LOGINWanda menenteng tas anyaman ke sebuah pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah. Ini adalah rutinitasnya setiap pagi hari, membeli beberapa bahan makanan untuk persediaan di rumah. Suasana pasar yang begitu ramai tidak mengganggunya sama sekali. Aroma sayur mayur segar bercampur wangi rempah dari bumbu dapur. Langkah kaki berdesakan di lorong sempit sudah biasa bagi Wanda untuk melewatinya.
Perempuan berusia 55 tahun tersebut, berhenti di sebuah lapak pedagang yang sudah menjadi langganannya. Dengan senyum, Wanda melihat-melihat daging sapi di lapak tersebut.
“Eh, Bu Wanda,” sapa si pedagang, membalas senyumannya. “Kebetulan sekali, Bu. Hari ini saya bawa yang spesial!”
“Apa Mbak?”
“Daging spesial, Bu!” Si pedagang menunjuk salah satu sisi dagangannya yang terdapat daging mentah.
Mata Wanda berbinar-binar melihat daging tersebut dengan senyum lebar. “Wah, daging buntut! Mbak tahu aja kalau anak saya suka daging buntut!”
“Iya, dong! Namanya juga Ibu langganan di lapak saya. Masa saya nggak inget sih, daging yang sering Ibu cari.”
“Kalau gitu saya beli 2 kilo,” ucap Wanda.
Si pedagang langsung menaruh daging buntut yang menurutnya bagus ke dalam timbangan. Semua daging dalam kondisi terbaik, ia masukan ke dalam plastik hitam dan siap di bawa pulang oleh Wanda setelah di bayarkan. Namun, tiba-tiba saja ada keributan kecil di luar lapak pedagang daging. Ia sangat penasaran.
“Ada apa, sih? Kok ramai amat di luar?” ujar si pedagang penasaran.
Wanda yang baru saja memasukan uang kembalian ke dalam dompet, ikut ingin tahu. “Iya, orang-orang seperti habis nangkap maling, ya?”
“Waduh, kalau maling aku mau lihat! Seru nih pasti, ada adu tinju!”
Si pedagang meninggalkan lapak dagangannya seraya menggandeng tangan Wanda menuju ke luar. Wanda sedikit kewalahan mengikuti langkah kaki terburu-buru milik pedagang langganannya. Menelusuri deretan penjual makanan ringan yang telah ramai dikerumuni orang-orang. Si pedagang langganan Wanda, membela kerumunan tersebut dengan suara yang memekakan telinga.
Meskipun Wanda sempat meringis dengan suaranya, namun cukup ampuh membuat posisi mereka ada di paling depan. Wanda melihat dua orang wanita dan satu pria sedang dikelilingi. Salah satu di antaranya seorang nenek yang berdiri ketakutan dan hampir menangis.
“Dasar pencuri tua!” teriak wanita satunya dengan wajah merah padam dan terlihat sangat marah.
“Aku … lapar …,” Nenek sempat terhenti untuk membasahi tenggorokannya yang kering. “Aku hanya ingin sepotong roti itu … aku mohon … aku lapar.”
Perkataan sang Nenek benar-benar langsung membuat hati siapapun yang ada disana merasa terenyuh. Terlebih melihat bagaimana pakaian si Nenek. Pakaiannya terlihat lusuh dan kotor, seperti orang belum berganti pakaian selama beberapa hari. Tubuhnya kurus, sedikit gemetar, dan tangannya hanya meremas tali tas kecil yang dibawanya.
Tetapi wanita yang ternyata pemilik toko roti tersebut, tidak tersentuh sama sekali. “Kalau kamu lapar, beli rotiku dengan uang! Jangan kamu mencurinya! Tanganmu yang kotor itu buat aku rugi, tau nggak?!”
“Maaf,” gumam Nenek, hampir tidak bisa di dengar.
“Sudah,” pria yang ada di samping wanita pemilik toko akhirnya ikut angkat bicara. “Nenek diam saja disini, saya akan laporkan kamu ke polisi. Biar kamu kapok dan masuk penjara.”
Mata Nenek membulat seketika saat mendengar akan dimasukan ke penjara. “Jangan! Aku hanya lapar! Tolong jangan masukan aku ke penjara! Aku harus bertemu dengan anak-anakku … supaya tahu kalau dia jahat.”
“Saya nggak peduli, Nek!” ucap pria tersebut. “Nenek udah buat dagangan istri saya jadi rugi! Lihat tangan Nenek, kotor! Bau!”
