Sosok berhelm itu menoleh. Pada seorang gadis cantik berwajah Arab yang baru saja memukulinya. Kelengahan sosok itu memberi kesempatan pada si Preman untuk kabur. Namun ternyata sosok itu membiarkannya. Karena ia telah mengetahui siapa biang dari kejadian ini. Tanpa mempedulikan teriakan gadis berwajah Arab yang tak lain adalah Fathimah itu, petarung handal itu membuka sarung tangan kulitnya yang telah kotor dengan noda darah. Balok kayu yang juga menjadi senjatanya dibuangnya ke sembarang arah. Lalu melepaskan helm yang menutupi kepala. "Dokter Andra?" seru Fathimah saat melihat wajah tampan di balik helm itu. Sosok itu menoleh tanpa ekspresi. "Bukan," jawabnya datar. Lalu melangkah untuk kembali masuk ke toko. Fathimah mengernyit. Bukan Dokter Andra? Suaranya memang berbeda. Dan jika diperhatikan wajahnya juga tak terlalu sama. Jiwa 'kepo' Fathimah langsung bangkit. Dengan gesit ia menghadang laki-laki berpakaian serba hitam yang sebenarnya adalah Alex."Hei, tunggu dulu. K
Bab 19Mobil merah itu terus melaju. Membelah jalanan kota yang kala malam begitu semarak. Dinda duduk di samping bangku kemudi tanpa bicara. Bersama wanita yang mencintai suaminya tentu bukan sebuah pilihan. Namun ia harus bersabar demi sampai ke rumah dan menemani sang suami makan malam. Sepuluh menit berkendara, mobil merah Siska tiba-tiba berbelok ke persimpangan yang bukan menuju arah komplek rumah Andra. Dinda langsung menoleh. "Ini bukan arah pulang, Mbak," protesnya. "Mbak! Mbak! Gue bukan kakak Lo!" ketusnya. "Gue ada perlu bentar," Siska menepikan mobilnya tepat di hadapan sebuah klub malam bernama Vanilla Sky. Dinda hanya bisa menelan salivanya. Rasanya ia telah terlanjur naik ke mobil itu. Siska kemudian keluar dari mobil dan menutup pintunya kasar."Keluar Lo, kalo nggak gue kunci di dalam mobil!" teriaknya.Dinda merapatkan giginya dan ikut keluar. Ia lebih baik mencari tumpangan lain daripada dibentak-bentak seperti ini."Heh! Mau kemana?!" bentak Siska lagi saat m
Tiga puluh menit telah berlalu setelah Dinda di dorong dengan kasar ke dalam kamar. Dan sekarang, kamar itu telah porak-poranda. Sementara kelima laki-laki berhidung belang itu telah terkapar dengan tubuh babak belur. "Kamu nggak apa-apa?" Sebuah tangan terulur di hadapan Dinda. Tangan yang pernah terulur untuk membantunya keluar dari kezaliman bibirnya sendiri. Tangan dengan lengan bertatto daun Semanggi. "Dokter ...," lirih Dinda dengan mata yang berkaca-kaca. Setengah jam yang lalu, laki-laki itu datang tepat di saat pintu kamar itu ditutup. Suara dobrakan pintu membuatnya dan juga kelima laki-laki itu terkejut. Lalu tanpa ampun sang dokter menerjang mereka. Pertarungan terjadi cukup sengit. Sendirian menghadapi lima orang lawan cukup membuat Andra kewalahan. Bahkan ia sempat dihantam dengan keras pada kepala, yang membuatnya pusing beberapa saat dan menjadi bulan-bulanan mereka. Dinda panik setengah mati. Dengan mata nyalang ia mencari sesuatu untuk senjata memukul mereka.
Dinda tersentak. Andra mencengkeram lengannya dengan sangat kencang. Dalam keremangan cahaya lampu, Dinda bisa melihat raut wajah tampan itu tampak begitu dingin dan mengancam. Gadis itu terpaku sesaat. Andra tampak menakutkan dengan ekspresi seperti itu. Begitu tersadar, Dinda meringis merasakan sakit di lengannya. "Aw, sakit," lirihnya. Andra langsung melepaskan cengkeramannya. Ekspresinya pun langsung berubah. "Dinda?" tanyanya. "I-iya. Maafkan saya, masuk dan mengobati Dokter tanpa izin," ucapnya takut.Andra bangkit dan menghela napas. "Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena menyakitimu."Dinda mengangguk. "Apa ... kamu udah selesai mengobatinya?" "Belum," Dinda menggeleng."Kalo begitu, aku minta tolong diteruskan, ya? Aku tidak bisa mengobatinya sendiri." Dinda mengangguk kikuk. Dan pipinya langsung memerah saat melihat Andra membuka baju hingga terlihat badannya yang tegap dan dadanya yang bidang. Ah ... Dinda tak sanggup lagi meneruskan tatapannya pada perut sang
"Astaghfirullah. Dokter, ini tangan Dokter kenapa?"Andra langsung melihat lengannya. Raut paniknya seketika muncul kembali. "I-ini ... tergores garpu," jawabnya gugup. Dinda mengernyit. "Garpu?""Iya, garpunya tadi .... sulit menjelaskannya. Pokoknya tidak sengaja jadi tergores."Dinda tak lagi mempertanyakan "Sebentar, saya ambilkan obat.Begitu Dinda pergi, Andra langsung mengunci kembali pintu kamar itu. Lalu beranjak mengikuti gadis itu. "Kita tidak jauh dari kotak obat dari semalam," senyumnya saat Dinda mengoleskan obat merah pada luka di lengannya. Dinda ikut tersenyum. "Semoga ini yang terakhir," doanya."Itu tak mungkin. Hidup ini tidak akan pernah membiarkan kita tenang. Tanpa menyakiti baik fisik maupun psikis.""Tidak begitu juga. Masih banyak tawa yang hadir dalam hidup. Masih banyak yang mampu menyenangkan hati kalau kita tidak menutup diri dengan kesedihan. Saya pernah baca dari buku sebuah kalimat yang sangat menginspirasi. Dokter mau dengar?"Andra mengangguk. Mat
"Tato?" Dinda mengernyit. Tato Daun Semanggi di lengan Andra langsung terbayang di matanya. Gadis itu cepat-cepat menghilangkan bayangannya. Sepertinya kini pikirannya penuh dengan sang dokter. Mendengar kata Rumah Sakit pun membuatnya langsung terbayang wajah laki-laki itu."Ya, tapi Siswi SMA itu tak tau tatonya seperti apa karena dilihat sekilas. Pun, saat ketakutan," jawab Reza. Sesaat kemudian, semua terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Makanya Dinda, Tante ingin kamu ada yang jaga. Tante nggak tenang karena paman kamu itu nggak ada pedulinya sama sekali," risau Sarah kemudian. "Tante nggak usah khawatir. Dinda insyaallah bisa jaga diri," Dinda tersenyum meyakinkan."Biar Reza aja yang jaga. Kalian lebih baik ...." "Ma, biar Reza aja," sela Reza. Sarah mengangguk dan tersenyum. Sementara Dinda tak mengerti apa maksud ibu dan anak itu."Kamu mau balik sekarang, Din?" tanya Reza padanya. Dinda mengangguk. Daripada bayangan sang dokter yang terus terpikir, lebih b
"Dokter udah pulang? Duh, maaf saya terlambat," Dinda langsung panik. Melepaskan sepatu dan tasnya seperti anak sekolahan yang terlambat datang. Andra menatapnya lama dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak apa maknanya. Membuat Dinda berdiri canggung dan sedikit gugup. Apa sang dokter melihatnya pulang dengan Reza? Mungkin dia memang tak cemburu, tapi melihat istri pulang dengan laki-laki lain tentu tak menyenangkan. Dinda menelan salivanya, Dokter Andra pasti akan marah. Andra bangkit dari sofa masih dengan ekspresi yang sama. Kemudian melangkah mendekati. "Kamu memang hebat," ujarnya. Dinda terpaku. Apa maksudnya dengan hebat? Gadis itu kembali meneguk salivanya. Apa sang dokter sedang menyindirnya karena ia pulang dengan seorang pria? "Mak-maksudnya?" Dinda tergagap. "Bagaimana bisa kamu sembuh secepat ini? Maksudku jiwamu," Andra menelitinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Lalu berakhir di kedua matanya. Menatap dalam, seolah sedang menyelami isi pikiran dan isi
Dinda tersentak dari tidurnya. Ia baru saja mendengar suara erangan yang keras. Suara itu berasal dari luar kamar. Namun setelah beberapa saat terjaga, ia tak lagi mendengar suara apapun. Tapi ia yakin yang membuatnya terkejut adalah suara erangan seseorang. Bulu kuduknya terasa meremang. Bukan karena ia takut. Tapi suara erangan itu cukup menyayat. Seperti orang yang sedang kesakitan. Dinda duduk diam sejenak. Mempertajam pendengarannya dalam suasana hening di tengah malam itu. "Argh!" Suara itu terdengar lagi. Itu seperti suara Dokter Andra!Dinda segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu berlari keluar. Ia langsung menuju ke kamar sang dokter. Dan membuka pintunya. Pintu itu terkunci. Dinda merapatkan telinganya di daun pintu. Dan kembali mendengar suara erangan. Gadis itu seketika tegang. Apa laki-laki itu sedang kesakitan di dalam sana?Otaknya langsung mencari cara untuk masuk. Dan untungnya kemudian ia teringat pada serangkaian kuncinya yang diserahkan Andra padanya. M