Share

Bab Dua

Penulis: Yuliana Lathif
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-20 07:53:31

Ayah Pov

*****************

"Kalila melahirkan. Lebih tepatnya, mau melahirkan."

Bak dihatam palu godam, dadaku mendadak terasa sakit dan sesak. Tenggorokanku seketika tercekat, sehingga jangankan untuk bicara, bernapas pun teramat sulit.

Gusti, kenapa ini semua terjadi? Apa selama ini aku salah mendidik Kalila? 

Kalila, apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa kau sampai hati melakukan perzinahan? Tak takutkah kau pada murka- Nya?

"Yah-"

Kutepis tangan istriku yang berusaha menguatkanku agar tetap berdiri. Bukan aku marah padanya, bukan. Aku justru malu karena tak bisa menyelematkan anak kami.

"Yah, kita ke Jakarta, ya?" pintanya, sesaat setelah aku terduduk di tepi ranjang sembari memegangi dadaku yang masih teramat sesak.

Tak ada jawaban yang bisa kuberikan atas permintaannya. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana nantinya ketika sudah berhadapan dengan Kalila. Jujur aku sangat marah padanya saat ini. Aku takut tak bisa mengendalikan diri hingga berakhir dengan melukai fisiknya.

Namun, di sisi lain hati nuraniku terusik. Terbayang bagaimana kesulitan dia saat ini, ketika harus berjuang sendiri melahirkan seorang anak. Bahkan aku tak yakin jika lelaki yang menghamili anakku adalah orang yang bertanggung jawab. 

Karena jika demikian, tentulah dia seharusnya sudah sejak lama datang menemuiku dan melamar Kalila dengan cara baik-baik. Bukan dengan membuat masa depannya hancur seperti sekarang ini.

"Yah, Ibu mohon. Biar bagaimanapun Kalila anak kita. Dan sekarang dia sendirian. Ima bahkan tidak mau membantu Kalila. Dia tak mau ikut menanggung malu." Ira tergugu, kepalanya tertunduk di pangkuanku. Memohon dengan sangat agar mau pergi bersamanya.

Ya Allah, sungguh sakit aku mendengarnya. 

Sengaja kupejamkan mata, seraya merapalkan doa. Memohon petunjuk Sang Kuasa, agar tahu harus berbuat apa.

Dalam gelapnya pandangan ini, seraut wajah Kalila yang tengah menahan sakit berkelebatan. Seolah memanggil dan memintaku untuk menenangkannya. Ya Tuhan, bantulah hamba.

"Iya, Bu. Ayo, kita ke Jakarta." Akhirnya, sebuah keputusan kuambil atas dasar hati nurani seorang ayah.

Ira, istriku mendongak, menatapku dengan berkaca-kaca. Di pipinya masih nampak jejak-jejak air mata. Tentu saja, hatinya jauh lebih hancur dariku. Karena, selama ini kedua anakku memang lebih dekat dengan Ibu mereka. 

"Ibu siapkan pakaian Ayah. Ayah akan minta bantuan Ilham untuk menyiapkan tiket kereta." 

Setelah itu aku beranjak keluar mencoba menghubungi adik iparku yang bekerja di stasiun kereta Parujakan, Kota Cirebon.

Sebenarnya bisa saja kami pergi menggunakan mobil. Hanya saja aku takut terjadi hal yang tak diinginkan jika berkendara dalam keadaan emosi yang tidak stabil seperti saat ini. Juga waktu tempuh dengan roda empat tentunya akan lebih lama dari pada dengan kereta.

Sepanjang perjalanan menuju stasiun, dengan mobil yang dikendarai saudara istriku, Hamzah, perasaanku sungguh tak menentu. Teringat ketika Kalila masih sekolah dulu. Dia tumbuh dengan segudang prestasi, kemudian melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Jakarta. Dengan tinggal bersama Tantenya, Ima.

Bukankah itu adalah waktu yang cukup bagi kami untuk memercayainya? Selama kuliah hingga berhasil bekerja di perusahan besar, Kalila tak sekalipun membuat masalah. Kukira pendidikan tinggi yang ia dapat, bisa mengantarkan menjadi manusia yang mampu mempertahankan harga diri. Tapi, nyatanya apa? Kalilaku ternyata tidak mampu menjaga dirinya.

Selain itu, kejadian sebelum berangkat pun, sedikit banyak membuatku cukup merasa bersalah pula terhadap Kirana, putri keduaku. 

Dia yang baru pulang sekolah, harus menerima sambutan dengan menjadi pelampiasan amarahku.

"Kami mau ke Jakarta," jawab istriku ketika Kirana bertanya.

"Lho, emang mau apa ke Jakarta? Kenapa mendadak?" tanya Kirana lagi.

"Dengar Kiran, selama kami tidak di rumah, kau harus tinggal di rumah Nenek." Berikutnya aku yang bicara.

"Gak mau, ah. Kiran gak betah tinggal sama Nenek. Di sana kan ada Kakek juga. Kakek, tuh, otoriter," bantah anak gadisku, sambil menghentakkan kakinya.

"Kiran, kau harus menurut. Tidak boleh ada bantahan. Mulai sekarang kau harus belajar dididik secara otoriter. Karena setelah Ayah pulang, Ayah akan mendidikmu seperti Kakek."

"Gak bisa gitu, dong, Yah. Kiran Gak mau." Kiran bersikukuh menolak.

"Apa kau juga ingin melakukan hal yang sama dengan kakakmu? Kau juga ingin membuat malu keluarga?" bentakku, seketika membuat Kiran yang tidak tahu apa-apa tertunduk karena takut.

"Bu,"

"Kiran, nanti kalau Ibu sama Ayah pulang, kami akan cerita. Sekarang kamu nurut, ya? Siap-siap ke rumah Kakek. Sekalian jalan aja, karena Ibu sama Ayah nanti naik kereta."

Kulihat Kirana yang duduk di bangku samping kemudi bersama salah satu pamannya. Dia yang biasanya ceria dan banyak bicara, kini hanya terdiam tanpa ada sepatah kata pun dari mulutnya.

Sengaja kuminta Hamzah mengantar kami terlebih dahulu ke stasiun. Baru setelah itu, mengantar Kirana ke rumah Kakek Neneknya. Aku tak mau nantinya banyak pertanyaan jika mampir dulu ke rumah mereka. Karena sungguh aku tak akan bisa menjawabnya.

**********

Setelah menempuh perjalanan dengan kereta, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi berlogo burung biru, menuju rumah sakit yang alamatnya sudah diberitahukan Ima pada kami sebelum berangkat.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin kacau pula pemikiranku. Entah akan bagaimana aku menghadapi putriku.

Hingga sampailah kami di rumah sakit tersebut. Kami segera menuju ruang bersalin. Di sana nampak ruangan yang di sekat dengan tirai tinggi, untuk memisahkan pasien satu dengan yang lainnya. 

Setelah bertanya pada bagian informasi, kami di tunjukkan ke salah satu bilik yang ada di antaranya. 

Nampaklah, seorang perempuan muda bedaster dengan perut besar yang tengah meringis menahan sakit ditemani seorang perawat yang setia mengusap-usap punggungnya.

"Kalila," pekik istriku, seraya menghambur memeluk putrinya.

"Ibu ...." Kalila tergugu dalam dekapan ibunya. 

___________________________

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Empat (Ending)

    Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Tiga

    Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Dua

    Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Satu

    Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh

    Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Tiga Puluh Sembilan

    "Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status