“Tolong berhenti membuat aku menjadi boneka bisnismu, Ayah,” kata Kael dengan sangat tegas seolah dia memang benar-benar telah lelah dengan permainan ayahnya.
“Kael?” Maharani, ibu Kael, tidak menyangka bahwa Kael justru akan bertindak sejauh ini.
Dalam situasi seperti ini, Zara benar-benar tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan hanya untuk melihat ujung baju orang-orang pun dia tidak berani. Dia merasa bahwa kehadirannya sepertinya benar-benar bisa membuat Kael dalam masalah dengan keluarganya.
“Apa maksudmu? Aku hanya berusaha memberi kehidupan yang layak untukmu hingga tua nanti. Apa kamu ingin hidup sengsara karena salah melangkah?!” Aryan berdiri dan menatap Kael dengan tajam. Maharani yang ada di sebelah Aryan, berusaha terus menenangkan suaminya dengan beberapa kali menahan mengusap lengan pria itu.
Selama ini, Aryan memang selalu mengatur tiap langkah hidup Kael, bermaksud untuk memberikan kehidupan yang makmur dan terjamin untuk Kael.
“Selain karena keluarga Adinata adalah keluarga terpandang, jika keluarga kita bisa bersatu dengan keluarga mereka, tentu bisnis kita juga akan semakin berkembang dengan bantuan suplai dari bisnis mereka. Apa kamu tidak berpikir sampai ke sana, Kael?” lanjut Aryan.
Kael berdecak kesal.
“Aku juga ingin bahagia dengan jalanku sendiri, Ayah.” Kael menatap ayahnya dengan kesal.
Kael tiba-tiba meraih tangan Zara ke dalam genggamannya yang membuat Zara kembali tersentak. Zara menatap Kael dari samping dengan keraguan yang besar.
“Lagipula, Zara sedang mengandung anakku,” kata Kael lagi, dan berhasil membuat Aryan membelalakkan mata. Bahkan, Hardi Ashwara, kakek Kael, yang sedari tadi hanya diam menyaksikan perdebatan ayah dan anak itu, kini ikut terperanjat.
Maharani juga tampak sangat terkejut. Selama ini, yang dia tahu anaknya begitu gila pekerjaan, tetapi kenapa kini tiba-tiba mengatakan telah menghamili seorang perempuan?
“Kael, kamu serius?” tanya Maharani dengan lirih.
“Dia hamil, Kael?” sahut Hardi dengan suara parau. Dia masih tidak menyangka bahwa cucunya ternyata akan berbuat sejauh ini.
Kael hanya membalas dengan anggukan kepala. Genggaman tangannya pada Zara terasa semakin erat, seolah ingin memberi peringatan untuk tetap diam dan mengikuti alur dengan baik.
“Hamil? Apa kamu yakin, Kael?” Aryan jelas tahu bahwa anaknya itu seorang workaholic. Hampir 15 jam kesehariannya dihabiskan di dalam dapur dan restoran, sisanya hanya untuk tidur dan mendatangi supplier.
Mana mungkin anaknya memiliki waktu untuk bisa membuat seorang wanita hamil? Bahkan, untuk sekadar berkencan pun sepertinya tidak mungkin.
Aryan menatap Zara dengan cukup dalam, sejenak dia menatap perut Zara yang terlihat masih rata seolah tidak ada sesuatu yang hidup di sana.
“Baiklah, karena kalian sudah menikah dan calon cucuku juga sudah ada di dalam perut perempuan itu,” kata Aryan lagi. Sejenak dia kembali menatap Zara dan Kael bergantian. “Aku akan menunggu kelahiran bayi itu. Mungkin sekitar 8 atau 9 bulan lagi, ‘kan?”
Zara merasa seperti baru saja tersengat listrik. Bagaimana mungkin ada bayi yang akan lahir dari perutnya 9 bulan lagi? Dia saja tidak hamil!
Zara menatap Kael dengan cukup cemas, tetapi Kael justru masih tampak sangat tenang.
