Mendengar itu, Zara mengerutkan dahinya, merasa terkejut sekaligus bingung. Dia tidak menyangka tantenya akan mengatakan hal itu. “Balas budi gimana maksudnya, Tante?”
“Sejak orang tuamu meninggal, om kamu yang membayar semua biaya kebutuhanmu, termasuk biaya pendidikanmu sampai sarjana.” Sarah menatap Zara dengan tajam. “Bulan depan Zio akan mulai masuk pendidikan dasar. Tante minta kamu bantu membayar uang sekolah Zio.”
Zara membelalakkan matanya. Sepertinya, sekarang dia tidak bisa lagi berdiam begitu saja seperti sebelumnya. “Tante, semua uang pendidikan itu dari tabunganku yang memang sudah disiapkan ayahku sejak lama. Selama kuliah, aku juga sambil bekerja untuk membayar uang kuliah.”
“Apa menurutmu, biaya hidupmu yang lain selama ini gratis?!” suara Sarah mulai sedikit meninggi dan lebih tajam. “Makanmu, air yang kamu pakai, pakaianmu sejak masih kecil, kamu pikir itu semua dari siapa?!”
“Tante, aku sudah memberikan lebih dari setengah gajiku untuk membantu keluarga Tante. Aku juga selalu membantu pekerjaan rumah, bahkan mengurus Zio. Makan pun aku lebih sering membeli di luar. Apa semua itu masih kurang?!” tanya Zara dengan berani, suaranya mulai terdengar sedikit meninggi. Setelah selama ini dia hanya diam dengan sikap Sarah yang selalu menuntutnya ini itu ketika tidak ada Riki, Zara benar-benar merasa tidak tahan lagi.
“Masih untung aku mau menerima kamu di rumahku, apa susahnya membayar balas budi?!” jawab Sarah dengan angkuh, matanya menusuk tajam ke arah Zara.
Kali ini, suara Zara terasa lebih rendah dan dalam, dia menatap tantenya lebih dalam lagi, seolah benar-benar kecewa dengan semua ini. “Kalau gitu, kenapa gak taruh aku di panti asuhan aja?”
“Dasar anak tidak tahu terima kasih!!” Amarah Sarah semakin terpancing. Dia akhirnya mengangkat tangannya dan bersiap untuk menampar wajah Zara.
Namun, belum sempat telapak tangan itu menyentuh kulit wajah Zara, justru pergelangan tangan itu lebih dulu dicengkeram oleh tangan besar Kael.
Kael ternyata memang telah mendengar semua obrolan mereka, dan ketika dia menoleh justru mendapati Sarah yang telah melayangkan tangannya untuk menampar Zara.
Sorot mata Kael tampak tajam, wajahnya memancarkan aura dingin yang begitu menusuk. “Jauhkan tanganmu dari istriku, atau aku sendiri yang akan membalasmu.”
Zara terpaku, kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Kael. Tidak mungkin pria sedingin Kael mau membelanya, ‘kan?!
Apa ini bagian dari sandiwara mereka?
Zara memanggil Kael pelan, “Chef … ”
Namun, Kael sama sekali tidak menoleh. Dia masih terus menatap Sarah penuh intimidasi, aura dingin dan mencekam benar-benar terpancar dari dirinya.
Zara melirik Sarah yang masih berdiri kaku dengan wajah bingung dan merah padam, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Kael melepaskan genggamannya perlahan, tetapi penuh ketegasan. Tatapannya tajam, dingin, dan menusuk, membuat Sarah secara refleks mundur selangkah.
Tanpa berkata apapun lagi, Kael berbalik menghadap Zara yang masih terpaku di tempat, kemudian berjalan memasuki mobil.
Zara menelan ludah, bergegas mengikuti langkah Kael menuju mobil. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia melirik ke arah Sarah. Tantenya masih berdiri kaku di tempat, menunduk dengan ekspresi yang penuh campuran emosi.
Zara yang masih sedikit bingung langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.
Sepanjang jalan, Zara terus menggigit bibirnya pelan, pikirannya berkecamuk dengan perasaan campur aduk
Kenapa Kael melindunginya? Meskipun Kael memang mendengar percakapannya dengan tantenya, bukankah mereka sepakat untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing?
“Kita ke mana, Chef?” tanya Zara akhirnya, setelah tersadar bahwa dia cukup asing dengan jalanan perumahan mewah ini.
“Ke rumahku,” jawab Kael tanpa memberi penjelasan lebih.
Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya scandinavian berwarna monokrom. Rumah itu tampak begitu luas dengan halaman yang terasa cukup.
Zara mengikuti langkah Kael yang lebih dulu masuk. Beberapa asisten rumah dengan cekatan membantu barang bawaan Zara, dan langsung meletakkannya di kamar tamu.
Begitu tiba di ruang tamu, Kael berhenti dan menatap Zara. “Jangan khawatir, kita akan tidur di kamar terpisah.”
Belum sempat Zara menjawab, Kael sudah kembali melangkah. Namun, Zara berhasil menahannya.
“Chef,” panggil Zara segera yang langsung menghentikan langkah Kael.
Pria itu menoleh dan kembali menatap Zara, tetapi tidak ada kata yang keluar darinya, hanya tampak satu alis yang terangkat.
“Soal omongan tunangan Chef tadi, gimana kalau ternyata dia beneran kasih tahu keluarga Chef?” kata Zara dengan keraguan, dia menundukkan kepalanya. “Terlebih, sekarang kita sudah menikah. Saya takut, Chef.”
Kael memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, lalu tersenyum tipis. “Justru karena kita sudah menikah, mereka tidak akan bisa berbuat banyak.”
Zara terdiam. Memang benar apa yang dikatakan Kael, tetapi tetap saja Zara masih merasa takut. Yang dihadapi bukan lagi keluarga om dan tantenya, tetapi keluarga besar yang punya banyak kuasa.
Zara menghela napas.
Mungkin, ini memang konsekuensi atas solusi cepat itu.
“Rapikan barangmu, setelah itu kita pergi ke rumah orang tuaku,” kata Kael lagi yang langsung membuyarkan lamunan Zara.
“Ba–baik, Chef,” jawab Zara lirih.
Sekarang, Zara tidak bisa melakukan apapun selain mengikuti alur. Setidaknya, masalah dia harus keluar dari rumah omnya sudah selesai. Meskipun kini dia harus kembali bersiap dengan masalah baru yang akan segera datang, setidaknya itu bukan berurusan dengan satu-satunya keluarga yang dia punya.
Zara menghela napas berat, kemudian melangkah menuju kamar yang telah disiapkan untuknya. Begitu masuk ke dalam kamar itu, pandangan Zara langsung menyapu setiap sudut kamar yang dua kali lebih besar dari kamarnya di rumah omnya. Zara melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 5 sore.
Hari ini benar-benar terlalu banyak kejadian bagi Zara.
Setelah membersihkan dirinya, Zara kembali keluar menuju ruang tengah. Di sana, Kael telah duduk di sofa dengan kaos polo berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam.
Pakaian santai yang dikenakan oleh Kael membuat Zara terdiam sejenak. Ini adalah kali pertama Zara melihat bosnya memakai pakaian santai. Kenapa rasanya terlihat lebih … tampan?
Tidak!
Zara buru-buru menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah mendekati Kael yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Chef,” panggil Zara pelan membuat Kael menoleh.
Setelah itu, Kael bangkit tanpa mengucapkan apapun dan langsung melangkah keluar rumah. Tentu saja Zara mengikutinya di belakang.
Kael melajukan mobilnya ke arah salah satu perumahan elit yang berada di tengah kota. Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari keduanya.
