LOGINAyu dan Rangga, pasangan suami istri yang terpisah jarak, mencoba menjaga api cinta mereka lewat panggilan video yang penuh rindu dan desah hasrat. Malam-malam Ayu yang sunyi seharusnya terobati dengan suara suaminya, hingga sebuah pesan misterius masuk: “Kamu cantik malam ini. Jangan matikan panggilannya… aku sedang menikmati.” Sejak saat itu, kehidupan Ayu berubah. Ada mata asing yang mengintip ruang paling privatnya. Pesan-pesan berani datang semakin sering, penuh godaan dan ancaman tersembunyi. Ayu terombang-ambing antara ketakutan dan gairah terlarang yang diam-diam membangkitkan sisi liarnya. Rangga mencium ada rahasia yang disembunyikan istrinya. Cinta mereka diuji, bukan hanya oleh jarak, tapi oleh kehadiran orang ketiga, penuh obsesi, dan tahu cara menyalakan api hasrat di balik layar. Mampukah Ayu bertahan setia? Atau justru ia akan tenggelam dalam permainan erotis berbahaya yang bisa menghancurkan pernikahannya?
View MoreWaktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Ayu duduk di ruang tamu yang hening. Di seberang meja, layar laptop menyala, memancarkan wajah Rangga dengan senyuman khasnya yang hangat. Saat ini, Rangga tengah berada di Perth untuk menjalankan tugas perusahaan memimpin proyek luar negeri. Di sana, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Enam bulan sudah sejak kepergian Rangga ke Australia, yang membuat mereka terpisah jarak ribuan kilometer.
"Gimana harimu tadi, Sayang? Aku lihat foto steak yang kamu kirim. Enak, ya?" tanya Ayu sambil menyeruput teh hijau melati hangat favoritnya. Rangga tertawa. "Lumayan sih, tapi rendang daging buatanmu tetap juara, Sayang. Di sini semua serba keju, aku bosan." Mereka mengobrol ringan tentang urusan kantor, hal-hal yang terjadi seharian, dan janji kapan Rangga bisa pulang. Tapi, di balik obrolan itu, ada ketegangan yang tidak asing. Selama enam bulan ini, sesi video call adalah ritual bagi mereka. Bukan hanya untuk saling bertukar kabar, tetapi juga untuk pelepas rindu dan hasrat. Hasrat keintiman yang kini terpisah jarak dan waktu. Rangga menatap lurus ke Ayu. "Ay, kamu malam ini pakai baju apa?" Suaranya merendah. Ayu tersenyum tipis seolah tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Baju tidur, Sayang. Kenapa?" "Baju tidur yang gimana? ehem Bukan yang itu kan?" Rangga menarik napas. "Aku kangen banget, Ay." Ayu mengangguk sambil tersenyum. "Aku juga, Sayang. Malam ini... Sayang mau?" "Tentu," jawab Rangga cepat, dengan mata yang berbinar-binar penuh gairah. Rangga memindahkan laptopnya ke meja di samping tempat tidur. Pencahayaan di kamarnya kini hanya berasal dari lampu meja yang redup, membuat otot-otot di bahunya terlihat samar namun menarik. Ayu bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar tidurnya. Ia duduk di pinggir kasur, tepat di depan laptop. Ia mengenakan kemeja longgar Rangga dan celana pendek. Perlahan, Ayu mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, tanpa terburu-buru, sambil menikmati sensasi kemeja itu melonggar. Ketika kancing terakhir terbuka, ia menahan diri sejenak, membiarkan Rangga menikmati pemandangan di layar. Wajah Rangga memerah. Ada yang menonjol dari balik celana boksernya. "Ya Tuhan, kamu cantik banget," bisiknya dengan suara serak. Rangga meraih selimutnya di samping, lalu meremasnya dengan frustrasi. Ayu tersenyum. Ia menanggalkan kemeja itu sepenuhnya, menampakkan bra renda hitam yang membungkus dada penuhnya. Rangga memejamkan mata sesaat, lalu membukanya lagi, tatapannya kini tidak lepas dari Ayu. "Ay, aku mau kamu buka semuanya, Sayang," kata Rangga. Ayu menurut. Ia berdiri, dan celana pendeknya meluncur ke lantai. Ia hanya menyisakan bra dan celana dalam renda. Pantat yang padat dengan lekuk tubuh sempurna itu langsung terpampang jelas di layar. Di layar, Rangga menarik