Ibu Pov
*****************"Ibu, Lila mohon ampun, Bu. Ampuni Lila, Lila sudah buat keluarga malu, Lila sudah buat Ibu kecewa. Ampuni Lila, Bu." Kalila meluruh ke lantai. Tangannya memeluk kedua kakiku erat. Tangisnya menggema memenuhi seluruh ruang bersalin.Tak kuasa mendengar raungan Kalila, aku pun berjongkok. Jemariku berusaha melepaskan tangan Kalila yang melingkari kakiku."Bangun, Nak. Ibu doakan persalinanmu lancar. Semoga anak ini segera lahir," ucapku seraya membantu Kalila berdiri. Luruh sudah segala bentuk amarah dan kekecewaanku pada putri sulungku itu. Menyaksikan betapa sulitnya ia saat ini, sungguh aku tak sanggup untuk memberondongnya dengan berbagai tanya yang terus bercokol dalam benakku.Suster yang sejak tadi menemani Kalila pun tak tinggal diam. Dia begitu cekatan membaringkan Kalila ke atas brangkar. Setelah itu, ia membiarkanku mengambil alih pekerjaannya mengusap punggung Kalila.Sementara itu, suamiku hanya melihat interaksi kami dari balik tirai pemisah setiap bilik. Aku tahu dia sangat kecewa. Karena itu, kubiarkan ia berdiri di sana. Aku tak ingin memaksanya untuk menemui Kalila."Suster, sudah berapa lama kontraksinya?" tanyaku pada perawat tadi."Kata Bu Kalila dari semalam sudah mules. Cuma Bu Kalila baru datang ke sini tadi pagi," jawab suster tadi.Kuhitung-hitung, itu berarti hampir sehari semalam Kalila merasakan kontraksi. Ya Allah, tak terbayang bagaimana rasanya menjadi dirinya. Menahan sakit sendirian tanpa ada siapapun di dekatnya. Bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa sampai di rumah sakit.Karena, sebelumnya Ima hanya mengatakan bahwa Kalila sudah di rumah sakit. Dan secara terang-terangan Ima sama sekali tak ingin memedulikan Kalila. Ia terlalu malu untuk menghadapi keluarga suaminya kelak.**********Waktu terus bergulir, hingga akhirnya Kalila berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Selama proses itu pula, aku setia mendampinginya. Karena kalau bukan aku, siapa lagi?Entah perasaan apa yang bergejolak dalam hatiku ketika melihat bayi tak berdosa itu lahir. Bayi itu menangis sangat kencang, menandakan betapa sehatnya ia saat matanya memandang dunia ini.Para perawat membersihkannya dengan telaten, hingga nampaklah helaian rambutnya yang masih tipis dan kulitnya yang begitu merah. Bayi itu kemudian diletakkan di dada Kalila. Mulut mungilnya terkatup-katup seiring dengan kepalanya yang bergerak ke kanan dan ka kiri seperti sedang mencari sesuatu. "Bu, silahkan dipanggil suaminya Bu Kalila, untuk mengadzani bayinya," ujar dokter yang menangani persalinan Kalila.Suami? Aku bahkan tak pernah tahu kalau Kalila punya pacar ataupun dekat dengan seorang pria. Jangankan punya suami, Kalila hamil pun aku baru tahu hari ini."Suami saya sudah meninggal, Dok." Kalila menjawab dengan Lirih, seraya memalingkan wajah.Aku tidak tahu apa maksud dari pernyataan Kalila. Ingin bertanya pun keadaan sangat tidak memungkinkan. "Oh, maaf. Sepertinya saya kurang teliti membaca data pasien," ucap dokter itu seperti tak enak hati. Kemudian ia menoleh padaku, "Bagaimana, Bu, apakah ada dari pihak keluarga yang akan mengadzani bayinya?" "Iya, tunggu sebentar saya panggil ayahnya Kalila." Dokter pun mengangguk.Raut muka Kalila nampak terkejut. Mungkin ia tak menyangka kalau aku datang bersama ayahnya. Karena sejak tiba di rumah sakit, mereka sama sekali tak saling bertemu. Dan aku pun tak memberitahukannya.Segera kuayunkan langkah mencari keberadaan suamiku. Di deretan bangku yang ada di ruang tunggu, pandanganku menangkap sosok yang kucari. Suamiku duduk bersama keluarga pasien yang lain. Di hadapannya koper yang kami bawa dari rumah, ia genggam seolah takut seseorang merampasnya. Sesekali ia terlihat bertegur sapa dengan orang di sebelahnya."Yah, bayi Kalila sudah lahir." Suamiku tersentak saat tiba-tiba aku sudah berada di dekatnya. "Sekarang menunggu diadzani," kataku lagi.Suamiku hanya menatapku datar tanpa ekspresi. Sedangkan lelaki di sebelahnya memasang wajah bingungnya. Entah apa yang ia pikirkan.Tanpa berkata apa-apa, suamiku segera berdiri dan mengikuti langkahku. Aku pun tak berniat untuk bicara lebih. Aku sangat memahami segala rasa kecewanya terhadap Kalila. Karena, tentunya aku pun tak jauh berbeda darinya. Hanya saja saat ini, bukan waktu yang tepat untuk mengedepankan ego dan harga diri.Bayi merah itu, sudah dalam keadaan bersih. Seorang suster merawat bayi itu dengan sangat baik. Yang lainnya bertugas mengurus sang ibu yang akan segera di pindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan."Karena Bu Kalila melahirkan secara normal, maka besok pagi sudah diperbolehkan pulang," kata dokter, sambil melepas sarung tangan berbahan latex yang melindungi jari jemarinya."Iya, Dok, terima kasih," balasku.Setelah dokter keluar, terdengarlah suara suamiku mengumandangkan Adzan di telinga bayi yang membuat kami menjadi Kakek dan Nenek dadakan.Setitik bening lolos begitu saja dari sudut kelopak mataku. Berjuta rasa berbaur jadi satu. Antara kecewa, sedih, haru, dan entah apa lagi. Sulit menggambarkan tentang keadaan yang saat ini menimpa pada keluargaku.Bayi mungil tak berdosa. Terlahir tanpa ayah dan di luar ikatan pernikahan. Suatu saat kelak, apa yang harus kami jawab apabila ia mempertanyakan kenyataan tentang dirinya.Setelah dipindahkan ke ruang pemulihan, cepat-cepat kubereskan barang bawaan Kalila. Memisahkan antara yang kotor dan yang bersih. Tak lupa pula kusuapi putriku dengan makanan yang disediakan pihak rumah sakit. Kalila makan dengan sangat lahap. Membuat yakin bahwa selama kontraksi, ia pasti tidak ada apapun yang masuk ke perutnya."Mau lagi?" tanyaku, sembari mengelap bibirnya dengan tissue."Ada lagi?" Kalila menatapku penuh harap."Biar nanti Ibu turun beli roti di minimarket," kataku. Yang dibalas anggukan oleh Kalila.Namun, ketika aku hendak keluar mencari makanan, suamiku masuk ke dalam kamar rawat Kalila. Dengan mata yang semerah saga, ia berjalan menghampiri anak perempuannya."Katakan, siapa ayah dari bayimu?"___________________________________BersambungResepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben
Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak
Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,
Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun
Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber
"Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But