Tuduhan korupsi terhadap Wakil Perdana Menteri, membuat Muniratri kehilangan tidak hanya keluarga, tetapi juga statusnya sebagai tunangan putra mahkota. Sebagai kompensasi atas batalnya pertunangan, ia dinikahkan dengan Pangeran Adipati Agung.
Lihat lebih banyak“Sebelum Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa datang ke kamar pengantin, silakan Anda pelajari buku ini terlebih dahulu,” ujar Bibi Wulan.
Muniratri menerima buku berjudul Rumah Tangga di Atas Awan dari wanita itu, lalu membukanya. Tiap kali Muniratri membalik halaman, ia selalu menutupi matanya yang berbinar menggunakan jari-jemari yang dibentangkan lebar-lebar.
“Buku ini ... sungguh tidak bermoral! Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan melakukan ... itu ....” Muniratri melempar buku tersebut ke kasur, setelah membacanya hingga halaman terakhir.
“Mengapa hidup begitu kejam?!” Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Ia merengek, pura-pura meratapi nasibnya yang baru saja menikah dengan Damarteja, sang Pangeran Adipati Kerajaan Badra.
“Setelah malam ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu Yang Mulia Putra Mahkota?” imbuhnya, masih sama seperti sikap awal, pura-pura menangis.
Bibi Wulan tak peduli apakah Muniratri menangis sungguhan atau hanya pura-pura. Yang ia pedulikan saat itu hanya satu, menjalankan tugas dari Prameswari Badra, yakni memasukkan obat perangsang ke dalam arak pernikahan.
“Anda sudah menjadi istri Pangeran Adipati Agung, tidak pantas berpikir sembrono terhadap Yang Mulia Putra Mahkota. Beliau bukan tunangan Anda lagi,” ucap Bibi Wulan. Ia mulai geram dengan tingkah Muniratri yang tak henti merengek.
Empat puluh satu hari yang lalu, orang tua Muniratri dihukum mati atas tuduhan korupsi. Selain kehilangan ayah dan ibu, wanita itu juga kehilangan statusnya sebagai calon istri Putra Mahkota Kerajaan Badra.
Sejatinya, pernikahan Muniratri dan Putra Mahkota tak bisa dibatalkan begitu saja karena pernikahan tersebut diputuskan oleh Raja Badra yang sebelumnya. Artinya, membatalkan pernikahan tersebut sama dengan menentang dekret kerajaan.
Di sisi lain, keluarga inti Kerajaan Badra pada pemerintahan saat ini, mengharuskan calon putri mahkota bersih dari segala skandal. Bukan tanpa alasan mereka menuntut demikian, karena di masa depan, putri mahkota akan menjadi suri teladan bagi semua orang.
Demi menjaga martabat keluarga kerajaan sekaligus menepati titah mendiang raja sebelumnya, Gusti Kanjeng Prabu Bahuwirya, Raja Badra yang berkuasa saat ini mengambil jalan tengah dengan cara menikahkan Muniratri dan Damarteja.
Lima belas tahun yang lalu, Damarteja merupakan Putra Mahkota Kerajaan Badra. Karena ia kalah di medan perang, para pejabat memaksanya turun. Statusnya sebagai putra mahkota pun berganti menjadi pangeran agung.
“Hapus air mata Anda, sebentar lagi Pangeran Adipati datang.” Bibi Wulan memberikan sapu tangan pada Muniratri.
Wanita itu kemudian meletakkan sebuah pisau kecil di bawah bantal pengantin. “Jangan lupa melakukan tugas Anda malam ini,” ucapnya, kemudian Bibi Wulan undur diri.
“Tunggu sebentar!” Muniratri memberikan sepiring kudapan pernikahan pada si dayang.
“Bawa ini keluar. Aku tidak mau Pangeran Adipati menganggapku sebagai perempuan rakus.” Wanita itu memonyongkan bibir.
Setelah dayang tersebut meninggalkan kamar pengantin, air muka Muniratri berubah total. Alih-alih melanjutkan aksi pura-pura menangis, Muniratri malah membuka kembali buku Rumah Tangga di Atas Awan. Kali ini, dia mempelajarinya dengan serius.
“Aku harus menguasai isi buku ini untuk mendapatkan hati Pangeran,” batinnya.
Muniratri memperhatikan gambar dan instruksi yang ada di dalam buku dengan fokus maksimal hingga tak sadar bahwa suaminya sudah masuk kamar.
“Kelihatannya mudah, tinggal berbaring saja, kan?” gumam wanita tersebut saat melihat halaman yang memperlihatkan gaya wanita di bawah.
“Aku dengar ... putri mantan Wakil Perdana Menteri adalah wanita mulia yang menjunjung tinggi kesusilaan. Ternyata ... itu hanya rumor belaka.” Damarteja merebut buku yang sedang dibaca oleh Muniratri.