napas dalam. Wajahnya dipenuhi gairah. Ia dengan cepat menanggalkan kaus yang dikenakannya, memperlihatkan dada bidangnya yang atletis. Hanya menyisakan bokser hitam yang semakin sesak seolah ada yang meronta-ronta ingin keluar. "Aku suka bra itu," ujar Rangga, nadanya pelan dan menggetarkan. "Tapi aku lebih suka lihat kamu tanpa apa-apa." Ayu tersenyum. Ia menanggalkan bra dan celana dalamnya, membiarkan tubuhnya sepenuhnya telanjang di depan kamera. Ia berbaring perlahan di atas bantal, menghadap ke layar. Ayu mulai memejamkan mata. Tangannya bergerak menyentuh pinggulnya sendiri, kemudian naik ke atas, dan turun ke paha. Tangannya bergerak menyentuh bagian sensitif di antara pahanya. Ia mulai menikmati sentuhan itu. Ia membayangkan Rangga yang menyentuhnya. Desahan kecil lolos dari bibirnya. Di layar, Rangga sudah tak terlihat. Kamera hanya menangkap bagian lehernya, tapi suara napasnya yang berat dan erangan-erangan tertahan menjadi petunjuk bahwa ia sedang berada dalam momen yang sama. Suara itu, ditambah gerakannya sendiri, membawa Ayu ke puncak. Ayu meningkatkan ritme sentuhannya, erangan panjang tak bisa lagi ia tahan. Tubuhnya melengkung, mencapai titik pelepasan. Bersamaan dengan itu, terdengar desahan keras dari Rangga. Keduanya kembali di layar, terengah, rambut sedikit berantakan, tetapi dengan senyum puas. "Sial, itu luar biasa," kata Rangga, mengatur napasnya. "Aku kangen sentuhanmu, Sayang." "Aku juga, Sayang. Cepat pulang, please!" jawab Ayu dengan sedikit merengek. "Iya, Sayang, pasti pulang kok untuk kamu," jawab Rangga dengan senyum hangatnya. "Terima kasih ya, Ay, untuk malam ini. Di sana juga udah larut malam banget, udahan dulu ya video call-nya, kamu harus istirahat." "Sayaaaang, masih kangen!" kata Ayu semakin merengek. "Iya, besok lagi, ya! Aku matikan, ya!" jawab Rangga dengan nada bijak. "Yaaang, tu..." Belum habis Ayu menjawab. Tiba-tiba, ponsel Ayu berdering. Notifikasi W******p masuk dari nomor tak dikenal. Ayu meraih ponselnya dengan sedikit kesal karena gangguan itu. Ia membaca pesannya: +62 812 XXXX XXXX: Kamu cantik malam ini, Ayu. Jangan matikan panggilannya... aku sedang menikmati. Tubuh Ayu langsung kaku. Darahnya terasa membeku. Rasa gairah yang baru saja mereda langsung digantikan oleh ketakutan yang dingin. "Ay? Kamu kenapa?" Suara Rangga terdengar cemas. Ayu tidak menjawab. Matanya terpaku pada pesan itu. Rasa takut yang sedingin es tiba-tiba menyelimuti, menggantikan gairah yang membara. Ia baru menyadari, ada sepasang mata lain yang mengintip momen rahasia mereka.Setelah hari itu, selama tiga hari, Ayu tidak lagi merasa diawasi. Tidak ada pesan-pesan misterius di ponselnya dan tidurnya bisa kembali nyenyak. Selama tiga hari pula Ayu dan Rangga tidak melakukan panggilan video untuk memuaskan hasrat mereka. Entah apa alasan Rangga untuk menghentikan hubungan intim itu terlebih dahulu. Meski demikian, Ayu menjadi sedikit frustasi akibat nafsu yang tak terpuaskan. Selain itu…, Ayu juga tidak berhenti memikirkan Daniel. Kadang suara berat Daniel di hari itu terus menyapa telinganya, membuat Ayu teringat apa yang hampir mereka lakukan. Membayangkannya membuat wajah Ayu memanas. “Sial…,” Ayu menghela napas sambil mengusap wajahnya. Ada rasa bersalah yang terus menghantui Ayu tanpa henti. Potret dirinya dan Rangga yang tersenyum bahagia menghiasi beberapa titik di ruangan kamar seolah menjadi saksi atas lakuannya hari itu. Ayu merasa kacau dan malu. Di tengah dilemanya, Ayu tetap menjalankan rutinitas sehari-harinya. Bekerja, pulang l
Ayu refleks melempar ponselnya jatuh, lalu ia dengan cepat meringkuk dan menarik selimut untuk melilit tubuhnya. Kepalanya berputar cepat, seolah mencari-cari seseorang yang mungkin bersembunyi di dalam apartemennya. Jantung Ayu berdebar kencang. Tubuhnya gemetar. Jelas-jelas ia sudah memblokir nomor asing itu, mengikuti perintah Daniel. Namun, kini orang itu kembali menghubunginya dengan nomor yang berbeda dan lebih parah. Tangannya gemetar saat berusaha menjangkau ponselnya yang tergeletak di atas karpet. Susah payah Ayu mencari kontak Rangga, padahal kontak Rangga ia sematkan di paling atas. Ayu tempelkan ponsel itu ke telinga, menunggu Rangga mengangkat teleponnya, namun suaminya itu tidak kunjung menerima panggilan Ayu. Sampai panggilan keenam, suara serak Rangga di ujung terdengar. “Halo? Rangga …,” Ayu menghela napas. Suaranya terdengar begitu payah dan Ayu yakin Rangga dapat merasakannya. “Ay? Sayang?” suara Rangga tiba-tiba terdengar panik. “Kenapa, Ay? Kenapa sua
Sore itu, setelah melewati hari yang terasa begitu panjang dan pulang kembali ke apartemennya, Ayu sekarang tengah memijat-mijat kakinya sambil berbaring di atas kasur. Kaos polos dan celana pendek telah menempel pada tubuhnya setelah berganti baju selepas pulang kerja. Tak lama, ponsel Ayu berdering. Panggilan dari Rangga. Ah, ia lupa mengabari pada Rangga bahwa ia terjatuh tadi karena terlalu sibuk bekerja, lagipula Rangga juga pasti sibuk bekerja tadi. “Sayang, kakimu terkilir? Tadi Daniel cerita,” Rangga terdengar khawatir. “Aku tadi jatuh, tapi udah enggak terlalu sakit,” Ayu menjelaskan keadaannya sambil memijat-mijat pergelangan yang masih sedikit nyeri. Mendengar penjelasan sang istri, Rangga dapat menghela napas lega. “Syukurlah tadi ada Daniel. Kamu tau, ‘kan, Ay? Daniel itu fisioterapis, dia ahli pijat dan urut. Aku sudah memintanya untuk datang ke tempatmu. Biar kakimu dipijat saja, supaya cepat sembuh.” Ayu terkejut, meskipun Daniel sahabat mereka, tetapi men
Ayu masih membeku. Pesan anonim itu seperti tamparan yang dingin dan keras, memaksanya kembali ke realitas yang menakutkan. Rangga mengernyitkan dahi. "Ayu, kamu dengar aku? Kenapa tiba-tiba diam?" Ayu menarik napas, berusaha agar suaranya terdengar normal. "Aku... aku enggak apa-apa, Sayang. Cuma kaget saja tadi ada suara aneh di luar," bohongnya, suaranya tercekat. "Suara aneh? Ah, mungkin suara angin, Sayang." "Sudah, kamu istirahat ya. Mungkin kamu berhalusinasi karena capek. Aku matikan videonya, Love You," ucap Rangga sembari menenangkan Ayu. "Iya, Sayang. I love you more," balas Ayu dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ayu cepat-cepat meraih selimut dan menutup tubuhnya hingga leher. Rasa panas karena gairah tadi kini berubah menjadi rasa panas karena malu dan panik. Kamu cantik malam ini, Ayu. Jangan matikan panggilannya... aku sedang menikmati. Kata "menikmati" itu menusuknya. Itu artinya, orang ini sudah menyaksikan keseluruhan obrolan intim mereka. Sejak i
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Ayu duduk di ruang tamu yang hening. Di seberang meja, layar laptop menyala, memancarkan wajah Rangga dengan senyuman khasnya yang hangat. Saat ini, Rangga tengah berada di Perth untuk menjalankan tugas perusahaan memimpin proyek luar negeri. Di sana, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Enam bulan sudah sejak kepergian Rangga ke Australia, yang membuat mereka terpisah jarak ribuan kilometer."Gimana harimu tadi, Sayang? Aku lihat foto steak yang kamu kirim. Enak, ya?" tanya Ayu sambil menyeruput teh hijau melati hangat favoritnya. Rangga tertawa. "Lumayan sih, tapi rendang daging buatanmu tetap juara, Sayang. Di sini semua serba keju, aku bosan." Mereka mengobrol ringan tentang urusan kantor, hal-hal yang terjadi seharian, dan janji kapan Rangga bisa pulang. Tapi, di balik obrolan itu, ada ketegangan yang tidak asing. Selama enam bulan ini, sesi video call adalah ritual bagi mereka. Bukan hanya untuk saling bertukar kabar, tetapi juga untuk pele












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments