Memang ya mantan pacar itu selalu jadi masalah ... Tunggu updatenya besok ya guys, makasih yang udah setia baca. Jangan lupa komen yang banyak :)
"Serius, Kael? Kamu bawa-bawa Kak Gala sekarang?" tanya Zara, suaranya lebih rendah, tapi sorot matanya jelas menunjukkan keterkejutan.Kael hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang. "Kenapa nggak? Kamu marah aku nggak usir Virsha, tapi kamu juga nutupin sesuatu dariku. Apa bedanya?"Tubuh Zara menegang. Dia menggeleng, menatap Kael penuh ketidakpercayaan. "Beda. Aku nggak pernah undang Gala ke rumah kita, nggak pernah kasih dia kesempatan buat bikin kamu ngerasa nggak nyaman. Lagian, alasan aku sama Kak Gala ketemu juga bukan karena sengaja, ‘kan?""Tapi kamu tetap bohong." Kael menyipitkan mata, bibirnya menipis.Zara mengepalkan tangannya di sisi tubuh, rahangnya mengeras. "Dan kamu tetap kasih Virsha tempat di rumah ini.""Jadi kita impas, ‘kan?" Kael mengangkat satu alis, ekspresinya tetap datar, tapi ada ketegangan samar di matanya."Nggak. Kita nggak impas," sahut Zara cepat, napasnya pendek, jelas menunjukkan dia tidak bisa menerima ini begitu saja.Kael melipat tangan d
Pagi harinya, Zara turun ke ruang makan. Matanya masih sedikit berat karena baru bangun tidur, tetapi tubuhnya cukup segar setelah semalam akhirnya bisa tidur tanpa terlalu banyak berpikir. Namun, begitu melangkah masuk, langkahnya langsung terhenti.Matanya menangkap sosok Kael yang sudah duduk di meja, menikmati sarapannya dengan tenang. Namun, bukan itu masalahnya. Yang membuat Zara mendadak kesal adalah Virsha duduk di sebelahnya.Bukan hanya itu, tetapi juga Virsha terlihat nyaman sekali di sana. Tubuhnya sedikit miring ke arah Kael, posturnya santai, seolah mereka sangat akrab.Zara mengepalkan tangan. Dadanya terasa panas. Seharusnya dia tetap tenang, tetapi bagaimana bisa kalau perempuan itu duduk di tempat yang biasanya untuknya?Kael, di sisi lain, tampak tidak terlalu memperhatikan kehadiran Virsha. Dia hanya fokus pada sarapannya, tidak terlibat dalam percakapan apa pun.Tanpa banyak berpikir lagi, Zara melangkah mendekat dengan ekspresi tenang. Saat sampai di belakang Kael
Setelah panggilan berakhir, Zara masih duduk di tempat tidur dengan ponsel tergeletak di pangkuannya. Pandangannya kosong menatap lantai, pikirannya berputar cepat.Zara tahu Riki tidak mungkin meminta jika bukan dalam keadaan mendesak. Omnya itu selalu baik, selalu membelanya di hadapan Sarah, dan tidak pernah sekalipun menuntut balas atas apa yang sudah dia lakukan untuk Zara sejak kecil. Jika sekarang sampai meminta bantuan, berarti situasinya benar-benar buruk.Zara menutup wajahnya dengan kedua tangan, napasnya terasa berat.Opsi pertama, dia bisa menggunakan tabungannya, tapi jelas tidak cukup. Semua uangnya selama ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan sedikit tabungan untuk masa depan.Opsi kedua, dia bisa mencari pinjaman … tapi di mana? Dia tidak mau berurusan dengan rentenir atau pihak yang bisa menjeratnya lebih jauh.Opsi ketiga … Kael.Zara langsung menepis pemikiran itu. Tidak! Dia tidak mau melibatkan Kael.Pria itu sudah banyak membantunya, bahkan lebih dari y