Nenek terdiam. Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri, dan menangis tanpa suara. Memandang seisi pasar dengan tatapan ketakutan, seperti hewan kecil yang terjebak di sarang predator. Siapapun yang melihat pemandangan tersebut pasti merasa iba. Termasuk Wanda dan pedagang langganannya yang sama-sama mengelus dada.
“Duh, si Nenek,” ucap si pedagang mendengus.
Wanda mengernyitkan dahi. “Mbak kenal sama Nenek itu?”
“Tidak, Bu. Nenek itu memang beberapa hari ini sering berkeliaran sendiri. Yang saya heran, dia bukan pengemis tapi terlihat seperti gelandangan. Kalau ditanya juga, selalu bilang anaknya mau jemput disini.” kemudian si pedagang berbisik pada Wanda. “Saya curiga, sebenarnya Nenek ditelantarkan keluarganya sendiri. Buktinya sampai sekarang nggak ada yang jemput.”
“Ya, ampun! Kasihan sekali Nenek itu,” ucap Wanda, merasa semakin iba.
Ia memandang punggung yang agak bungkuk tersebut dengan wajah cemas sekaligus sedih. Bagaimana bisa ada orang tega membuang keluarganya sendiri seperti itu? Dulu, Wanda paling sedih saat harus kehilangan sosok ibu di usia muda. Dunia terasa hancur seketika. Jika saja ia diberi kesempatan mengurus ibu sampai lansia sepertinya ….
“Halah, Pak! Itukan, cuma sepotong roti, masa mau lapor polisi! Berlebihan namanya!” teriak salah seorang pedagang lain membela Nenek.
Pria tersebut memandang kesal pada orang tersebut seraya berkata. “Kalau menurut kamu mencuri itu wajar, ya sudah, bayarkan kerugian yang di toko istri saya!”
“Baik! Saya bayar sepotong roti yang Nenek ambil.”
“Eh, enak aja!” wanita pemilik toko melayangkan aksi protes. “Bayarkan satu keranjang roti yang sudah disentuh Nenek ini! Lima ratus ribu!”
Semua orang terkejut dengar jumlah ganti rugi yang diminta. Orang-orang mulai berbisik kencang di telinga Wanda. Pasangan suami-istri yang memiliki toko roti memang sepi pembeli. Bukan karena dagangannya tidak laku, melainkan sikap sang istri terhadap pelanggan. Suka melebih-lebihkan harga, bersikap angkuh, dan tidak ramah.
Lihat saja bagaimana mereka memanfaatkan peristiwa ini. Mereka meminta ganti rugi dalam jumlah besar dan lagi-lagi bersikap berlebihan agar memberikan kesan pembenaran.
Di saat semua orang jadi malas berurusan dengan pasangan tersebut, Wanda melangkah maju seraya membuka dompet. “Saya bayar lima ratus ribu.”
Beberapa lembar uang berwarna merah ke wanita pemilik toko roti. Uang tersebut langsung diterima namun wajah dari pemilik toko tidak menunjukan rasa bersahabat sama sekali. Malah menatap sinis dengan ekspresi kesal.
“Sekarang mana sisa roti di keranjang yang Nenek sentuh?” tanya Wanda, tegas.
“Sudah saya buang,” ujar si Pemilik toko tanpa rasa bersalah, “Buat apa saya mempertahankan keranjang kotor di rak dagangan saya?”
Wanda menatap wanita tersebut dengan geram. “Bukannya kamu tadi minta ganti rugi lima ratus ribu, ya? Seharusnya sisa roti yang kamu anggap kotor, diberikan pada saya!”
“Rotinya sudah tidak ada,” ketus si Pemilik toko tersebut.
“Oh, jadi kalian tidak mau memberikan roti itu?” Wanda menyilangkan tangan di dada. “Kalau begitu saya akan melaporkan kalian ke polisi atas tuduhan penipuan! Mau, kalian?”
“Mana bisa begitu! Kamu nggak punya bukti!”
“Semua orang yang ada disini, bisa saya jadikan saksi,” ucap Wanda.
Kini, keadaan berbalik arah. Pasangan pemilik toko roti yang licik itu terdiam, sementara orang-orang mendukung Wanda. Merasa kalah suara dan takut dipenjara, suami si Pemilik toko langsung mengambilkan sekeranjang roti pada Wanda. Terpaksa menyerahkan meskipun mereka merasa kesal karena tidak bisa bermain licik.
