Hai guys, maaf ya kalau weekend aku up nya 1 bab. Hari ini aku up 2 bab yaa :) Jangan lupa tinggalkan jejak..
Zara melangkah cepat begitu melihat sosok Andin melambaikan tangan dari kejauhan. Keramaian pusat perbelanjaan di ibu kota tidak mengurangi semangatnya untuk segera menghampiri sahabatnya itu.“Andin, aku kangen banget!” seru Zara, langsung menarik Andin ke dalam pelukan erat.“Ya ampun, lama banget kita nggak ketemu. Udah, yuk kita ke kafe dekat sini aja. Lo kan nggak boleh ngopi sekarang, jadi kita makan cake aja sambil minum teh,” balas Andin, lalu tertawa kecil.Mereka pun berjalan santai menuju kafe yang berada di lantai dua. Suasananya cukup nyaman, dengan interior minimalis dan jendela besar yang menghadap ke jalan utama. Aroma kopi bercampur dengan wangi kue-kue yang baru matang, menciptakan atmosfer yang membuat Zara merasa rileks sejenak.Begitu duduk dan memesan tiramisu serta teh chamomile, Zara langsung membuka obrolan.“Gimana kabar di restoran? Pasti waktu itu heboh banget gara-gara kejadian gue, ya?” tanya Zara, lalu menyeruput tehnya pelan.Andin mengangkat alis. “Menu
Di dalam mobil, pikiran wanita itu terus berkecamuk. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dipikirkan, tapi bayangan tadi terus menghantuinya. Betapa akrabnya mereka di meja makan, betapa menawannya Kael pagi ini.Apa suaminya memang sengaja berpenampilan seperti itu karena akan bertemu Virsha?Tidak. Itu pasti cuma pikirannya yang kelewat liar.Setelah sampai di rumah, Zara langsung melemparkan tasnya ke sofa. Dia tidak langsung duduk, hanya mondar-mandir di ruang tamu, menunggu suaminya pulang. Tangannya saling meremas, perasaannya tidak menentu.Setengah jam kemudian, suara pintu depan terbuka.Kael akhirnya datang. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang sedikit kusut dengan dasi yang sudah longgar. Zara memperhatikannya sekilas, betapa tenang raut wajah pria itu seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Kamu dari mana?" Zara langsung melempar pertanyaan, begitu Kael masuk ke dalam rumah. Suaranya tidak keras, tapi nadanya jelas menyiratkan ke
Zara melotot tajam, tapi Kael malah terkekeh pelan."Aku masih kesel," gumam Zara akhirnya, meski tubuhnya sudah tidak lagi menegang seperti tadi.Kael mengangguk. "Ya udah, keselnya sambil nemenin aku makan," katanya santai, lalu menarik tangan Zara sebelum wanita itu sempat kabur ke kamar.Dan seperti biasa, entah bagaimana, Zara selalu kalah dengan caranya.Tidak lama, perut Zara berbunyi.Kael mengerjap, bingung sendiri dengan suara yang baru terdengar begitu keras.Namun, berbeda dengan Kael, Zara malah menundukkan kepala. Awalnya, Kael pikir kalau Zara masih marah kepadanya.Grrrk.Bunyi itu kembali terdengar, bersamaan dengan kepala Zara yang menunduk semakin dalam. Tangan wanita itu pun memegangi perutnya. Pada saat itulah, Kael menyadari dari mana suara itu berasal.'Dia bohong bilang udah makan,' pikir Kael.Kael menundukkan kepalanya juga, berusaha melihat wajah Zara. "Kamu belum makan malam juga, ‘kan?"Zara mengangguk pelan.Kael mengusap pipi Zara, merasa lega sekaligus b
"Kamu bener mau temenin aku kontrol hari ini?" tanya Zara sambil melirik suaminya yang duduk di seberang meja makan.Hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Zara, dan seperti yang telah Kael janjikan, mulai dari kontrol kali ini dan seterusnya, dia akan selalu menemani Zara setiap kali berkunjung ke dokter."Iya dong, ‘kan aku udah janji mau nemenin setiap kamu kontrol," jawab Kael santai, tangannya sibuk mengoles selai di roti bakarnya sebelum melahapnya bersama kopi hitam yang masih mengepul.“Yaudah ayo berangkat,” ujar Zara sambil berdiri, mengambil tasnya yang tersampir di kursi meja makan.Saat dia berjalan mendekat, Kael mengangkat kepalanya. Tatapan matanya mengamati Zara lebih lama dari biasanya.Hari ini, istrinya memakai dress selutut dengan motif bunga-bunga kecil, rambut bergelombangnya diikat setengah, memperlihatkan leher jenjangnya. Perutnya yang mulai membuncit semakin menegaskan bahwa dia sedang mengandung.Zara terlihat lebih … bersinar hari ini.Kael tersenyum tipi
"Kamu siap nggak kita punya anak kembar?" Suara Zara terdengar lebih ceria dari biasanya.Mereka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, pikiran mereka masih dipenuhi euforia sekaligus keterkejutan.Kael melirik Zara sekilas, sudut bibirnya sedikit naik, meski ekspresinya tetap datar."Nyangka aja nggak, apalagi siap." Tapi setelah jeda sejenak, pria itu menambahkan dengan suara lebih pelan, "Tapi kupikir, ini bakal seru.""Seru, ya?" Zara mengerjapkan mata, tidak menyangka tambahan di akhir kalimat Kael. Senyum kecil muncul di wajahnya.Kael mengangguk tipis. "Iya. Rumah kita bakal lebih rame."Mereka berjalan perlahan menuju kafetaria rumah sakit. Langkah Zara lebih lambat dari biasanya, tapi Kael tetap di sisinya, menyesuaikan ritme tanpa mengeluh. Sesekali, dia melirik ke arah Zara, seolah memastikan istrinya baik-baik saja setelah kabar besar yang baru mereka terima.Begitu tiba di kafetaria, Zara memilih duduk di dekat jendela. Tangannya mengaduk jus jeruk di meja tanpa niat mem
Gala tersenyum kecil, mengaduk kopinya perlahan. "Ceva. Dia dulu magang di sini, tapi kayaknya nggak lanjut jadi dokter deh. Tau sendiri lah, anak konglomerat, suka seenaknya kalau sekolah. Mentang-mentang mereka banyak duit."Zara mengangkat alis, kaget. "Wah, siapa sangka dunia sesempit ini ya, Kak."Gala hanya tersenyum samar sebelum kembali menyesap kopinya. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zara merasa sedikit … tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang dia tahan.Sejenak, suasana di antara mereka kembali sunyi, hanya suara denting sendok menyentuh pinggiran cangkir yang terdengar. Hingga akhirnya Gala kembali membuka suara."Oh iya, Zara, aku anter pulang aja ya. Aku udah beres kok praktiknya," tawar Gala dengan nada ringan.Zara menatapnya ragu. Haruskah dia menerima tawaran ini?Namun, Kael sudah tahu bahwa dia bertemu dengan Gala hari ini. Seharusnya, ini tidak masalah.Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya Zara mengangguk. "Oke, boleh, Kak," katanya.Mobil Gal
Hari besar akhirnya tiba. Pembukaan cabang baru The Velvet Spoon, restoran mewah milik Kael, menjadi pusat perhatian kalangan bisnis dan sosialita malam ini.Kael dan Zara berjalan beriringan menuju pintu utama, tangan mereka bertaut erat. Semua mata tertuju pada pasangan itu, seolah mereka adalah bintang utama di acara ini, dan memang, begitulah kenyataannya.Saat memasuki ruangan, suasana mewah langsung menyergap. Meja-meja berjejer dengan makanan dan minuman terbaik, dari hidangan pembuka hingga deretan wine serta champagne mahal yang berkilauan di bawah lampu kristal. Aroma uang begitu kental di udara, mengingat hampir semua tamu yang hadir berasal dari kalangan terpandang.Zara mengenakan dress baby doll hitam yang sederhana namun anggun, tidak berlebihan, tapi tetap memancarkan pesona. Di sebelahnya, Kael tampil menawan dalam setelan jas hitam yang pas di tubuhnya, kontras dengan ekspresi dingin yang seolah tidak terpengaruh oleh perhatian orang-orang.Saat mereka berjalan melewa
Maharani menghela napas kecil sebelum tersenyum tipis. “Ranu, kau datang juga rupanya.” “Ke mana ayahmu? Apa masih di luar negeri?” tanya Hardi. “Iya, Kakek. Masih di Singapura,” jawab Ranu. Ranu Ashwara, dia adalah putra sulung Bayu Ashwara, adik kandung Aryan. Bayu dan Aryan adalah dua bersaudara, anak dari Hardi. Dari segi fisik, ada sedikit kemiripan antara Ranu dan Kael, terutama di garis rahang dan sorot mata yang tajam. Namun, auranya jelas berbeda, Kael dingin dan penuh kendali, sementara Ranu membawa kesan santai yang licin, seperti seseorang yang terbiasa membaca situasi sebelum mengambil langkah berikutnya. Kael yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya mengangkat gelasnya dengan santai, lalu meneguk isinya sebelum menaruhnya kembali ke meja. “Duduklah. Tidak perlu banyak basa-basi.” Nada suara Kael datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. Namun, karena itulah ada ketegangan halus yang merayap dalam percakapan mereka. Aryan tetap diam, tidak memberikan reaksi apa p
Makasih banget karena udah setia nemenin cerita Kael dan Zara sampai sejauh ini. Rasanya campur aduk banget pas nulis bagian terakhir.Maaf ya kalau selama perjalanan cerita ini banyak kekurangan. Entah itu bagian yang bikin bingung, alur yang kadang muter-muter, atau tokohnya bikin gemas sendiri. Tapi semoga, di balik semua itu, ada bagian dari cerita ini yang bisa tinggal lebih lama di hati kamu.Makasih karena udah jadi bagian dari perjalanan ini. Dukungan dan komentarmu berarti banget.Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya ♡
“Perjodohan?” gumam Kael pelan.Lalu pria itu tersenyum tipis, tapi bukan karena setuju. Senyum itu lebih menyerupai kilas balik—mengingatkannya pada masa ketika dirinya dijodohkan oleh keluarganya, hanya untuk akhirnya mengguncang semuanya dengan pernyataan bahwa dia telah menghamili Zara.“Jangan harap, ya,” ucap Kael akhirnya, datar tapi tegas, dengan satu alis terangkat seperti memberi peringatan bahwa topik ini tidak untuk dibahas lebih jauh.Gala tertawa kecil, tapi tidak merasa tersinggung. “Kenapa? Coba kamu bayangkan, Kylar itu cucu pertama keluarga Ashwara, Zelena cucu pertama keluarga Wijaya. Kalau mereka menikah, kekuatan bisnis kita di masa depan—”“Kak Gala ngomong apa sih?” potong Zara, nadanya terdengar tidak senang, meski masih berusaha sopan. “Kylar dan Zelena itu masih anak-anak.”“Benar,” sambung Ceva, kali ini lebih tegas. “Mereka bahkan belum masuk SD. Masa depan bukan cuma tentang bisnis, Kak.”Gala mengangkat tangan, menyerah, lalu tersenyum kecil. “Oke, oke. Ak
“Huwaaaa!” Tangis Kylar pecah saat pipinya dicubit gemas oleh Zelena. Bocah perempuan itu terkekeh geli, tidak menyadari bahwa tangan mungilnya terlalu semangat bermain. “Lena, pelan-pelan, ya … Itu pipi Kylar, bukan squishy,” ujar Ceva sambil tersenyum geli, lalu menarik tangan putrinya pelan. Zelena memang selalu usil pada Kylar. Padahal usia Zelena lebih tua empat tahun, tapi kalau sedang bersama, mereka selalu saja bertengkar. Zara berjongkok di hadapan Kylar, mengelus pipi anaknya yang masih memerah dan cemberut. “Sudah, Sayang. Mami tahu sakit, ya? Tapi Kak Lena nggak sengaja. Yuk, kita bilang ke Kakak supaya cubitnya pelan-pelan lain kali,” ucap Zara lembut. Kylar mengangguk kecil, matanya masih berkaca-kaca, tapi bibirnya mulai membentuk senyum tipis. Senyum langka yang selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya. Wajahnya langsung bersinar ketika melihat Kael berjalan mendekat, membawa kue besar berhiaskan dinosaurus hijau toska di atas cokelat favoritny
"Apa maksudnya, ada yang salah?" tanya Kael cepat, nada suaranya meninggi, panik mulai merayap dari dalam dada.Suasana di ruang bersalin seketika berubah. Detak monitor terdengar semakin cepat, disusul suara langkah para perawat yang mulai bergerak panik. Salah satu dari mereka segera menyerahkan perlengkapan tambahan ke Gala, yang kini telah mengenakan masker dan sarung tangan lengkap."Denyut jantung bayinya menurun. Kita harus bertindak cepat sebelum oksigennya turun lebih jauh," jawab Gala cepat namun tetap tenang. "Aku akan lakukan tindakan darurat. Kael, kamu tetap di sini, jangan lepas tangannya."Kael menunduk, menggenggam tangan Zara lebih erat lagi, seakan ingin memindahkan semua kekuatannya pada wanita itu."Zara, dengar aku," bisik Kael di dekat telinga istrinya, suaranya bergetar. "Kamu harus kuat. Kamu dan bayi kita … kalian harus baik-baik saja. Kumohon ..."Zara membuka mata dengan susah payah, tatapannya sudah buram oleh rasa sakit yang menumpuk. Namun, dia melihat Ka
"Mas, perut aku sakit!"Suara Zara terdengar serak dan cemas saat dia berusaha membangunkan suaminya yang tengah terlelap. Napasnya berat, pelipisnya basah oleh keringat dingin.Kael terbangun dengan tergesa-gesa, matanya masih buram, dan napasnya terengah-engah saat tubuhnya bergerak cepat. Perasaan bingung langsung menguasainya, sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Kamu ... kamu kenapa?" tanya Kael, suara serak penuh kepanikan, masih setengah sadar akan apa yang sedang terjadi.Di hadapannya, Zara meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram perutnya yang sudah membuncit besar. Tatapannya bergetar, seolah menahan terjangan rasa sakit yang tak tertahankan.Perut itu, tempat di mana kehidupan kecil mereka tumbuh, kini tampak begitu tegang. Dan Kael baru tersadar, usia kandungan Zara memang sudah masuk minggu ke-37. Gala bahkan sudah bilang, kapan saja bayi mereka bisa lahir.Ini ... ini bukan sekadar sakit biasa. Ini saatnya.Kael seger
"Bu Anjana, saya mau bawa Zara pulang ke rumah," ucap Kael tegas, suaranya rendah namun mantap.Pria itu kini tengah duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, tubuhnya tegak, kedua tangan saling bertaut di depan tubuhnya, rahangnya mengeras. Kakinya bergerak kecil—menandakan kegelisahan yang berusaha dia tekan.Di hadapannya, Anjana duduk dengan sikap kaku. Wajah wanita paruh baya itu tampak dingin dan keras, sorot matanya menatap Kael tajam, penuh kewaspadaan. Sementara itu, Harun hanya mengamati dalam diam, sesekali melirik ke arah Kael dan cucunya tanpa banyak bicara.Keheningan menegang di antara mereka. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, menggema samar di ruangan luas itu."Pulang? Kamu pikir ini solusi terbaik? Zara baru saja mengalami kejadian berbahaya," seru Anjana akhirnya, nada suaranya penuh tekanan. "Aku hanya mau menjaga putriku!"Kael mengangguk perlahan, tetap menjaga sikap sopan meski hatinya bergejolak."Saya tahu, Bu. Saya tahu Ibu khawatir," sahut Kael, suaran
Gerakan mereka makin dalam, ritmenya semakin padat, menyatu dalam tempo yang memabukkan. Napas Zara tersendat, tubuhnya gemetar hebat setiap kali Kael menyentuh titik sensitifnya.Pria tahu kapan harus memperlambat, kapan harus menekan lebih dalam, kapan harus menatap mata Zara dan mencium air mata kecil yang turun begitu saja di pelipisnya.“Mas … aku… aku…” Zara nyaris tak bisa bicara. Tubuhnya menegang, dan Kael tahu wanitanya akan mencapai puncak.“Jangan ditahan …” bisik Kael di telinganya, mencium kulit di sana sambil tetap bergerak dalam irama yang konsisten. “Aku jaga kamu.”Zara menjerit pelan, tubuhnya melengkung dalam pelukan Kael, meledak dalam gelombang kenikmatan yang membuat seluruh dunianya runtuh hanya untuk dibangun kembali oleh pria itu. Dia menggigil, menangis dalam diam—bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak tertampung.Kael menyusul tak lama kemudian, satu desahan panjang keluar dari bibirnya. Pria itu menggigit pelan bahu Zara sambil menahan tubuhnya agar
Kael berdiri sebentar, menatap Zara seolah meminta izin sekali lagi, lalu membuka jasnya perlahan dan meletakkannya di kursi di samping ranjang.Zara menoleh, matanya mengikuti setiap gerakannya. Begitu Kael kembali mendekat, tangan wanita itu terulur, menariknya perlahan agar duduk lebih dekat lagi.Kael menyentuh rahang Zara dengan jari-jari yang hangat, membelai lembut seolah ingin mengingatkan dirinya tentang kelembutan itu.Lalu, bibir pria itu menyentuh bibir Zara, dengan ciuman yang penuh rasa—lembut, namun sarat dengan hasrat yang tak tertahankan. Ketika dia menarik diri sejenak, suaranya serak, penuh perhatian.“Jangan pergi lagi, ya ...” Kael menatap wajah wanitanya dengan sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Ada bara yang menyala pelan, tapi juga kelembutan yang membuat jantung Zara berdebar tak karuan.Zara menarik napas pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dia mengangguk. Tanpa kata, dia meraih kerah kemeja Kael dan menariknya turun dengan g
Kael menatap tangan Zara yang menggenggam ujung jasnya. Tangan mungil itu gemetar sedikit, entah karena gugup, atau karena masih menahan sakit.“Aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja,” ucap Zara pelan, nyaris seperti bisikan. “Biar aku nggak ngerasa sendirian.”Kael tak menjawab. Dia hanya menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu mengangguk sekali. Tanpa banyak kata, dia meraih gagang pintu dan membukanya.Ruangan itu sunyi. Hanya lampu tidur di sudut yang menyala redup, memantulkan bayangan hangat ke seluruh penjuru kamar.Zara berjalan lebih dulu, pelan-pelan sambil sesekali menarik napas karena rasa ngilu di kakinya. Kael berjalan tak jauh di belakang. Begitu Zara duduk di sisi ranjang, Kael ikut duduk di kursi seberangnya, seperti menjaga jarak."Duduknya jangan jauh-jauh, Mas," ucap Zara pelan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.Kael menarik napas panjang sebelum akhirnya berpindah ke samping Zara. Bahu mereka bersentuhan. Keheningan kembali turun, tapi kali ini