Share

Bab 4 - Tidak Seromantis Buku Sejarah

Aldarian di masa depan merupakan kota metropolitan dengan segala hiruk – pikuk yang melelahkan. Gedung – gedung pencakar langit memadati setiap sudut. Kendaraan umum super canggih. Aldarian semakin maju, tapi juga melelahkan disaat bersamaan. Semua orang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat setiap harinya.  Namun, semua itu tidak Aneska lihat di Aldarian era 1899.

Aldarian versi 1899 jauh lebih tenang. Lingkungan di sekitar masih sangat asri dan terawat. Pohon – pohon tinggi menjulang indah. Bunga – bunga cantik bermekaran sebagai penghias hamparan lahan hijau itu. Tidak banyak juga manusia berlalu lalang di sekitarnya, membuat jalanan sangat lenggang. Kalaupun tidak sengaja bertemu, mereka akan berhenti dan menunduk hormat sampai Aneska benar – benar melewatinya. Kesenjangan antara Ratu dan rakyat sangat terasa.

“Mereka kenapa nunduk terus, sih, Git?” tanya Aneska.

“Karena Yang Mulia lewat.” Gita menjawab.

“Kok aku?” Aneska masih belum paham. Namun, seketika bibirnya membentuk huruf ‘o’ singkat. Mereka bukan hormat pada Aneska, melainkan Nadlyne Aurora. Wanita yang saat ini tubuhnya Aneska tinggali.

Mereka berdua kembali berjalan menyusuri taman. Gita setia mengekor di belakang Aneska.

“Ini kita ke mana?” tanya Aneska ketika sampai di persimpangan taman.

Belum sempat Gita menjawab, seorang pria tampan berbaju hitam beludru—lengkap dengan seluruh atribut berlian yang menempel—berjalan ke arah mereka. Gita menunduk, lalu menyingkir.

“Kamu ngapain, Git?” tanya Aneska kebingungan. Pasalnya, Gita tiba – tiba saja berdiri di pinggir jalan. Sedangkan Aneska masih berdiri di tengah jalan. 

“Baginda Raja hendak melintas, Yang Mulia.” Gita menjawab sopan.

Aneska mengernyit, lalu mengedarkan pandangan. Saat itulah ia melihat pria tampan, berbadan tegap dengan dua telapak saling bertaut di belakang tubuh, sedang berjalan ke arahnya. Aneska yakin dia adalah Raja Galen. Tiba – tiba saja jantung Aneska berdetak tidak keruan. Semuanya terjadi begitu saja.

Suami gue ... Maksud gue, suami Nadlyne ganteng banget! Batin Aneska.

Aneska tanpa sadar mengigit bibir bawahnya. Senyum indah tertahan di bibirnya.

“Sela … mat sore.” Aneska melongo seketika.

Galen melintas begitu saja, diikuti sembilan pengawal di belakangnya. Keberadaan Aneska dan Gita seolah tidak pernah ada di sekitar mereka. Bahkan sekadar melirik pun, tidak. Refleks kepala Aneska menoleh ke arah Gita.

“Itu tadi beneran Galen, kan?” tanya Aneska memastikan. Ia takut salah melihat atau salah mengenali orang. Pasalnya, sama seperti rupa Nadlyne. Lukisan wajah Galen yang asli pun tidak pernah tersebar di masa depan.

Gita mengangguk.

“Kok Galen gitu ke gue?!” semprot Aneska. “Maksud aku, kok Galen acuh ke aku? Aku masih istrinya kan, Git?” Aneska lanjut berjalan, tetapi sesekali menoleh. Mengoceh panjang lebar tentang kekesalannya pada Galen.

Situasi berbalik. Giliran Gita yang melongo mendengar ocehan Nadlyne. Baru pertama kali Gita mendengar Nadlyne menyebut Baginda Raja hanya dengan nama. Biasanya majikannya itu selalu memanggil suaminya dengan sebutan “Baginda Raja.”

“Bukannya Galen dikenal sayang banget sama istrinya? Cih, pencitraan.” Aneska terus mengomel.

Tidak seperti itu, Yang Mulia. Gita membatin. Meski begitu, Gita tetap diam dan mengekor di belakang Nadlyne. Gita telan semua ocehan dan umpatan Nadlyne. Dia cukup tahu diri dengan tidak ikut campur dalam permasalahan rumah tangga sang ratu.

“Gita, jawab! Aku dari tadi marah, lho!”

Gita gelagapan. Dia seperti bertemu Nadlyne yang sama, tetapi juga berbeda. Dari segi rupa, mereka memang sama. Tetapi dari pembawaan dan sikap, keduanya sangat bertolak belakang. Nadlyne yang sebelumnya sangat anggun, perhatian, dan berhati – hati dalam bertindak. Sedangkan Nadlyne yang ada dihadapannya sekarang, mempunyai sifat cerewet, suka berkata aneh, mudah marah.

“Ampuni saya, Yang Mulia.” Gita menunduk sopan.