Wanda menerima 10 potong roti di dalam keranjang tersebut dengan senyum lebar. Ia membalikkan tubuh, berjalan ke arah Nenek yang mengenakan pakaian warna kuning bermotif bunga. Mata Nenek tersebut tampak membulat dengan netra yang berkaca-kaca. Wanda berpikir kalau Nenek pasti terharu atas pertolongannya.
“Nek, semua roti ini bua ….” Wanda terpaksa menggantungkan kata, ketika Nenek langsung meneriakan sebuah nama di depan wajahnya.
“Maya!” seru Nenek memeluk erat tubuh Wanda dan membiarkan keranjang roti tersebut jatuh berhamburan di lantai. “Akhirnya, kamu jemput Mamah disini! Mamah sudah lama menunggu kamu, Nak!”
“Maaf, Bu … saya bukan Maya,” ucap Wanda meskipun dipenuhi keraguan.
“Mamah sudah menunggu kamu dari pagi! Akhirnya, kamu datang juga jemput Mamah!” kata Nenek, tidak mendengarkan apa yang dikatakan Wanda sebelumnya.
Si pedagang yang tadi bersama Wanda, menghampiri mereka guan membantu. Mengembalikan semua roti ke dalam keranjang dan memegangi untuk Wanda. Kemudian, Nenek melepaskan pelukannya. Tangan kasar nenek menyentuh kulit wajah Wanda dan mengelusnya lembut. Dengan tatapan mata penuh kelegaan, Nenek menatap dalam wajah Wanda.
“Ayo, kita pulang. Mamah sudah lelah, Nak. Mamah ingin cepat istirahat.” Nenek menggandeng tangan Wanda dan menatapnya penuh harap.
Wanda jadi tidak tega untuk menolak permintaan Nenek terlihat menderita. Setelah Wanda menerima kembali keranjang roti dan berterima kasih pada pedagang langganannya, mereka keluar pasar. Berjalan kaki menuju rumah. Sepanjang perjalanan, Nenek tidak henti-hentinya tersenyum dan menyapa beberapa orang yang lewat.
Sesampainya di rumah sederhana yang miliknya yang hangat, Nenek terlihat terpana. “Kamu pindah rumah lagi, Maya?”
“Aku Wanda, Nek.” Wanda hanya tersenyum tipis.
“Mamah nggak pernah tahu kamu suka tanaman? Sejak kapan, Maya?” Nenek begitu mengagumi semua pot bunga yang ada di halaman depan rumah Wanda.
Mereka memasuki pintu rumah yang sudah terbuka lebar sejak awal. Udara pagi yang masih sejuk benar-benar mengisi seluruh ruang tamu sampai dapur. Shea, Baya, dan Drisa berkumpul di meja makan sedang bersenda gurau.
“Assalamualaikum,” ucap Wanda, lembut saat melewati pintu rumah.
Shea, Baya, dan Drisa kompak menoleh ke arah pintu seraya menjawab. “Walaikumsalam!”
Mereka bertiga tertegun melihat Wanda masuk ke dalam rumah bersama seorang Nenek yang terlihat asing. Pakaiannya lusuh, wajahnya kusam, dan rambut yang agak berantakan. Mereka semua menghampiri Wanda di ruang tamu. Shea baru ingin membuka mulut, tetapi Nenek sudah memeluk tubuhnya.
“Cucuku!” Nenek memeluk tubuh Shea erat sekali sebelum akhirnya di lepas. Ia beralih pada Baya kemudian juga memeluk tubuh kekarnya.
Shea mengambil kesempatan ini untuk bertanya pada Wanda. “Bu, Nenek ini siapa?”
“Ibu juga nggak tahu,” jawab Wanda, “Orang-orang bilang kalau Nenek ini sengaja ditelantarkan keluarganya di pasar dekat sini. Tadi dia kedapatan mencuri roti karena lapar. Saat Ibu tolong, dia malah mengira Ibu anaknya.”
“Maya,” panggil Nenek, “Ini anak ketiga kamu? Cantik sekali.”
Wanda dan Shea menoleh bersamaan. Mereka terkejut saat melihat kedua tangan Nenek menangkap wajah Drisa. Walaupun Drisa terlihat sangat kebingungan, namun tak menghalangi pandangan Nenek untuk tetap mengagumi wajahnya.
“Dia panggil Ibu, Maya?” tanya Shea.
Wanda mengangguk. “Tapi Ibu nggak tahu siapa itu Maya. Apa jangan-jangan itu nama anak yang tega menelantarkan dia, ya?”
“Nenek siapa? Rumahnya di mana?” tanya Drisa, masih dengan wajah kebingungan dan menatap penuh curiga.