Bukankah ini bencana dalam sandiwara mereka? Kenapa Kael malah tenang-tenang saja?!
“Sudahlah, Aryan, biarkan anakmu memilih kebahagiaannya sendiri. Toh sekarang sudah ada calon penerus keluarga kita, tugas kita hanya tinggal melindungi dan merawatnya,” sahut Hardi melerai perdebatan ayah dan anak itu. Tentu saja dia sadar bahwa ini mungkin juga salah dirinya yang telah mendidik Aryan dengan cukup keras, hingga kini harus berimbas pada cucunya.
Kael menatap kakeknya dengan tenang seolah menghargai setiap hal yang telah kakeknya lakukan untuknya selama ini. Kemudian, tatapannya dia alihkan kepada sang ayah.
“Tenang saja, Ayah. Atau Ayah sendiri yang mau membantu proses persalinan?” kata Kael dengan sedikit bercanda, seolah tidak menemukan adanya masalah dari permintaan sang ayah.
Sementara Zara justru sebaliknya, dia benar-benar tampak panik, tetapi sama sekali tidak berani mengatakan apapun. Ditambah dengan ucapan Kael yang seperti itu, Zara benar-benar tidak habis pikir.
Apa bosnya ini memang punya selera humor yang rendah?
“C–Chef,” panggil Zara yang terdengar seperti sedang berbisik. Tentu saja dia sangat panik!
Namun, Kael hanya membalas Zara dengan semakin mengeratkan genggamannya.
“Kalau begitu, kami pamit.” Kael langsung melangkah keluar dari ruang tamu besar itu dengan perasaan sedikit kemenangan dalam hatinya.
Tentu saja langkah itu juga diikuti oleh Zara sebab tangannya masih digenggam erat oleh Kael. Namun, sebelum Zara benar-benar melangkah, sejenak dia membungkukkan badannya untuk memberi salam kepada keluarga Kael.
***
Meja makan di rumah Kael kini terasa begitu panas karena pikiran-pikiran yang terus berkelana. Tidak ada suara lain selain suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring.
“Chef,” panggil Zara akhirnya memecah keheningan.
Kael menoleh sejenak sambil mengangkat satu alisnya untuk menjawab panggilan Zara.
“Bagaimana saya bisa melahirkan bayi sembilan bulan lagi, sementara saya gak hamil, Chef?” kata Zara, matanya menelisik reaksi Kael.
Kael meletakkan sendok dan garpunya, mengangkat gelas dan meneguk airnya tanpa buru-buru. “Kamu bisa hamil palsu. Tutupi perutmu pakai bantal atau silikon.”
Zara terdiam sejenak, otaknya mulai berputar, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. "Tapi, saat melahirkan, bayi siapa yang akan kita tunjukkan nanti?"
Kael yang terbiasa mengendalikan segalanya, merasa sedikit terpaku. Zara yang selama ini dia anggap hanya mengikuti alur, ternyata bisa berpikir jauh ke depan, memikirkan risiko dan dampak jangka panjang.
Sesaat, Kael merasakan ada ketajaman dalam diri Zara yang jarang dia temui, dan meskipun dia cepat menepisnya, pemikiran itu tetap mengganggunya.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa hening dan penuh ketegangan, Kael meletakkan garpunya dengan tenang. Kael menatap Zara sekilas, matanya tajam dan penuh ketegasan, seolah mengukuhkan bahwa ini bukan sesuatu yang bisa berat.
"Kalau gitu, cukup bilang kamu keguguran dan kamu gak perlu melahirkan," jawab Kael datar, dengan nada yang tak memberi ruang untuk perdebatan.
Zara hampir tersedak mendengar pernyataan Kael.
“Keguguran?!” Suaranya penuh dengan campuran kaget dan tidak percaya. Matanya menatap Kael tajam, berharap dia sedang bercanda.
Namun, pria itu tetap terlihat tenang. Bahkan, dia kembali mengambil garpunya, melanjutkan makan seperti tidak ada yang terjadi.
