Share

Daddy

“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.”

Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan.

Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana.

Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata.

Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy.

“Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi.

Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.

“Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian.

“Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian.

Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir.

“Daddy ….” Suara Jillian tercekat.

“Yang telepon tadi, dokternya daddy dari rumah sakit.” Jillian melanjutkan, nada suaranya bergetar dampak dari benaknya yang memutar skenario terburuk yang tengah terjadi dengan sang daddy.

“Jadi, kita ke rumah sakit?” Rangga memastikan sebelum menginjak pedal gasnya.

Jillian yang sudah duduk di samping Rangga lantas mengangguk.

“Ngebut ya, Ga.” Sorot mata Jillian tampak memohon meski suaranya terdengar lemah.

Rangga menganggukan kepala dan mulai fokus pada kemudi.

Kejadian ini juga sudah sering Rangga alami selama menjadi kekasih Jillian, apalagi setiap kali Jillian baru saja membuat onar.

Rangga akan mengantar Jillian ke rumah sakit lalu pergi setelah ia tidak dibutuhkan lagi karena orang-orang yang berada di sekitar Jillian tidak menyukainya termasuk Adolf Guzman.

“Dokter Agung bilang, daddy … enggak selamat.” Jillian bergumam tapi masih bisa Rangga dengar, ia pun menoleh.

Menarik tangan Jillian, Rangga membawanya untuk ia kecup dibagian telapak.

Awalnya Rangga kesal karena hasrat yang sudah berada di ubun-ubun tidak bisa ia tuntaskan, tapi mendengar pengakuan Jillian dan keadaan mental gadis itu yang terlihat kacau—Rangga justru menjadi iba.

Bertanya-tanya apakah benar Adolf Guzman semudah itu meninggal dunia?

“Tenang sayang, ada aku.”

Kalimat itu mampu membuat hati Jillian menghangat sekaligus tenang.

Ya, ia tahu Rangga akan selalu ada di sampingnya bahkan ketika sibuk pemotretan pria itu akan selalu menyempatkan untuk bertemu dan mencumbunya.

Rangga jarang absen menghubungi Jillian untuk memberi tahu apa kegiatan hari itu selain memperlakukan Jillian layaknya seorang putri.

Rangga adalah dunia Jillian selama satu tahun terakhir, meski tidak tinggal bersama tapi Jillian merasa Rangga akan selalu ada di setiap hembusan napasnya.

Perhatian Rangga yang begitu besar dan intens tidak ia dapatkan dari daddy yang selalu sibuk dengan pekerjaan.

Rangga tidak segan memuji jika Jillian terlihat cantik ketika bertemu dengannya atau ketika Jillian mendapat nilai bagus dalam ujian.

Rangga juga tidak pernah mengkritik sikap atau tingkah laku Jillian yang buruk, selalu memaklumi membuat Jillian merasa memiliki seseorang yang berpihak padanya di dunia ini.

“Kamu turun duluan, aku cari parkir.” Suara Rangga membawa Jillian kembali dari lamunannya tentang arti Rangga dalam hidupnya.

Bukan tentang Adolf Guzman-sang daddy yang keadaannya saat ini tidak Jillian ketahui dengan pasti.

Sejujurnya Jillian hanya menolak percaya jika dua kata ‘tidak selamat’ yang diucapkan dokter berarti daddynya telah tiada.

Ia sedang membohongi hati dan benaknya dengan mengalihkan fokus pada Rangga.

Sol sepatu Jillian menggema di sepanjang lorong rumah sakit, dalam sambungan teleponnya tadi dokter Agung meminta Jillian datang ke ruang ICU maka sekarang langkah kaki Jillian tertuju ke sana.

Kata-kata Jillian yang dengan sangat kasar terlontar dari bibirnya untuk Adolf Guzman tiba-tiba saja berkelebat di benak Jillian menghasilkan rasa sesak di dada dan matanya kembali meluncurkan banyak buliran kristal.

“No, Dad …Jillian enggak sungguh-sungguh berkata seperti itu … Jillian lagi marah, Jillian enggak ingin Daddy pergi.”

Jillian bergumam seiring langkah kakinya yang kian mendekat ruang ICU.

Di ruang tunggu, ia melihat Amira tengah menangis duduk di kursi.

Ada pak Ujang dan bu Salamah-yang mengurus rumah dan membantu merawat Jillian semenjak kepergian mommy— juga sedang menangis.

Yuda-pengacara keluarga Guzman yang Jillian panggil Om itu juga ada di sana sedang berbincang dengan dokter Agung bersama seorang pria entah siapa.

Jillian tidak mengenali pria yang bersama dokter Agung dan Yuda karena pria yang berperawakan tinggi dan pundaknya yang lebar juga memiliki punggung tegap itu sedang membelakanginya.

Jillian memelankan langkah melihat suasana ruang tunggu ICU yang mencekam oleh suara tangis kehilangan.

Hingga akhirnya langkah itu benar-benar berhenti karena semua orang menoleh pada Jillian termasuk pria jangkung yang memunggungi Jillian tadi.

