Pandangan Alana kosong melihat buku nikah yang dipegangnya. Alana masih tidak percaya kini ia sudah menjadi seorang istri. Pernikahan seperti mimpi karena berlangsung begitu cepat seolah semua sudah disiapkan.
Sekarang Dave mengajak Alana untuk pergi dengan menaiki mobil miliknya.
Alana tidak tahu ke mana Dave akan membawanya. Ia hanya mengikuti saja.
[Dari mana kamu dapat uang untuk membayar semua biaya rumah sakit?]
Satu pesan dari mamanya itu, Alana langsung tahu jika biaya rumah sakit sudah dibayar oleh Dave.
Ada perasaan lega menghampiri hati Alana ketika biaya rumah sakit sudah bisa dipenuhi. Tinggal nanti ayahnya akan melakukan operasi dengan lancar.
Tak masalah bagi Alana jika harga yang dibayarnya cukup mahal yaitu pernikahan. Yang terpenting ayahnya bisa sehat.
Mengingat mama tirinya, Alana teringat jika pernikahan ini akan menimbulkan masalah jika mamanya tahu. Karena itu dia berniat merahasiakan semua.
“Bisakah pernikahan ini dirahasiakan dari keluargaku dulu?” pinta Alana, menatap Dave yang sibuk menatap jalanan yang dilalui.
“Kenapa?” Dave bertanya tanpa menoleh ke arah Alana.
“Ini terlalu mendadak. Aku takut menimbulkan masalah. Keluargaku sedang sibuk dengan Ayah yang akan operasi. Jadi, aku mau konsentrasi ke sana dulu.”
Dave tampak menimbang. “Baiklah.”
Alana bersyukur Dave mau menurutinya. Paling tidak, Alana tidak pusing memikirkan masalah yang akan timbul dari pernikahan ini.
Sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah komplek apartemen.
Alana memandang komplek apartemen yang terlihat tidak terlalu mewah sambil menutup pintu mobil di sampingnya. Alana tidak tahu kenapa Dave mengajaknya ke sini. Siapa yang akan dikunjungi?
Namun, sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Alana melihat Dave memandangnya lekat di lobi apartemen. Sadar bahwa Dave sedang menunggunya, Alana buru-buru mengikuti langkah Dave dari belakang, hingga mereka tiba di depan sebuah unit apartemen.
Dave menekan kode akses pintu, lalu membuka pintu apartemen sambil berkata, “Kita akan tinggal di sini.”
“Apa?! Kita akan tinggal di sini?”
Alana tahu mereka berdua memang sudah resmi menikah–dan Dave adalah mantan kekasihnya, tetapi harus tinggal berdua dengan Dave setelah bertahun-tahun tidak bertemu rasanya Alana masih belum siap.
“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.
Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk.
“Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.
Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.
Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu.
“Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal?”
Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.
“Nikmati saja hidup denganku,” kata Dave lagi dingin.
Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya.
Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.
Dave segera mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan meja kerja sambil melirik ke arah Alana. Memerhatikan istrinya itu yang ragu-ragu masuk. Raut wajahnya terlihat sedikit jijik melihat apartemen yang akan mereka tempati.
Sadar akan hal itu, membuat rahang Dave sedikit mengeras.
Dan ini baru permulaan bagi Alana.
“Kamu benar-benar tinggal di apartemen ini?” Alana melihat sekeliling.
Pertanyaan itu sedikit membuat Dave gusar. Sebenarnya Dave tidak tinggal di apartemen ini. Sebagai pewaris keluarga Tanuwijaya, ia punya rumah besar, apartemen mewah di tengah kota, dan beberapa vila mewah. Ia bisa tinggal di mana saja semaunya.
Namun, untuk saat ini ia harus rela tinggal di apartemen kumuh dengan tipe studio. Ukuran ini lebih kecil dari kamar mandi di rumah utama miliknya.
“Ya. Kenapa memangnya?” tanya balik Dave dengan dingin dan tatapan tajam.
“Apartemen ini seperti sudah lama tidak ditempati. Berdebu. Jadi aku pikir kamu tidak benar-benar tinggal di sini.” Alana mencolek meja dapur dengan telunjuknya. Tampak banyak debu menempel di sana.
Ekspresi wajah Dave berubah untuk sepersekian detik, tetapi sejurus kemudian raut wajahnnya kembali terlihat biasa saja. “Aku sibuk. Jadi tidak sempat membersihkan apartemen ini. Jika, kamu merasa apartemen ini kotor, kamu bisa membersihkannya.”
Alana tak banyak menjawab lagi. Ia segera mencari lap dan mulai membersihkan apartemen agar lebih bersih.
Di sela membersihkan apartemen, dari sudut matanya, Alana bisa melihat suami dadakannya itu sekarang justru duduk dengan santai sambil memainkan ponselnya.
Sedang Alana mengelap keringat yang menetes ke mata.