“Iya, Zara. Kenapa?” jawab Kael singkat, tanpa sedikit pun mengangkat pandangannya.
Zara menelan ludah, berusaha mengendalikan emosinya. “Chef … tapi ini tidak semudah itu … ”
Kael berhenti, kali ini meletakkan garpunya lagi. Dia menatap Zara dengan sorot mata dingin, tajam seperti belati yang menusuk langsung ke pusat keraguan Zara.
Zara menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan gelisah yang terus berkecamuk ditambah dengan tatapan Kael yang begitu tajam kepadanya. Dia tahu, tidak ada gunanya membantah jika Kael sudah berbicara seperti itu. Namun, kekhawatirannya tidak bisa hilang begitu saja.
Suasana hening menggantung di antara mereka. Kael meletakkan garpu dan pisau makannya dengan gerakan pelan tapi penuh otoritas. Matanya yang tajam beralih ke arah Zara. Sekilas, ada sesuatu di tatapannya.
“Kalau kamu gak mau,” ucap Kael akhirnya, nada suaranya tetap datar, seolah dia sedang membahas menu makan malam. “Aku bisa membuatmu hamil.”
Zara membelalakkan matanya lebar-lebar.Dia tidak salah dengar, kan?“Tapi, Chef. Ini … ini nggak mungkin. Saya dan Chef …” Zara bingung sekaligus panik.Kael kembali menatapnya, kali ini sedikit lebih tajam, bibirnya membentuk garis tipis.“Kamu takut?” tanyanya datar, dengan nada yang hampir terdengar seperti ejekan.Ya, Zara takut. Bukan hanya karena situasinya yang tidak masuk akal, tetapi juga karena dia tahu dirinya tidak pernah siap untuk sesuatu seperti ini. Meskipun ini semua juga memberi keuntungan baginya, tetap saja Zara tidak bisa begitu saja memberikan dirinya. Harga dirinya bukan sesuatu yang bisa ditukar.Terlebih, jika dia memang sampai melahirkan keturunan keluarga konglomerat ini, itu berarti dia juga akan terlibat dengan semua urusan mereka, bukan?Zara menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Hubungan seperti itu antara dia dan Kael jelas mustahil. Kael adalah bosnya.Bahkan membayangkan hal itu saja membuat Zara merasa
Keesokan harinya. Zara berusaha bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk pergi kerja diam-diam, berharap tidak bertemu dengan Kael pagi itu. Setelah memastikan Kael tidak ada di sekitar, Zara menyelinap keluar dari rumah besar itu. Langkahnya terburu-buru, tapi terasa berat dengan perasaan campur aduk yang masih menghantuinya sejak tadi malam. Dia berjalan kaki menuju gerbang komplek perumahan, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Lelah mulai terasa di kakinya, tapi Zara lebih memilih ini daripada harus berpapasan dengan Kael. Ketika dia hampir sampai di gerbang, suara deru mobil terdengar mendekat. Zara menoleh dan mendapati mobil mewah Kael melintas. Dia menunduk sedikit, berharap Kael tidak melihatnya. Namun, yang ada malah tawa sumbang keluar dari bibirnya. ‘Sungguh lucu,’ pikir Zara, saat sang suami melaju ke tempat kerja dengan mobil mewah, sementara dia hanya bisa berjalan kaki ke depan komplek dan melanjutkan perjalanan dengan bus. Namun, menurutnya i
‘Andin, ngapain dia di sini?’ pikir Zara panik, wajahnya langsung memucat.Kalau sampai Zara ketahuan, jelas semua akan menjadi semakin runyam.“Lo … lo mau ke mana? Dan … itu supir? Sejak kapan lo begini?” tanyanya dengan nada tak percaya, ekspresinya campuran antara bingung dan penasaran. Otaknya bekerja cepat mencari alasan, tapi semakin Zara mencoba, semakin kosong pikirannya. Beberapa kali dia melihat sekeliling lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Zara terdiam sejenak, mencoba menjaga ekspresinya agar tetap tenang meski hatinya berdegup kencang. “Gue ikut shooting!” jawab Zara akhirnya, suaranya datar. “Shooting? Shooting apa?” Andin menyipitkan mata, penuh rasa ingin tahu. Zara mencoba tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya, meski tidak gatal. “Itu .. reality show! Mereka lagi butuh orang buat acara ... ehm, keluarga palsu.” Andin menatap Zara seperti dia baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. “Keluarga palsu? Reality show apaan itu?”
