Share

Bab 7. Ibu Mertua

"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.

Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah.

"Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe.

"Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.

Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood.

"Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku.

"Mita, sudah ya, sekarang waktunya kerja. Aku lagi suntuk." Aku melenggang masuk ke ruang kerjaku, mengabaikan Mita.

"Eh Dia ngeluyur masuk. Pengantin baru, bukannya seneng, eh dia malah suntuk. Aneh." Masih bisa kudengar Mita bergumam pelan.

"Ekhem!" Aku berdehem memperingatinya agar kembali ke dapur dan memantau semua karyawan.

"Eh, iya. Iya! Siap!" cetus Mita yang paham maksudku. Meski kami dekat layaknya dua orang sahabat, tapi ada saatnya ia harus menghormatiku sebagai owner kafe ini.

Aku mulai menekuri pekerjaanku. Sesekali aku mengecek ke dapur dan ke ruang depan kafe dimana pelanggan mulai berdatangan karena sudah memasuki jam makan siang.

Setelah memastikan semuanya kondusif. Aku masuk kembali ke ruang kerjaku. Baru saja aku duduk beberapa menit.

Mita datang tergopoh-gopoh sampai ia lupa mengetuk pintu ruanganku.

"Mita! Ada apa sih? Bikin kaget aja."

Mita menarik napas lalu membuangnya perlahan.

"Nih minum dulu, lalu katakan, ada apa?" Aku menyodorkan segelas air putih di mejaku, tapi ia menggeleng.

"Itu, Mir, di depan ada yang cari kamu."

"Cari aku? Siapa?" Ia mengangguk.

"Ibu mertua kamu."

Aku terkejut, kenapa bisa Mama Rita tahu kafeku. Sejak kemarin bahkan aku belum bercerita atau ngobrol apapun dengan beliau. Pun mengenai kafe ini. Kenapa sekarang beliau sudah ada di sini?

"Mama Rita?" Mita mengangguk.

Aku bangkit berdiri, sejenak membetulkan posisi hijabku, sebelum melangkah menemui Mama Rita. Tak kupungkiri,. Menikah dadakan dengan Raka, membuatku belum mengenal lebih dekat seperti apa sifat dan karakter Mama Rita. Ada rasa grogi saat bertemu dan mengobrol berdua dengan beliau yang kini telah menjadi ibu mertuaku.

"Assalamualaikum Mama!" sapaku begitu sampai di meja, dimana Mama Rita duduk seorang diri seperti tengah menungguku.

"Amira, Mama ganggu nggak?" tanya Mama Rita dengan sorot mata berbinar, dan senyum melengkung di bibirnya. ia menarikku dalam pelukannya, dan memicium pipi kanan dan kiriku. Wow, sebuah sambutan yang sangat hangat.

"Ah enggak kok, Ma. Tadinya juga cuma iseng aja kemari. Daripada di rumah sepi," jawabku asal.

"Sepi? Memang Raka kemana? Kan dia masih cuti selama seminggu. Memangnya dia nggak di rumah?" Aku tercengang. Aduh, kenapa aku harus bilang di rumah sepi.

"Eh, ada kok Ma, Raka ada di rumah, tapi sepertinya dia kecapekan jadi masih tidur," jawabku asal. Aku merutuki diriku sendiri. Jangan sampai aku salah bicara lagi.

"Kok Mama tahu Amira ada di sini?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Ya, tadi Mama sempat telpon ibu kamu. Ya, ngobrol-ngobrol tentang kamu. Ternyata kamu itu hebat ya, masih muda sudah punya usaha sendiri, hebat kamu Mir!"

"Ah Mama bisa aja. Ini semua juga berkat dukungan dan doa dari Ibu dan Ayah, juga Mas Faisal kok Ma." Aku tersipu malu mendapat pujian dari Mama mertua.

"Oh." Mama Rita manggut-manggut tersenyum.

Tadi memang Ibu sempat menelponku sekedar menanyakan kabarku. Mungkin ibu ada sedikit khawatir anak bungsunya ini tiba-tiba menikah dan hidup dengan suaminya. Aku pun mengatakan aku baik-baik saja dan sekarang berada di kafe. Mungkin setelah ibu meneleponku, Mama Rita menelpon ibu, dan ibu mengatakan aku sedang ada di kafe. Itu yang aku simpulkan.

"Kalau gitu, coba kamu telpon Raka, kita makan siang sama-sama di sini. Mama yakin Raka juga pasti senang bisa makan sama-sama di kafe milik istrinya." Aku tersentak kaget.

