Coba tebak siapa yang ngirim paket misterius itu ya?
Zara masih terpaku di tempatnya, napasnya tersengal. Dadanya naik-turun, sementara matanya tetap menatap boneka lusuh itu dengan ngeri."Bi Susi ..." suara Zara nyaris tidak terdengar.Asisten rumah tangga yang juga masih shock, menoleh cepat. "Iya, Nyonya?""Ambil plastik. Buang ini jauh-jauh," suara Zara bergetar, tapi ada nada tegas di dalamnya."Tapi, Nyonya—""Buang!" suara Zara meninggi, hampir terdengar putus asa. Dia tidak ingin barang itu ada di rumahnya sedetik lebih lama.Susi buru-buru mengambil plastik besar, memasukkan boneka itu ke dalamnya dengan tangan gemetar. Begitu plastik terikat rapat, Zara menghela napas panjang, berusaha mengendalikan gemuruh di dadanya."Tolong taruh di luar dulu," ucap Zara lirih.Susi mengangguk cepat dan bergegas keluar, meninggalkan Zara yang masih berdiri di tempatnya.Tangannya meraih ponsel sekali lagi, kali ini mencoba menghubungi Nisa, sekretaris suaminya. Namun, panggilannya masih tidak bisa tersambung.Tiba-tiba Zara merasa pusing. P
“Pak Kael, sepertinya Ibu Zara mencoba menghubungi saya tadi ketika kita di pesawat,” ucap Nisa sambil melirik ponselnya begitu mereka melangkah keluar dari Changi Airport.Kael menghentikan langkahnya sejenak, keningnya berkerut samar."Oke," jawab Kael singkat, nyaris terdengar seperti gumaman.Mungkin Zara hanya ingin menanyakan keberadaan suaminya. Namun, kenapa dia menghubungi Nisa, bukan langsung ke ponselnya?“Mana ponsel saya?” tanya Kael sambil menadahkan tangan ke arah sekretarisnya.Nisa buru-buru membuka tas kerja Kael yang dibawanya, mencari ponsel bosnya. Namun, ketika menemukannya, layar ponsel itu mati total.“Ini, Pak. Tapi sepertinya baterainya habis. Mau saya charge dulu setiba di kantor cabang?”Kael menatap ponselnya sejenak sebelum mengangguk. Saat itulah, Nisa menatap Kael lebih saksama dan ragu-ragu membuka suara.“Pak, sepertinya Anda kurang sehat. Mau saya bawakan obat atau vitamin?” tanya Nisa dengan sedikit khawatir.Kael menoleh sebentar, lalu menghela napa
Kael membuka mata perlahan, menyadari bahwa dia berada di tempat asing.Langit-langit putih. Suara mesin medis berdengung pelan. Sensasi dingin di punggung tangannya, jarum infus terpasang di sana.Kael mengerjapkan mata, mencoba mengusir kantuk yang masih menggantung. Pandangannya beralih ke sisi ranjang, di mana Nisa duduk dengan wajah cemas."Saya di mana?" suara Kael serak, lemah, dan nyaris tidak terdengar."Pak Kael?" Nisa segera mendekat begitu melihat bosnya terjaga. "Bapak di rumah sakit. Tadi Bapak pings—”Namun, sebelum Nisa bisa menyelesaikan kalimatnya, matanya melebar saat melihat Kael mencabut infus dari tangannya dengan paksa."Pak Kael! Jangan—"Darah langsung merembes dari luka kecil di tangan Kael, tapi pria itu tidak peduli. Dengan cepat, dia menyingkirkan selimut dan berusaha bangkit dari ranjang.Kepalanya masih berdenyut, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih mendesak dalam pikirannya.Zara. Gambar di berita itu kembali terputar di benaknya. Membuat rahangnya mengat