Zara yang sedang menunduk langsung terdiam, otaknya berputar cepat mencari jawaban. Jantungnya berdetak keras, tetapi dia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Berapa usia kandungan yang cukup masuk akal dengan keadaannya?! “Ti-tiga minggu, Nyo—eh, Ibu,” jawab Zara segera dengan terbata, berusaha memperbaiki panggilannya dengan cepat. Maharani hanya mengangguk pelan. Makan malam kembali dilanjutkan dalam suasana yang hening. Aryan yang terlihat masih kurang puas dengan situasi, akhirnya angkat bicara lagi, suaranya dingin dengan nada sindiran yang halus. “Kael, kalau Zara lebih suka bekerja daripada di rumah, mungkin itu karena dia merasa tidak cukup nyaman. Atau mungkin kamu terlalu sibuk dan tidak memberinya perhatian?” Aryan menatap Kael dengan senyum tipis, jelas menantang. Zara mencengkram ujung taplak meja di bawah tangannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Sementara itu, Kael hanya mengangkat pandangan dengan ekspresi tanpa emosi. "Dia nyaman,"
Suasana di dalam mobil terasa berat, meskipun tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Zara duduk di samping Kael di kursi belakang, menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian selama makan malam tadi.Kael di sampingnya, duduk tegak dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Dia hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak ada siapa pun di sebelahnya. Namun, aura dingin itu cukup membuat Zara semakin menutup diri, takut jika salah bicara akan menambah ketegangan.Mobil berhenti dengan mulus di depan rumah besar mereka. Supir keluar untuk membuka pintu, tapi Kael lebih dulu membuka pintunya sendiri. Zara menunduk sedikit sambil mengucapkan terima kasih pelan pada supir sebelum menyusul Kael masuk ke dalam.Begitu mereka melewati pintu utama, Zara melirik ke arah Kael.“Makasih, Chef,” ucapnya refleks, meskipun suaranya nyaris tak terdengar.Kael menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh padanya dengan tatapan dingin, seolah sedang memprotes ucapan Za
Rizal menatap Kael dengan bingung. “Tim gudang dan sous chef? Apa ada rencana lain, Chef?”Kael mengangguk singkat, ekspresinya tetap tanpa emosi. “Kita luncurkan Chef’s Special Menu untuk minggu ini.”Chef’s Special Menu berarti penyediaan menu makanan baru yang tidak ada dalam daftar menu sebelumnya. Strategi ini dipilih sebagai salah satu solusi cepat untuk menghadapi krisis pasokan bahan baku utama. Dengan strategi ini, bukan hanya bisa untuk menjaga operasional restoran tetap berjalan, tetapi juga memastikan citra The Velvet Spoon sebagai restoran berkualitas tinggi tidak goyah di mata pelanggan.Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran Kael. Rizal tergagap sejenak, lalu mengangguk cepat. Tentu Rizal tahu apa yang harus dia lakukan jika ada hal seperti ini. “B–Baik, Chef. Saya segera atur semuanya.”Kael melirik jam tangannya, lalu menambahkan, “Siapkan dalam 10 menit. Brief jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.”Rizal segera bergegas, langkahnya terdengar cepat di atas lantai d
