Share

Bab Empat

last update Last Updated: 2023-10-20 07:55:24

Ibu Pov

****************

"Katakan, siapa ayah dari bayimu?"

Wajah pucat Kalila kian pasi ketika ayahnya dengan tegas mempertanyakan ayah dari bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan ke dunia.

"Bu, adeknya belajar mimik dulu, ya. Buat mancing ASI juga, supaya cepat keluar."

Tiba-tiba seorang perawat masuk membawa kereta bayi. Kulihat di lorong ruangan itu juga ada banyak perawat lain yang masing-masing memegang satu kereta, menuju kamar rawat ibu para bayi yang berada di dalamnya. Mungkin saat ini jadwal para ibu menyusui bayi mereka. 

Meskipun ASI Kalila belum ada, perawat menyarankan agar puting ibu tetap diberikan pada bayi. Hal tersebut dapat memancing ASI segera keluar. 

Dengan sangat terpaksa, suamiku pun keluar dari kamar rawat Kalila yang kebetulan hanya ditempati sendiri. Sedangkan beberapa ranjang di sebelahnya masih nampak kosong.

Anak gadisku yang kini sudah punya anak itu pun menyeka sudut netranya yang basah. Aku tahu betul ia sangat takut berhadapan dengan ayahnya. Tapi, apa mau dikata, itu memang sudah semestinya. Kalila bersalah. Kalila harus menjelaskan semuanya. Karena, sesungguhnya suamiku hanya ingin melindungi anak-anaknya.

"Bu," cegah Kalila, ketika aku hendak keluar menyusul suamiku.

Kalila menggapai lenganku, kemudian menatapku penuh harap, agar tak meninggalkannya.

"Lila, Ayah cuma gak bisa terima kamu diperlakukan begini. Siapapun pria itu, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Cepat atau lambat, Ayah tetap akan mendesak jawabanmu," kataku. Yang dihadiahi lirikan penasaran perawat yang berdiri di sebelah Kalila.

"ASInya gak keluar, Sus." Kalila berkata bersamaan dengan satu tangannya yang mengusap pipinya secara kasar. Menghapus lelehan bening yang seakan terus merangsek ingin ditumpahkan.

Isak kecilnya juga sampai di pendengaranku. Terdengar begitu begitu perih dan menyakitkan. 

"Sabar, Bu. Nanti juga keluar. Asal mengonsumsi makanan bergizi dan tidak boleh stress," ujar sang perawat memberi petuah.

Bukannya tenang setelah diberi petuah oleh perawat, Kalila malah semakin tersedu-sedu sambil mendekap bayi kecilnya yang bahkan belum diberi nama.

Gurat wajah perawat itu nampak serba salah. Mungkin ia bingung, dan takut ucapannya ada yang keliru atau menyinggung perasaan Kalila.

"Gak apa-apa, Sus. Orang habis melahirkan memang begitu, kan?" Aku coba menenangkan perawat itu.

"Iya, Bu. Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Adek sudah boleh sama Ibunya, kok. ASInya tetep dipancing ya, Bu. Kalau masih gak keluar, silahkan diberi susu formula." Perawat itu kemudian keluar.

Sementara itu, aku menyiapkan botol susu untuk bayi Kalila yang mulai menangis karena tak kunjung mendapat asupan dari Ibunya.

"Sekarang kamu tidur aja. Biar Dedeknya sama Ibu." Kuambil alih bayi cantik dengan berat 3,4kg tersebut.

Kugendong sembari bersenandung kecil, agar ia segera terlelap. Sehingga memberi kesempatan bagi Kalila untuk beristirahat.

Ketika hendak meletakkan bayi Kalilla, pandanganku justru terkunci pada tas besar milik putriku. Tak kukira begitu banyak perlengkapan bayi yang dibawa Kalila. Sepertinya dia sungguh mempersiapkan kelahiran bayinya dengan sangat matang.

