Share

Pembohong

Author: Cia Macchiato
last update Last Updated: 2025-08-30 15:26:07

“Nek, ayo kita mandi dulu. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Nenek mandi supaya lebih segar,” ajak Wanda. 

Nenek Gia yang sudah tenang dari beberapa menit yang lalu, menoleh. Tersenyum dan menganggukan kepada pada Wanda yang menuntunnya untuk bangkit dari duduk. Wanda membawa Nenek Gia masuk ke kamar tamu yang sederhana. Kamar yang telah lama dipakai, kini akan berpenghuni. Ia sudah mengganti sprei bau apek dengan linen bersih yang wangi dan membuka jendela agar udara bersih masuk.

“Maya, terima kasih kamu masih mau memperhatikan Mamah.” Nenek Gia mengusap lembut wajah Wanda dengan penuh kasih sayang. 

Nenek Gia masih merasa kalau Wanda adalah Maya, putri kandungnya. Wanda hanya bisa menarik napas panjang. Tidak ada gunanya membantah, sebab kondisi Nenek Gia yang terlihat khusus. Dengan sabar, Wanda menggandeng tangan Nenek Gia menuju kamar mandi.

Di ruang tamu, tersisa anak-anak Wanda yang menatap iba keadaan Nenek Gia. Shea yang sedang duduk di kursi panjang, melirik Drisa dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Adek, kok kamu bisa kenal sama Nenek itu?” tanya Shea.

Drisa menggelengkan kepala. “Nggak, Kak. Aku nggak kenal sama sekali.”

Shea dan Baya kompak membulatkan kedua netra mereka. Sangat terkejut mengetahui Si bungsu bisa menenangkan Nenek Gia dengan mengarang cerita. Tak hanya Nenek Gia, mereka sampai mempercayai kalau nama Nenek tersebut adalah Gia. 

“Jadi, nama Gia itu kamu tahu dari mana?” tanya Baya, penasaran.

“Aku dapat dari sana.” Drisa menunjuk sebuah majalah yang di meja ruang tamu. “Aku ambil nama Gia, dari kata bahagia yang ada di sampul depan. Ternyata Eyang itu sesuai dengan kecurigaanku.”

Shea mengernyitkan dahi. “Kecurigaanmu apa?”

“Sepertinya Eyang Gia terkena demensia,” ujar gadis berusia 17 tahun tersebut. 

Baya menatap adiknya cukup lama, lalu mengangguk pelan. “Kamu benar, Dek. Kondisi Nenek itu seperti terkena demensia. Dia tahu punya anak dan cucu, tapi lupa bagaimana wajah mereka. Lupa nama dan tidak tahu tempat tinggalnya sendiri.”

“Kasihan sekali Nenek Gia lupa segalanya. Kuharap keluarganya lagi berusaha mencari Nenek di luar sana. Aku tidak membayangkan kalau Nenek sengaja dibuang seperti itu,” kara Shea.

Percakapan mereka terpaksa berhenti saat Wanda keluar dari kamar tamu bersama Nenek Gia. Kini, Nenek Gia sudah terlihat lebih baik. Rambutnya yang dipenuhi uban sudah disisir rapi, wajah segar, dan daster milik Wanda terlihat pas di tubuh Nenek Gia. 

“Mulai sekarang kita harus panggil dia, Eyang. Kalau nggak nanti dia histeris lagi,” bisik Drisa yang langsung disetujui oleh kedua kakaknya. 

Wanda menuntun Nenek Gia menuju meja makan seraya menoleh ke ruang tamu. “Kalian sudah sarapan? Kalau belum, ayo, kita sarapan bersama Nenek!”

Mereka menganggukan kepala secara serempak. Kemudian bangkit dari duduk hendak menuju meja makan yang menjadi satu ruangan dengan dapur. Shea sempat melirik jam di dinding, sudah hampir jam delapan pagi.

“Aku harus berangkat sekarang. Pak Raga pasti menungguku.” ia mengambil tas yang ada di meja kecil dan memasukan beberapa printilan kecil seperti ponsel dan dompet.

Melihat Shea sedang bersiap-siap berangkat kerja, Drisa teringat sesuatu. Hal penting yang Shea berikan padanya untuk ditelusuri lebih lanjut. Ia sudah melakukan semua yang Shea minta dalam satu amplop coklat agak besar. 