Kenzo, pria itu menatap Jillian dengan tatapan tak terbaca tapi dari netra cokelatnya yang indah—Jillian seolah tahu jika hal buruk tengah terjadi.

“Jill.” Panggilan itu keluar dari bibir Yuda dan dokter Agung.

“Daddy mana?” Jillian bertanya tanpa berniat meneruskan langkahnya.

“Non Jiiil.” Bu Salamah histeris sambil berderai air mata.

Beliau hendak bangkit namun kakinya terasa lemas tidak mampu menopang tubuhnya yang gemuk sehingga kembali terduduk.

“Jill, begini … tadi daddy kamu dilarikan ke rumah sakit ….”

Yuda menjeda setelah langkahnya tiba di depan Jillian, menarik tangan gadis itu untuk mendekat ke depan pintu ruangan ICU di mana dokter Agung dan Kenzo masih berdiri di sana.

Jillian sekarang menatap dokter Agung, menuntut penjelasan.

Dokter Agung menelan saliva sebelum akhirnya bicara.

“Kondisi daddy kamu memburuk akhir-akhir ini dan tadi sore dia dibawa supirnya ke sini … kami sudah melakukan banyak penanganan tap—“

“Mana daddy? Aku mau ketemu daddy.” Jillian mendorong tubuh Kenzo dan dokter Agung yang menghalangi pintu ICU, bermaksud masuk ke dalam sana mencari Adolf Guzman.

“Jill!” seru dokter Agung menahan tubuh Jillian

“Daddy kamu enggak berhasil kami selamatkan, dia telah meninggal dunia pukul sembilan lewat tiga belas menit.”

Raut wajah dokter Agung tampak menyesal sekaligus iba untuk Jillian karena tahu sekarang Jillian sebatang kara.

Jillian menggelengkan kepalanya. “Enggak mungkin, Dok ….”

Bibir Jillian dengan mata menatap nyalang dokter Agung, Jillian tidak percaya.

“Tadi Tante hubungin kamu waktu daddy kamu kritis tapi enggak kamu angkat, kenapa?”

Amira sudah beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Jillian.

“Dia memanggil nama kamu Jill, Tante ada di sampingnya waktu beliau menghembuskan napas terakhir.”

Air mata Jillian jatuh lebih banyak lagi, jantungnya sakit seolah ada tangan besar tak kasat mata meremat kuat.

“Daddy ….” Jillian melirih, kembali membalikkan badan untuk masuk ke dalam ruang ICU.

Namun, satu tangan kekar melingkari pinggang di bagian depan menahan tubuh Jillian.

“Lepas, Jill mau ketemu daddy!” Jillian berseru berusaha melepaskan tangan itu.

Tapi Kenzo malah menarik tubuh Jillian hingga punggung sang gadis membentur dadanya yang bidang.

“Tunggu di sini, nanti almarhum akan keluar … biarkan perawat menyelesaikan tugasnya dulu,” bisik Kenzo di sisi wajah Jillian.

Mendengar kata almarhum keluar dari mulut Kenzo membuat isak tangis Jillian berubah menjadi raungan pilu.

“Aku mau ketemu daddy.”

Jillian meronta sampai Kenzo harus mengungkung Jillian dengan satu tangannya lagi agar Jillian tidak masuk ke dalam ruang ICU.

Detik berikutnya pintu ruang ICU terbuka lebar, sebuah ranjang beroda di dorong oleh dua perawat pria dari dalam.

Jillian berhenti meronta, tubuh gadis itu menegang melihat sesuatu di depannya.

Di atas ranjang beroda terdapat sosok yang ditutupi kain di sekujur tubuhnya.

“Almarhum pak Adolf Guzman akan kami mandikan sebelum dipulangkan ke rumah duka,” seorang perawat berujar.

Dari sana Jillian tahu jika yang berada di atas ranjang beroda itu adalah daddynya.

Daddy yang sering mendapat keketusan dan bentakan darinya.

Daddy yang selalu tersenyum dan membawanya bercanda meski Jillian menunjukkan tampang masam tidak bersahabat.

Daddy yang selalu mengikuti semua keinginannya meski jarang ada sosoknya.

Daddy yang selalu mampu menyelesaikan masalahnya.

Dan Daddy yang baru tadi sore ia usir dari kehidupannya untuk bertemu mommy di surga.

“Daddyyyyyy!”

Tangis Jillian kembali pecah, Jillian membuka kasar kain penutup di wajah daddy lalu memeluk beliau.

Menumpahkan tangis di dada daddy lalu mengecup setiap jengkal wajahnya.

“Dad, jangan tinggalin Jill … Jill janji akan jadi anak baik, bangun Dad ... Jill enggak punya siapa-siapa lagi selain Daddy, please Dad … bangun … Jill akan jadi anak baik, Jill janji … jangan tinggalin Jill, Dad … Heu … Heu ….”

Tangis pilu mengudara menarik atensi dan merenggut perasaan semua orang yang ada di sana untuk larut bersama Jillian.

“Daaaad, bangun … Jillian mohon bangun, maafin Jill.”