Dengan gaun mewah berwarna merah yang membuat lekuk tubuh sempurna semakin terlihat indah, wanita itu melangkah masuk dengan aura anggun yang cukup tajam. Semua mata di sekitarnya seolah tertarik pada kehadirannya. Zara merasa detak jantungnya meningkat meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Kenapa Clara datang ke sini?! Clara berhenti di depan resepsionis, lalu dengan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian, dia berkata, "Saya ingin meja di tengah, tempat yang paling strategis." Resepsionis dengan sopan mengangguk, lalu menuntun Clara ke meja yang dia inginkan. Namun, sebelum resepsionis bisa memanggil pelayan, Clara mengangkat tangannya dengan anggun. "Tunggu." Clara memandang sekeliling, lalu matanya menangkap sosok Zara yang baru saja keluar dari dapur. Sebuah senyum kecil penuh arti muncul di wajahnya. "Aku ingin dilayani oleh dia," lanjutnya sambil menunjuk Zara. Zara yang mendengar itu langsung membeku di tempat. Dia berharap teli
Zara mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan tindakan Kael. Sementara Clara langsung membelalakkan matanya tidak terima. “Itu tidak perlu! Staf kamu ini jelas ceroboh. Kalau saja dia lebih berhati-hati, insiden ini tidak akan terjadi!" Clara mulai merasa panik. Selain tidak puas dengan jawaban Kael, kalau sampai rekaman CCTV itu terlihat jelas, sudah pasti akan menjadi boomerang untuk Clara. Zara mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, mencoba menahan amarah yang membakar dadanya. Suasana di restoran menjadi semakin menegangkan. Semua mata tertuju pada sosok Zara yang sedang merasa serba salah, juga Clara yang tampak sedang meminta keadilan. Jelas Kael tidak bisa membiarkan ini semua begitu saja. Reputasi restorannya akan dipertaruhkan jika memang Zara lalai dalam bekerja. “Kael, stafmu jelas lalai. Gak perlu cek CCTV segala!” seru Clara lagi. Dia tidak bisa begitu saja membiarkan Kael melihat rekaman CCTV. Namun, nyatanya Kael sama sekali tidak peduli dengan
Makasih banget karena udah setia nemenin cerita Kael dan Zara sampai sejauh ini. Rasanya campur aduk banget pas nulis bagian terakhir.Maaf ya kalau selama perjalanan cerita ini banyak kekurangan. Entah itu bagian yang bikin bingung, alur yang kadang muter-muter, atau tokohnya bikin gemas sendiri. Tapi semoga, di balik semua itu, ada bagian dari cerita ini yang bisa tinggal lebih lama di hati kamu.Makasih karena udah jadi bagian dari perjalanan ini. Dukungan dan komentarmu berarti banget.Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya ♡
“Perjodohan?” gumam Kael pelan.Lalu pria itu tersenyum tipis, tapi bukan karena setuju. Senyum itu lebih menyerupai kilas balik—mengingatkannya pada masa ketika dirinya dijodohkan oleh keluarganya, hanya untuk akhirnya mengguncang semuanya dengan pernyataan bahwa dia telah menghamili Zara.“Jangan harap, ya,” ucap Kael akhirnya, datar tapi tegas, dengan satu alis terangkat seperti memberi peringatan bahwa topik ini tidak untuk dibahas lebih jauh.Gala tertawa kecil, tapi tidak merasa tersinggung. “Kenapa? Coba kamu bayangkan, Kylar itu cucu pertama keluarga Ashwara, Zelena cucu pertama keluarga Wijaya. Kalau mereka menikah, kekuatan bisnis kita di masa depan—”“Kak Gala ngomong apa sih?” potong Zara, nadanya terdengar tidak senang, meski masih berusaha sopan. “Kylar dan Zelena itu masih anak-anak.”“Benar,” sambung Ceva, kali ini lebih tegas. “Mereka bahkan belum masuk SD. Masa depan bukan cuma tentang bisnis, Kak.”Gala mengangkat tangan, menyerah, lalu tersenyum kecil. “Oke, oke. A
