LOGINDave tidak menjawab. Ia hanya menatap Alana, dan hanya tersenyum tipis di sudut bibirnya. Bukan senyum ramah, melainkan senyuman penuh percaya diri yang membuat Alana merasa terpojok.
Senyuman itu membuat Alana merasa sangat tidak nyaman dan cemas.
“Kamu butuh biaya untuk ayahmu dan aku bisa membantumu,” kata Dave, suara tenang dan datar, sama sekali tidak menunjukkan beratnya topik yang sedang mereka bicarakan. “Cukup menikah denganku. Persyaratan yang sederhana, bukan?”
Alana menggigit bibirnya. Ia tahu tawaran itu sangat menggiurkan. Di saat ia sedang kalang kabut mencari uang, tiba-tiba Dave memberikan bantuan.
Tapi, kenapa harus dengan menikah?
Pikiran Alana berkecamuk.
Namun, Alana menarik napas dalam-dalam, menegakkan punggungnya. Alana dengan tenang menatap balik pria itu dan berkata, “Terima kasih atas penawarannya, tapi aku tidak perlu bantuanmu lagi.”
Menerima bantuan Dave artinya Alana harus berurusan dengan mantan kekasihnya itu.
Untuk saat ini, prioritas utamanya adalah ayahnya. Kesehatan sang ayah lebih penting dibanding menikah. Ia tidak ingin menambah runyam pikiran karena menikah dengan Dave.
“Aku bisa mencari biaya rumah sakit sendiri,” imbuhnya lagi.
Dave tampak tenang. Ia justru bersandar lebih santai di kursinya, seolah jawaban Alana adalah sesuatu yang sudah ia duga.
“Baiklah, jika kamu menolak tawaranku,” balasnya, mengangguk pelan. “Tapi, jika kamu masih kesulitan …” Satu sudut bibir Dave terangkat. “..aku dengan senang hati akan membantumu.”
Lalu tanpa menunggu balasan Alana lagi, Dave mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya dan meletakkannya dengan rapi di atas meja untuk membayar pesanan mereka. Ia bangkit berdiri, merapikan sedikit jasnya yang tidak kusut lalu beranjak meninggalkan Alana.
Alana tercengang mendengar ucapan Dave dan melihat senyumannya. Kekesalan tiba-tiba muncul di hatinya.
Ucapan dan senyumannya seolah meledek Alana karena Alana akan tetap menemuinya dan memohon bantuan.
Huh, tidak akan!
Alana akan berusaha semampu yang dia bisa untuk biaya pengobatan ayahnya.
Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk kesal.
Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.
Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.
Buru-buru Alana mengambil ponselnya di dalam tas. Layar ponsel menunjukkan nomor rumah sakit.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Dengan keluarga Pak Alvin Mahardika.”
“Iya, benar. Ada apa ya, Bu?”
“Kami hanya ingin mengingatkan jika biaya rumah sakit Pak Alvin Mahardika harus segera dilunasi, karena jika tidak, kami tidak bisa mengoperasi Pak Alvin sesuai jadwal yang ditentukan dan kami akan melepaskan semua alat yang terpasang pada Pak Alvin.”
Alana terperangah mendengar informasi yang baru saja dikatakan pihak rumah sakit. Jika ayahnya tidak operasi dan alat penunjang dilepas, yang ada ayahnya akan meninggal.
“Baik, saya akan segera melakukan pembayaran.” Walaupun saat ini Alana tidak memiliki uang, tetapi tidak ada yang bisa Alana pikirkan selain mengatakan hal itu.
Yang terpenting adalah ayahnya bisa dioperasi dan sembuh.
Urusan biayanya akan Alana pikirkan nanti.
***
“Keluarga Pak Alvin Mahardika.” Seorang perawat menyapa Alana yang sedang diam berdiri di lorong ruang perawatan.
“Iya.” Alana yang tersadar langsung menatap perawat.
“Anda diminta untuk ke ruang administrasi.”
Tubuh Alana lemas. Diminta ke ruang administrasi artinya dia harus membayar biaya rumah sakit, tapi sekarang uang saja dia tidak ada.
“Saya akan ke sana, Sus.”
Alana di ruang administrasi. Berharap ada kesempatan yang diberikan padanya.
“Saya minta waktu lagi, Bu. Karena saya belum dapat uangnya.” Alana menatap petugas bagian administrasi dengan penuh harap.
