“Belum, Ma.”
“Kamu ya!” Arini menarik tangan Alana dan mencengkeramnya erat. Suaranya lirih agar sang suami tidak bangun, tapi tidak mengurangi intimidasi yang dilakukan pada Alana.
“Aacchhh ....” Alana merintih pelan agar sang ayah tidak bangun. “Kenapa Mama seperti ini?” tanyanya.
“Seharusnya kamu bawa uang ke sini?” Tatapan Arini begitu dipenuhi kebencian. “Kamu memang tidak ada gunanya sama seperti ayahmu!” Kali ini Arini melepaskan cengkeraman di tangan Alana.
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.
Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.
Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya.
“Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!”
Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. “Kamu memang tidak berguna!”
Disalahkan. Itulah yang selalu Alana dapatkan. Padahal Alana sudah berusaha menjadi anak yang baik. Seperti yang ayahnya bilang.
“Kamu tahu, ayahmu sampai mau dikeluarkan dari rumah sakit ini. Mereka tidak mau menangani ayahmu karena biaya belum dilunasi. Aku harus memohon-mohon agar ayahmu tetap di sini. Harusnya kamu juga berusaha. Jangan hanya diam saja!”
Diam saja?
Tidak berusaha?
Alana sudah banyak berusaha. Sayangnya, di mata Arini, dia tidak melakukan apa-apa.
Justru sebenarnya yang tidak berusaha adalah Arini. Hanya menumbalnya untuk menemui saudara-saudara ayahnya. Dengan alasan tanggung jawabnya.
Alana menatap sang ayah. Perasaan bersalah semakin dalam karena tidak kunjung dapat uang.
“Kita sudah jual semua aset-aset milik ayahmu. Sampai-sampai kita sudah tidak punya apa-apa. Tapi, kamu justru tidak mau berusaha mencari uang untuk pengobatan ayahmu.”
Sejak Alvin sakit, tidak adanya pencari nafkah. Hal itu membuat Arini harus menjual satu per satu barang mereka. Mulai perhiasan, mobil sampai rumah.
Kini tidak ada harta benda yang tersisa.
Pengobatan Alvin yang masih terus berjalan membuat mereka kalang kabut saat tidak ada yang tersisa.
“Aku sudah berusaha, Ma.” Alana memberanikan diri membela diri.
“Buktinya mana? Sampai sekarang kamu belum dapat uang!” cibir Arini.
“Aku akan berusaha lagi, Ma. Aku janji akan mendapatkan uang.”
“Kita lihat saja, jika kamu tidak dapat uang. Maka ayahmu yang jadi taruhannya.” Arini melirik tajam, mencibir ucapan Alana baru saja. Seolah tidak percaya jika Alana akan dapat uang untuk ayahnya.
Alana menatap ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Alat penunjang masih menempel di tubuh sang ayah.
Sakit jantung yang diderita membuat sang ayah bolak-balik masuk rumah sakit. Dokter meminta ayahnya untuk memasang ring di jantungnya dan itu butuh biaya cukup besar.
Arini membebankan semua biaya pada Alana.
“Ayah, Alana janji akan mencari uang untuk operasi, agar ayah bisa aktivitas kembali.”
Setelah ibunya meninggal, yang dimiliki Alana hanya sang ayah. Baginya ayahnya adalah segalanya.
“Sekali pun ayahmu itu bisa aktivitas lagi, tetap saja dia tidak akan bisa bekerja lagi.” Arini menatap Alana seraya melemparkan sindiran.
Alana hanya memilih diam. Tak mau menanggapi mama tirinya itu.
“Jadi setelah ini, kamu harus cari uang. Menanggung semua kebutuhan ayahmu.”
Tanpa diminta pun sebenarnya Alana akan melakukannya. Apa pun akan dilakukan demi sang ayah.
“Ayahmu sudah banting tulang menyekolahkanmu sampai bisa kuliah. Minimal kamu bisa punya gaji yang besar dan bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.”
“Kenapa Alana saja yang dibebankan kebutuhan keluarga? Ada Kak Jenny juga ‘kan?”
Walaupun Jenny bukan anak ayahnya, tapi ayahnya juga yang membiayai kuliah Jenny.
“Kebutuhan Jenny itu banyak. Jadi jangan libatkan dia.”
Alana hanya bisa menghembuskan napas kasarnya. Merasa tidak adil, tapi tidak bisa berontak. Karena biasanya itu akan percuma.
“Pokoknya cepat cari uang untuk pengobatan ayahmu. Jika tidak mau ayahmu mati sia-sia!” Arini berlalu keluar setelah mengatakan itu.
Alana hanya bisa terperangah mendengar kata-kata Arini.
Mati sia-sia?
Kata-kata yang diucapkan Arini benar-benar melukai hati. Sekuat tenaga Alana ingin menyelamatkan ayahnya, tapi justru Arini membahas kematian.
