Share

Bab 6. Terabaikan

Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.

Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku.

Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.

Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar.

"Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.

Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?

"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.

Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah habis, aku bersendawa, Alhamdulillah akhirnya kenyang.

Aku tersenyum puas. Sekarang waktunya tidur. Sebelumnya, mencuci tangan di wastafel.

"Kau memakan milikku?" Aku terlonjak kaget, tiba-tiba Raka sudah duduk di kursi makan, di depan plastik putih pembungkus nasi tadi.

Aku terkesiap.

"Ehm aku pikir tadi kamu tak mau makan, jadi tadi aku mema–"

Brak!

Kembali aku tersentak kaget, Raka bangkit dan membanting kursi yang tadi di duduknya. Aku hanya melongo. Merasa bersalah.

Eh dia marah, aduh gimana ini? Lagian dari tadi aku teriak nanyain, mau makan enggak, dia nggak jawab. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Rakus!" Hatiku tercubit mendengar ia mengatakan itu. Aku menggigit bibir ini, dan meremas jemariku sendiri.

Raka melenggang begitu saja meninggalkan ruang makan.

"Aduh, Mir, kenapa kamu nggak inget dia orangnya begitu? Walau lapar harusnya kamu mikir dulu, ingat ini bukan lagi di rumah orang tuamu, dimana kamu bebas makan pada saja. Kamu sekarang tinggal dengan orang lain. Ya, orang lain yang tiba-tiba jadi suami." Hatiku berbisik merutuki perbuatanku sendiri memakan habis makanan.

Masih teringat jelas bagaimana kesalnya wajah Raka tadi saat mendapati plastik putih itu kosong. Sudah sejak kemarin wajahnya sangat cuek dan dingin, sekarang ditambah kesalahanku ini, sudah makin tak enak melihat wajahnya Raka.

Ya, kukui dia memang tampan, putih, tatapan matanya tajam, alisnya hitam tebal, rahangnya kokoh, tubuhnya tinggi tegap atletis. Sungguh fisik yang sempurna. Tapi sikapnya yang dingin, jutek, tatapan matanya seolah menyiratkan kebencian padaku. Sungguh sangat tak enak dilihat. Bahkan kalau bisa aku menghindari bertatapan dengannya.

Kulihat Raka keluar rumah. Mungkinkah dia membeli makanan baru. Karena tadi makanan miliknya telah aku habiskan? Entahlah.

Aku menghela napas. Aku jadi merasa bersalah padanya.

Aku berjalan ngontai masuk kembali ke kamar. Kubuka laptopku dan mulai mengecek semua laporan masuk hasil pemasukan dan pengeluaran dari kafe milikku. Mencoba mengabaikan rasa bersalahku terhadap Raka tadi.

Tapi tetap saja tak bisa, lagi aku jadi kepikiran. Kemana Raka pergi? Apa dia benar-benar marah padaku gara-gara nasi kotak? Kulirik jam dinding, sudah hampir sejam Raka keluar rumah. Sampai kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, belum ada tanda-tanda Raka pulang.

Aku tutup kembali laptopku, berjalan mendekati jendela, menyingkap sedikit gordennya. Sepi. Bahkan kini hujan rintik-rintik mulai turun.

Mobil milik Raka masih terparkir di halaman, itu artinya tadi Raka pergi tidak pakai mobil. Aduh, Raka kemana ya? Aku bukan mengkhawatirkannya, hanya saja hati ini tak tenang karena rasa bersalah telah menghabiskan jatah makanan miliknya.

Aku membuang napas berat. Malam semakin larut. Aku mulai menguap karena rasa kantuk mulai menyerang. Akhirnya aku putuskan untuk tidur. Biarlah besok aku akan meminta maaf padanya.

*

Pagi-pagi sekali jam enam pagi ternyata sudah ada tukang sayur yang lewat depan rumah. Kebetulan sekali. Aku langsung berlari menghampiri penjual sayur berniat membeli beberapa sayur-mayur dan ayam.

Aku berencana akan masak pagi ini, sebagai permintaan maafku pada Raka. Semoga dia mau makan masakanku.

"Eh, ada tetangga baru?" tanya ibu penjual sayur.

"Oh iya Bu, perkenalkan saya Amira, baru pindah kemari, kemarin." Aku mengulurkan tangan padanya. Beliau pun menyambut tanganku.

"Panggil saja saya Bik Rum. Orang komplek sini biasa manggil saya begitu," sahutnya ramah. Kebetulan baru hanya aku yang datang menghampiri gerobak sayurnya.

"Oh. Baik Bik Rum."

Aku akan masak tumis jamur merang dan ayam goreng. Ya semoga saja dia mau makan, aku tak tau masakan kesukaannya apa?

"Eh sudah ditempatin ya Mbak, rumahnya?" tanya seorang ibu yang tiba-tiba datang menghampiri gerobak sayur Bik Rum.

