“Baik sekali atasanmu.” Dave menarik sudut bibirnya, tetapi matanya terus menatap Alana. Tatapan Dave itu seolah penuh kecurigaan. Alana buru-buru menjelaskan. “Atasanku tahu jika desain yang diperebutkan adalah desainku. Jadi dia memberikan makanan sebagai permintaan maaf karena memintaku membuat desain baru.” Dave tidak merespons, namun rahangnya terlihat sedikit mengeras. Ia kembali fokus pada jalanan.Alana berusaha tetap tenang. “Apa kamu sudah makan?” tanya Alana. “Sudah,” jawab Dave, singkat. Alana mengangguk. Suasana di dalam mobil kembali hening. Namun, kali ini sedikit mencekam. Dave tampak masih tidak percaya dengan Alana. Sampai di apartemen, tidak ada pembicaraan lagi. Dave dan Alana sama-sama diam. Alana lebih fokus untuk membersihkan dirinya. Beberapa hari Alana lembur. Dave yang diminta tidak menjemput pun akhirnya benar-benar tidak menjemput Alana. Setiap malam Alana selalu pulang dengan naik bus. Selama lembur, kiriman makanan dari Akram terus datang. Alana s
Di balik kemudi, Dave menatap Alana lekat-lekat. “Ayo, pulang.” Alana ragu sejenak, sebelum akhirnya melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat kembali, Dave segera menginjak pedal gas, melajukan mobilnya. “Kenapa kamu menjemputku?” Alana memecah keheningan, menatap Dave.“Ini sudah malam,” balas Dave datar. Pandangannya tetap lurus pada jalanan. Suara Dave terdengar datar, namun ada nada yang berbeda di sana, sesuatu yang bukan sekadar kekesalan. Dave masih peduli padanya.Alana merasakan kehangatan aneh menyelinap di hatinya, meski ia segera menepisnya.Mobil terus melaju dalam diam, namun matanya memicing ketika menyadari arah mobil berbelok ke sebuah kafe.Alana segera mengalihkan pandangan pada Dave. “Mau apa kita ke sini?” tanyanya. “Kamu sudah makan?” Dave menarik tuas rem. Mobil berhenti sempurna di tempat parkir. “Belum,” jawab Alana lirih. “Kalau begitu ayo makan.” Dave membuka sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Saat Dave hendak keluar, Alana menahan lengan
Akram berdiri di ambang pintu ruangan Alana, bersandar santai dengan kedua tangan di saku celana, menatap Alana dengan ekspresi yang sulit diartikan.Bahu Alana yang tadi sempat menegang sedikit mengendur.“Kamu belum pulang?” Alana menggeleng. “Belum, Pak. Saya masih mengerjakan desain.” Akram mengangguk sambil terus melangkah dan berhenti tepat di samping meja Alana.“Sudah lewat dari jam kerja. Jadi, kamu bisa bersikap lebih santai,” kata Akram, sambil kembali memasukkan kedua tangan di saku celananya.Alana mengangguk sambil tersenyum kecil. “Mau sampai jam berapa kamu mengerjakan desainmu?” tanya Akram dengan tenang. “Mungkin sampai jam sepuluh.”Akram menganganguk-anggukan kepalanya. Kemudian ia melihat ke layar laptop milik Alana. Tampak sketsa Alana yang baru dibuat wanita itu. “Melihatmu menggambar seperti ini, aku jadi teringat saat kita di kelas dulu.” Akram menatap sketsa Alana dengan lekat.Alana tersenyum. Ia memang suka fashion dari kecil. Untuk itu, ia mengekspres
Alana dan si manajer serempak menoleh ke arah pintu yang terbuka. Saat melihat siapa yang datang, si manajer langsung berdiri dengan canggung.“Pak Akram.” Manajer menghampiri Akram. Alana buru-buru menyeka sisa air mata di pipinya, tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu. Namun, ia tahu usahanya sia-sia. Apa yang baru saja terjadi tak luput dari pandangan Akram.“Ada apa ini?” tanya Akram pada manajer, namun tatapan matanya yang tajam tetap tertuju lurus pada Alana.“Saya… saya sedang menangani penjiplakan desain, Pak,” jelas manajer, tergagap.“Siapa yang melakukan penjiplakan desain?” Kali ini Akra mengalihkan pandangan pada manajer. “Alana, Pak.” Alana membulatkan matanya ketika mendengar manajer menyebut namanya. “Pak, saya tidak menjiplak desain,” potongnya, suaranya bergetar menahan emosi. ucap Alana memotong pembicaraan Akram dan manajer. “Alana,” tegur si manajer tajam. Manajer menatap tajam pada Alana yang menjelaskan.Alana seketika terdiam, mulutnya terkatup rapat
“Tidak.” Alana menggeleng. Suaranya pelan namun tegas.“Jelas-jelas itu sama dengan desain Vera! Bagaimana bisa kamu bilang tidak?” Seorang senior ikut bicara dengan sinis.Alana mengabaikannya. Matanya terkunci pada Vera, satu-satunya orang yang bisa mengklarifikasi ini. Namun, Vera hanya menunduk, bahunya bergetar seolah ia adalah korban.“Vera, jelaskan kenapa bisa desainmu mirip dengan desainku?” Alana menatap Vera, berharap wanita itu memberikan jawaban. “Alana, jangan menuduh Vera seperti itu.” Seorang senior laki-laki menatap Alana dengan tajam. “Aku tidak menuduh, tapi memang ini adalah desainku!” balas Alana, tanpa sadar suanya meninggi. “Aku yang membuat desain ini.” Alana menunjuk ke arah layar di mana desainnya berada. Ia kemudian menghampiri Vera dengan cepat. “Vera, waktu itu kamu memuji desainku. Katakan sebenarnya, apa kamu menjiplak desainku?” Alana memegangi bahu Vera, menatap Vera dengan lekat. Vera menatap balik ke arah Alana yang berdiri di sampingnya. “Alana,
Jantung Alana mencelos. “Aku … dari rumah Papa,” jawabnya. Kebohongan itu meluncur begitu saja dari bibirnya sebelum ia sempat berpikir.Dave hanya mengangguk pelan, sangat pelan, seolah sedang mencerna setiap kata dari ucapan Alana.Tatapan mata Dave yang tak lepas dari Alana, membuat sebuah getaran takut menjalari punggung gadis itu.Namun–“Aku lapar.” Hanya itu yang Dave katakan. Setelah itu, Dave mengalihkan pandangan dari Alana pada ponsel di tangannya.“O…oke. Aku akan masak, tapi aku mandi dulu, ya.” Alana bergegas meletakkan tasnya dan masuk kamar mandi, mencoba menenangkan debaran jantungnya.Di kamar mandi, Alana sedikit menyesali jawaban yang diberikan pada Dave.Kenapa harus berbohong?Hembusan kasar mengiringi penyesalan yang dirasakan Alana. Tetapi, ia sudah terlanjur mengatakan hal tadi. Jika ditarik lagi ucapannya itu, pasti sangat aneh.Alana sadar seharusnya tadi Alana meminta izin lebih dulu, bagaimanapun kini Alana seorang istri. Tidak pantas rasanya bertemu pria