“Kami sudah memberikan waktu, seharusnya Anda menggunakan dengan baik.”
Ketakutan akan operasi sang ayah yang gagal pun menyergap. “Saya mohon berikan kesempatan sekali lagi, Bu. Saya akan bayar secepatnya,” pintanya penuh harap.
Petugas administrasi menatap Alana iba. Tampak Alana sangat bersungguh-sungguh.
“Baiklah, saya berikan kesempatan sehari lagi, tapi ingat pihak rumah sakit tidak lagi bisa menerima alasan apa pun. Jadi saya harap Anda membayar semuanya, jika tidak ....”
“Saya janji akan segera membayarnya.” Alana tahu yang akan dikatakan petugas administrasi.
Alana bernafas lega. Paling tidak, dia punya waktu untuk mencari uang lebih dulu. Walaupun itu hanya sehari saja.
Dari ruangan administrasi, Alana kembali ke ruang perawatan sang ayah. Melihat keadaan sang ayah saat ini.
Saat masuk ke ruangan perawatan, ayahnya tidak sendiri, melainkan bersama dengan Arini-ibu tirinya.
Tatapan Arini tampak tidak suka. Seolah kedatangan Alana tidak diharapkan.
“Apa kamu sudah dapat uang untuk biaya ayahmu?”
Suasana di ruang bersalin penuh ketegangan. Dave berulang kali merasa hatinya perih melihat Alana berjuang keras. Perjuangan sang istri benar-benar besar sekali. Dave tidak akan melupakan hal besar ini. “Dorong terus, Bu. Kepalanya sudah mulai kelihatan.” Dokter kembali memberikan intruksi. “Sayang, sedikit lagi, kamu pasti bisa.” Dave mendaratkan kecupan di dahi sang istri. Alana menggenggam tangannya lebih erat, seakan menarik kekuatan dari suaminya.Hingga akhirnya, saat yang ditunggu tiba. Dengan dorongan terakhir yang penuh tenaga, suara tangis nyaring pecah memenuhi ruangan.Dave terperangah. Matanya langsung berkaca-kaca. Bayi mungil itu diangkat oleh dokter, tubuhnya masih basah, wajahnya merah, tapi tangisnya begitu lantang.“Anak Bapak dan Ibu laki-laki,” ucap dokter sambil tersenyum lelah namun bahagia.Air mata jatuh di pipi Dave tanpa bisa ditahan. Ia menatap Alana, yang terbaring lemah namun tersenyum lega.“Anak kita laki-laki.” Dave memeluk Alana erat. Tangis Alana
Tidak terasa usia kandungan Alana sudah sembilan bulan. Kehamilan Alana tanpa drama sama sekali. Semua berjalan dengan baik. Selama kehamilan pun ia tidak ngidam apa pun. Justru Dave yang ngidam dan menginginkan sesuatu selama kehamilan Alana. Menginjak usia kandungan sembilan bulan, persiapan sudah disiapkan Dave dengan baik. Mulai dengan kamar bayi, perlengkapan bayi, sampai sudah memesan kamar VVIP untuk persalinan nanti. “Apa ada yang kurang?” Dave melihat ke sekeliling kamar anak. Melihat kebutuhan anaknya yang dibutuhkan. “Sepertinya tidak. Aku sudah mencatat semua yang dibutuhkan, dan semua sudah kita beli.” Alana menjawab sambil melipat baju-baju bayi yang akan dibawa jika tiba-tiba nanti ia akan melahirkan. “Baiklah jika begitu.” Dave menghampiri Alana yang duduk di ranjang. Kamar bayi berisi satu ranjang besar untuk tidur Alana dan Dave saat nanti menjaga anak mereka. Kemudian satu box bayi khusus yang dipesan Dave untuk anak mereka. Dave membelai perut Alana. “Sayang
Sejak Alana menebak ngidam yang dilakukan Dave, beberapa kali Dave mengingikan makanan sesuatu secara tiba-tiba. Seperti malam ini, tiba-tiba saja ia terbangun di tengah malam. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan yang segar. “Sayang, aku ingin makan buah yang asam.” Alana membulatkan matanya. Sekarang sudah jam sebelas malam. Tentu saja ia bingung mencari makanan yang diinginkan suaminya itu malam-malam. Ia tahu persis jika di rumah tidak ada buah asam. Di rumah lebih banyak buah yang manis. “Ayo kita ke dapur. Siapa tahu ada buah asam.” Alana menyibak selimutnya. Bangkit dari tempat tidur. Dave ikut menyibak selimut. Kemudian turun dari tempat tidur. Mereka berdua keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Saat menuruni anak tangga, mereka melihat lampu di lantai bawah masih menyala. Mereka yakin jika ada yang masih belum tidur.“Kak Dave, Kak Alana.” Areksa terkejut ketika melihat Dave dan Alana. “Kamu belum tidur, Reksa?” tanya Alana. “Belum, masih belum mengantuk.”