Zara duduk di ruang praktik Gala, yang kini sepi. Setelah berita tentang mereka berdua meledak di berbagai portal berita, Gala terpaksa berhenti menerima pasien sementara.Di tangannya, layar ponsel terus menampilkan artikel demi artikel, setiap judul lebih liar dari sebelumnya. Seperti bola api yang terus membesar, sulit dikendalikan.Zara menggigit bibirnya, jari-jarinya mencengkeram ponsel erat. Kepalanya terasa penuh."Kak ..." suara Zara lemah, nyaris bergetar. "Aku harus gimana?"Gala yang berdiri di dekat meja menghela napas panjang sebelum menarik kursi dan duduk di depannya. Hasil pemeriksaan Zara tadi memang tidak menunjukkan sesuatu yang serius, tapi stres berkepanjangan bukan hal yang bisa diabaikan."Pertama, jangan panik," kata Gala dengan tenang, meskipun matanya sendiri menunjukkan kecemasan yang tak kalah besar."Berita ini udah terlanjur menyebar." Zara meremas ponselnya lebih erat. "Aku nggak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Tapi aku juga nggak tahu harus mulai d
Ranu menatap berkas di atas meja tanpa menyentuhnya. Bibirnya masih menyunggingkan senyum kecil, tetapi Kael bisa melihat ketegangan halus di rahang sepupunya.Bayu melirik ke arah laporan itu, lalu menghela napas pendek. "Apa maksud semua ini, Kael?"Kael tidak langsung menjawab. Dia membalik halaman pertama berkas itu dengan tenang, jemarinya bergerak tanpa tergesa-gesa."Seperti yang sekretarisku katakan, ini adalah hasil investigasi timku. Dan ternyata, penyebaran berita negatif tentang aku dan Zara bukan sesuatu yang terjadi begitu saja." Mata Kael terangkat, menatap lurus ke arah Ranu. "Ada seseorang yang dengan sengaja mengatur semuanya."Ranu terkekeh pelan, suara rendahnya mengandung nada mengejek. "Itu tuduhan serius. Jangan bilang kamu berpikir aku ada di balik semua ini?"Kael tidak membalas, hanya menatap Ranu lebih lama, cukup untuk membuat udara di ruangan semakin berat.Aryan yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Buka laporannya, Ranu," perintahnya singkat.Tawa ke
"Kamu nggak mau pulang dulu? Di sini juga nggak aman kalau ada wartawan yang tahu."Gala duduk di kursi dekat jendela, melirik ponselnya sekilas sebelum menatap Zara. Di luar, berita masih panas, meski mulai mereda berkat pengaruh Anjana.Zara tetap di kursinya, punggung menegang, jari-jarinya saling meremas di atas paha. Suara dari televisi kecil di sudut ruangan menggema pelan, tapi cukup untuk mengingatkannya pada kekacauan yang menunggu di luar.Zara menggigit bibirnya. "Aku belum siap keluar."Gala menghela napas, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Aku ngerti. Tapi semakin lama kamu di sini, semakin besar kemungkinan seseorang tahu keberadaanmu. Kalau Kael udah selesai sama urusannya, lebih baik kamu pulang."Sebelum Zara bisa menjawab. tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Seorang suster masuk dengan senyum ramah. "Nyonya Zara, penjemputan Anda sudah tiba."Zara dan Gala saling pandang."Penjemputan?" Gala mengernyit."Iya," katanya sopan, "orang suruhan suami Anda sudah datang untuk
Ponsel Kael bergetar lagi.Kael menurunkan pandangannya. Satu foto terkirim.Saat dia membukanya, darahnya langsung mendidih.Istrinya, dengan tangan mungil terikat di sandaran kursi, pergelangan tangannya merah dengan bekas lecet, seolah sempat memberontak. Matanya tertutup kain hitam, pipinya pucat. Bibirnya yang biasanya berwarna lembut kini tampak sedikit kering. Rambutnya berantakan, beberapa helai jatuh ke dahinya. Jantung Kael berdetak kencang, nyaris sakit.Dada Kael bergejolak. Napasnya berat, rahangnya mengatup kuat. Emosi membuncah begitu dahsyat, tetapi dia menahannya dengan sekuat tenaga. Ini bukan saatnya kehilangan kendali.Matanya menyusuri setiap detail dalam foto itu, menganalisis dengan cepat. Bayangan buram di belakang Zara. Lantai beton kasar. Cahaya redup dari sudut kiri. Sebuah ruangan yang tak berperabotan.Gudang? Basement?Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, sebuah pesan masuk.[Kamu punya waktu 24 jam.]Kael mengepalkan tangan, rahangnya mengatup keras. Napasn