“Nenek? Biasanya kamu panggil Eyang,” ujar Nenek, “Jangan bilang kalau kamu juga udah nggak sayang Eyang. Kamu mau buang Eyang kayak dia?”
Nenek terisak dengan tubuh yang bergetar ketakutan. Tatapan mata yang seolah memohon pada semua orang yang ada di sana. Shea dan kedua adiknya panik, sedangkan Wanda berusaha menenangkannya. Akan tetapi Nenek malah berkicau tidak jelas.
“Jangan buang aku seperti dia, Maya! Tolong biarkan Mamah bersama kalian disini! Mamah tidak mau bertemu lagi dengan dia! Dia wanita jahat, yang menginginkan kematianku! Tolong, Maya!” teriak Nenek histeris dan semakin tidak terkendali.
“Tenang Nek,” ucap Wanda.
Wanda sekuat tenaga berusaha menenangkan Nenek tersebut. Akan tetapi, ia semakin bertindak di luar kendali. Terus berkicau soal wanita jahat yang menginginkan kematiannya. Nenek juga berulang kali mengatakan tidak ingin dipisahkan dari mereka. Semua orang terlihat bingung bagaimana menyikapi keadaan Nenek yang hilang kendali. Hanya Drisa, yang tiba-tiba mendapatkan sebuah ide saat melihat majalah yang tergeletak di atas meja.
“Eyang!” tiba-tiba Drisa berteriak dan menyita perhatian semua orang, termasuk Nenek. “Maaf, tadi aku hanya bercanda … aku tahu Eyang Gia akan ke rumah, jadi aku hanya mengajakmu bercanda. Maaf ya, Eyang?”
Shea, Baya, dan Wanda tercengang mendengar sebuah nama asing yang disebutkan oleh si bungsu. Mereka secara serempak langsung berucapkan.
“Eyang Gia?!”
Randy menatap lurus sebuah pintu kaca di ujung koridor lantai 4, kantor Mandakara Group. Ia mendorong pintu salah satu departemen dengan wajah setenang air. Ruangan yang ramai dengan suara mesin ketik dan tawa ringan mendadak senyap saat melihat Randy masuk. Hanya satu wanita di ujung ruangan yang sibuk, tidak menyadari kedatangannya.Beberapa karyawan menunjukkan beragam ekspresi ketika Randy mendekati kubikel Shea. Ada yang cekikikan sambil berbisik, menatap sinis, dan ada pula yang mendengus kesal. Mereka semua tahu, Randy datang bersama drama percintaannya.“Shea, aku mau ngomong sebentar,” tegas Randy. Jemari wanita itu berhenti menari di atas mesin ketik. Ia menoleh dengan wajah datar dan tatapan mata yang berat. Sepertinya Shea sudah malas dengan masalah yang dibawa Randy.“Apa lagi sekarang, Ran?”“Kamu minta ketemu Tika di rooftop, ya?” Randy mencondongkan tubuh ke arah meja. “Tika udah ceritakan semuanya ke aku. Kamu menamparnya karena cekcok soal pertunanganku, kan?”Udara
“Jadi, sepupu Pak Raga yang kirim orang itu ke rumah kita sampai Eyang ketakutan?” Suara Shea lantang, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi. Ia memandang resah adik bungsunya yang terlihat santai menyeruput kopi, seolah mereka membicarakan hal sepele.Sore ini, aroma kopi segar dan roti panggang yang baru matang menggoda mereka untuk singgah. Di kafe kecil dekat rumah sakit, mereka duduk saling berhadapan. Cahaya jingga menembus kaca besar di samping meja, membingkai apik dua kakak beradik dalam pembicaraan serius.Drisa mengangguk pelan. “Nggak cuma itu, Kak. Luna juga minta orang itu buat menakut-nakuti Eyang sampai kabur dari rumah. Dia memanfaatkan demensia Eyang yang sering kambuh kalau lagi takut. Supaya Eyang nggak bisa pulang.” “Sebentar,” pinta Shea, mengangkat tangan memberi isyarat berhenti. “Kamu tahu dari mana kalau Luna yang melakukan ini?”“Aku tahu dari dia yang panik, saat aku bahas soal orang itu di depan orang tuanya. Pas aku keluar dari kamar Eyang, dia juga