Tak lama, mobil berhenti di depan rumah mewah bergaya klasik dengan halaman luas yang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hias. Zara terus mengikuti langkah Kael dengan hati yang bergejolak. Tangannya bahkan terus meremas ujung bajunya hingga tampak sedikit kusut.
“Kael, apa maksudmu membatalkan perjodohan dengan keluarga Adinata?!”
Suara keras dari Aryan Ashwara, menusuk telinga Zara dan Kael begitu mereka memasuki ruang tamu rumah besar itu, seolah dia telah mengetahui semua permasalahan ini.
“Aku tidak akan pernah menikahi Clara.” Kael langsung menyodorkan akta pernikahannya kepada sang ayah. “Karena aku sudah menikah dengan pilihanku sendiri.”
Aryan melihat akta pernikahan yang diberikan oleh putra tunggalnya dengan tajam. “Apa kamu gila, Kael?!”
“Tolong berhenti membuat aku menjadi boneka bisnismu, Ayah,” kata Kael dengan sangat tegas seolah dia memang benar-benar telah lelah dengan permainan ayahnya.“Kael?” Maharani, ibu Kael, tidak menyangka bahwa Kael justru akan bertindak sejauh ini.Dalam situasi seperti ini, Zara benar-benar tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan hanya untuk melihat ujung baju orang-orang pun dia tidak berani. Dia merasa bahwa kehadirannya sepertinya benar-benar bisa membuat Kael dalam masalah dengan keluarganya.“Apa maksudmu? Aku hanya berusaha memberi kehidupan yang layak untukmu hingga tua nanti. Apa kamu ingin hidup sengsara karena salah melangkah?!” Aryan berdiri dan menatap Kael dengan tajam. Maharani yang ada di sebelah Aryan, berusaha terus menenangkan suaminya dengan beberapa kali menahan mengusap lengan pria itu.Selama ini, Aryan memang selalu mengatur tiap langkah hidup Kael, bermaksud untuk memberikan kehidupan yang makmur dan terjamin untuk Kael.“Selain karena keluarga Adinata adalah
Zara membelalakkan matanya lebar-lebar.Dia tidak salah dengar, kan?“Tapi, Chef. Ini … ini nggak mungkin. Saya dan Chef …” Zara bingung sekaligus panik.Kael kembali menatapnya, kali ini sedikit lebih tajam, bibirnya membentuk garis tipis.“Kamu takut?” tanyanya datar, dengan nada yang hampir terdengar seperti ejekan.Ya, Zara takut. Bukan hanya karena situasinya yang tidak masuk akal, tetapi juga karena dia tahu dirinya tidak pernah siap untuk sesuatu seperti ini. Meskipun ini semua juga memberi keuntungan baginya, tetap saja Zara tidak bisa begitu saja memberikan dirinya. Harga dirinya bukan sesuatu yang bisa ditukar.Terlebih, jika dia memang sampai melahirkan keturunan keluarga konglomerat ini, itu berarti dia juga akan terlibat dengan semua urusan mereka, bukan?Zara menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Hubungan seperti itu antara dia dan Kael jelas mustahil. Kael adalah bosnya.Bahkan membayangkan hal itu saja membuat Zara merasa
Keesokan harinya. Zara berusaha bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk pergi kerja diam-diam, berharap tidak bertemu dengan Kael pagi itu. Setelah memastikan Kael tidak ada di sekitar, Zara menyelinap keluar dari rumah besar itu. Langkahnya terburu-buru, tapi terasa berat dengan perasaan campur aduk yang masih menghantuinya sejak tadi malam. Dia berjalan kaki menuju gerbang komplek perumahan, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Lelah mulai terasa di kakinya, tapi Zara lebih memilih ini daripada harus berpapasan dengan Kael. Ketika dia hampir sampai di gerbang, suara deru mobil terdengar mendekat. Zara menoleh dan mendapati mobil mewah Kael melintas. Dia menunduk sedikit, berharap Kael tidak melihatnya. Namun, yang ada malah tawa sumbang keluar dari bibirnya. ‘Sungguh lucu,’ pikir Zara, saat sang suami melaju ke tempat kerja dengan mobil mewah, sementara dia hanya bisa berjalan kaki ke depan komplek dan melanjutkan perjalanan dengan bus. Namun, menurutnya i
