Bab 6
“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen. Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung. Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana. Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?” Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave. “Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin. Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini. Dave segera mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan meja kerja sambil melirik ke arah Alana. Memerhatikan istrinya itu yang ragu-ragu masuk. Raut wajahnya terlihat sedikit jijik melihat apartemen yang akan mereka tempati. Sadar akan hal itu, membuat rahang Dave sedikit mengeras. Dan ini baru permulaan bagi Alana. “Kamu benar-benar tinggal di apartemen ini?” Alana melihat sekeliling. Pertanyaan itu sedikit membuat Dave gusar. Sebenarnya Dave tidak tinggal di apartemen ini. Sebagai pewaris keluarga Tanuwijaya, ia punya rumah besar, apartemen mewah di tengah kota, dan beberapa vila mewah. Ia bisa tinggal di mana saja semaunya. Namun, untuk saat ini ia harus rela tinggal di apartemen kumuh dengan tipe studio. Ukuran ini lebih kecil dari kamar mandi di rumah utama miliknya. “Ya. Kenapa memangnya?” tanya balik Dave dengan dingin dan tatapan tajam. “Apartemen ini seperti sudah lama tidak ditempati. Berdebu. Jadi aku pikir kamu tidak benar-benar tinggal di sini.” Alana mencolek meja dapur dengan telunjuknya. Tampak banyak debu menempel di sana. Ekspresi wajah Dave berubah untuk sepersekian detik, tetapi sejurus kemudian raut wajahnnya kembali terlihat biasa saja. “Aku sibuk. Jadi tidak sempat membersihkan apartemen ini. Jika, kamu merasa apartemen ini kotor, kamu bisa membersihkannya.” Dalam hati Dave merutuki asistennya yang tidak memerhatikan hal-hal kecil ini. Alana tak banyak menjawab lagi. Ia segera mencari lap dan mulai membersihkan apartemen agar lebih bersih. Di sela membersihkan apartemen, dari sudut matanya, Alana bisa melihat suami dadakannya itu sekarang justru duduk dengan santai sambil memainkan ponselnya. Sedang Alana mengelap keringat yang menetes ke mata. Alana ingin memberengut, tetapi ia sadar pria itu telah membantunya membiayai biaya operasi Ayah. Biaya operasi ayahnya tidak murah, Alana tidak tahu pria itu memiliki uang dari mana, tetapi melihat kondisi apartemennya yang kecil seperti ini mungkin suaminya itu telah menghabiskan seluruh tabungannya untuk Alana. Perasaan kesal itu kini hilang dan terganti jadi rasa bersalah. Alana menyapu di sekitar area duduk Dave. “Bisakah kamu angkat kakimu?” Satu sudut bibir Davendra terangkat, tetapi Alana tidak melihatnya. “Kamu pandai juga bersih-bersih.” Mendengar ucapan Davendra, rasa bersalah yang tadi ada di hati Alana kini terganti dengan rasa kesal. Rasa-rasanya pria itu tengah menyindirnya. Alana mengangkat wajahnya untuk melihat wajah pria itu dan ingin membalas ucapannya, tetapi urung dilakukan karena Davendra pergi ke arah balkon sambil menempelkan ponselnya di telinga. Alana mengatur napasnya. Tenang. Pria itu telah membantunya. Alana harus ingat itu dan berpikiran positif, meskipun suaminya itu mungkin memiliki sifat menyebalkan, setidaknya Alana masih bisa bersyukur atas kebaikannya. Akhirnya setelah satu jam, Alana selesai membersihkan apartemen. Tinggal mengganti sprei kasur. Namun, Alina tidak tahu di mana letak sprei barunya. “Bisakah kamu ambilkan sprei?” pinta Alana pada Dave. Akan tetapi, permintaan Alana tidak digubris. Justru Dave tetap sibuk dengan ponselnya. Karena Dave tetap diam, Alana berinisiatif mencari sprei hingga menemukannya di lemari atas. Letak sprei itu agak tinggi, Alana harus berjinjit beberapa kali untuk mengambilnya. Ketika tangannya hendak mencapai sprei, Alana kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh. ‘Aduh!’ Alana mengira dirinya akan jatuh, ia langsung memejamkan mata. Namun, sebelum tubuhnya membentur lantai dengan keras, tubuhnya lebih dulu bersandar pada dada bidang dan menghentikan kejatuhan Alana. Netra Alana terbuka dan mengerjap untuk beberapa saat. Dave telah menangkapnya! “Ma-maaf!” ujar Alana cepat dan berusaha untuk langsung berdiri menghadap Dave, tetapi karena Alana bergerak terlalu cepat, lagi-lagi tubuhnya limbung dan terdorong ke belakang. Dan lagi-lagi, sebelum Alana terjatuh, tangan Dave melingkar cepat di pinggang Alana.Bab 6“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?”Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.“Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin.Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.Dave segera mendu
“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan.Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh.“Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk.Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?”Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya.Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis.Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gil
Pandangan Alana tertuju pada pria tegap dengan balutan jas mahal yang sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak menghindar. Justru diam membeku di tempatnya berpijak. Tepat di depannya sekarang, pria itu berhenti. Menatap dengan tajam. Tanpa bicara apa-apa.Kenapa dirinya harus bertemu pria ini? Masih segar di ingatan Alana bagaimana tadi pagi ia menemukan dirinya tanpa pakaian berada di kamar dengan pria ini. Kejadian semalam benar-benar membuatnya enggan bertemu dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, ia sedang sibuk memikirkan biaya rumah sakit sang ayah.Namun, yang paling jelas Alana ingat adalah ketika tuduhan keji yang dilemparkan padanya. Seolah-olah ia adalah wanita yang suka tidur dengan sembarang orang.Alana merasa pria di depannya ini datang di waktu yang tidak tepat.Masih menjadi pertanyaan juga di kepalanya, untuk apa pria di depannya itu berada di tempat yang sama dengannya?Namun, melihat dominasi pria di depannya yang begitu kuat, membuat tubuh Alana menegang. Ke
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah.Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alan
Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?”Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing.“Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya.Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya.“Aucchh ....” Alana meringis kesakitan.Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit.Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit.Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.Perlahan Alana turun dari tempat t
“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya.“Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas.Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu.Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini.Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,”