Zara menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan, tetapi otaknya terasa kosong.Kael masih menunggu, tatapannya tidak beranjak dari wajah Zara. Udara di dalam kamar terasa semakin berat, seakan menekannya dari segala sisi.Zara tahu tidak ada jalan keluar."Zara." Suara Kael pelan, tetapi cukup untuk membuat Zara tersentak.Suara Kael tidak naik, tidak ada kemarahan yang meledak-ledak. Justru karena itulah, dada Zara semakin sesak."Aku tanya lagi," lanjut Kael, nada suaranya tetap dalam, nyaris tanpa emosi. "Siapa yang butuh lima ratus juta?"Zara menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari cara untuk menghindari situasi ini.Berbohong? Tidak mungkin. Kael terlalu pintar untuk dibohongi.Mengalihkan pembicaraan? Sama saja dengan menunda ledakan bom waktu.Zara mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar.Kael masih menatapnya, matanya tidak beranjak sedikit pun. Dia akhirnya bergerak, perlahan masuk ke kamar dan menutup pintu di belakangnya.Kael mendekat. Langkahnya
Begitu Zara menuruni anak tangga, aroma makanan hangat menyambutnya. Di meja makan, Kael sudah duduk di sana, lengan terlipat di atas meja, tatapannya langsung tertuju padanya begitu dia muncul."Duduk," perintah Kael singkat.Zara berjalan perlahan, menarik kursi di seberang Kael, lalu duduk dengan hati-hati.Kael tidak berbicara lagi, hanya menatap Zara dengan tajam seolah memberi tahu bahwa dia tidak menerima penolakan.Zara menelan ludah, lalu meraih sendok dengan tangan sedikit gemetar. Dia menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya, tetapi rasanya hambar. Bukan karena makanan itu tidak enak, tetapi karena perasaannya masih bercampur aduk.Kael tetap diam, tetapi tatapannya tidak lepas dari Zara. Setiap gerakan kecil yang dia lakukan, Kael memperhatikannya.Setelah beberapa suapan, Zara akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku nggak bermaksud buat kamu marah.""Aku nggak marah," jawab Kael, suaranya datar, tetapi tidak terdengar seperti kebohongan."Serius?" Zara mendongak, menata
“K-Kael, kamu nggak bisa ngomong gitu!” suara Sarah terdengar terengah-engah, seperti berusaha menahan amarahnya.“Saya bisa. Dan saya baru saja melakukannya,” sahut Kael, nada suaranya sarat kebosanan. Pembicaraan ini sudah terlalu melelahkan untuknya.Zara menatap Kael, masih sulit percaya betapa santainya pria itu melemparkan kata-kata tajam tanpa ragu sedikit pun.“Jadi, gimana?” Kael mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih tidak sabar. “Mau terima atau nggak?”Hening.“Baiklah. Kami terima,” jawab Sarah akhirnya. Suaranya terdengar berat, penuh ketidakrelaan, tapi pasrah karena sadar dia tidak punya pilihan lain.“Bagus,” ujar Kael santai. Tanpa banyak bicara lagi, dia menutup telepon dan meletakkan ponsel di nakas. Seolah percakapan barusan tidak lebih dari transaksi bisnis biasa."Kamu … beneran ngasih uang itu?" tanya Zara pelan. Dia masih menatap Kael dengan ekspresi campur aduk. Antara kaget, tak percaya, dan entah kenapa sedikit lega.Kael menoleh, ekspresinya te
Zara duduk di bangku kayu di taman belakang rumah sakit, tangannya mengepal di pangkuannya.Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya, tetapi tidak membawa ketenangan sedikit pun.Dadanya terasa sesak, pikirannya penuh. Dia tahu, pertemuan ini tidak akan mudah.Langkah kaki terdengar dari belakang. Pelan, tetapi cukup untuk membuat Zara menoleh.Gala berjalan mendekat.Dia masih mengenakan jas dokternya, dengan lengan kemeja tergulung hingga siku, tanda bahwa dia baru saja menyelesaikan pasien terakhir sebelum istirahat praktik."Oke, Zara, sekarang jelaskan. Sebenarnya ada apa?" tanya Gala tanpa basa-basi, lalu duduk di sebelahnya.Zara menelan ludah. Dia sudah menyiapkan banyak alasan di kepalanya, tapi kini, di bawah tatapan Gala yang tajam, semuanya menguap begitu saja."Aku …" Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar.Zara menarik napas dalam, mencoba menguatkan diri."Iya, Kak. Kami bilang aku hamil supaya pernikahan ini direstui orang tuanya." Z