‘Andin, ngapain dia di sini?’ pikir Zara panik, wajahnya langsung memucat.Kalau sampai Zara ketahuan, jelas semua akan menjadi semakin runyam.“Lo … lo mau ke mana? Dan … itu supir? Sejak kapan lo begini?” tanyanya dengan nada tak percaya, ekspresinya campuran antara bingung dan penasaran. Otaknya bekerja cepat mencari alasan, tapi semakin Zara mencoba, semakin kosong pikirannya. Beberapa kali dia melihat sekeliling lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Zara terdiam sejenak, mencoba menjaga ekspresinya agar tetap tenang meski hatinya berdegup kencang. “Gue ikut shooting!” jawab Zara akhirnya, suaranya datar. “Shooting? Shooting apa?” Andin menyipitkan mata, penuh rasa ingin tahu. Zara mencoba tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya, meski tidak gatal. “Itu .. reality show! Mereka lagi butuh orang buat acara ... ehm, keluarga palsu.” Andin menatap Zara seperti dia baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. “Keluarga palsu? Reality show apaan itu?”
Zara yang sedang menunduk langsung terdiam, otaknya berputar cepat mencari jawaban. Jantungnya berdetak keras, tetapi dia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Berapa usia kandungan yang cukup masuk akal dengan keadaannya?! “Ti-tiga minggu, Nyo—eh, Ibu,” jawab Zara segera dengan terbata, berusaha memperbaiki panggilannya dengan cepat. Maharani hanya mengangguk pelan. Makan malam kembali dilanjutkan dalam suasana yang hening. Aryan yang terlihat masih kurang puas dengan situasi, akhirnya angkat bicara lagi, suaranya dingin dengan nada sindiran yang halus. “Kael, kalau Zara lebih suka bekerja daripada di rumah, mungkin itu karena dia merasa tidak cukup nyaman. Atau mungkin kamu terlalu sibuk dan tidak memberinya perhatian?” Aryan menatap Kael dengan senyum tipis, jelas menantang. Zara mencengkram ujung taplak meja di bawah tangannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Sementara itu, Kael hanya mengangkat pandangan dengan ekspresi tanpa emosi. "Dia nyaman,"
Suasana di dalam mobil terasa berat, meskipun tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Zara duduk di samping Kael di kursi belakang, menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian selama makan malam tadi.Kael di sampingnya, duduk tegak dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Dia hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak ada siapa pun di sebelahnya. Namun, aura dingin itu cukup membuat Zara semakin menutup diri, takut jika salah bicara akan menambah ketegangan.Mobil berhenti dengan mulus di depan rumah besar mereka. Supir keluar untuk membuka pintu, tapi Kael lebih dulu membuka pintunya sendiri. Zara menunduk sedikit sambil mengucapkan terima kasih pelan pada supir sebelum menyusul Kael masuk ke dalam.Begitu mereka melewati pintu utama, Zara melirik ke arah Kael.“Makasih, Chef,” ucapnya refleks, meskipun suaranya nyaris tak terdengar.Kael menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh padanya dengan tatapan dingin, seolah sedang memprotes ucapan Za