“Kak,” panggil Drisa yang menghentikan pergerakan Shea, “Aku sudah melakukan semua yang Kakak minta. Hasilnya, ada di dalam sini.” Drisa menyerahkan amplop tersebut.

Shea menerimanya dengan wajah nyaris tak percaya. Tangannya dengan sabar membuka amplop tak terkunci tersebut dan membaca lembar demi lembar di dalamnya. Tak lama, sebuah senyum mengembang di wajahnya. Ia menoleh pada gadis bersurai sebahu di hadapannya.

“Makasih, Dek! Kamu penyelamat Kakak!” Shea memeluk erat tubuh sang adik yang sedang kebingungan. 

Setelah Shea berpamitan pada keluarganya dan juga Nenek Gia, ia menaiki sepeda motor menuju kantor. Tidak ada risau di wajah, rasa takut akan menghadapi Raga, atau berjalan gugup melewati orang-orang di lobi. Shea menggenggam erat tali tas di bahu saat melangkah mantap menuju lantai 20. Ruangan Raga berada. Terlebih, saat keluar dari lift, ia bisa melihat Raga sedang berdiri menunggunya dengan wajah tanpa ekspresi.

Saat Shea sudah berada di hadapannya, Raga langsung masuk ke dalam ruangan. Ternyata di dalam sudah ada Randy dan Pak Wira yang saling berdiam diri. Randy bersikap santai dengan menggenggam amplop coklat kecil di tangannya. Sedangkan Pak Wira, menatap semua orang dengan penuh tanda tanya. Raga menyilangkan tangan di dada, menatap Randy dan Pak Wira bergantian dengan wajah datar, dingin, dan sulit ditebak.

“Baik, ujar Raga akhirnya bersuara. “Saya yakin Pak Wira pasti tidak tahu kalau kemarin ada keributan di kantor kita soal Bapak. Randy menyebarkan berita kalau Pak Wira punya hubungan gelap dengan Shea.”

Pak Wira sontak menoleh ke arah pria di sampingnya dengan penuh amarah. “Kurang ajar kamu, Randy! Berani kamu menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang saya! Apa kamu tidak berpikir kalau saya punya keluarga?”

“Saya punya bukti, Pak!” Randy mengeluarkan foto-foto dari amplop coklat diletakkan di atas meja. “Ini semua bukti yang saya punya. Jadi, saya tidak asal bicara tentang hubungan gelap Bapak dan Shea.”

Pak Wira mendelik melihat semua gambar dirinya sedang bermesraan dengan seseorang yang mirip Shea. Ada yang berpelukan, saling merangkul, mereka bergandeng tangan ke sebuah hotel bahkan bercumbu. Benar-benar tidak masuk di akal, seorang pria yang sudah menyentuh usia 50 tahun bisa bermesraan dengan perempuan yang lebih cocok dijadikan anak. 

“Kamu g*la, Randy! Mana pernah saya bermesraan seperti ini bersama Shea! Saya sudah punya istri! Kami telah menikah selama hampir 18 tahun!” teriak Pak Wira, penuh dengan emosi yang menggebu-gebu.

Randy menunjukan mimik wajah meremehkan Pak Wira seraya berkata. “Jadi, Bapak sengaja sama Shea supaya bisa punya anak? Sampai sekarang Bapak belum punya anak, kan?”

“Kurang ajar!” Pak Wira yang emosi sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi, hendak menampar wajah angkuh pria muda di hadapannya.

“Saya punya bukti Pak,” ujar Randy menghentikan gerakan tangan Pak Wira, “Kalau Bapak merasa difitnah, ya, buktikan aja. Pak Raga hanya percaya pada bukti bukan cuma kata-kata.”

Tangan Pak Wira sudah sangat ingin mendarat ke pipi Randy, harus turun secara perlahan. Menolehkan kepala kepada Raga yang sedari tadi diam menatap mereka datar. Seolah menyadarkan Pak Wira bahwa apa yang dikatakan Randy adalah benar. Raga tidak menerima hanya sebuah kata-kata melainkan harus disertai bukti.

Lantas, Pak Wira terdiam. Hanya menundukkan kepala seraya memikirkan bagaimana cara agar bisa membuktikan tuduhannya terhadap Randy.

“Bantahan tanpa bukti nggak akan berarti apa-apa, Pak. Kalau Bapak dan Shea nggak bisa kasih bukti apa-apa ke saya … terpaksa kalian berdua saya pecat secara tidak hormat,” kara Raga, mengancam. 

