Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.
“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?” Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing. “Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya. Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya. “Aucchh ....” Alana meringis kesakitan. Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit. Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit. Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau. Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering. Perlahan Alana turun dari tempat tidur sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Langkahnya diayunkan mencari keberadaan ponselnya. Suara terdengar dari arah sofa. Tampak tasnya tergeletak di atas sofa, dan suara dering ponsel berasal dari sana. Buru-buru Alana mengambil ponselnya di dalam tas. Layar ponsel menunjukkan nomor rumah sakit. “Halo,” sapanya. “Halo, Dengan keluarga Pak Alvin Mahardika.” “Iya, benar. Ada apa ya, Bu?” “Kami hanya ingin mengingatkan jika biaya rumah sakit Pak Alvin Mahardika harus segera dilunasi, karena jika tidak, kami tidak bisa mengoperasi Pak Alvin sesuai jadwal yang ditentukan dan kami akan melepaskan semua alat yang terpasang pada Pak Alvin.” Alana terperangah mendengar informasi yang baru saja dikatakan pihak rumah sakit. Jika ayahnya tidak operasi dan alat penunjang dilepas, yang ada ayahnya akan meninggal. “Baik, saya akan segera melakukan pembayaran.” Walaupun saat ini Alana tidak memiliki uang, tetapi tidak ada yang bisa Alana pikirkan selain mengatakan hal itu. Yang terpenting adalah ayahnya bisa dioperasi dan sembuh. Urusan biayanya akan Alana pikirkan nanti. Saat sambungan telepon terputus, Alana buru-buru meraih baju-bajunya yang tergeletak di atas lantai, dan bergegas ke rumah sakit. *** Langkah Alana terus diayunkan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke ruangan ayahnya dirawat. Sebelum sampai di ruangan sang ayah, dari kejauhan tampak Jenny yang keluar dari ruangan sang ayah. “Kak,” panggilnya penuh harap. Alana baru ingat, Jenny pasti sudah memiliki uang untuk pengobatan ayahnya. Jenny menatap Alana dengan dingin dan dipenuhi kekesalan. “Kak, mana uangnya?” tanyanya sambil menarik tangan kakaknya. Dahi Jenny berkerut dalam. “Uang apa?” “Uang yang Kakak janjikan jika kita datang ke pesta semalam.” Jenny menghempas tangan Alana yang sedang memegangi tangannya. “Ke mana saja kamu semalam?” Alih-alih menjawab pertanyaan, Jenny justru bertanya balik. Mendapati pertanyaan itu, Alana bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan jika semalam dia tidur bersama pria yang tidak dikenal. “Jika kamu tidak menghilang, pastinya kita akan dapat uang sekarang!” Jenny mendesah keras sambil menatap Alana tajam. Alana berusaha mencerna ucapan kakak tirinya itu. Apa yang dikatakan Jenny mengisyaratkan jika saat ini dia tidak dapat uang. “Bukankah Kak Jenny bilang kalau kita datang ke pesta, kita akan dapat uang. Lalu, kenapa kita tidak dapat uang sekarang?” Alana meraih tangan Jenny kembali. Mulai panik karena uang dari teman Jenny adalah harapan terakhirnya untuk membayar biaya rumah sakit ayahnya. “Haish ....” Jenny menghempas tangan Alana sebelum sampai menaik tangannya. “Temanku tidak jadi memberikannya karena kamu pergi. Semuanya gagal karena kamu pergi!” Tubuh Alana lemas ketika ternyata mereka tidak dapat apa-apa dari pesta semalam. Rasanya, Alana benar-benar hancur. Uang tidak didapat, justru kesuciannya yang melayang. Tanpa terasa air mata Alana meluncur begitu saja. “Lalu, bagaimana dengan uang perawatan Ayah, Kak?” tanyanya seraya menggoyang-goyangkan tubuh Jenny. “Kamu pikir saja sendiri!” Jenny berlalu pergi meninggalkan Alana. Alana hanya bisa termangu melihat Jenny yang pergi. Kini ia tidak tahu harus bagaimana membayar biaya rumah sakit. Harapannya pupus saat kakaknya tidak memberikan uang. “Keluarga Pak Alvin Mahardika.” Seorang perawat menyapa Alana yang sedang diam berdiri di lorong ruang perawatan. “Iya.” Alana yang tersadar langsung menatap perawat. “Anda diminta untuk ke ruang administrasi.” Tubuh Alana lemas. Diminta ke ruang administrasi artinya dia harus membayar biaya rumah sakit, tapi sekarang uang saja dia tidak ada. “Saya akan ke sana, Sus.” Alana di ruang administrasi. Berharap ada kesempatan yang diberikan padanya. “Saya minta waktu lagi, Bu. Karena saya belum dapat