Rizal menatap Kael dengan bingung. “Tim gudang dan sous chef? Apa ada rencana lain, Chef?”Kael mengangguk singkat, ekspresinya tetap tanpa emosi. “Kita luncurkan Chef’s Special Menu untuk minggu ini.”Chef’s Special Menu berarti penyediaan menu makanan baru yang tidak ada dalam daftar menu sebelumnya. Strategi ini dipilih sebagai salah satu solusi cepat untuk menghadapi krisis pasokan bahan baku utama. Dengan strategi ini, bukan hanya bisa untuk menjaga operasional restoran tetap berjalan, tetapi juga memastikan citra The Velvet Spoon sebagai restoran berkualitas tinggi tidak goyah di mata pelanggan.Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran Kael. Rizal tergagap sejenak, lalu mengangguk cepat. Tentu Rizal tahu apa yang harus dia lakukan jika ada hal seperti ini. “B–Baik, Chef. Saya segera atur semuanya.”Kael melirik jam tangannya, lalu menambahkan, “Siapkan dalam 10 menit. Brief jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.”Rizal segera bergegas, langkahnya terdengar cepat di atas lantai d
Dengan gaun mewah berwarna merah yang membuat lekuk tubuh sempurna semakin terlihat indah, wanita itu melangkah masuk dengan aura anggun yang cukup tajam. Semua mata di sekitarnya seolah tertarik pada kehadirannya. Zara merasa detak jantungnya meningkat meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Kenapa Clara datang ke sini?! Clara berhenti di depan resepsionis, lalu dengan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian, dia berkata, "Saya ingin meja di tengah, tempat yang paling strategis." Resepsionis dengan sopan mengangguk, lalu menuntun Clara ke meja yang dia inginkan. Namun, sebelum resepsionis bisa memanggil pelayan, Clara mengangkat tangannya dengan anggun. "Tunggu." Clara memandang sekeliling, lalu matanya menangkap sosok Zara yang baru saja keluar dari dapur. Sebuah senyum kecil penuh arti muncul di wajahnya. "Aku ingin dilayani oleh dia," lanjutnya sambil menunjuk Zara. Zara yang mendengar itu langsung membeku di tempat. Dia berharap teli
Makasih banget karena udah setia nemenin cerita Kael dan Zara sampai sejauh ini. Rasanya campur aduk banget pas nulis bagian terakhir.Maaf ya kalau selama perjalanan cerita ini banyak kekurangan. Entah itu bagian yang bikin bingung, alur yang kadang muter-muter, atau tokohnya bikin gemas sendiri. Tapi semoga, di balik semua itu, ada bagian dari cerita ini yang bisa tinggal lebih lama di hati kamu.Makasih karena udah jadi bagian dari perjalanan ini. Dukungan dan komentarmu berarti banget.Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya ♡
“Perjodohan?” gumam Kael pelan.Lalu pria itu tersenyum tipis, tapi bukan karena setuju. Senyum itu lebih menyerupai kilas balik—mengingatkannya pada masa ketika dirinya dijodohkan oleh keluarganya, hanya untuk akhirnya mengguncang semuanya dengan pernyataan bahwa dia telah menghamili Zara.“Jangan harap, ya,” ucap Kael akhirnya, datar tapi tegas, dengan satu alis terangkat seperti memberi peringatan bahwa topik ini tidak untuk dibahas lebih jauh.Gala tertawa kecil, tapi tidak merasa tersinggung. “Kenapa? Coba kamu bayangkan, Kylar itu cucu pertama keluarga Ashwara, Zelena cucu pertama keluarga Wijaya. Kalau mereka menikah, kekuatan bisnis kita di masa depan—”“Kak Gala ngomong apa sih?” potong Zara, nadanya terdengar tidak senang, meski masih berusaha sopan. “Kylar dan Zelena itu masih anak-anak.”“Benar,” sambung Ceva, kali ini lebih tegas. “Mereka bahkan belum masuk SD. Masa depan bukan cuma tentang bisnis, Kak.”Gala mengangkat tangan, menyerah, lalu tersenyum kecil. “Oke, oke. A