Tidak berselang lama, mereka tiba di pondok bunga. Aneska langsung duduk di sebuah kursi kayu tua dengan kaki menyilang, tangan terlipat di depan dada, dan ekspresi wajah masam. Diam – diam Aneska melirik Gita yang bersimpuh di tanah sembari menundukkan kepala. Sepertinya Aneska sudah bisa menebak alasan Gita tidak berani menanggapi omelannya tentang Galen.

“Aku sedih, tau, Git. Melihat suamiku sendiri bersikap acuh tak acuh tadi, aku merasa menjadi istri yang gagal.” Aneska kembali bermain peran. Kepalanya ikut menunduk. Jari lentiknya memilin gaun dengan gerakan kecil.

“Yang Mulia jangan berkata demikian. Selama ini, Yang Mulia sudah melakukan tugas istri dengan sangat baik. Bahkan—” ucapan Gita menggantung, seolah baru menyadari kelancangannya dalam berbicara.

“Kenapa, Git? Cerita aja. Siapa tahu ceritamu dapat mengembalikan ingatanku yang hilang.” Aneska terus mempertahankan ekspresi sedihnya.

“Kamu tidak perlu segan padaku. Kita sudah saling mengenal sejak lama, Git. Aku sudah menganggapmu seperti saudariku sendiri.” Aneska berkata lagi.

Gita terharu mendengar penuturan Nadlyne. Sedikit tidak menyangka bahwa kalimat itu akan terdengar lagi dari bibir Nadlyne. Wanita dihadapannya itu memang tidak pernah memperlakukan Gita layaknya seorang dayang pribadi. Malahan Gita selalu diperlakukan seperti saudari. Mereka sering berbagi cerita dan rahasia.

“Sebelumnya, ampuni saya, Yang Mulia. Maafkan kelancangan saya dalam berbicara,” ucap Gita, pelan.

“Apa yang saya katakan sebelumnya memang benar. Di mata saya, para dayang lain, dan rakyat Aldarian, Yang Mulia Ratu adalah wanita penyayang. Kami semua tahu Yang Mulia sangat mencintai Baginda Raja. Meski … Baginda Raja selalu bersikap acuh dan sengaja mengabaikan keberadaan Yang Mulia, tetapi Yang Mulia terus berusaha menjadi istri yang baik bagi Baginda Raja.”

Tanpa sepenglihatan Gita, Aneska mengerling malas. Ia semakin kesal pada Galen setelah mendengar cerita Gita. Dasar cowok gak bersyukur! Udah dapet istri sebaik hati dan secantik Nadlyne malah disia – siain. Awas aja lo!

“Baiklah. Aku akan berbicara padanya ketika kami sudah berada di kamar.” Aneska kembali berakting lemah lembut di depan Gita.

“Itu—” Gita menanggapi pelan.

“Ya, Git?”

“Sebenarnya, Yang Mulia tidak tidur satu ruangan dengan Baginda Raja.” Gita semakin menunduk, takut dengan respon Nadlyne. Dan benar saja, kurang dari satu menit setelahnya, Aneska langsung berdiri dan berseru dramatis.

What the—f*ck!” Aneska mengumpat keras. Kemudian cepat – cepat mengubah ekspresi wajahnya kembali melas. Ia terduduk dengan lemas.

“Apa Baginda Raja sebenci itu padaku, Git? Kenapa kami sampai pisah ruangan,” ucap Aneska.

“Mohon Maaf, Yang Mulia. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Yang Mulia barusan.” Gita mengatupkan tangan di depan hidung. Kepalanya masih tertunduk hormat.

Aneska kembali mengumpat dalam hati. Siapa lagi objeknya, kalau bukan Galen. Padahal paras ayu Nadlyne dipadukan dengan kemewahan gaun berbahan sutra dan aksesoris di kepalanya adalah gambaran wanita kerajaan paling cantik dan berkelas.  Aneska menduga Galen mempunyai kelainan alias gay.

“Ah, aku jadi sedih. Tetapi, seperti perkataanmu tadi, aku akan terus berusaha menjadi istri yang baik bagi Baginda Raja.” Aneska memasang senyum tipis.

Gita mengangguk setuju sembari tersenyum. Kemudian keduanya kembali diam. Aneska sibuk mengumpati Galen dalam hati, sedang Gita hanya diam dan menunggui sang ratu.

“Apa suamiku menyukai pria, Git?” celetuk Aneska tiba – tiba. Membuat Gita mendongak dan menoleh panik. Dia takut ada seseorang mendengar ucapan Nadlyne.

“Tidak. Tidak seperti itu, Yang Mulia,” sanggah Gita.

“Lantas kenapa dia tidak menyukaiku, Git? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang pandai dalam bercinta? Atau bagaimana?” Aneska kembali memainkan perannya sebagai Nadlyne.

“Bukan hak saya untuk menjawab, Yang Mulia.” Gita menjawab halus.

Maafkan saya, Yang Mulia. Saya belum siap menceritakan kebenaran itu pada Yang Mulia. Saya hanya tidak ingin Yang Mulia sedih, batin Gita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status