Share

Bab 6 - Perang Urat

Di tempat lain yang tak kalah luas dari ruangan Nadlyne, seorang pria muda nan tampan terlihat menikmati jamuan makan malam dalam diam. Seolah ketidak-hadiran istrinya bukan suatu hal penting untuk dia pikirkan. Ada atau tidaknya Nadlyne, tetap tidak merubah kenyataan bahwa wanita itu telah membunuh kekasihnya.

“Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Baginda Raja. Tujuan saya kemari, lantaran ingin menyampaikan pesan Yang Mulia Ratu, bahwasannya malam ini Yang Mulia Ratu tidak bisa bergabung dalam jamuan makan malam.”

Gerakan tangan Galen terhenti seiring dengan kunyahan di mulutnya. Kerutan tipis tercetak jelas di dahinya, namun tidak satu orang pun menyadari hal itu. Tidak biasanya wanita itu absen dari jamuan makan malam? batinnya sedikit penasaran. Meski begitu, Galen tetap memberi anggukan singkat pada Gita.

“Terima kasih, Baginda Raja.” Gita mengangguk sopan, lalu perlahan mundur sebelum akhirnya berbalik arah. Kembali ke kamar Nadlyne, ratunya.

Sepeninggal Gita, Galen langsung melanjutkan aktivitas makannya. Tidak ada waktu untuk memikirkan wanita itu. Lagipula, mereka sudah sepakat tidak mencampuri urusan satu sama lain. Jikalau Nadlyne tidak makan dan berakhir sakit, bukan tanggung jawab Galen untuk mengurusnya sampai sembuh.

Tanpa Galen ketahui, beberapa dayang yang ada di sana membatin kasihan. Tepatnya, mengasihani kisah cinta sang ratu yang tidak pernah mendapat balasan dari sang raja meskipun sudah menginjak dua tahun usia pernikahan. Hubungan mereka terjalin atas dasar kepentingan politik. Dan semua penghuni istana tahu bahwa Galen tidak pernah menganggap Nadlyne sebagai istri.

“Saya selesai.”

Galen beranjak dari kursi, lalu meninggalkan ruang makan. Aura pria itu sangat menyeramkan; sorot matanya tajam, ekspresi wajahnya datar, juga kedua kakinya melangkah lebar dan cepat. Ada satu tempat yang harus dia datangi. Pun Emerald, pengawal pribadinya, yang setia mengikutinya dari belakang.

Tujuan Galen adalah perpustakaan pribadinya—tepatnya ruang rahasia di bawah gedung itu. Ruang yang sengaja Galen buat demi penyelidikan kasus kematian Anastasya—mendiang kekasihnya.

“Silahkan, Baginda Raja,” ucap Emerald, mempersilahkan Galen masuk melalui pintu rahasia di belakang rak buku. Seperti biasa, Emerald akan berjaga di luar perpustakaan sampai pertemuan rahasia itu selesai.

Ketika Galen tiba di ruang rahasia, kedua sahabatnya sudah berada di sana. Shaga tiduran di kasur, sedang Skyler membaca buku di kursi kayu jati tua. Tanpa banyak basa – basi, Galen langsung duduk di sebelah Shaga. Satu telapak tangannya bertumpu pada lutut kiri.

“Apakah pria itu sudah mau mengaku?” tanya Galen.

Shaga menggeleng. “Dia bahkan menertawaiku. Katanya, dia rela mati daripada bersaksi di pengadilan.”

“Sial!” umpat Galen. Kini, kedua telapak tangan Galen bertumpu pada lutut. Sorot matanya tajam menatap lurus ke arah tangga. Napasnya mulai memburu. Emosi mulai merasuki hati dan pikirannya.

“Aku rasa, ada sesuatu yang menahannya.” Kali ini Skyler menyeletuk.

Skyler menutup buku bacaan berwarna cokelat kekuningan, lalu diletakkan pada meja. Kedua telapak tangannya terlipat di depan dada. Sorot matanya menatap Galen dan Shaga bergantian.

“Sesuatu?” Galen dan Shaga berkata, lengkap dengan kerutan di dahi masing - masing.

Sky tersenyum tipis sembari mengangkat kedua bahunya. “Sebenarnya masih prasangka awal. Tapi aku yakin ada sesuatu yang membuat pria itu enggan membuka suara. Ancaman, misalnya?”

“Ancaman?” Galen menatap Skyler, penasaran.

Skyler mulai menceritakan hasil penemuannya. Ketika mampir di desa Altree—tempat pria itu berasal—Skyler menemukan sebuah fakta bahwa anak dan istri pelaku sudah menghilang sejak dua tahun terakhir. Waktunya bersamaan dengan kematian Anastasya, sahabat mereka yang juga kekasih Galen.

“Jadi Nadlyne menggunakan keluarga pria itu sebagai jaminan?” tanya Galen menyimpulkan.

"Bisa jadi?" Skyler malah bertanya balik sembari mengendikkan bahu.

"Atau mereka sengaja meninggalkan desa setelah mengetahui perbuatan bejat pria itu? Dengan begitu mereka tidak perlu menanggung malu saat pria itu diadili oleh hukum kerajaan." Shaga ikut berkonspirasi.