“Huwaaaa!”Tangis Kylar pecah saat pipinya dicubit gemas oleh Zelena. Bocah perempuan itu terkekeh geli, tidak menyadari bahwa tangan mungilnya terlalu semangat bermain.“Lena, pelan-pelan, ya … Itu pipi Kylar, bukan squishy,” ujar Ceva sambil tersenyum geli, lalu menarik tangan putrinya pelan.Zelena memang selalu usil pada Kylar. Padahal usia Zelena lebih tua empat tahun, tapi kalau sedang bersama, mereka selalu saja bertengkar.Zara berjongkok di hadapan Kylar, mengelus pipi anaknya yang masih memerah dan cemberut.“Sudah, Sayang. Mami tahu sakit, ya? Tapi Kak Lena nggak sengaja. Yuk, kita bilang ke Kakak supaya cubitnya pelan-pelan lain kali,” ucap Zara lembut.Kylar mengangguk kecil, matanya masih berkaca-kaca, tapi bibirnya mulai membentuk senyum tipis. Senyum langka yang selalu berhasil mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya.Wajahnya langsung bersinar ketika melihat Kael berjalan mendekat, membawa kue besar berhiaskan dinosaurus hijau toska di atas cokelat favoritnya.Har
"Apa maksudnya, ada yang salah?" tanya Kael cepat, nada suaranya meninggi, panik mulai merayap dari dalam dada.Suasana di ruang bersalin seketika berubah. Detak monitor terdengar semakin cepat, disusul suara langkah para perawat yang mulai bergerak panik. Salah satu dari mereka segera menyerahkan perlengkapan tambahan ke Gala, yang kini telah mengenakan masker dan sarung tangan lengkap."Denyut jantung bayinya menurun. Kita harus bertindak cepat sebelum oksigennya turun lebih jauh," jawab Gala cepat namun tetap tenang. "Aku akan lakukan tindakan darurat. Kael, kamu tetap di sini, jangan lepas tangannya."Kael menunduk, menggenggam tangan Zara lebih erat lagi, seakan ingin memindahkan semua kekuatannya pada wanita itu."Zara, dengar aku," bisik Kael di dekat telinga istrinya, suaranya bergetar. "Kamu harus kuat. Kamu dan bayi kita … kalian harus baik-baik saja. Kumohon ..."Zara membuka mata dengan susah payah, tatapannya sudah buram oleh rasa sakit yang menumpuk. Namun, dia melihat K
"Mas, perut aku sakit!"Suara Zara terdengar serak dan cemas saat dia berusaha membangunkan suaminya yang tengah terlelap. Napasnya berat, pelipisnya basah oleh keringat dingin.Kael terbangun dengan tergesa-gesa, matanya masih buram, dan napasnya terengah-engah saat tubuhnya bergerak cepat. Perasaan bingung langsung menguasainya, sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya."Kamu ... kamu kenapa?" tanya Kael, suara serak penuh kepanikan, masih setengah sadar akan apa yang sedang terjadi.Di hadapannya, Zara meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkeram perutnya yang sudah membuncit besar. Tatapannya bergetar, seolah menahan terjangan rasa sakit yang tak tertahankan.Perut itu, tempat di mana kehidupan kecil mereka tumbuh, kini tampak begitu tegang. Dan Kael baru tersadar, usia kandungan Zara memang sudah masuk minggu ke-37. Gala bahkan sudah bilang, kapan saja bayi mereka bisa lahir.Ini ... ini bukan sekadar sakit biasa. Ini saatnya.Kael sege
"Bu Anjana, saya mau bawa Zara pulang ke rumah," ucap Kael tegas, suaranya rendah namun mantap.Pria itu kini tengah duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, tubuhnya tegak, kedua tangan saling bertaut di depan tubuhnya, rahangnya mengeras. Kakinya bergerak kecil—menandakan kegelisahan yang berusaha dia tekan.Di hadapannya, Anjana duduk dengan sikap kaku. Wajah wanita paruh baya itu tampak dingin dan keras, sorot matanya menatap Kael tajam, penuh kewaspadaan. Sementara itu, Harun hanya mengamati dalam diam, sesekali melirik ke arah Kael dan cucunya tanpa banyak bicara.Keheningan menegang di antara mereka. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, menggema samar di ruangan luas itu."Pulang? Kamu pikir ini solusi terbaik? Zara baru saja mengalami kejadian berbahaya," seru Anjana akhirnya, nada suaranya penuh tekanan. "Aku hanya mau menjaga putriku!"Kael mengangguk perlahan, tetap menjaga sikap sopan meski hatinya bergejolak."Saya tahu, Bu. Saya tahu Ibu khawatir," sahut Kael, suaran