"Jelasin."Setelah mereka masuk ke dalam mobil, akhirnya Kael buka suara.Kael menyalakan mesin, tapi tidak langsung menjalankannya. Jari-jarinya mengetuk ringan setir sebelum menoleh, menatap Zara dengan mata tajam.Zara menggigit bibir, merasa pikirannya tiba-tiba kosong."Jelasin apa?" tanya Zara pelan, meski tahu betul apa yang dimaksud Kael.Kael menghela napas pendek, ekspresinya tak berubah. "Kenapa kalian ngobrol di luar ruang praktik? Kenapa harus di taman?"Zara menunduk, mencoba merangkai kata-kata yang masuk akal. "Kak Gala cuma mau ngobrol sebentar."Kael mendengus kecil. "Ngobrol? Soal apa?"Zara menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan bahwa Gala hanya ingin mencari kejelasan tentang hasil pemeriksaan kandungannya yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Maharani.Keheningan seketika menyelimuti mereka. Kael tidak langsung bereaksi, tetapi rahangnya mengeras. Tangannya yang semula santai di setir kini mencengkram lebih kuat."Kita ganti dokter aja," kata Kael akhir
Makasih banget karena udah setia nemenin cerita Kael dan Zara sampai sejauh ini. Rasanya campur aduk banget pas nulis bagian terakhir.Maaf ya kalau selama perjalanan cerita ini banyak kekurangan. Entah itu bagian yang bikin bingung, alur yang kadang muter-muter, atau tokohnya bikin gemas sendiri. Tapi semoga, di balik semua itu, ada bagian dari cerita ini yang bisa tinggal lebih lama di hati kamu.Makasih karena udah jadi bagian dari perjalanan ini. Dukungan dan komentarmu berarti banget.Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya ♡
“Perjodohan?” gumam Kael pelan.Lalu pria itu tersenyum tipis, tapi bukan karena setuju. Senyum itu lebih menyerupai kilas balik—mengingatkannya pada masa ketika dirinya dijodohkan oleh keluarganya, hanya untuk akhirnya mengguncang semuanya dengan pernyataan bahwa dia telah menghamili Zara.“Jangan harap, ya,” ucap Kael akhirnya, datar tapi tegas, dengan satu alis terangkat seperti memberi peringatan bahwa topik ini tidak untuk dibahas lebih jauh.Gala tertawa kecil, tapi tidak merasa tersinggung. “Kenapa? Coba kamu bayangkan, Kylar itu cucu pertama keluarga Ashwara, Zelena cucu pertama keluarga Wijaya. Kalau mereka menikah, kekuatan bisnis kita di masa depan—”“Kak Gala ngomong apa sih?” potong Zara, nadanya terdengar tidak senang, meski masih berusaha sopan. “Kylar dan Zelena itu masih anak-anak.”“Benar,” sambung Ceva, kali ini lebih tegas. “Mereka bahkan belum masuk SD. Masa depan bukan cuma tentang bisnis, Kak.”Gala mengangkat tangan, menyerah, lalu tersenyum kecil. “Oke, oke. A