“Huwaaaa!”Tangis Kylar pecah saat pipinya dicubit gemas oleh Zelena. Bocah perempuan itu terkekeh geli, tidak menyadari bahwa tangan mungilnya terlalu semangat bermain.“Lena, pelan-pelan, ya … Itu pipi Kylar, bukan squishy,” ujar Ceva sambil tersenyum geli, lalu menarik tangan putrinya pelan.Zelena memang selalu usil pada Kylar. Padahal usia Zelena lebih tua empat tahun, tapi kalau sedang bersama, mereka selalu saja bertengkar.Zara berjongkok di hadapan Kylar, mengelus pipi anaknya yang masih memerah dan cemberut.“Sudah, Sayang. Mami tahu sakit, ya? Tapi Kak Lena nggak sengaja. Yuk, kita bilang ke Kakak supaya cubitnya pelan-pelan lain kali,” ucap Zara lembut.Kylar mengangguk kecil, matanya masih berkaca-kaca, tapi bibirnya mulai membentuk senyum tipis. Senyum langka yang selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya.Wajahnya langsung bersinar ketika melihat Kael berjalan mendekat, membawa kue besar berhiaskan dinosaurus hijau toska di atas cokelat favoritnya.Har
"Apa maksudnya, ada yang salah?" tanya Kael cepat, nada suaranya meninggi, panik mulai merayap dari dalam dada.Suasana di ruang bersalin seketika berubah. Detak monitor terdengar semakin cepat, disusul suara langkah para perawat yang mulai bergerak panik. Salah satu dari mereka segera menyerahkan perlengkapan tambahan ke Gala, yang kini telah mengenakan masker dan sarung tangan lengkap."Denyut jantung bayinya menurun. Kita harus bertindak cepat sebelum oksigennya turun lebih jauh," jawab Gala cepat namun tetap tenang. "Aku akan lakukan tindakan darurat. Kael, kamu tetap di sini, jangan lepas tangannya."Kael menunduk, menggenggam tangan Zara lebih erat lagi, seakan ingin memindahkan semua kekuatannya pada wanita itu."Zara, dengar aku," bisik Kael di dekat telinga istrinya, suaranya bergetar. "Kamu harus kuat. Kamu dan bayi kita … kalian harus baik-baik saja. Kumohon ..."Zara membuka mata dengan susah payah, tatapannya sudah buram oleh rasa sakit yang menumpuk. Namun, dia melihat K
"Mas, perut aku sakit!"Suara Zara terdengar serak dan cemas saat dia berusaha membangunkan suaminya yang tengah terlelap. Napasnya berat, pelipisnya basah oleh keringat dingin.Kael terbangun dengan tergesa-gesa, matanya masih buram, dan napasnya terengah-engah saat tubuhnya bergerak cepat. Perasaan bingung langsung menguasainya, sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Kamu ... kamu kenapa?" tanya Kael, suara serak penuh kepanikan, masih setengah sadar akan apa yang sedang terjadi.Di hadapannya, Zara meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram perutnya yang sudah membuncit besar. Tatapannya bergetar, seolah menahan terjangan rasa sakit yang tak tertahankan.Perut itu, tempat di mana kehidupan kecil mereka tumbuh, kini tampak begitu tegang. Dan Kael baru tersadar, usia kandungan Zara memang sudah masuk minggu ke-37. Gala bahkan sudah bilang, kapan saja bayi mereka bisa lahir.Ini ... ini bukan sekadar sakit biasa. Ini saatnya.Kael sege
"Bu Anjana, saya mau bawa Zara pulang ke rumah," ucap Kael tegas, suaranya rendah namun mantap.Pria itu kini tengah duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, tubuhnya tegak, kedua tangan saling bertaut di depan tubuhnya, rahangnya mengeras. Kakinya bergerak kecil—menandakan kegelisahan yang berusaha dia tekan.Di hadapannya, Anjana duduk dengan sikap kaku. Wajah wanita paruh baya itu tampak dingin dan keras, sorot matanya menatap Kael tajam, penuh kewaspadaan. Sementara itu, Harun hanya mengamati dalam diam, sesekali melirik ke arah Kael dan cucunya tanpa banyak bicara.Keheningan menegang di antara mereka. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, menggema samar di ruangan luas itu."Pulang? Kamu pikir ini solusi terbaik? Zara baru saja mengalami kejadian berbahaya," seru Anjana akhirnya, nada suaranya penuh tekanan. "Aku hanya mau menjaga putriku!"Kael mengangguk perlahan, tetap menjaga sikap sopan meski hatinya bergejolak."Saya tahu, Bu. Saya tahu Ibu khawatir," sahut Kael, suaran