Gerakan mereka makin dalam, ritmenya semakin padat, menyatu dalam tempo yang memabukkan. Napas Zara tersendat, tubuhnya gemetar hebat setiap kali Kael menyentuh titik sensitifnya.Pria tahu kapan harus memperlambat, kapan harus menekan lebih dalam, kapan harus menatap mata Zara dan mencium air mata kecil yang turun begitu saja di pelipisnya.“Mas … aku… aku…” Zara nyaris tak bisa bicara. Tubuhnya menegang, dan Kael tahu wanitanya akan mencapai puncak.“Jangan ditahan …” bisik Kael di telinganya, mencium kulit di sana sambil tetap bergerak dalam irama yang konsisten. “Aku jaga kamu.”Zara menjerit pelan, tubuhnya melengkung dalam pelukan Kael, meledak dalam gelombang kenikmatan yang membuat seluruh dunianya runtuh hanya untuk dibangun kembali oleh pria itu. Dia menggigil, menangis dalam diam—bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak tertampung.Kael menyusul tak lama kemudian, satu desahan panjang keluar dari bibirnya. Pria itu menggigit pelan bahu Zara sambil menahan tubuhnya agar
Kael berdiri sebentar, menatap Zara seolah meminta izin sekali lagi, lalu membuka jasnya perlahan dan meletakkannya di kursi di samping ranjang.Zara menoleh, matanya mengikuti setiap gerakannya. Begitu Kael kembali mendekat, tangan wanita itu terulur, menariknya perlahan agar duduk lebih dekat lagi.Kael menyentuh rahang Zara dengan jari-jari yang hangat, membelai lembut seolah ingin mengingatkan dirinya tentang kelembutan itu.Lalu, bibir pria itu menyentuh bibir Zara, dengan ciuman yang penuh rasa—lembut, namun sarat dengan hasrat yang tak tertahankan. Ketika dia menarik diri sejenak, suaranya serak, penuh perhatian.“Jangan pergi lagi, ya ...” Kael menatap wajah wanitanya dengan sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Ada bara yang menyala pelan, tapi juga kelembutan yang membuat jantung Zara berdebar tak karuan.Zara menarik napas pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dia mengangguk. Tanpa kata, dia meraih kerah kemeja Kael dan menariknya turun dengan g
Kael menatap tangan Zara yang menggenggam ujung jasnya. Tangan mungil itu gemetar sedikit, entah karena gugup, atau karena masih menahan sakit.“Aku cuma butuh kamu di sini sebentar aja,” ucap Zara pelan, nyaris seperti bisikan. “Biar aku nggak ngerasa sendirian.”Kael tak menjawab. Dia hanya menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu mengangguk sekali. Tanpa banyak kata, dia meraih gagang pintu dan membukanya.Ruangan itu sunyi. Hanya lampu tidur di sudut yang menyala redup, memantulkan bayangan hangat ke seluruh penjuru kamar.Zara berjalan lebih dulu, pelan-pelan sambil sesekali menarik napas karena rasa ngilu di kakinya. Kael berjalan tak jauh di belakang. Begitu Zara duduk di sisi ranjang, Kael ikut duduk di kursi seberangnya, seperti menjaga jarak."Duduknya jangan jauh-jauh, Mas," ucap Zara pelan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.Kael menarik napas panjang sebelum akhirnya berpindah ke samping Zara. Bahu mereka bersentuhan. Keheningan kembali turun, tapi kali ini