“Huwaaaa!”Tangis Kylar pecah saat pipinya dicubit gemas oleh Zelena. Bocah perempuan itu terkekeh geli, tidak menyadari bahwa tangan mungilnya terlalu semangat bermain.“Lena, pelan-pelan, ya … Itu pipi Kylar, bukan squishy,” ujar Ceva sambil tersenyum geli, lalu menarik tangan putrinya pelan.Zelena memang selalu usil pada Kylar. Padahal usia Zelena lebih tua empat tahun, tapi kalau sedang bersama, mereka selalu saja bertengkar.Zara berjongkok di hadapan Kylar, mengelus pipi anaknya yang masih memerah dan cemberut.“Sudah, Sayang. Mami tahu sakit, ya? Tapi Kak Lena nggak sengaja. Yuk, kita bilang ke Kakak supaya cubitnya pelan-pelan lain kali,” ucap Zara lembut.Kylar mengangguk kecil, matanya masih berkaca-kaca, tapi bibirnya mulai membentuk senyum tipis. Senyum langka yang selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya.Wajahnya langsung bersinar ketika melihat Kael berjalan mendekat, membawa kue besar berhiaskan dinosaurus hijau toska di atas cokelat favoritnya.Har
"Apa maksudnya, ada yang salah?" tanya Kael cepat, nada suaranya meninggi, panik mulai merayap dari dalam dada.Suasana di ruang bersalin seketika berubah. Detak monitor terdengar semakin cepat, disusul suara langkah para perawat yang mulai bergerak panik. Salah satu dari mereka segera menyerahkan perlengkapan tambahan ke Gala, yang kini telah mengenakan masker dan sarung tangan lengkap."Denyut jantung bayinya menurun. Kita harus bertindak cepat sebelum oksigennya turun lebih jauh," jawab Gala cepat namun tetap tenang. "Aku akan lakukan tindakan darurat. Kael, kamu tetap di sini, jangan lepas tangannya."Kael menunduk, menggenggam tangan Zara lebih erat lagi, seakan ingin memindahkan semua kekuatannya pada wanita itu."Zara, dengar aku," bisik Kael di dekat telinga istrinya, suaranya bergetar. "Kamu harus kuat. Kamu dan bayi kita … kalian harus baik-baik saja. Kumohon ..."Zara membuka mata dengan susah payah, tatapannya sudah buram oleh rasa sakit yang menumpuk. Namun, dia melihat K
"Mas, perut aku sakit!"Suara Zara terdengar serak dan cemas saat dia berusaha membangunkan suaminya yang tengah terlelap. Napasnya berat, pelipisnya basah oleh keringat dingin.Kael terbangun dengan tergesa-gesa, matanya masih buram, dan napasnya terengah-engah saat tubuhnya bergerak cepat. Perasaan bingung langsung menguasainya, sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Kamu ... kamu kenapa?" tanya Kael, suara serak penuh kepanikan, masih setengah sadar akan apa yang sedang terjadi.Di hadapannya, Zara meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram perutnya yang sudah membuncit besar. Tatapannya bergetar, seolah menahan terjangan rasa sakit yang tak tertahankan.Perut itu, tempat di mana kehidupan kecil mereka tumbuh, kini tampak begitu tegang. Dan Kael baru tersadar, usia kandungan Zara memang sudah masuk minggu ke-37. Gala bahkan sudah bilang, kapan saja bayi mereka bisa lahir.Ini ... ini bukan sekadar sakit biasa. Ini saatnya.Kael sege
"Bu Anjana, saya mau bawa Zara pulang ke rumah," ucap Kael tegas, suaranya rendah namun mantap.Pria itu kini tengah duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, tubuhnya tegak, kedua tangan saling bertaut di depan tubuhnya, rahangnya mengeras. Kakinya bergerak kecil—menandakan kegelisahan yang berusaha dia tekan.Di hadapannya, Anjana duduk dengan sikap kaku. Wajah wanita paruh baya itu tampak dingin dan keras, sorot matanya menatap Kael tajam, penuh kewaspadaan. Sementara itu, Harun hanya mengamati dalam diam, sesekali melirik ke arah Kael dan cucunya tanpa banyak bicara.Keheningan menegang di antara mereka. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, menggema samar di ruangan luas itu."Pulang? Kamu pikir ini solusi terbaik? Zara baru saja mengalami kejadian berbahaya," seru Anjana akhirnya, nada suaranya penuh tekanan. "Aku hanya mau menjaga putriku!"Kael mengangguk perlahan, tetap menjaga sikap sopan meski hatinya bergejolak."Saya tahu, Bu. Saya tahu Ibu khawatir," sahut Kael, suaran
Gerakan mereka makin dalam, ritmenya semakin padat, menyatu dalam tempo yang memabukkan. Napas Zara tersendat, tubuhnya gemetar hebat setiap kali Kael menyentuh titik sensitifnya.Pria tahu kapan harus memperlambat, kapan harus menekan lebih dalam, kapan harus menatap mata Zara dan mencium air mata kecil yang turun begitu saja di pelipisnya.“Mas … aku… aku…” Zara nyaris tak bisa bicara. Tubuhnya menegang, dan Kael tahu wanitanya akan mencapai puncak.“Jangan ditahan …” bisik Kael di telinganya, mencium kulit di sana sambil tetap bergerak dalam irama yang konsisten. “Aku jaga kamu.”Zara menjerit pelan, tubuhnya melengkung dalam pelukan Kael, meledak dalam gelombang kenikmatan yang membuat seluruh dunianya runtuh hanya untuk dibangun kembali oleh pria itu. Dia menggigil, menangis dalam diam—bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak tertampung.Kael menyusul tak lama kemudian, satu desahan panjang keluar dari bibirnya. Pria itu menggigit pelan bahu Zara sambil menahan tubuhnya agar
Kael berdiri sebentar, menatap Zara seolah meminta izin sekali lagi, lalu membuka jasnya perlahan dan meletakkannya di kursi di samping ranjang.Zara menoleh, matanya mengikuti setiap gerakannya. Begitu Kael kembali mendekat, tangan wanita itu terulur, menariknya perlahan agar duduk lebih dekat lagi.Kael menyentuh rahang Zara dengan jari-jari yang hangat, membelai lembut seolah ingin mengingatkan dirinya tentang kelembutan itu.Lalu, bibir pria itu menyentuh bibir Zara, dengan ciuman yang penuh rasa—lembut, namun sarat dengan hasrat yang tak tertahankan. Ketika dia menarik diri sejenak, suaranya serak, penuh perhatian.“Jangan pergi lagi, ya ...” Kael menatap wajah wanitanya dengan sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Ada bara yang menyala pelan, tapi juga kelembutan yang membuat jantung Zara berdebar tak karuan.Zara menarik napas pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dia mengangguk. Tanpa kata, dia meraih kerah kemeja Kael dan menariknya turun dengan g
Kael menatap tangan Zara yang menggenggam ujung jasnya. Tangan mungil itu gemetar sedikit, entah karena gugup, atau karena masih menahan sakit.“Aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja,” ucap Zara pelan, nyaris seperti bisikan. “Biar aku nggak ngerasa sendirian.”Kael tak menjawab. Dia hanya menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu mengangguk sekali. Tanpa banyak kata, dia meraih gagang pintu dan membukanya.Ruangan itu sunyi. Hanya lampu tidur di sudut yang menyala redup, memantulkan bayangan hangat ke seluruh penjuru kamar.Zara berjalan lebih dulu, pelan-pelan sambil sesekali menarik napas karena rasa ngilu di kakinya. Kael berjalan tak jauh di belakang. Begitu Zara duduk di sisi ranjang, Kael ikut duduk di kursi seberangnya, seperti menjaga jarak."Duduknya jangan jauh-jauh, Mas," ucap Zara pelan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.Kael menarik napas panjang sebelum akhirnya berpindah ke samping Zara. Bahu mereka bersentuhan. Keheningan kembali turun, tapi kali ini