Gerakan mereka makin dalam, ritmenya semakin padat, menyatu dalam tempo yang memabukkan. Napas Zara tersendat, tubuhnya gemetar hebat setiap kali Kael menyentuh titik sensitifnya.Pria tahu kapan harus memperlambat, kapan harus menekan lebih dalam, kapan harus menatap mata Zara dan mencium air mata kecil yang turun begitu saja di pelipisnya.“Mas … aku… aku…” Zara nyaris tak bisa bicara. Tubuhnya menegang, dan Kael tahu wanitanya akan mencapai puncak.“Jangan ditahan …” bisik Kael di telinganya, mencium kulit di sana sambil tetap bergerak dalam irama yang konsisten. “Aku jaga kamu.”Zara menjerit pelan, tubuhnya melengkung dalam pelukan Kael, meledak dalam gelombang kenikmatan yang membuat seluruh dunianya runtuh hanya untuk dibangun kembali oleh pria itu. Dia menggigil, menangis dalam diam—bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak tertampung.Kael menyusul tak lama kemudian, satu desahan panjang keluar dari bibirnya. Pria itu menggigit pelan bahu Zara sambil menahan tubuhnya agar
Kael berdiri sebentar, menatap Zara seolah meminta izin sekali lagi, lalu membuka jasnya perlahan dan meletakkannya di kursi di samping ranjang.Zara menoleh, matanya mengikuti setiap gerakannya. Begitu Kael kembali mendekat, tangan wanita itu terulur, menariknya perlahan agar duduk lebih dekat lagi.Kael menyentuh rahang Zara dengan jari-jari yang hangat, membelai lembut seolah ingin mengingatkan dirinya tentang kelembutan itu.Lalu, bibir pria itu menyentuh bibir Zara, dengan ciuman yang penuh rasa—lembut, namun sarat dengan hasrat yang tak tertahankan. Ketika dia menarik diri sejenak, suaranya serak, penuh perhatian.“Jangan pergi lagi, ya ...” Kael menatap wajah wanitanya dengan sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Ada bara yang menyala pelan, tapi juga kelembutan yang membuat jantung Zara berdebar tak karuan.Zara menarik napas pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dia mengangguk. Tanpa kata, dia meraih kerah kemeja Kael dan menariknya turun dengan g
Kael menatap tangan Zara yang menggenggam ujung jasnya. Tangan mungil itu gemetar sedikit, entah karena gugup, atau karena masih menahan sakit.“Aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja,” ucap Zara pelan, nyaris seperti bisikan. “Biar aku nggak ngerasa sendirian.”Kael tak menjawab. Dia hanya menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu mengangguk sekali. Tanpa banyak kata, dia meraih gagang pintu dan membukanya.Ruangan itu sunyi. Hanya lampu tidur di sudut yang menyala redup, memantulkan bayangan hangat ke seluruh penjuru kamar.Zara berjalan lebih dulu, pelan-pelan sambil sesekali menarik napas karena rasa ngilu di kakinya. Kael berjalan tak jauh di belakang. Begitu Zara duduk di sisi ranjang, Kael ikut duduk di kursi seberangnya, seperti menjaga jarak."Duduknya jangan jauh-jauh, Mas," ucap Zara pelan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.Kael menarik napas panjang sebelum akhirnya berpindah ke samping Zara. Bahu mereka bersentuhan. Keheningan kembali turun, tapi kali ini