“Tunggu, Kael!”Kael hampir membuka pintu mobilnya ketika suara Gala menghentikannya. Dia menoleh dengan sorot mata tajam."Aku udah dapat lokasinya," kata Gala cepat. "Kita nggak perlu buang-buang waktu buat cari Ranu. Lebih baik kita langsung menyelamatkan Zara."Kael diam sesaat. Rahangnya masih mengeras, tapi tatapannya menusuk. "Di mana?"Gala menekan layar ponselnya lalu menunjukkan sebuah titik di peta digital. "Gudang kosong di daerah pelabuhan. Ray barusan mengkonfirmasi. Ada aktivitas mencurigakan di sana, dan ciri-cirinya cocok dengan tempat di foto tadi."Kael menatap layar ponsel itu dengan rahang mengatup. Gudang. Sama seperti dugaannya. Tanpa membuang waktu, dia membuka pintu mobilnya. "Kita berangkat sekarang."Gala mengangguk dan segera menyusul.Kael menekan gas dalam-dalam, mobilnya melesat membelah malam. Jalanan basah akibat gerimis tadi sore, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Hanya satu hal yang ada di kepalanya, menemukan Zara dalam keadaan selamat.Di
Makasih banget karena udah setia nemenin cerita Kael dan Zara sampai sejauh ini. Rasanya campur aduk banget pas nulis bagian terakhir.Maaf ya kalau selama perjalanan cerita ini banyak kekurangan. Entah itu bagian yang bikin bingung, alur yang kadang muter-muter, atau tokohnya bikin gemas sendiri. Tapi semoga, di balik semua itu, ada bagian dari cerita ini yang bisa tinggal lebih lama di hati kamu.Makasih karena udah jadi bagian dari perjalanan ini. Dukungan dan komentarmu berarti banget.Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya ♡
“Perjodohan?” gumam Kael pelan.Lalu pria itu tersenyum tipis, tapi bukan karena setuju. Senyum itu lebih menyerupai kilas balik—mengingatkannya pada masa ketika dirinya dijodohkan oleh keluarganya, hanya untuk akhirnya mengguncang semuanya dengan pernyataan bahwa dia telah menghamili Zara.“Jangan harap, ya,” ucap Kael akhirnya, datar tapi tegas, dengan satu alis terangkat seperti memberi peringatan bahwa topik ini tidak untuk dibahas lebih jauh.Gala tertawa kecil, tapi tidak merasa tersinggung. “Kenapa? Coba kamu bayangkan, Kylar itu cucu pertama keluarga Ashwara, Zelena cucu pertama keluarga Wijaya. Kalau mereka menikah, kekuatan bisnis kita di masa depan—”“Kak Gala ngomong apa sih?” potong Zara, nadanya terdengar tidak senang, meski masih berusaha sopan. “Kylar dan Zelena itu masih anak-anak.”“Benar,” sambung Ceva, kali ini lebih tegas. “Mereka bahkan belum masuk SD. Masa depan bukan cuma tentang bisnis, Kak.”Gala mengangkat tangan, menyerah, lalu tersenyum kecil. “Oke, oke. Ak