"Oh iya Bu," sahutku ramah, baru kusadari saat menoleh ternyata ia bertanya padaku

"Kenalin saya Sulis, tetangga sebelah." Beliau menunjuk sebuah rumah yang letaknya tepat di samping rumah Raka.

"Oh Ibu Sulis, saya Amira." Kami pun berjabat tangan.

"Mbak Amira ini istrinya Mas Raka?" tanyanya. Rupanya beliau mengenal Raka.

"Iya Bu." Aku mengiyakan. Meski kenyataannya kami di rumah tak lebih dari dua orang asing yang tinggal satu atap. Bu Sulis tampak heran seperti memperhatikan diri ini lebih detail.

"Ada apa memangnya Bu? Ada yang salah?" tanyaku heran sekaligus risih. Malu juga di liatin sampe begitu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Ah tidak ada apa-apa. Cuma agak bingung aja tadi, pernah Mas Raka datang kemari bersama perempuan, yang Dia sebut calon istrinya, tapi maaf bukan Mbak orangnya." Bu Sulis tampak seperti tak enak hati usai mengucapkan itu.

"Ehm maaf lho Mbak, bukan maksud apa-apa." Aku hanya tersenyum canggung menatap wanita kira-kira seusai ibuku. Oh tidak, lebih mudah dari ibu.

Mungkinkah yang dimaksud adalah Evita yang pernah datang kemari bersama Raka? Ya sepertinya begitu.

"Oh. Iya nggak apa-apa Bu. Saya dan Raka memang baru menikah."

"Oh. Kalau begitu, selamat ya Mbak. Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah, kalau perlu apa-apa jangan sungkan datang aja ke rumah saya," ucapnya ramah mengulas senyum.

"Iya Bu, terimakasih. Nanti kapan-kapan saya main ke rumah."

"Iya Mbak, senang berkenalan dengan Mbak Amira, orangnya ramah, cantik lagi. Enggak kayak yang waktu itu di bawanya kemari sama Mas Raka, Dia judes."

Aku hanya tersenyum menatapnya. Aku lihat Bu Sulis ini orangnya apa adanya. Sejak tadi ia bicara apa adanya.

"Eh maaf lho Mbak, saya jadi keceplosan. Semoga langgeng ya Mbak sama Mas Raka, kalian cocok. Cantik dan ganteng. Beda banget sama yang kemarin, cantik sih tapi ya gitu judes banget!" Bu Sulis terkekeh.

Iyakah? Evita itu judes, setahuku dia memang agak jutek, tapi karena kami sudah kenal lama menurutku dia baik kok.

Ah memang gini tetangga dimana-mana sama. Sukanya membanding-bandingkan!

"Bu Sulis bisa aja," sahutku sambil tersenyum.

"Ya sudah saya pamit dulu ya Bu Sulis. Saya harus cepat masak." Aku pamit setelah Bik Rum menghitung semua belanjaanku.

Aku langsung masuk ke dalam rumah, dan memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas, sebagian aku tetap letakkan di atas meja untuk di masak hari ini.

Pintu kamar Raka masih tertutup rapat. Entah tadi malam ia pulang jam berapa saat aku sudah tidur.

Aku yang sudah terbiasa dengan masak memasak karena aku memiliki kafe. Memasak adalah hal yang biasa aku lakukan. Jadi untuk memasak menu tumis jamur dan ayam goreng bisa aku selesaikan dengan waktu cepat. Untung saja rumah ini sudah lengkap dengan semua perabot dapur. Sepertinya Raka memang sudah menyiapkan rumah ini sebelum menikah untuk ditempati bersama Evita.

Setelah semuanya siap tersaji aku langsung mandi.

Saat aku selesai mandi bertepatan dengan Raka yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kasual kaos dan jaket juga celana jeans. Beberapa detik ia berdiri di depan pintu. Tatapan mata kami bertemu. Sebelum akhirnya ia membuang membuang pandangan ke arah lain.

"Raka, aku sudah masak untuk sarapan. Ada di atas meja." Aku memberitahunya. Ia diam tak merespon apapun. Lalu melangkah menuju pintu depan.

"Raka, aku minta maaf, soal semalam. Maaf." Ia menghentikan langkahnya beberapa saat, aku yakin ia mendengarku, tapi tak menyahut.

Ia melangkah begitu saja keluar rumah, masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Hanya deru suara mobilnya yang terdengar semakin lama semakin menjauh.

Aku menghempaskan tubuhku di sofa, menatap ke halaman rumah yang kini telah kosong. Kutarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ada rasa nyeri menjalar di hati ini, ketika aku sudah berusaha berbuat baik, tapi terabaikan. Aku menggigit bibir ini, menghalau rasa sesak di dada.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status