“Mereka pasti tidak akan pernah menyangka bahwa Anda adalah orang mesum,” cibir lelaki itu.
Muniratri diam membatu saat ia bertemu sang suami untuk pertama kali. “Jadi ... orang ini adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa?” ucapnya dalam hati.
Wanita itu melihat sang Pangeran tanpa mengedipkan mata. “Tidak mengecewakan. Beliau benar-benar ... lebih enak dipandang daripada Putra Mahkota,” batinnya.
“Putri...?” Damarteja memanggil Muniratri ragu-ragu. Ia khawatir jika wanita tersebut kemasukan makhluk halus.
Muniratri tak memberi respons apa pun terhadap panggilan Damarteja. Perhatiannya terarah pada tubuh lelaki itu, dari wajah hingga kaki. Terutama kaki ketiga yang terletak di antara kedua pahanya.
“Putri!” Kali ini suara Damarteja terdengar lebih keras karena disertai dengan emosi.
Lelaki itu mengetatkan tangannya di leher Muniratri. “Beraninya putri koruptor melihatku dengan tatapan mesum!” ucapnya dengan suara rendah, tanpa menggerakkan rahang dan gigi, sehingga hanya kedua bibirnya yang bergerak.
Meski Damarteja mencekik sang istri, Muniratri tahu bahwa pangeran tersebut tak benar-benar akan mencelakainya. Hal itu terlihat dari cara lelaki tersebut mencekik.
Jari-jemari sang Pangeran hanya menempel di leher Muniratri dengan kaku, menandakan bahwa dia sedang menahan kekuatan agar wanita tersebut tidak mati.
Sementara itu, jemari Muniratri merayap di lengan kanan bagian dalam sang suami, lalu menjelajahinya mulai dari biseps hingga pergelangan tangan. Muniratri kemudian melepaskan jari-jemari milik Damarteja yang menempel di lehernya, satu per satu.
Setelah usahanya berhasil, wanita itu menangkupkan telapak tangan Damarteja ke wajahnya. Ada sensasi hangat dan nyaman tercipta di sana.
“Aku harus mendapatkan hati Pangeran Adipati, agar tangan ini bisa kugunakan sebagai pedang untuk membalas dendam, pada mereka yang telah membunuh Ayah dan Ibu,” batin Muniratri. Sorot mata wanita tersebut tak berpaling dari wajah suami.
Melihat Damarteja tak melakukan penolakan terhadap apa yang sedang ia lakukan, Muniratri pun menuntun tangan suaminya, dari wajah turun ke leher, lalu ke bawah, melewati dada wanita tersebut.
“Paduka ... tidak ingin membukanya?” goda Muniratri ketika tangan sang suami bermuara di kain benting yang membelit pinggang.
Jantung sang Pangeran berdetak cepat, menendang-nendang tulang rusuk yang melindungi dada. “Putri! Baru kali ini aku bertemu dengan wanita tidak tahu malu seperti kamu!” cibirnya dengan suara rendah.
Dia balik badan, hendak meninggalkan kamar pengantin, namun Muniratri segera mendekap Damarteja dari belakang. Perasaan lelaki itu makin tak karuan, terutama saat kaki ketiganya menunjukkan respons positif terhadap Muniratri.
“Bagaimanapun caranya, Pangeran Adipati harus bersamaku malam ini,” batin wanita itu.
“Jangan pergi, Paduka,” pintanya dengan suara ala wanita rapuh.
Dia meraba-raba dada sang suami dari belakang, kemudian berpindah posisi ke depan hingga mereka saling berhadapan. Setelah itu, Muniratri mengecup leher Damarteja. Sontak saja, tubuh lelaki itu membeku.
“Orang-orang bilang ... Muniratri dan Kamakarna saling mencintai. Tapi kenapa dia ... menciumku?” batin Damarteja.
“Paduka?” panggil wanita itu, lirih.
“Paduka Pangeran?” Muniratri menggoyang tubuh lelaki itu.
Masih tak ada jawaban. Wanita itu kemudian mengalungkan tangannya ke leher sang suami, lalu mencium bibir Damarteja, dua kali.
“Putri!” Damarteja tersentak.
Lelaki tersebut meraih pinggang Muniratri hingga tubuh wanita itu sedikit terangkat. “Kamu tahu siapa aku?”
Damarteja mengendus udara di sekitar sang istri, bertanya-tanya mungkinkah wanita itu mabuk, sehingga ia salah mengenali orang dan mengira dirinya adalah Kamakarna, si putra mahkota.
“Tentu saja!” jawab Muniratri.
Ujung jari-jemari wanita tersebut bermain di dada Damarteja. “Paduka ... adalah pria yang saya dambakan,” imbuhnya, dengan suara manja sekaligus penuh provokasi.