Herawati tidak mau mengendurkan senyum sedikitpun selama menatap orang-orang yang datang menjenguknya. Dari Maya, Pradja, Mara, Raga, dan juga Drisa. Seakan-akan tubuhnya yang sedang terbaring di kasur rumah sakit dengan selimut tebal, bukanlah seorang pasien. Senyum tersebut berhasil menciptakan suasana yang hangat dan penuh suka cita. Akan tetapi, ada satu wanita yang duduk di sofa dan menatap lekat pada Drisa. Memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu dengan raut wajah yang sulit diartikan. Padahal orang tuanya sudah pulang sejak tadi, namun Luna memilih untuk tetap tinggal tanpa alasan yang jelas.“Luna, apa kabar?” sapa Mara, baru saja menghempaskan diri di sofa seraya tersenyum tipis pada wanita dengan riasan menor tersebut.Bukannya membalas, Luna malah tak bergeming. Jangankan menjawab, menoleh pada Mara saja tidak. Perilaku ini, tentu saja membuat ia jengkel karena merasa Luna tidak sopan mengabaikan orang yang lebih tua sedang bicara.“Kenapa mukanya ditekuk begitu, Kak? A
Lorong rumah sakit pada sore hari memang lebih sunyi. Bau obat-obatan dan cairan antiseptik menguasai hampir seluruh udara secara samar. Lampu di langit-langit yang memantulkan cahaya putih di dinginnya lantai. Menerangi langkah kaki seorang wanita sosialita bergaya centil. Tiba-tiba langkah kaki wanita itu terpaksa berhenti saat bahunya bertabrakan dengan bahu milik orang lain. Seorang perawat yang sedang berjalan ke arah berlawanan dengannya. Suara pletak! Terdengar saat tas jinjing yang menggantung di bahunya, terjatuh ke lantai. “Ya ampun!” cicit wanita tersebut, mendelik ke arah perawat yang buru-buru mengambilkan tasnya di lantai. “Kalau jalan pakai mata, dong!”Perawat muda di depannya menyodorkan tas dengan wajah ketakutan dan tangan yang gemetaran. “Ma-maaf, Bu. Saya nggak sengaja.”“Sini!” Ia merebut paksa tas kecil dari perawat itu dengan kasar. Jemari lentiknya mengusap setiap permukaan kulit tas itu dengan cermat, seolah sedang menilai kerusakan sekecil apapun. “Maaf,
Suara kantong plastik saling bergesekan memenuhi ruang makan rumah Wanda. Di meja makan, mereka meletakkan semua kantong plastik tersebut secara rapi dan tersusun. Mengeluarkan satu per satu isi dari setiap plastik, kemudian diperiksa ulang, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas. Dari makanan ringan, sayur, buah, minuman, dan juga daging segar. Baya datang menyapa mereka dengan wajah sumringah. Tak hanya itu, ia juga menawarkan bantuan untuk menyusun bahan makanan baru di kulkas. “Ibu jadi belikan aku jus ini?” tanya Drisa, mengangkat jus kemasan yang tadi sempat menyita waktunya selama sepuluh menit untuk berpikir. “Kamu mau, kan?” Wanda melirik sekilas putri bungsunya, lalu tersenyum hangat. “Pasti Ibu kepancing sama si Nenek sihir itu, ya?” ujar Drisa, tangannya menaruh kembali minuman kemasan itu di atas meja bersama teman-teman sejawatnya. “Drisa,” tegur Wanda dengan nada lemah lembut, “Ibu tahu kamu kesal sama mereka. Tapi bukan berarti kamu jadi bersikap nggak sopan ke mereka
Drisa sibuk menimang-nimang barang di kedua tangannya. Ia berdiri di depan lorong pendingin supermarket yang anginnya membuat semakin betah. Di tangan kiri, Drisa memegang satu kotak susu strawberry berukuran 1 liter. Sedangkan di tangan kanannya, ada jus buah-buahan dengan ukuran yang sama. Ia terlihat frustasi karena tak dapat menentukan.“Hmmm … aku nggak bisa menolak kenikmatan susu strawberry kesukaanku ini,” gumam Drisa menatap barang di tangan kirinya, kemudian beralih ke tangan kanan. “Tapi harga kamu lebih ekonomis.”Tak lama, Wanda muncul membawa beberapa plastik berisikan aneka buah. Seperti apel, jeruk, dan anggur. Ia menaruh semua buah itu ke dalam troli yang sedari tadi didorong oleh Drisa.Wanda mengernyitkan dahi memperhatikan tingkah laku putri bungsunya. “Kamu lagi apa di situ, Dek? Perasaan dari tadi cuma di situ-situ aja.”“Aku bingung mau pilih yang mana, Bu.”“Bingung?” Wanda melihat barang-barang yang ada di tangan Drisa. “Bukannya itu susu kesukaan kamu. Kalau