Masalahnya aku sendiri tak punya nomor telepon Raka. Lucu memang, kami suami istri, tapi nomor telpon saja kami tak punya. Saking cueknya dia.

Otakku langsung berpikir keras mencari alasan.

"Ehm, maaf Ma, kebetulan hape Amira lagi habis baterai, baru saja tadi Amira charge." Aku memberikan alasan.

"Oh, baiklah biar Mama yang telpon Raka."

Wanita yang mengenakan gamis berbahan maxmara dengan motif bunga lavender itu pun mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangan mewah miliknya.

"Sebentar ya Sayang." Aku mengangguk tersenyum. Mama Rita langsung menelpon Raka, terdengar bunyi sambungan terhubung tapi belum diangkat oleh Raka. Sesekali beliau melirikku sekilas, lalu tersenyum.

Mama Rita sampai menelpon Raka dua atau tiga kali. Apa iya, Raka sedang sibuk, sampai tak mendengar hape-nya bunyi.

"Hallo Raka! Kamu di mana kok rame banget?" Suara Mama Rita begitu teleponnya terhubung dengan Raka.

Beliau langsung menekan tombol speaker bagitu panggilan tersambung. Mungkin pikirnya biar aku bisa ikut mendengarkan.

"Hallo Ma. Ada apa Ma? Raka lagi di luar."

"Di luar? Kata Amira tadi kamu lagi tidur di rumah?" tanya Mama Rita dengan raut wajah serius sambil sesekali melirikku, aku hanya tersenyum canggung.

"Oh, ehm, iya tadi di rumah, ini baru aja keluar ada urusan sama temen, Ma," sahut Raka di seberang sana.

"Ya sudah, sekarang Mama lagi di Kafenya Amira, kamu kesini sekarang, kita makan siang sama-sama di sini. Mama tunggu!"

"Apa? Kafenya Amira?"

"Iya! Tuh kan bener dugaan Mama, kamu sendiri sudah jadi suaminya nggak tahu apa kesibukan istrimu. Apalagi ini kan kalian masih pengantin baru, masak Amira sibuk di Kafe, kamunya sibuk sama temen kamu! Kamu ini gimana sih Ka! Dah, cepetan kamu kesini sekarang!"

Panggilan di matikan sepihak oleh Mama Rita.

"Maaf ya Mir, Raka memang begitu, harap maklum ya Mir kamu ngadepin dia, tapi Mama pastikan dia sebenarnya baik kok. Ya, kalian cuma butuh waktu aja untuk saling mengenal satu sama lain." Mama Rita bicara sambil menggenggam erat jemariku. Seakan memberi kekuatan padaku untuk tetap sabar.

Aku hanya tersenyum getir.

"Iya Ma. Mau Amira ambilkan makanan sekarang? Mama mau makan apa?"

"Nanti saja lah nunggu Raka datang, Mama masih ingin ngobrol sama kamu."

Aku yang hendak bangkit berdiri pun mengurungkan niatku.

"Sebenarnya, Pernikahan Raka dengan Evita kemarin itu keinginan Raka. Kami Orang tua Raka, tidak merestui hubungan mereka."

Aku tersentak kaget. Hubungan mereka tidak direstui? Lantas mengapa bisa mereka menjalin hubungan sampai selama itu?

Di dalam otakku bertanya-tanya. Sambil terus menyimak cerita Tante Rita.

"Raka itu keras kepala. Semakin ditentang dia semakin jadi. Sampai akhirnya kami mengalah dan menyetujui hubungan mereka. Hari itu, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Raka. Justru menjadi hari menyedihkan baginya. Benar feeling Mama, kalau Evita adalah perempuan nggak bener. Ia justru membuat malu kami sekeluarga. Ia kabur di saat kami semua sudah kepalang tanggung di hadapan penghulu dan para tamu, rekanan dan relasi bisnis Papa."

Netra Mama Rita memerah, menampakkan kemarahan yang tersimpan di sana.

Aku tertegun menatapnya dalam, lalu mengelus pelan jemari tangannya yang masih menggenggam erat tanganku.

"Maafkan Kami ya Mir, jika ini juga suatu hal yang mendadak buat kamu. Satu hal yang Mama yakini, kamu adalah perempuan yang tepat untuk Raka. Mama yakin kamu bisa jadi pendamping yang baik untuk Raka." Kini netra itu menatap dalam padaku.

Ya Tuhan, apa jadinya jika Mama Rita mengetahui tentang perjanjian yang sudah aku dan Raka sepakati.

Apa jadinya jika Mama Rita tahu jika aku dan Raka dengan sengaja mendirikan tembok yang tinggi nan kokoh diantara kami berdua?

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status