***

Entah berapa lama waktu berlalu, selama itu pula aktivitas Aneska hanya berguling – guling di kasur. Dari terlentang, miring, sampai tengkurap sudah Aneska coba. Sayangnya, rasa kantuk tidak kunjung menghampirinya. Padahal dari segi kenyamanan, kamar Nadlyne jauh lebih nyaman dari kamarnya di masa depan. Hampir semua perabot dan pernak - perniknya menggunakan emas dan berlian asli, membuat kamar ini jauh terlihat lebih mewah. Tetapi, Aneska malah gelisah dan berakhir insomnia. Entah apa penyebabnya, Aneska juga tidak tahu.

“Gue keluar aja, kali, ya? Jalan - jalan sebentar gitu?” monolog Aneska seorang diri.

Biasanya, penyebab Aneska insomnia ada dua. Pertama, memikirkan nominal cicilan yang harus ia bayar bulan itu. Kedua, lapar. Sayangnya, di era ini, Aneska tidak perlu memikirkan dua hal itu. Si pemilik tubuh, Nadlyne bukan wanita yang suka membeli barang jalur nyicil sepertinya. Soal lapar, mana mungkin! beberapa jam lalu Aneksa baru saja makan aneka olahan daging sapi dan ayam—yang di masa depan tergolong makanan mahal.

"Iya, deh. Gue keluar aja. Daripada gue plonga - plongo di dalam kamar."

Aneska beranjak dari ranjang, lalu memakai gaun luar saja. Sedangkan dua petticoat sengaja ditinggalkan. Aneska yakin semua orang di istana sudah tidur. Kecil kemungkinan ada orang melihat penampilannya malam ini.

“Yang Mulia Ratu!”

Aneska menoleh, kaget. Ia melihat Gita sedang berlarian ke arahnya sembari membetulkan sanggul di kepalanya yang sedikit berantakan. Aneska menebak, Gita sempat tertidur saat menjaga di luar ruangan tadi.

“Git? Kenapa kamu masih ada di depan ruanganku?”

Gita berhenti tepat di belakang Aneska, lalu menjawab sopan. “Sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia.”

“Ya ampun, beristirahatlah di ruanganmu, Git. Aku tidak perlu dijaga sampai seperti itu. Lagipula, sudah ada dua pengawal di depan ruanganku kan?”

Keduanya beriringan tanpa arah. Aneska hanya asal berbelok tanpa tahu kemana tujuannya. Sedang Gita setia mengekor di belakang Aneska. Seperti biasanya.

“Eh? Ini kita dimana, Git?” Aneska menoleh dan untuk pertama kalinya, seorang ratu nyasar di dalam istananya sendiri. Lucu bukan?

Gita tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap sang ratu dan pintu di ujung lorong secara bergantian. Sebelum kecelakaan itu terjadi, bisa dikatakan, Nadlyne salah satu wanita yang sering berkunjung di ruang itu.

“Apakah Yang Mulia juga tidak mengingat ruangan itu?”

“Memangnya itu ruangan apa?” tanya Aneska. Tetapi beberapa detik setelahnya, Aneska langsung putar arah. “Sudahlah, Git. Ayo kembali—”

Baru saja Aneska dan Gita putar arah, Galen muncul dengan ekspresi datar andalannya. Pria itu menghampiri Aneksa dan Gita dengan santai.

“Sedang apa kalian di depan ruangan saya?” Pandangan Galen tertuju pada Nadlyne, istrinya. Tajam dan menusuk.

Aneska diam.

"Jawab!" seru Galen lagi, kali ini nada suaranya sedikit lebih tinggi.

"Biasa aja, kali. Gak usah ngegas. Apalagi sampai melotot - melotot gitu. Ntar copot terus gelinding di tanah, baru tau rasa," sarkas Aneska.

"Anda!" tegur Galen sembari mengacungkan tangan ke arah istrinya.

"Apa?! gak terima? sini maju!" tantang Aneska balik.

Merasa tertantang, Galen melangkah cepat. Mengikis jarak diantara mereka berdua hingga menyisahkan jarak sekitar tiga puluh senti. Sorot mata Galen kian menajam ketika melihat senyum miring di wajah Nadlyne.

"Jadi ini wujud aslimu? Dasar wanita ular!"

Aneska malah semakin maju. Kepalanya mendongak berani, juga jari telunjuknya menuding tepat di wajah Galen. "Perlu diketahui. Nadlyne Aurora yang lama sudah mati. Yang ada hanya aku. Nadlyne Aurora yang akan membalas semua perlakuanmu. So, go away dan jangan mencari masalah denganku!" imbuh Aneska

"Yang Mulia Ratu, mohon jangan seperti ini. Ampuni Yang Mulia Ratu, Baginda Raja. Yang Mulia Ratu belum sepenuhnya pulih—“

Gita menyentuh lengan Aneska. Berniat menarik mundur Nadlyne dari perang urat antara suami istri itu. Sayangnya, Aneska menoleh dan ikut memelototinya.

"Kita pergi sekarang!"

Aneska melewati Galen begitu saja. Bahkan dengan sengaja ia menabrakkan sebagian bahunya pada lengan kekar Galen. Meski sakit, Aneska tetap berakting 'baik-baik saja'. Jangan sampai harga diri yang sudah ia bangun setinggi tembok Cina harus runtuh di depan Galen.

Gak lucu dong, kalau gue yang nabrak. Gue juga yang kesakitan di depan dia, batin Aneska.

Persetan jika setelah ini suaminya—ralat, suami Nadlyne—akan marah. Yang jelas, Aneska tidak akan diam saja jika ditindas. Apalagi oleh suaminya sendiri.

Aneska akan hidup sebagai Nadlyne yang baru dan membalas dendam pada Galen Songong Edward.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status