Kalimat yang diucapkan Raga seperti nyanyian merdu di telinga Randy. Itulah yang ia inginkan, kehancuran Shea dan Pak Wira. Randy tidak bisa menahan senyuman yang mengembang di wajahnya. Sorot mata berbinar milik Randy menatap senang Pak Wira yang menunduk frustasi dan juga Shea … Randy terkejut saat melihat mantan kekasihnya. Sangat tenang, menatapnya tajam, dan tidak terbebani sama sekali. 

“Kenapa kamu begitu tenang, Shea? Pak Raga sudah bilang akan memecat kalian, lho. APa kamu diam-diam sudah punya koneksi dengan orang yang lebih kuat disini?” Randy bertanya seraya menyeringai. 

“Bukan koneksi tapi bukti yang kuat.” Shea mengambil amplop coklat besar dan diserahkan pada Raga. “Saya punya bukti kalau foto yang Randy berikan adalah bukti palsu.”

Raga mengeluarkan semua isi kertas dari dalam amplop dan dibaca dengan seksama. Randy sangat penasaran dengan kertas-kertas tersebut. Terlihat sekali hanya dengan memilikinya, merasa tak tertekan dengan ancaman Raga.

“Kamu pikir sebuah kertas bisa mengalahkan bukti foto yang kupunya? Buktiku lebih jelas dan terpercaya dibandingkan data, Shea.” Randy tersenyum meremehkan lawannya. 

Shea membalas senyum. “Kertas ini bukan hanya sekedar kertas. Di dalamnya, ada informasi tentang sebuah transaksi antara Randy Pradita Wijaya dan Jonathan Oktavian.” 

Senyum Randy hilang seketika. Wajahnya yang tadi santai berubah kaku. Mata yang terus menyoroti orang-orang tajam, kini membulat sempurna. Ia bergerak gelisah. 

“Apa maksud semua ini, Shea?” tanya Raga.

Shea mengalihkan pandangan pada pria dingin di sampingnya. “Randy membayar seorang fotografer dan editor amatir untuk merekayasa foto saya dan Pak Wira.” 

“Jangan sembarangan, kamu!” seru Randy mengejutkan semua orang yang ada disana atas perkataannya. “Dia profesional! Bukan amatiran seperti yang kamu kira!”

Raga menaikan sebelah alis. “Kamu mengakuinya?”

“Maksudnya, Pak?” tanya Randy, bingung.

“Dari kata-katamu barusan, kamu sepertinya kenal siapa itu Jonathan. Ya, kan?” tanya Raga yang tidak disahuti oleh lawan bicaranya. “Ayolah, Ran. Tadi kamu bilang kalau Jonathan bukan seorang amatir. Berarti kamu tahu betul siapa itu Jonathan yang sebenarnya, kan?” 

Bukannya menjawab, Randy terus membisu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Ia membuang muka ke sembarang arah agar tidak bersitatap dengan Raga. Shea yang melihat perubahan sikap pria licik di hadapannya, hanya tersenyum tipis. 

“Kamu memang b*doh, Randy. Siapa suruh memberikan alamat email sembarangan pada orang lain. Kamu pasti lupa kan, kalau emailmu masih ada di ponselku?” ucap Shea.

Mendengar perkataan Shea, Randy langsung memeriksa email yang ada di ponselnya. Randy merinding seketika saat melihat email yang ada di ponselnya hanya satu. Yaitu, email khusus untuk pekerjaan. Ia pun teringat kalau email pribadinya masih terhubung di ponsel Shea. Email pribadinya memang jarang digunakan sehingga mudah untuk dilupakan oleh Randy. 

Pak Wira yang sudah geram sejak tadi, ikut mendesaknya. “Ayo, Randy! Kamu mau mengelak seperti apa lagi? Saya mau dengar alasan kamu!”

“Dia tidak akan bisa mengelak, Pak Wira. Di dalam berkas yang diberikan Shea, semua ada informasi tentang Jonathan Oktavian. Dari biodata, sosial media, sampai nomor telepon yang dapat di hubungi.” Raga menaruh kertas-kertas milik Shea di atas meja, menutupi semua foto palsu milik Randy.

“Kamu memang licik, tapi kamu juga ceroboh dan b*doh. Kuberitahu satu hal, Jonathan bukan seorang profesional. Dia hanya mahasiswa jurusan broadcasting semester akhir yang mencari uang jajan dari keb*dohanmu,” cibir Shea.

Randy tidak berkata apa-apa lagi setelah melihat deretan bukti yang memberatkannya. Sekarang keadaan berbalik, ia tidak memiliki bukti apapun. Gugur sudah semua yang sudah dilakukannya untuk menghancurkan Shea dan Pak Wira. Sekarang apa yang harus Randy lakukan? Bisa-bisa hanya dia yang hancur di sini.

Raga mendekati Randy dengan menyilangkan tangan di dada. “Gimana Randy, kamu punya bukti untuk membantah tuduhan Shea? Kalau tidak, kamu yang akan saya pecat dari secara tidak hormat.”

Randy terbelalak. Mengetahui posisinya sebagai karyawan di perusahaan terkenal akan hancur. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Menjadi salah satu bagian Mandakara adalah impian banyak orang yang sulit didapatkan. 

“Jangan, Pak!” Randy langsung bersimpuh di kaki pria dingin di depannya. “Tolong jangan pecat saya, Pak! Kalau saya dipecat, saya tidak bisa melanjutkan hidup. Tolong Pak, berikan saya satu kesempatan lagi. Saya akan melakukan apapun agar tetap bekerja disini. Saya mohon, Pak!” ia menempelkan kedua telapak tangannya di depan muka.

Melihat permohonan Randy, tidak membuat orang-orang merasa iba sama sekali. Shea sang mantan kekasih malah memutar bola matanya karena jengah. Pak Wira terus merutuki kelakuan Randy yang licik luar biasa. Hanya Raga, satu-satunya orang yang senang melihat kejatuhan pria selicik dan angkuh seperti Randy. Pria ini memang pantas menerima hukuman yang bukan sekedar pemecatan.

Raga menurunkan tubuhnya sampai dalam posisi berjongkok. “Baik, saya nggak akan pecat kamu sekarang.”

Satu kalimat yang berhasil mengembangkan senyum di wajah b*doh Randy. Akan tetapi, senyum itu kembali sirna saat Raga melanjutkan kalimatnya.

“Asal, kamu terima hukuman dari saya … gimana? Kamu mau pilih dipecat secara tidak terhormat, atau terima hukuman dari saya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Nikah Setelah Dikhianati   Pembohong

    “Nek, ayo kita mandi dulu. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Nenek mandi supaya lebih segar,” ajak Wanda. Nenek Gia yang sudah tenang dari beberapa menit yang lalu, menoleh. Tersenyum dan menganggukan kepada pada Wanda yang menuntunnya untuk bangkit dari duduk. Wanda membawa Nenek Gia masuk ke kamar tamu yang sederhana. Kamar yang telah lama dipakai, kini akan berpenghuni. Ia sudah mengganti sprei bau apek dengan linen bersih yang wangi dan membuka jendela agar udara bersih masuk.“Maya, terima kasih kamu masih mau memperhatikan Mamah.” Nenek Gia mengusap lembut wajah Wanda dengan penuh kasih sayang. Nenek Gia masih merasa kalau Wanda adalah Maya, putri kandungnya. Wanda hanya bisa menarik napas panjang. Tidak ada gunanya membantah, sebab kondisi Nenek Gia yang terlihat khusus. Dengan sabar, Wanda menggandeng tangan Nenek Gia menuju kamar mandi.Di ruang tamu, tersisa anak-anak Wanda yang menatap iba keadaan Nenek Gia. Shea yang sedang duduk di kursi panjang, melirik Drisa denga

  • Mendadak Jadi Nikah Setelah Dikhianati   Nenek Gia

    Wanda menenteng tas anyaman ke sebuah pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah. Ini adalah rutinitasnya setiap pagi hari, membeli beberapa bahan makanan untuk persediaan di rumah. Suasana pasar yang begitu ramai tidak mengganggunya sama sekali. Aroma sayur mayur segar bercampur wangi rempah dari bumbu dapur. Langkah kaki berdesakan di lorong sempit sudah biasa bagi Wanda untuk melewatinya. Perempuan berusia 55 tahun tersebut, berhenti di sebuah lapak pedagang yang sudah menjadi langganannya. Dengan senyum, Wanda melihat-melihat daging sapi di lapak tersebut.“Eh, Bu Wanda,” sapa si pedagang, membalas senyumannya. “Kebetulan sekali, Bu. Hari ini saya bawa yang spesial!”“Apa Mbak?”“Daging spesial, Bu!” Si pedagang menunjuk salah satu sisi dagangannya yang terdapat daging mentah.Mata Wanda berbinar-binar melihat daging tersebut dengan senyum lebar. “Wah, daging buntut! Mbak tahu aja kalau anak saya suka daging buntut!”“Iya, dong! Namanya juga Ibu langganan di lapak saya. Masa sa