Entah ia belajar dan mendapat informasi dari mana atau dari siapa. Yang pasti melihat semua barang bawaan Kalila, itu sudah cukup menjelaskan bahwa anakku sungguh telah siap menghadapi hari kelahiran bayinya.

Hatiku terus menerus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Kenapa semua bisa sampai seperti ini? Kenapa pula Kalila begitu enggan memberitahu kami tentang masalah yang tengah menimpa dirinya?

Usai memastikan keduanya terlelap, kuputuskan untuk menemui suamiku. Semenjak tiba di Jakarta, kami tak banyak berinteraksi. Aku terlalu sibuk mengurus Kalila. Sampai-sampai aku lupa apakah ia sudah makan atau belum. 

"Yah, Ayah udah makan?" tanyaku, seraya duduk menyebelahinya.

"Sudah, tadi sore beli di kantin," jawabnya datar, dengan punggung bersandar dan kepala mendongak ke atas. "Ibu?" Suamiku balik bertanya.

"Ibu, gak selera, Yah." Aku menjawab seadanya.

Suamiku segera menegakkan duduknya. Ia menatapku penuh tanya.

"Jadi, dari tadi Ibu belum makan?" 

Kutanggapi dengan anggukan untuk pertanyaannya. 

"Astaghfirullah, Ayah lupa kalau Ibu sibuk ngurus Kalila." Ia menepuk jidatnya sendiri. "Ya udah, ayo keluar cari makan." ajaknya kemudian.

"Gak usah, Yah. Kasihan nanti Kalila sendirian. Kalau dia butuh apa-apa gimana?" tolakku, yang keberatan meninggalkan Kalila.

Terdengar hembusan napas berat suamiku. Namun, sesaat kemudian berdiri. "Ya udah, Ibu tunggu aja. Biar Ayah yang beli makan buat Ibu," tuturnya.

"Gak usah, Yah. Udah malam. Besok pagi aja. Lagian Ibu juga gak lapar, kok," cegahku.

"Gak apa-apa. Cuma sebentar." 

Tanpa menunggu tanggapanku lagi, suamiku sudah melesat menjauh dari tempat duduk kami tadi.

Benar saya, hanya sekitar 10 menit, ia sudah kembali. Mungkin memang tidak jauh kantinnya. Aku pun menerima nasi kotak yang ia bawa, kemudian menikmatinya hingga tak bersisa.

Meski sebelumnya mengatakan tak lapar dan tak berselera, nyatanya perutku berkata lain. Ia menerima asupan dengan sangat baik.

"Yah, bisakan lebih sabar lagi? Kita tunggu Kalila pulih dulu. Ibu takut nantinya Kalila mengalami baby blues, kalau terlalu banyak yang menekannya." Aku memulai obrolan, usai menghabiskan makanku.

Suamiku tak langsung menjawab. Untuk sejenak ia terdiam. Mungkin sedang mencerna kata-kataku.

"Ayah gak bisa janji." 

Huh, aku pun menghela napas panjang. Walaupun jawabannya tidak meyakinkan, tapi setidaknya ia mau berusaha.

Setelahnya kami pun mengisi keheningan malam di antara kamar-kamar pasien dengan membicarakan hal-hal mengenai rencana esok hari. Hingga kemudian aku memutuskan kembali ke dalam menemani Kalila dan bayinya. Sedangkan suamiku tetap tak ingin beranjak dari deretan bangku yang ada di lorong tersebut.

**********

Pagi menyapa, suamiku dipanggil oleh seorang perawat untuk menyelesaikan administrasi dan berbagai hal yang perlu diurus lainnya sebelum Kalila dan bayinya pulang.

Sementara itu, aku sibuk berkutat dengan barang bawaan Kalila yang lumayan banyak. Saat itu, sebuah tanya kembali mengusik benakku. Rasa penasaran pun mendesakku untuk bertanya.

"Lila, kamu bawa barang segini banyak ke sini, gimana caranya?"

_______________________________

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Empat (Ending)

    Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Tiga

    Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Dua

    Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Satu

    Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh

    Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Tiga Puluh Sembilan

    "Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status