Share

Bab Tiga

Ibu Pov

*****************

"Ibu, Lila mohon ampun, Bu. Ampuni Lila, Lila sudah buat keluarga malu, Lila sudah buat Ibu kecewa. Ampuni Lila, Bu." Kalila meluruh ke lantai. Tangannya memeluk kedua kakiku erat. Tangisnya menggema memenuhi seluruh ruang bersalin.

Tak kuasa mendengar raungan Kalila, aku pun berjongkok. Jemariku berusaha melepaskan tangan Kalila yang melingkari kakiku.

"Bangun, Nak. Ibu doakan persalinanmu lancar. Semoga anak ini segera lahir," ucapku seraya membantu Kalila berdiri. 

Luruh sudah segala bentuk amarah dan kekecewaanku pada putri sulungku itu. Menyaksikan betapa sulitnya ia saat ini, sungguh aku tak sanggup untuk memberondongnya dengan berbagai tanya yang terus bercokol dalam benakku.

Suster yang sejak tadi menemani Kalila pun tak tinggal diam. Dia begitu cekatan membaringkan Kalila ke atas brangkar. Setelah itu, ia membiarkanku mengambil alih pekerjaannya mengusap punggung Kalila.

Sementara itu, suamiku hanya melihat interaksi kami dari balik tirai pemisah setiap bilik. Aku tahu dia sangat kecewa. Karena itu, kubiarkan ia berdiri di sana. Aku tak ingin memaksanya untuk menemui Kalila.

"Suster, sudah berapa lama kontraksinya?" tanyaku pada perawat tadi.

"Kata Bu Kalila dari semalam sudah mules. Cuma Bu Kalila baru datang ke sini tadi pagi," jawab suster tadi.

Kuhitung-hitung, itu berarti hampir sehari semalam Kalila merasakan kontraksi. 

Ya Allah, tak terbayang bagaimana rasanya menjadi dirinya. Menahan sakit sendirian tanpa ada siapapun di dekatnya. Bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa sampai di rumah sakit.

Karena, sebelumnya Ima hanya mengatakan bahwa Kalila sudah di rumah sakit. Dan secara terang-terangan Ima sama sekali tak ingin memedulikan Kalila. Ia terlalu malu untuk menghadapi keluarga suaminya kelak.

**********

Waktu terus bergulir, hingga akhirnya Kalila berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Selama proses itu pula, aku setia mendampinginya. Karena kalau bukan aku, siapa lagi?

Entah perasaan apa yang bergejolak dalam hatiku ketika melihat bayi tak berdosa itu lahir. Bayi itu menangis sangat kencang, menandakan betapa sehatnya ia saat matanya memandang dunia ini.

Para perawat membersihkannya dengan telaten, hingga nampaklah helaian rambutnya yang masih tipis dan kulitnya yang begitu merah. 

Bayi itu kemudian diletakkan di dada Kalila. Mulut mungilnya terkatup-katup seiring dengan kepalanya yang bergerak ke kanan dan ka kiri seperti sedang mencari sesuatu. 

"Bu, silahkan dipanggil suaminya Bu Kalila, untuk mengadzani bayinya," ujar dokter yang menangani persalinan Kalila.

Suami? Aku bahkan tak pernah tahu kalau Kalila punya pacar ataupun dekat dengan seorang pria. Jangankan punya suami, Kalila hamil pun aku baru tahu hari ini.

"Suami saya sudah meninggal, Dok." Kalila menjawab dengan Lirih, seraya memalingkan wajah.

Aku tidak tahu apa maksud dari pernyataan Kalila. Ingin bertanya pun keadaan sangat tidak memungkinkan. 

"Oh, maaf. Sepertinya saya kurang teliti membaca data pasien," ucap dokter itu seperti tak enak hati. Kemudian ia menoleh padaku, "Bagaimana, Bu, apakah ada dari pihak keluarga yang akan mengadzani bayinya?" 

"Iya, tunggu sebentar saya panggil ayahnya Kalila." Dokter pun mengangguk.

Raut muka Kalila nampak terkejut. Mungkin ia tak menyangka kalau aku datang bersama ayahnya. Karena sejak tiba di rumah sakit, mereka sama sekali tak saling bertemu. Dan aku pun tak memberitahukannya.

Segera kuayunkan langkah mencari keberadaan suamiku. Di deretan bangku yang ada di ruang tunggu, pandanganku menangkap sosok yang kucari. 

Suamiku duduk bersama keluarga pasien yang lain. Di hadapannya koper yang kami bawa dari rumah, ia genggam seolah takut seseorang merampasnya. Sesekali ia terlihat bertegur sapa dengan orang di sebelahnya.

"Yah, bayi Kalila sudah lahir." Suamiku tersentak saat tiba-tiba aku sudah berada di dekatnya. "Sekarang menunggu diadzani," kataku lagi.

Suamiku hanya menatapku datar tanpa ekspresi. Sedangkan lelaki di sebelahnya memasang wajah bingungnya. Entah apa yang ia pikirkan.

Tanpa berkata apa-apa, suamiku segera berdiri dan mengikuti langkahku. Aku pun tak berniat untuk bicara lebih. Aku sangat memahami segala rasa kecewanya terhadap Kalila. Karena, tentunya aku pun tak jauh berbeda darinya. Hanya saja saat ini, bukan waktu yang tepat untuk mengedepankan ego dan harga diri.

Bayi merah itu, sudah dalam keadaan bersih. Seorang suster merawat bayi itu dengan sangat baik. Yang lainnya bertugas mengurus sang ibu yang akan segera di pindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan.

"Karena Bu Kalila melahirkan secara normal, maka besok pagi sudah diperbolehkan pulang," kata dokter, sambil melepas sarung tangan berbahan latex yang melindungi jari jemarinya.

"Iya, Dok, terima kasih," balasku.

Setelah dokter keluar, terdengarlah suara suamiku mengumandangkan Adzan di telinga bayi yang membuat kami menjadi Kakek dan Nenek dadakan.

Setitik bening lolos begitu saja dari sudut kelopak mataku. Berjuta rasa berbaur jadi satu. Antara kecewa, sedih, haru, dan entah apa lagi. Sulit menggambarkan tentang keadaan yang saat ini menimpa pada keluargaku.

Bayi mungil tak berdosa. Terlahir tanpa ayah dan di luar ikatan pernikahan. Suatu saat kelak, apa yang harus kami jawab apabila ia mempertanyakan kenyataan tentang dirinya.

Setelah dipindahkan ke ruang pemulihan, cepat-cepat kubereskan barang bawaan Kalila. Memisahkan antara yang kotor dan yang bersih. 

Tak lupa pula kusuapi putriku dengan makanan yang disediakan pihak rumah sakit. Kalila makan dengan sangat lahap. Membuat yakin bahwa selama kontraksi, ia pasti tidak ada apapun yang masuk ke perutnya.

"Mau lagi?" tanyaku, sembari mengelap bibirnya dengan tissue.

"Ada lagi?" Kalila menatapku penuh harap.

"Biar nanti Ibu turun beli roti di minimarket," kataku. Yang dibalas anggukan oleh Kalila.

Namun, ketika aku hendak keluar mencari makanan, suamiku masuk ke dalam kamar rawat Kalila. Dengan mata yang semerah saga, ia berjalan menghampiri anak perempuannya.

"Katakan, siapa ayah dari bayimu?"

___________________________________

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status