Tanpa sadar air mata Alana lolos dari mata indahnya. Tak bisa membayangkan jika sampai ayahnya meninggal.
“Alana janji akan dapatkan uang untuk operasi ayah.” Alana memegangi tangan ayahnya erat.
Apa pun akan Alana lakukan demi sang ayah.
Alana terus di samping sang ayah. Menemani sang ayah sambil memikirkan ke mana dia akan pergi mencari bantuan.
Tiba-tiba Alana teringat beberapa teman ayahnya. Mungkin Alana bisa menemui mereka. Berharap jika mungkin saja mereka dapat membantu ayahnya. Segera dia pergi.
Namun, sekarang di sini lah dia berada.
Duduk di halte bus dengan kedua tangan yang disandarkan di lutut menangkup wajahnya.
Hari sudah berganti malam, tapi Alana masih belum bisa mendapatkan bantuan untuk membayar biaya operasi ayahnya.
Alana telah mendatangi satu per satu rumah teman ayahnya, namun tidak ada satu pun dari mereka yang bersedia membantu meringankan pengobatan ayahnya.
Kalau begini, ke mana lagi Alana harus mencari biaya rumah sakit?
“Bagaimana?”
Suara bariton membuat Alana yang tertunduk lesu langsung mengangkat wajahnya.
Dave.
Terlalu sibuk dengan pikirannya membuat Alana tidak tahu kapan pria itu datang.
“Tawaranku masih belaku jika kamu bersedia.” Dave itu tersenyum tipis.
Pikiran Alana kembali berkecamuk. Haruskah ia kembali menolak tawaran di depan mata?
“Sepertinya kamu tidak tertarik. Kalau begitu aku tarik tawaranku.” Dave berbalik tanpa ragu.
“Tunggu!” Alana menarik tangan Dave sambil berdiri. Perasaan panik seketika menyelimuti hatinya.
Dave berbalik. Menatap Alana sambil kembali tersenyum tipis.
Saat ini ayahnya butuh biaya dan di depannya sudah ada orang yang bisa membayarnya. Harusnya Alana tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Alana memejamkan mata dan mencoba bernapas dengan baik. Ia harus berpikir jernih untuk mengambil keputusan.
Akh—tidak.
Sekelebat pikiran tentang sang ayah muncul.
Lalu, Alana membuka matanya, menatap pria di hadapannya ini dengan keraguan dan keyakinan yang saling bertabrakan di hatinya.
Hingga, “Aku mau.” Akhirnya itu jawaban yang diberikan Alana.
Pria itu tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan Alana. Lalu sebelum berbalik, pria itu berkata, “Ikut denganku. Kita menikah sekarang.”
Kata-kata Dave yang kejam itu menggantung di udara. Alana menatap tajam Dave, rasa tak percaya perlahan berubah menjadi amarah dingin. “Apa maksud dari ucapanmu, Dave?” desis Alana, suaranya bergetar.Dave hanya menatapnya sejenak, lalu membuang muka, seolah Alana tak lagi layak mendapatkan perhatiannya. Ia berbalik hendak pergi.“Tidak.” Alana menyambar lengan Dave sebelum pria itu sempat melangkah. “Katakan apa maksud dari kata-katamu tadi?” tanyanya memastikan. Matanya terus menelisik untuk mendapatkan jawaban dari apa yang dikatakan Dave. Dave menatap tangan Alana yang mencengkeram lengannya, lalu kembali menatap wajah Alana dengan dingin. Dengan satu sentakan pelan, ia melepaskan cengkeraman itu. “Pikirkan saja sendiri,” katanya, sebelum akhirnya benar-benar melangkah keluar dan menutup pintu apartemen di belakangnya, meninggalkan Alana dalam keheningan dan kebingungan yang mengudara.Malam itu, Alana menunggunya. Ia duduk di kursi makan, memeluk lututnya, menatap pintu yang t
Tubuh Alana menegang. Ia belum siap Dave bertemu dengan Akram sekarang. Terlebih lagi, ia belum menjelaskan baik-baik pada Dave perihal Akram. Alana bisa merasakan bahaya dari nada bicara Dave. “Dave, aku bisa jelaskan.”Sebelum Alana sempat menjelaskan, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangan ALana dengan kasar. Dave menariknya tanpa sepatah kata pun, mengajaknya pergi dari kantor ketika melihat Akram sedang berjalan ke arah mereka. Urusan dengan Alana belum selesai, dan mereka perlu bicara berdua lebih dulu.“Dave, pelan-pelan!” rintih Alana, nyari tersandung karena sepatu hak tingginya. Genggaman Dave begitu kuat, terasa menyakitkan.Pria itu seolah tuli. Kemarahan yang terpancar dari punggungnya yang tegap terasa begitu nyata. Ia terus menyeret Alana melewati lobi yang ramai, tak peduli tatapan-tatapan kaget dari karyawan lain. Dari sudut matanya juga, Alana bisa melihat ekspresi tertegun di wajah Akram yang ditinggalkan begitu saja.Sampai di sisi mobilnya, Dave membuka p
“Terima kasih, Pak Akram, sudah membantu membuktikan jika itu desain saya,” ucap Alana tulus, menatap pria itu lekat-lekat. Perasaan lega dan bahagia menjalari seluruh tubuhnya.“Aku tidak hanya terima ucapan terima kasih,” balas Akram, tatapannya kini berubah intens. “Sudah kukatakan tadi, kamu masih ingat janji kamu ‘kan?” Alana terdiam sejenak. Mentraktir Akram. Mengingat statusnya sekarang, rasanya mustahil. Tapi, ia berutang budi. “Saya ingat, Pak.” Senyum Akram melebar. “Kalau begitu. Nanti malam datanglah ke di restoran Star. Jangan terlambat.” Itu bukan lagi permintaan, melainkan perintah halus. Akram segera masuk ke lift tanpa menunggu jawaban Alana. Alana segera kembali ke ruangan kerjanya. Di sana ia disambut baik oleh karyawan-karyawan lain. Para karyawan yang awalnya tidak bersikap baik, akhirnya sekarang berubah. Dampak dari terbongkarnya ini semua membuat Alana senang. Dengan begini, ia akan bekerja dengan tenang. Sore hari, saat jam kerja usai, Alana merapikan me
“Baik sekali atasanmu.” Dave menarik sudut bibirnya, tetapi matanya terus menatap Alana. Tatapan Dave itu seolah penuh kecurigaan. Alana buru-buru menjelaskan. “Atasanku tahu jika desain yang diperebutkan adalah desainku. Jadi dia memberikan makanan sebagai permintaan maaf karena memintaku membuat desain baru.” Dave tidak merespons, namun rahangnya terlihat sedikit mengeras. Ia kembali fokus pada jalanan.Alana berusaha tetap tenang. “Apa kamu sudah makan?” tanya Alana. “Sudah,” jawab Dave, singkat. Alana mengangguk. Suasana di dalam mobil kembali hening. Namun, kali ini sedikit mencekam. Dave tampak masih tidak percaya dengan Alana. Sampai di apartemen, tidak ada pembicaraan lagi. Dave dan Alana sama-sama diam. Alana lebih fokus untuk membersihkan dirinya. Beberapa hari Alana lembur. Dave yang diminta tidak menjemput pun akhirnya benar-benar tidak menjemput Alana. Setiap malam Alana selalu pulang dengan naik bus. Selama lembur, kiriman makanan dari Akram terus datang. Alana s
Di balik kemudi, Dave menatap Alana lekat-lekat. “Ayo, pulang.” Alana ragu sejenak, sebelum akhirnya melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat kembali, Dave segera menginjak pedal gas, melajukan mobilnya. “Kenapa kamu menjemputku?” Alana memecah keheningan, menatap Dave.“Ini sudah malam,” balas Dave datar. Pandangannya tetap lurus pada jalanan. Suara Dave terdengar datar, namun ada nada yang berbeda di sana, sesuatu yang bukan sekadar kekesalan. Dave masih peduli padanya.Alana merasakan kehangatan aneh menyelinap di hatinya, meski ia segera menepisnya.Mobil terus melaju dalam diam, namun matanya memicing ketika menyadari arah mobil berbelok ke sebuah kafe.Alana segera mengalihkan pandangan pada Dave. “Mau apa kita ke sini?” tanyanya. “Kamu sudah makan?” Dave menarik tuas rem. Mobil berhenti sempurna di tempat parkir. “Belum,” jawab Alana lirih. “Kalau begitu ayo makan.” Dave membuka sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Saat Dave hendak keluar, Alana menahan lengan
Akram berdiri di ambang pintu ruangan Alana, bersandar santai dengan kedua tangan di saku celana, menatap Alana dengan ekspresi yang sulit diartikan.Bahu Alana yang tadi sempat menegang sedikit mengendur.“Kamu belum pulang?” Alana menggeleng. “Belum, Pak. Saya masih mengerjakan desain.” Akram mengangguk sambil terus melangkah dan berhenti tepat di samping meja Alana.“Sudah lewat dari jam kerja. Jadi, kamu bisa bersikap lebih santai,” kata Akram, sambil kembali memasukkan kedua tangan di saku celananya.Alana mengangguk sambil tersenyum kecil. “Mau sampai jam berapa kamu mengerjakan desainmu?” tanya Akram dengan tenang. “Mungkin sampai jam sepuluh.”Akram menganganguk-anggukan kepalanya. Kemudian ia melihat ke layar laptop milik Alana. Tampak sketsa Alana yang baru dibuat wanita itu. “Melihatmu menggambar seperti ini, aku jadi teringat saat kita di kelas dulu.” Akram menatap sketsa Alana dengan lekat.Alana tersenyum. Ia memang suka fashion dari kecil. Untuk itu, ia mengekspres