Alana ingin memberengut, tetapi ia sadar pria itu telah membantunya membiayai biaya operasi Ayah. Biaya operasi ayahnya tidak murah, Alana tidak tahu pria itu memiliki uang dari mana, tetapi melihat kondisi apartemennya yang kecil seperti ini mungkin suaminya itu telah menghabiskan seluruh tabungannya untuk Alana. Perasaan kesal itu kini hilang dan terganti jadi rasa bersalah.
Alana menyapu di sekitar area duduk Dave. “Bisakah kamu angkat kakimu?”
Satu sudut bibir Dave terangkat, tetapi Alana tidak melihatnya. “Kamu pandai juga bersih-bersih.”
Mendengar ucapan Dave, rasa bersalah yang tadi ada di hati Alana kini terganti dengan rasa kesal. Rasa-rasanya pria itu tengah menyindirnya.
Alana mengangkat wajahnya untuk melihat wajah pria itu dan ingin membalas ucapannya, tetapi urung dilakukan karena Dave pergi ke arah balkon sambil menempelkan ponselnya di telinga.
Alana mengatur napasnya.
Tenang.
Pria itu telah membantunya.
Alana harus ingat itu dan berpikiran positif, meskipun suaminya itu mungkin sekarang jadi memiliki sifat menyebalkan, setidaknya Alana masih bisa bersyukur atas kebaikannya.
Akhirnya setelah satu jam, Alana selesai membersihkan apartemen. Tinggal mengganti sprei kasur. Namun, Alana tidak tahu di mana letak sprei barunya. “Bisakah kamu ambilkan sprei?” pinta Alana pada Dave.
Akan tetapi, permintaan Alana tidak digubris. Justru Dave tetap sibuk dengan ponselnya.
Karena Dave tetap diam, Alana berinisiatif mencari sprei hingga menemukannya di lemari atas. Letak sprei itu agak tinggi, Alana harus berjinjit beberapa kali untuk mengambilnya.
Ketika tangannya hendak mencapai sprei, Alana kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh.
‘Aduh!’
Alana mengira dirinya akan jatuh, ia langsung memejamkan mata.
Namun, sebelum tubuhnya membentur lantai dengan keras, tubuhnya lebih dulu bersandar pada dada bidang dan menghentikan kejatuhan Alana.
Netra Alana terbuka dan mengerjap untuk beberapa saat.
Dave telah menangkapnya!
“Ma-maaf!” ujar Alana cepat dan berusaha untuk langsung berdiri menghadap Dave, tetapi karena Alana bergerak terlalu cepat, lagi-lagi tubuhnya limbung dan terdorong ke belakang.
Dan lagi-lagi, sebelum Alana terjatuh, tangan Dave melingkar cepat di pinggang Alana.
Pagi ini, Dave bangun lebih awal. Ia sudah rapi, meskipun hari ini adalah hari libur. Wajahnya pun tampak semringah. Alana yang menyadari itu merasa aneh dengan sikap suaminya itu. “Kamu kenapa, Sayang? Sepertinya hari ini kamu tampak senang sekali?” Alana menatap lekat wajah sang suami. “Nanti kamu juga akan tahu.” Dave tersenyum penuh arti. Dahi Alana berkerut dalam. “Apa? Kenapa kamu membuat aku penasaran?” Sayangnya, Dave justru hanya tersenyum saja. Alana menekuk bibirnya. Namun, saat sedang memerhatikan sang suami. Ia melihat sang suami sudah rapi sekali. “Bukankah hari ini libur, kenapa kamu rapi sekali, Sayang?” Dave menghampiri Alana. “Aku mau mengajakmu pergi.” Alana menatap penuh curiga. “Ke mana?” tanyanya. “Sudahlah, nanti kamu akan tahu. Jadi bersiaplah saja.” Dave tersenyum. Alana sangat kesal dengan suaminya yang bermain rahasia-rahasia itu. Namun, dari pada ia terus penasaran, alangkah lebih baik dia segera bersiap. Agar tahu ke mana sang suami akan membawan
Hari-hari Alana setelah resmi berhenti bekerja dari kantor terasa aneh. Hidupnya yang dulu dipenuhi dengan deadline pekerjaan, kini berganti dengan keheningan rumah. Tidak ada rapat dadakan. Tidak ada lagi telepon dari atasan yang bahkan mengusiknya kapan saja. Semua terasa hening. Alana mencoba untuk menguatkan dirinya. Ia yakin semua hanya soal waktu dan hanya butuh adaptasi. Untuk mengisi waktu, Alana tetap melanjutkan hobi menggambar desain baju. Dengan tablet miliknya, ia menggambar desain sesuai dengan imajinasinya. Kali ini ia membuat tanpa tema apa pun seperti biasa perusahaannya minta. Ia hanya menggambar sesuai dengan keinginan hati saja. Namun, tak hanya menggambar, ia mencoba hal-hal baru. Salah satunya adalah memasak. Ia belajar langsung dari chef keluarga Tanuwijaya.Chef dengan sabar mengajarkan berbagai resep makanan, mulai dari tradisional sampai modern. Seperti kali ini, chef mengajarkan Alana membuat steak daging. Dengan penuh semangat ia mengikuti semua araha
Hari-hari Alana terasa begitu melelahkan. Sejak menikah ia diberikan tanggung jawab untuk mengurus rumah Tanuwijaya. Memastikan semua berjalan dengan benar. Alana pikir pekerjaan itu akan mudah dikerjakan, tetapi ternyata cukup sulit. Ia masih bersyukur karena Viona masih membantunya dalam beberapa hal. Yang awalnya mereka tidak akur, karena saling membutuhkan, mereka kini justru semakin dekat. Sayangnya, mengerjakan pekerjaan mengatur rumah dibarengi dengan bekerja memang tidak mudah. Belakangan ini juga pekerjaanya cukup banyak. Jadi Alana harus membagi waktu dengan baik. Sampai-sampai, saat di rumah, Alana masih harus mengerjakan pekerjaan kantornya. Seperti malam ini, Alana mengerjakan pekerjaanya di kamar. Ia sibuk menggambar desain yang akan diserahkan ke perusahaan. Alana sampai menggunakan meja kerja Dave untuk mengerjakan pekerjaanya. Dave yang melihat istrinya sangat sibuk membawakan secangkir coklat. Berharap dapat menemani sang istri yang sedang bekerja. “Minumlah,
Pagi ini, Alana bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Hari ini Jenny akan pergi ke luar kota. Jadi Alana ingin mengantarkan kakaknya itu. Saat tiba di rumah, sudah ada koper besar di ruang tamu. Jenny duduk di samping koper dengan wajah sedih. Alana tahu, jika selama ini Jenny tidak pernah tinggal jauh dari keluarga. Segala kebutuhan pun selalu dipenuhi oleh mamanya. Jenny hanya tinggal duduk manis di rumah. Di samping Jenny ada Arini yang tampak jauh lebih sedih. Sulit baginya melepaskan putrinya tinggal jauh, tapi ia harus melakukannya demi masa depan anaknya itu. “Jenny, nanti kamu di sana jaga diri baik-baik. Makan tepat waktu.” Jenny mengangguk, lalu menunduk. “Iya, Ma, aku akan jaga diri baik-baik dan makan tepat waktu.Arini memeluk Jenny. Alana yang duduk di samping sang ayah, melihat ibu dan anak yang tampak begitu bersedih. Sejujurnya ia pun merasa begitu sedih juga. Namun, memberikan ruang bagi ibu dan anak itu lebih dulu. “Kak, aku akan antar Kakak ke bandara dengan
Suasana ruang kerja Dave siang itu begitu hening. Meja kayu besar dengan berkas-berkas rapi di atasnya memberi kesan tegas dan disiplin. Di kursinya, Dave duduk dengan punggung tegak. Tatapannya fokus pada satu nama di daftar karyawan milik Jenny yang tadi dimintanya dari pihak HRD. Dave mengerti bahwa Alana berada dalam posisi sulit. Ia tidak ingin membuat istrinya terbebani, tapi juga tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan yang menyangkut perusahaan.“Baiklah,” gumam Dave lirih. “Kita lihat seberapa serius Jenny dalam tanggung jawabnya.” Dave segera meraih gagang telepon dan menghubungi asistennya. “Tolong panggilkan Jenny ke ruangku.”Tak lama, pintu diketuk pelan. Jenny masuk dengan wajah sedikit gugup. Ia memang sudah menunggu panggilan ini sejak Alana berjanji menyampaikan permintaannya.“Silakan duduk,” ucap Dave singkat, memberi isyarat pada kursi di hadapannya.Jenny duduk, berusaha menampilkan sikap percaya diri. “Terima kasih sudah memanggil saya, Pak Dave.”Dave me
[Alana, bisakah kita bertemu saat jam makan siang?]Pesan itu berasal dari Jenny. Alana terdiam sejenak, mencoba menebak alasan Jenny tiba-tiba ingin bertemu. [Baiklah, kita bertemu di restoran biasa.]Ia menaruh kembali ponsel di meja setelah membalas pesan dari kakaknya itu. Kemuydian ia bangkit. Baru saja ia hendak melangkah ke arah pintu, suara berat terdengar. “Apa kamu sudah siap?” tanya Dave.Alana menoleh, menemukan suaminya yang tampak gagah dengan setelan kerja rapi. Wajahnya terlihat lebih segar pagi itu. Alana tersenyum kecil lalu menghampirinya, tangannya otomatis merapikan dasi Dave yang sedikit miring.“Aku sudah siap,” jawabnya pelan. Hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti menikah dan bulan madu. Ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Kini ia sudah menyandang ‘istri Dave’.Sesampainya di kantor, Alana langsung menjadi pusat perhatian. Rekan-rekan kerjanya menyambutnya dengan senyum ramah, sebagian besar menanyakan tentang pernikahan dan