  • Mendadak Jadi Nikah Setelah Dikhianati   Simpanan

    Randy berjalan melewati lobi kantor dengan wajah santai dan dagu yang terangkat sedikit lebih tinggi. Bahu tegak, dada busung, dan kakinya melangkah mantap. Padahal setiap kali berpapasan dengan karyawan lain, Randy bisa mendengar dengan jelas bisikan-bisikan yang mencemooh dirinya. Juga melihat tatapan mata mengejek dari mereka. Namun, tak ada satupun dari semua itu yang membuatnya menundukan kepala. Rekan kerjanya sampai keheranan, melihat ia tetap bisa berjalan penuh percaya diri. Seakan teguran Pak Wira kemarin, tidak menggores hatinya sama sekali. Randy bahkan masih sempat melempar senyum tipis ke beberapa orang yang menyapa, sebelum menghilang di balik pintu ruangannya. “Akhirnya, aku bebas!” Randy menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. “Wira si*lan! Gara-gara dia, semua orang menertawakanku! Br*ngsek!” ia mengumpat kesal. Wajah santai yang ditunjukkan pada semua orang di luar sana, luntur seketika. Silih berganti dengan wajah masam dan dahi yang mengerut. TOK! TOK! TOK! Ra

  • Mendadak Jadi Nikah Setelah Dikhianati   Fitnah

    “Tik, kamu sudah dengar berita soal pernikahan Bu Shea yang gagal? Kudengar dia yang meninggalkan gedung pernikahan.” Salah satu karyawati mendekati Tika yang sedang berdiri di dekat mesin printer.Tika tersenyum tipis, menghentikan aktivitasnya sementara. “Sudah.”“Aku tidak percaya, Bu Shea membatalkan pernikahannya dengan Pak Randy. Padahal calon suaminya manajer di departemen digital marketing,” ucap si karyawati tersebut.“Kita tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, bukan? Sebaiknya memang kita tidak ikut campur,” jawab Tika, seperti orang yang tidak tertarik pada topik pembicaraan mengenai Shea. “Kamu tidak tahu?” si karyawati menatap terkejut lawan bicaranya. “Pernikahan mereka dibatalkan karena keluarga Bu Shea meminta mahar setinggi langit. Aku tahu ini langsung dari Pak Randy.” Tika tertegun menatap si karyawati yang sedang menatap sinis punggung Shea di kubikelnya. “Sudah, jangan bicarakan soal ini lagi. Ayo, kita kembali bekerja.”“Ah, kamu nggak asik!” Si karyaw

  • Mendadak Jadi Nikah Setelah Dikhianati   Mimpi buruk di hari bahagia

    Shea tersenyum bahagia melihat pantulan dirinya pada cermin besar dengan cahaya lembut dari lampu gantung kristal. Kilau sorot matanya bahagia, melihat tubuh yang terbalut kebaya seputih kapas dan bawahan kain batik yang cantik. Mahkota kecil dengan kain sutra tipis terhampar sampai ke lantai, menghiasi kepala. Riasan di wajahnya juga menambah cantik paras ayu tersebut. Bisa dipastikan, hari ini Shea akan menjadi ratu sehari dan membuat semua orang terpana saat melihatnya.Karena hari ini, Shea Swari Anandhi akan menikah dengan Randy Pradita Wijaya. Pria yang sudah menjalin hubungan cinta dengannya selama tiga tahun penuh. Siapa yang menyangka, kalau beberapa bulan yang lalu Randy menyatakan niat baik ke hadapan keluarganya. “Shea,” panggil sebuah suara lembut namun tegas.Shea menoleh ke sumber suara dari pantulan cermin. Di belakangnya, ada seorang wanita dengan tersenyum tipis sedang berdiri canggung. Itu Tika, rekan kerja Shea yang juga mengenal baik Randy. Mereka bertiga memang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status