Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.
Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya. Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah. Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alana sudah mengikuti Jenny, tapi nyatanya tetap saja dia tidak dapat uang. “Kamu memang tidak berguna!” Disalahkan. Itulah yang selalu Alana dapatkan. Padahal Alana sudah berusaha menjadi anak yang baik. Seperti yang ayahnya bilang. “Kamu tahu, ayahmu sampai mau dikeluarkan dari rumah sakit ini. Mereka tidak mau menangani ayahmu karena biaya belum dilunasi. Aku harus memohon-mohon agar ayahmu tetap di sini. Harusnya kamu juga berusaha. Jangan hanya diam saja!” Diam saja? Tidak berusaha? Alana sudah banyak berusaha. Sayangnya, di mata Arini, dia tidak melakukan apa-apa. Justru sebenarnya yang tidak berusaha adalah Arini. Hanya menumbalnya untuk menemui saudara-saudara ayahnya. Dengan alasan tanggung jawabnya. Alana menatap sang ayah. Perasaan bersalah semakin dalam karena tidak kunjung dapat uang. “Kita sudah jual semua aset-aset milik ayahmu. Sampai-sampai kita sudah tidak punya apa-apa. Tapi, kamu justru tidak mau berusaha mencari uang untuk pengobatan ayahmu.” Sejak Alvin sakit, tidak adanya pencari nafkah. Hal itu membuat Arini harus menjual satu per satu barang mereka. Mulai perhiasan, mobil sampai rumah. Kini tidak ada harta benda yang tersisa. Pengobatan Alvin yang masih terus berjalan membuat mereka kalang kabut saat tidak ada yang tersisa. “Aku sudah berusaha, Ma.” Alana memberanikan diri membela diri. “Buktinya mana? Sampai sekarang kamu belum dapat uang!” cibir Arini. “Aku akan berusaha lagi, Ma. Aku janji akan mendapatkan uang.” “Kita lihat saja, jika kamu tidak dapat uang. Maka ayahmu yang jadi taruhannya.” Arini melirik tajam, mencibir ucapan Alana baru saja. Seolah tidak percaya jika Alana akan dapat uang untuk ayahnya. Alana menatap ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Alat penunjang masih menempel di tubuh sang ayah. Sakit jantung yang diderita membuat sang ayah bolak-balik masuk rumah sakit. Dokter meminta ayahnya untuk memasang ring di jantungnya dan itu butuh biaya cukup besar. Arini membebankan semua biaya pada Alana. “Ayah, Alana janji akan mencari uang untuk operasi, agar ayah bisa aktivitas kembali.” Setelah ibunya meninggal, yang dimiliki Alana hanya sang ayah. Baginya ayahnya adalah segalanya. “Sekali pun ayahmu itu bisa aktivitas lagi, tetap saja dia tidak akan bisa bekerja lagi.” Arini menatap Alana seraya melemparkan sindiran. Alana hanya memilih diam. Tak mau menanggapi mama tirinya itu. “Jadi setelah ini, kamu harus cari uang. Menanggung semua kebutuhan ayahmu.” Tanpa diminta pun sebenarnya Alana akan melakukannya. Apa pun akan dilakukan demi sang ayah. “Ayahmu sudah banting tulang menyekolahkanmu sampai bisa kuliah. Minimal kamu bisa punya gaji yang besar dan bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.” “Kenapa Alana saja yang dibebankan kebutuhan keluarga? Ada Kak Jenny juga ‘kan?” Walaupun Jenny bukan anak ayahnya, tapi ayahnya juga yang membiayai kuliah Jenny. “Kebutuhan Jenny itu banyak. Jadi jangan libatkan dia.” Alana hanya bisa menghembuskan napas kasarnya. Merasa tidak adil, tapi tidak bisa berontak. Karena biasanya itu akan percuma. “Pokoknya cepat cari uang untuk pengobatan ayahmu. Jika tidak mau ayahmu mati sia-sia!” Arini berlalu keluar setelah mengatakan itu. Alana hanya bisa terperangah mendengar kata-kata Arini. Mati sia-sia? Kata-kata yang diucapkan Arini benar-benar melukai hati. Sekuat tenaga Alana ingin menyelamatkan ayahnya, tapi justru Arini membahas kematian. Tanpa sadar air mata Alana lolos dari mata indahnya. Tak bisa membayangkan jika sampai ayahnya meninggal. “Alana janji akan dapatkan uang untuk operasi ayah.” Alana memegangi tangan ayahnya erat. Apa pun akan Alana lakukan demi sang ayah. Alana terus di samping sang ayah. Menemani sang ayah sambil memikirkan ke mana dia akan pergi mencari bantuan. Tiba-tiba Alana teringat beberapa teman ayahnya. Mungkin Alana bisa menemui mereka. Berharap jika mungkin saja mereka dapat membantu ayahnya. Walaupun ini akan memalukan. Mengingat ayahnya sudah lama tidak bertemu mereka. Saat keadaan Alana kembali tenang dan air mata tak lagi menetes. Segera Alana keluar dari ruang perawatan sang ayah. Langkahnya diayunkan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang dari kejauhan. Pria itu! Pria yang semalam tidur dengannya. Kenapa dia ada di sini?Bab 6“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?”Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.“Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin.Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.Dave segera mendu
“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan.Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh.“Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk.Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?”Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya.Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis.Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gil
Pandangan Alana tertuju pada pria tegap dengan balutan jas mahal yang sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak menghindar. Justru diam membeku di tempatnya berpijak. Tepat di depannya sekarang, pria itu berhenti. Menatap dengan tajam. Tanpa bicara apa-apa.Kenapa dirinya harus bertemu pria ini? Masih segar di ingatan Alana bagaimana tadi pagi ia menemukan dirinya tanpa pakaian berada di kamar dengan pria ini. Kejadian semalam benar-benar membuatnya enggan bertemu dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, ia sedang sibuk memikirkan biaya rumah sakit sang ayah.Namun, yang paling jelas Alana ingat adalah ketika tuduhan keji yang dilemparkan padanya. Seolah-olah ia adalah wanita yang suka tidur dengan sembarang orang.Alana merasa pria di depannya ini datang di waktu yang tidak tepat.Masih menjadi pertanyaan juga di kepalanya, untuk apa pria di depannya itu berada di tempat yang sama dengannya?Namun, melihat dominasi pria di depannya yang begitu kuat, membuat tubuh Alana menegang. Ke
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah.Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alan
Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?”Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing.“Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya.Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya.“Aucchh ....” Alana meringis kesakitan.Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit.Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit.Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.Perlahan Alana turun dari tempat t
“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya.“Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas.Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu.Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini.Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,”