uangnya.” Alana menatap petugas bagian administrasi dengan penuh harap. “Kami sudah memberikan waktu, seharusnya Anda menggunakan dengan baik.” Ketakutan akan operasi sang ayah yang gagal pun menyergap. “Saya mohon berikan kesempatan sekali lagi, Bu. Saya akan bayar secepatnya,” pintanya penuh harap. Petugas administrasi menatap Alana iba. Tampak Alana sangat bersungguh-sungguh. “Baiklah, saya berikan kesempatan sehari lagi, tapi ingat pihak rumah sakit tidak lagi bisa menerima alasan apa pun. Jadi saya harap Anda membayar semuanya, jika tidak ....” “Saya janji akan segera membayarnya.” Alana tahu yang akan dikatakan petugas administrasi. Alana bernafas lega. Paling tidak, dia punya waktu untuk mencari uang lebih dulu. Walaupun itu hanya sehari saja. Dari ruangan administrasi, Alana kembali ke ruang perawatan sang ayah. Melihat keadaan sang ayah saat ini. Saat masuk ke ruangan perawatan, ayahnya tidak sendiri, melainkan bersama dengan Arini-ibu tirinya. Tatapan Arini tampak tidak suka. Seolah kedatangan Alana tidak diharapkan. “Kamu ya!” Arini menarik tangan Alana dan mencengkeramnya erat. Suaranya lirih agar sang suami tidak bangun, tapi tidak mengurangi intimidasi yang dilakukan pada Alana. “Aacchhh ....” Alana merintih pelan agar sang ayah tidak bangun. “Kenapa Mama seperti ini?” tanyanya. “Kenapa kamu kabur semalam?” Tatapan Arini begitu dipenuhi kebencian. Alana yakin jika kakaknya tadi pasti sudah menceritakan jika dirinya semalam pergi, hingga membuat rencana gagal. “Aku tidak kabur, Ma.” Alana berusaha menahan cengkeraman Arini yang semakin kencang. “Lalu, ke mana kamu pergi jika tidak kabur?” “Aku ... aku ....” Alana bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin menceritakan kebodohan yang dilakukan. “Kamu memang tidak ada gunanya sama seperti ayahmu!” Kali ini Arini melepaskan cengkeraman di tangan Alana.Bab 6“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?”Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.“Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin.Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.Dave segera mendu
“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan.Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh.“Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk.Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?”Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya.Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis.Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gil
Pandangan Alana tertuju pada pria tegap dengan balutan jas mahal yang sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak menghindar. Justru diam membeku di tempatnya berpijak. Tepat di depannya sekarang, pria itu berhenti. Menatap dengan tajam. Tanpa bicara apa-apa.Kenapa dirinya harus bertemu pria ini? Masih segar di ingatan Alana bagaimana tadi pagi ia menemukan dirinya tanpa pakaian berada di kamar dengan pria ini. Kejadian semalam benar-benar membuatnya enggan bertemu dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, ia sedang sibuk memikirkan biaya rumah sakit sang ayah.Namun, yang paling jelas Alana ingat adalah ketika tuduhan keji yang dilemparkan padanya. Seolah-olah ia adalah wanita yang suka tidur dengan sembarang orang.Alana merasa pria di depannya ini datang di waktu yang tidak tepat.Masih menjadi pertanyaan juga di kepalanya, untuk apa pria di depannya itu berada di tempat yang sama dengannya?Namun, melihat dominasi pria di depannya yang begitu kuat, membuat tubuh Alana menegang. Ke
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah.Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alan
Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?”Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing.“Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya.Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya.“Aucchh ....” Alana meringis kesakitan.Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit.Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit.Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.Perlahan Alana turun dari tempat t
“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya.“Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas.Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu.Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini.Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,”