“Huwaaaa!” Tangis Kylar pecah saat pipinya dicubit gemas oleh Zelena. Bocah perempuan itu terkekeh geli, tidak menyadari bahwa tangan mungilnya terlalu semangat bermain. “Lena, pelan-pelan, ya … Itu pipi Kylar, bukan squishy,” ujar Ceva sambil tersenyum geli, lalu menarik tangan putrinya pelan. Zelena memang selalu usil pada Kylar. Padahal usia Zelena lebih tua empat tahun, tapi kalau sedang bersama, mereka selalu saja bertengkar. Zara berjongkok di hadapan Kylar, mengelus pipi anaknya yang masih memerah dan cemberut. “Sudah, Sayang. Mami tahu sakit, ya? Tapi Kak Lena nggak sengaja. Yuk, kita bilang ke Kakak supaya cubitnya pelan-pelan lain kali,” ucap Zara lembut. Kylar mengangguk kecil, matanya masih berkaca-kaca, tapi bibirnya mulai membentuk senyum tipis. Senyum langka yang selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya. Wajahnya langsung bersinar ketika melihat Kael berjalan mendekat, membawa kue besar berhiaskan dinosaurus hijau toska di atas cokelat favoritny
"Apa maksudnya, ada yang salah?" tanya Kael cepat, nada suaranya meninggi, panik mulai merayap dari dalam dada.Suasana di ruang bersalin seketika berubah. Detak monitor terdengar semakin cepat, disusul suara langkah para perawat yang mulai bergerak panik. Salah satu dari mereka segera menyerahkan perlengkapan tambahan ke Gala, yang kini telah mengenakan masker dan sarung tangan lengkap."Denyut jantung bayinya menurun. Kita harus bertindak cepat sebelum oksigennya turun lebih jauh," jawab Gala cepat namun tetap tenang. "Aku akan lakukan tindakan darurat. Kael, kamu tetap di sini, jangan lepas tangannya."Kael menunduk, menggenggam tangan Zara lebih erat lagi, seakan ingin memindahkan semua kekuatannya pada wanita itu."Zara, dengar aku," bisik Kael di dekat telinga istrinya, suaranya bergetar. "Kamu harus kuat. Kamu dan bayi kita … kalian harus baik-baik saja. Kumohon ..."Zara membuka mata dengan susah payah, tatapannya sudah buram oleh rasa sakit yang menumpuk. Namun, dia melihat Ka
"Mas, perut aku sakit!"Suara Zara terdengar serak dan cemas saat dia berusaha membangunkan suaminya yang tengah terlelap. Napasnya berat, pelipisnya basah oleh keringat dingin.Kael terbangun dengan tergesa-gesa, matanya masih buram, dan napasnya terengah-engah saat tubuhnya bergerak cepat. Perasaan bingung langsung menguasainya, sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Kamu ... kamu kenapa?" tanya Kael, suara serak penuh kepanikan, masih setengah sadar akan apa yang sedang terjadi.Di hadapannya, Zara meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram perutnya yang sudah membuncit besar. Tatapannya bergetar, seolah menahan terjangan rasa sakit yang tak tertahankan.Perut itu, tempat di mana kehidupan kecil mereka tumbuh, kini tampak begitu tegang. Dan Kael baru tersadar, usia kandungan Zara memang sudah masuk minggu ke-37. Gala bahkan sudah bilang, kapan saja bayi mereka bisa lahir.Ini ... ini bukan sekadar sakit biasa. Ini saatnya.Kael seger
"Bu Anjana, saya mau bawa Zara pulang ke rumah," ucap Kael tegas, suaranya rendah namun mantap.Pria itu kini tengah duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, tubuhnya tegak, kedua tangan saling bertaut di depan tubuhnya, rahangnya mengeras. Kakinya bergerak kecil—menandakan kegelisahan yang berusaha dia tekan.Di hadapannya, Anjana duduk dengan sikap kaku. Wajah wanita paruh baya itu tampak dingin dan keras, sorot matanya menatap Kael tajam, penuh kewaspadaan. Sementara itu, Harun hanya mengamati dalam diam, sesekali melirik ke arah Kael dan cucunya tanpa banyak bicara.Keheningan menegang di antara mereka. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, menggema samar di ruangan luas itu."Pulang? Kamu pikir ini solusi terbaik? Zara baru saja mengalami kejadian berbahaya," seru Anjana akhirnya, nada suaranya penuh tekanan. "Aku hanya mau menjaga putriku!"Kael mengangguk perlahan, tetap menjaga sikap sopan meski hatinya bergejolak."Saya tahu, Bu. Saya tahu Ibu khawatir," sahut Kael, suaran