Semua orang terkejut mendengar kabar itu. Mereka masih berusaha mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh Dave. “Alana, kamu benar-benar hamil?” Alvin menatap putrinya. Memastikan apa yang dikatakan menantunya baru saja. “Iya, Yah. Aku hamil.” Alana mengangguk sambil tersenyum. “Akhirnya aku akan punya cicit.” Mahesa tertawa meluapkan kebahagiaanya. Alana hanya tersenyum melihat kakek Dave itu begitu bahagia. “Kak Alana, selamat atas kehamilanmu.” Areksa menatap Alana, ikut memberikan selamat juga. “Terima kasih, Areksa.” Alana tersenyum. “Selamat, Alana. Jaga dirimu baik-baik.” Suara Arini terdengar menyahut setelah pembicaraan Alana dan Areksa. “Iya, Ma. Aku akan menjaga diri baik-baik.” Alana mengangguk pasti. “Selamat Alana. Jika butuh apa-apa. Kamu bisa bilang padaku.” Viona ikut menimpali obrolan ibu dan anak itu. “Terima kasih, Bu Viona.” Alaa kembali mengangguk. Semua keluarga begitu bahagia dengan kabar kehamilan Alana. Tawa bahagia terdengar di ruang makan.
Sejenak Alana diam. Berusaha untuk mencerna apa yang dikatakan oleh dokter padanya. Ia berusaha meyakini jika yang baru saja didengarnya tidaklah salah. Jika ternyata ia positif hamil. “Sayang.” Dave meraih tangan Alana dan mendaratkan kecupan di punggung tangan istrinya itu. Apa yang dilakukan Dave itu membuat Alana tersadar. Ia menatap sang suami dengan lekat. “Apa aku benar-benar hamil?” tanyanya memastikan. Tatapannya masih begitu terasa kosong. “Iya, Sayang. Kamu hamil.” Dave tersenyum. Suaranya terdengar meyakinkan. Matanya langsung berkaca-kaca mendengar apa yang baru saja dikatakan suaminya. Ia sangat terharu mengetahui jika dirinya hamil. Dave mengeratkan genggaman tangannya. Menguatkan istrinya agar tidak menangis. Sesaat kemudian, ia beralih pada dokter yang berada di depan mereka. “Berapa usia kandungan anak kami, Dok?” tanyanya. “Untuk informasi lebih lanjut, akan dijelaskan oleh dokter kandungan, Pak. Saya akan merujuk Bu Alana pada dokter kandungan di rumah sak
Menjelang sore, ketika keramaian mulai mereda, Alana baru bisa duduk manis di ruangannya. Melihat sisa keramaian dari CCTV. “Aku masih merasa seperti mimpi.” Alana menatap Dave. “Semua bukan mimpi, Sayang. Semua ini nyata.” Dave mencubit pipi Alana lembut. Alana langsung tertawa. “Iya, ini bukan mimpi.” “Setelah ini, kamu harus berusaha lebih keras lagi. Tunjukan pada dunia karyamu.” Dave membelai lembut wajah Alana. Alana mengangguk. Ia akan membuktikan dengan karyanya. Ia ingin dunia tahu karyanya. ****Beberapa bulan setelah butik resmi dibuka, Alana semakin sibuk. Hampir setiap hari Alana ke butik. Ia berada di sana sejak pagi sampai sore. Mendesain baju, mengawasi penjualan, dan berinteraksi dengan pelanggan. Dave akan menjemput sang istri setelah ia pulang kerja. Kemudian mereka akan pulang bersama. Bertambahnya kegiatan belakangan ini, membuat tubuh Alana sedikit kelelahan. Setiap bagun pagi, ia merasa mual menyerang. “Huek … huek ….” Seperti pagi ini, ia buru-buru ba