Sebanyak apapun permohonan maaf Jillian tidak akan mendapat jawaban Adolf Guzman.

Wajah daddynya tampak tenang seolah tertidur pulas dengan bibir sedikit tersenyum.

Adolf Guzman pergi untuk memenuhi keinginan Jillian agar beliau menyusul sang istri tercinta di surga.

Beliau tidak ingin membuat putrinya susah seperti apa yang dikatakan Jillian saat di pelataran parkir sekolah Jillian—tempat terakhir kalinya mereka bertemu.

Dan Jillian telah menyadari itu semenjak mendengar pernyataan dokter Agung ketika masih berada di apartemen Rangga.

Segudang sesal dan rasa bersalah yang menghantamnya membuat Jillian hancur berkeping-keping.

Kaki Jillian sudah tidak bisa lagi dipaksakan menopang tubuh.

Kesadarannya tertarik oleh rasa sedih yang mendalam hingga tubuh Jillian melorot ke bawah.

Sebelum akhirnya semua gelap, Jillian masih mendengar suara Rangga yang panik memanggil namanya.

Jillian akhirnya pingsan dalam pelukan sang kekasih.

***

Rangga mengecek terus arloji hadiah ulang tahun dari Jillian yang melingkar di lengannya.

Sudah hampir lewat dini hari dan ia masih di kamar Jillian menemani gadisnya yang belum siuman setelah pingsan di rumah sakit tadi.

Rangga ada pemotretan catching sunrise pagi ini dan ia harus berada di TKP beberapa jam sebelum matahari terbit.

Di luar, semua orang sibuk membenahi rumah untuk tamu yang akan melayat sekaligus mempersiapkan pemakaman Adolf Guzman.

Rangga bisa melihat dari jendela kamar Jillian, banyak mobil terparkir dan beberapa pekerja memasang tenda.

Tidak heran, Adolf Guzman adalah pengusaha sukses Negri ini dengan kerajaan bisnisnya yang tersebar di seluruh Negri.

Pasti memiliki banyak kenalan, rekanan dan kerabat yang akan mengantar kepergiannya.

Ceklek.

Suara pintu yang terbuka membuat Rangga menoleh, seorang wanita paruh baya masuk dengan tampang tidak ramah.

Rangga sudah imun, semua orang di sekitar Jillian memang tidak menyukainya kecuali tiga sahabat Jillian; Izora, Callista dan Kirana.

Bu Salamah berjalan mendekati ranjang Jillian tanpa menghiraukan keberadaan Rangga.

Di tangannya terdapat nampan berisi satu gelas air yang masih mengepul.

Beliau menyimpannya di atas nakas samping tempat tidur, mengusap kepala Jillian penuh sayang, terlihat di matanya yang bengkak.

Setelah itu Bu Salamah pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Rangga mendengkus sebal, dirinya yang berstatus hanya orang biasa dengan pekerjaan tidak keren selalu dianggap rendah juga remeh oleh banyak orang.

Keberadaannya di samping Jillian kerap kali disangsikan, dianggap hanya menginginkan materi dari Jillian.

Mereka salah, Rangga menginginkan tubuh Jillian selain memang menyayangi gadis itu.

Untuk urusan materi, Jillian yang bersedia memberikan—Rangga tidak pernah memaksa.

Detik jam terus berputar, ia tidak bisa tinggal di sini terus karena terikat kontrak oleh salah satu brand kosmetik ternama.

“Sayang,” panggil Rangga seraya duduk di sisi tempat tidur.

“Aku pergi sebentar … nanti setelah pemotretan aku balik lagi …..”

Tidak ada jawaban dari Jillian yang masih belum bergerak dari posisinya dengan mata terpejam erat.

Rangga beranjak, ia merogoh ponselnya dari saku celana.

Mengirim pesan kepada Jillian agar ketika bangun nanti dan Jillian mencari—gadis itu tau alasannya pergi.

Rangga yakin Jillian akan mengerti dan ia berjanji mengganti waktu pagi ini dengan seharian bersama Jillian setelah pemakaman Adolf Guzman.

Setelah memastikan pesannya sampai di ponsel Jillian, Rangga keluar dari kamar Jillian.

Ia tidak perlu berbasa-basi dengan siapapun toh tidak ada yang menyukai dan mengenalnya.

“Kamu mau pergi?” Suara bariton seorang pria menghentikan langkah Rangga.

Menoleh dan mendapati sosok pria yang tadi ia temui di rumah sakit sedang berdiri di antara ruang makan dan ruang televisi.

Rangga terkejut, ia baru melihat pria itu dan sepertinya tidak mengetahui jika ia dibenci orang-orang terdekat Jillian sehingga dengan santai mau menyapanya.

“Iya, ada pemotretan pagi ini tapi setelah setelah selesai balik lagi.”

Semestinya Rangga pergi tapi malah berdiri menunggu tanggapan pria jangkung dengan wajah tampan—Rangga berpikir andaikan pria itu adalah seorang model pasti akan bagus tertangkap oleh lensa kamera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status