Gerakan mereka makin dalam, ritmenya semakin padat, menyatu dalam tempo yang memabukkan. Napas Zara tersendat, tubuhnya gemetar hebat setiap kali Kael menyentuh titik sensitifnya.Pria tahu kapan harus memperlambat, kapan harus menekan lebih dalam, kapan harus menatap mata Zara dan mencium air mata kecil yang turun begitu saja di pelipisnya.“Mas … aku… aku…” Zara nyaris tak bisa bicara. Tubuhnya menegang, dan Kael tahu wanitanya akan mencapai puncak.“Jangan ditahan …” bisik Kael di telinganya, mencium kulit di sana sambil tetap bergerak dalam irama yang konsisten. “Aku jaga kamu.”Zara menjerit pelan, tubuhnya melengkung dalam pelukan Kael, meledak dalam gelombang kenikmatan yang membuat seluruh dunianya runtuh hanya untuk dibangun kembali oleh pria itu. Dia menggigil, menangis dalam diam—bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak tertampung.Kael menyusul tak lama kemudian, satu desahan panjang keluar dari bibirnya. Pria itu menggigit pelan bahu Zara sambil menahan tubuhnya agar
Kael berdiri sebentar, menatap Zara seolah meminta izin sekali lagi, lalu membuka jasnya perlahan dan meletakkannya di kursi di samping ranjang.Zara menoleh, matanya mengikuti setiap gerakannya. Begitu Kael kembali mendekat, tangan wanita itu terulur, menariknya perlahan agar duduk lebih dekat lagi.Kael menyentuh rahang Zara dengan jari-jari yang hangat, membelai lembut seolah ingin mengingatkan dirinya tentang kelembutan itu.Lalu, bibir pria itu menyentuh bibir Zara, dengan ciuman yang penuh rasa—lembut, namun sarat dengan hasrat yang tak tertahankan. Ketika dia menarik diri sejenak, suaranya serak, penuh perhatian.“Jangan pergi lagi, ya ...” Kael menatap wajah wanitanya dengan sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Ada bara yang menyala pelan, tapi juga kelembutan yang membuat jantung Zara berdebar tak karuan.Zara menarik napas pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dia mengangguk. Tanpa kata, dia meraih kerah kemeja Kael dan menariknya turun dengan g
Kael menatap tangan Zara yang menggenggam ujung jasnya. Tangan mungil itu gemetar sedikit, entah karena gugup, atau karena masih menahan sakit.“Aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja,” ucap Zara pelan, nyaris seperti bisikan. “Biar aku nggak ngerasa sendirian.”Kael tak menjawab. Dia hanya menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu mengangguk sekali. Tanpa banyak kata, dia meraih gagang pintu dan membukanya.Ruangan itu sunyi. Hanya lampu tidur di sudut yang menyala redup, memantulkan bayangan hangat ke seluruh penjuru kamar.Zara berjalan lebih dulu, pelan-pelan sambil sesekali menarik napas karena rasa ngilu di kakinya. Kael berjalan tak jauh di belakang. Begitu Zara duduk di sisi ranjang, Kael ikut duduk di kursi seberangnya, seperti menjaga jarak."Duduknya jangan jauh-jauh, Mas," ucap Zara pelan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.Kael menarik napas panjang sebelum akhirnya berpindah ke samping Zara. Bahu mereka bersentuhan. Keheningan kembali turun, tapi kali ini