Tanpa membuang waktu, Damarteja membawa Muniratri ke atas ranjang, lalu menindihnya. Dia mengikat tangan wanita tersebut di atas kepala, agar tak berkeliaran ke mana-mana.
“Mantan Wakil Perdana Menteri dijatuhi hukuman mati atas tuduhan korupsi. Jika aku menyiksa putrinya di ranjang, tidak akan ada yang menghujat, kan?” batin si pangeran.
***
Sentuhan tangan Muniratri membuat Damarteja meledak. Sedikit lagi, pertahanan sang Pangeran Adipati tumbang.Lelaki tersebut mengunci pinggang Muniratri dengan tangan kirinya, lalu mengangkat tubuh wanita tersebut hingga membuat kedua kakinya bertumpu pada kaki Damarteja.Tak lama kemudian, dia menggunakan tangan kanannya untuk menyusuri punggung Muniratri hingga tengkuknya. Ia menarik rambut wanita tersebut dengan lembut hingga wajah mereka saling berhadapan dalam garis sejajar.Damarteja menyesap bibir Muniratri sekali, kemudian melahap sepenuhnya. Seperti menemukan oase di padang pasir, ia menghisap wanita tersebut penuh gairah hingga palum menjemput.Lelaki itu mengakhiri ciumannya. “Kenapa Putri belum ganti baju?”“Saya menunggu Paduka.” Muniratri berakting menjadi gadis pemalu.Wanita itu pergi mengambil baki di meja, lalu membawa benda tersebut ke hadapan Damarteja. “Apa Anda bersedia membantu saya memakainya?”Mulanya, sikap lelaki itu biasa saja, namun ketika ia melihat pola
Damarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.“Putri ... aku masih
“Wulan, bagaimana menurutmu?” tanya Widuri.Dayang tersebut berlutut di samping Muniratri. “Yang di katakan oleh Kanjeng Putri memang benar, Yang Mulia.”Bibir Muniratri tersungging. “Tentu wanita itu tidak menyangkal omonganku. Makanan yang aku berikan padanya semalam, sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, sehingga dia tidur sepanjang malam dan tak tahu kejadian yang sebenarnya.”Selain mengawasi tindak-tanduk Muniratri, Damarteja juga melakukan pekerjaan lain yang tak kalah penting, yakni menutup mata Endra, ajudannya. Ia tak ingin ada lelaki lain yang melihat tubuh si istri.Ajudan Damarteja tersenyum puas mengetahui penderitaan yang dirasakan oleh istri si tuan. “Aku kira Paduka berada di kamar wanita itu semalam penuh karena tergoda oleh kecantikan si ular,” batin Endra.Lelaki itu manggut-manggut beberapa kali. “Ternyata Paduka hebat juga,” ucapnya.Damarteja tak peduli dengan
“Yang Mulia ... JANGAN!” Muniratri berteriak hingga terbangun dari tidur. Tubuhnya, dibanjiri keringat dingin.Ingatan tentang hari ketika keluarganya dieksekusi terus muncul dalam mimpi wanita itu, tiap malam. Meski sudah empat puluh dua hari berselang, kejadian pada saat itu masih tergambar jelas, tanpa terlewat satu adegan pun.“Putri ....” Damarteja memeluk Muniratri dari belakang. “Kamu mimpi buruk?”Pelukan Damarteja membuat Muniratri tersadar akan status yang ia sandang, bahwa saat ini dia merupakan istri pangeran adipati. Wanita itu pun menyembunyikan wajahnya dengan bersandar di dada suami.“Saya pasti sudah mengganggu waktu istirahat Paduka.” Muniratri mendekap lengan Damarteja yang besar dan kokoh.“Tidak sama sekali.” Lelaki itu mencium rambut istrinya. “Putri mimpi apa, sampai terbangun tengah malam?”“Kalau orang ini tahu bahwa tiap malam aku memimpikan Ayah ... aku takut dia akan makin membenciku,” batin wanita itu.Muniratri mendusel ke permukaan dada Damarteja. “Entah
“Sebelum Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa datang ke kamar pengantin, silakan Anda pelajari buku ini terlebih dahulu,” ujar Bibi Wulan.Muniratri menerima buku berjudul Rumah Tangga di Atas Awan dari wanita itu, lalu membukanya. Tiap kali Muniratri membalik halaman, ia selalu menutupi matanya yang berbinar menggunakan jari-jemari yang dibentangkan lebar-lebar.“Buku ini ... sungguh tidak bermoral! Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan melakukan ... itu ....” Muniratri melempar buku tersebut ke kasur, setelah membacanya hingga halaman terakhir.“Mengapa hidup begitu kejam?!” Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.Ia merengek, pura-pura meratapi nasibnya yang baru saja menikah dengan Damarteja, sang Pangeran Adipati Kerajaan Badra.“Setelah malam ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu Yang Mulia Putra Mahkota?” imbuhnya, masih sama seperti sikap awal, pura-pura menangis
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen