam waktu satu setengah tahun itu udah lulus.]

Butuh jeda bagi Sheyra untuk mencerna kalimat yang terucap dari Kafka di seberang sana. "Tapi, kamu nggak berniat untuk off komunikasi kita juga 'kan?" tanyanya setelah beberapa detik diam.

Tidak ada sahutan, yang membuat Sheyra langsung menyimpulkannya jika Kafka memang berniat melakukan hal tersebut. "Jawab, Ka!" tuntut Sheyra dengan tak sabaran.

[Aku bakal off segala sosial media termasuk itu.]

[Kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan ini agar kita bisa cepat bersama. Aku harap, kamu masih tetap menungguku selama apapun itu. Karena suatu hari nanti setelah aku pulang dari Melbourne, aku berjanji untuk menemui kamu lebih dulu. Kita akan hidup bersama dengan bahagia karena saat itu, aku berniat untuk menikahi kamu.]

Sheyra terkekeh getir mendengar penjelasan panjang lebar Kafka yang masih belum jelas kenyataannya. Satu setengah tahun? Itu masih sangat lama, dan Sheyra harus menunggu selama itu? Tanpa melakukan komunikasi apapun?

"Kamu nggak lagi ingin kabur dari hubungan kita 'kan, Ka?" tuduh Sheyra kecewa.

[Nggak, Shey. Please! Kamu harus janji untuk nunggu sampai aku pulang. Aku nggak mau saat aku pulang nanti, ternyata kamu udah sama yang lain.]

Walau Sheyra bisa mendengar nada resah yang diutarakan Kafka, tetap saja Sheyra tidak mau tahu dengan semuanya. Mungkin, dia masih bisa menerima bila hubungannya harus mengalami hubungan jarak jauh, tetapi jika tanpa komunikasi? Oh tidak! Sheyra rasa, dia tidak sanggup untuk melakukannya.

"Aku nggak janji karena kita nggak tahu ke depannya akan seperti apa," jawab Sheyra yang kemudian terdengar geraman frustasi di seberang sana.

Bersambung ..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   Bab 46. Mulai mencintai

    "Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   Bab 45. Menawan

    Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   BB 44. Seberapa jauh

    Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   Bab 43. Hanya orang luar

    Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   Bab 42. Marahnya Arya

    Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k

  • Mendadak Jadi Istri Sahabat Kekasihku   Bab 41. Penyesalan?

    Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status