Suasana ruang tamu rumah Adnan terlihat sangat sepi. Keberadaan Denis di sana tidak membuat kehebohan yang berarti. Tentu saja, dia datang di saat Adnan dan Fasya berada di kantor. Pilihan yang tepat agar bisa leluasa bertemu kakek. Jika saja ada Adnan di rumah ini, tentu pria itu tidak akan membiarkan Denis berdua bersama kakeknya sendiri. "Kaki kakek udah baikan?" tanya Denis perhatian. "Sudah nggak sakit, kok." "Kakek nggak mau balik ke rumah?" Kakek menggeleng mendengar itu. "Kakek masih mau tinggal di sini." Denis menunduk dengan ekspresi wajah yang cukup membuat kakek bertanya-tanya. Dia memang sangat ahli dalam hal seperti ini. "Kenapa, Denis? Ada apa?" Denis tersenyum kecut dan menggeleng. "Kalau kakek tinggal di sini terus, aku nggak bisa ketemu kakek dengan bebas." "Kata siapa?" Dengan bijak kakek menepuk bahu Denis. "Kamu bisa dateng kapan aja. Kalau kamu takut sama Adnan, kamu bisa ajak kakek keluar." "Pasti Mas Adnan nggak izinin, Kek." "Bukannya hub
Melihat orang tersayang tengah terbaring lemah adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Meskipun Adnan memiliki sifat yang keras dan acuh tak acuh, tetapi baginya keluarga adalah hal yang terpenting. Seperti saat ini, setelah mendapatkan kemarahan dan caci maki dari kakeknya, ia tetap bertahan di samping kakek yang tertidur. Setelah kemarahannya tadi, tiba-tiba kesehatan kakek kembali memburuk. Pria itu menolak dibawa ke rumah sakit dan memilih untuk mati karena ulah Adnan dan Fasya. Mau tidak mau Fasya memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi kakek. Beruntung pria itu baik-baik saja saat ini. Mungkin karena emosi dan amarahnya yang meledak sehingga tenaga di tubuhnya langsung habis dan terjatuh lemas. "Kok bisa?" tanya Niko berbisik di samping Fasya. Fasya memijat dahinya dan menggeleng pelan. Dia sendiri tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Semua terjadi begitu cepat. Bahkan dia tidak memiliki persiapan untuk menahan kemarahan kakek. Pria itu benar-benar terlihat k
Perubahaan sikap secara mendadak memang membingungkan. Terselip rasa curiga yang tak bisa diutarakan. Namun seiring berjalannya waktu ketika seseorang itu kembali ke semula, rasa bingung itu juga kembali datang. Kenapa? Apa karena mulai terbiasa dengan perubahan sebelumnya? Dengan memainkan tangannya gelisah, Fasya memilih untuk duduk di ujung kasur. Dia duduk tenang di sana sambil menunggu Adnan yang tengah membersihkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan pria itu baru saja kembali entah dari mana. Apa Fasya menunggu? Tentu saja. Setelah apa yang terjadi malam ini tidak mungkin jika ia tidak khawatir. Membiarkan Adnan sendiri dengan emosinya adalah hal yang menakutkan. Pria itu bisa melakukan apapun sampai amarahnya mereda. Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Fasya. Pandangannya mengikuti ke mana pun Adnan pergi. Mulai dari meletakkan baju kotor ke dalam keranjang, mengusap rambut basahnya dengan handuk, serta merawat wajahnya sebelum tidur. Tidak ada
Di dalam kamar kakek, Fasya menunduk sambil mengaduk bubur di tangannya dengan lemas. Sudah 10 menit ia berusaha membujuk kakek untuk makan. Sejak dari pagi pria itu belum memasukkan makanan ke dalam perutnya. Hal itu membuat Fasya dibuat bingung harus melakukan apa lagi. Fasya tahu jika kakek marah padanya. Sejak bangun tadi pagi, belum ada kalimat sapaan penuh kasih sayang seperti biasanya. Fasya yang memilih untuk absen demi menjaga kakek mulai dibuat takut. Dia masih tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jika saja Fasya memiliki kekuatan super tentu dia akan memanfaatkannya. Dia akan membuat kakek melupakan kejadian semalam yang membuatnya marah. Tidak! Fasya lebih memilih memutar waktu untuk menolak perjodohan ini sejak awal. "Kakek, makan dulu ya. Sedikit aja, biar nggak sakit." "Terlanjur, hati kakek udah sakit." Fasya meringis mendengar itu. "Maksud aku biar lambung kakek nggak sakit." Dengan cepat kakek menatap Fasya tajam, "
Pagi telah tiba tanpa terasa. Beranjak menjauhi hari lalu yang cukup menguras tenaga. Datang hari baru dengan kejutan tak terduga. Yang harus dilalui dengan lapang dada. Di dalam kamar mandi, Adnan memperhatikan wajahnya di cermin. Senyum tipis mulai terukir di sana. Senyum yang ia berikan untuk dirinya sendiri karena bertingkah aneh akhir-akhir ini. Adnan masih tidak habis pikir kenapa dia bisa bertingkah seperti ini. Menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya terdengar cukup konyol. Bahkan Adnan sadar jika dia sudah jauh melampaui zona nyamannya. Adnan keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah. Tatapannya langsung tertuju pada tempat tidur yang masih ditempati oleh putri tidur yang tidak terlihat anggun sama sekali. Bahkan selimut yang terjatuh menggantung ke lantai tidak membuat putri pingsan itu terbangun. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, sudah waktunya Fasya untuk bangun jika tidak mau terlambat bekerja. Meskipun ini minggu terakhirnya, bukan berarti d
Fasya tidak siap untuk melewati hari ini. Kesialan yang ia dapatkan selalu datang terus-menerus. Fasya pikir menjelang masa magangnya berakhir, dia akan bebas dan mulai bisa bernapas dengan tenang. Namun lihat sekarang, semakin lama selalu ada hal yang membuatnya gila. Adnan, menempati posisi pertama pria yang ikut andil dalam kegilaannya. Pagi hari yang menghebohkan dan berakhir dengan kaki yang terkilir tidak membuat Adnan jera. Pria itu kembali membuat kehebohan, kali ini bukan di rumah melainkan di kantor. Fasya terpaksa harus menunduk selama berjalan karena takut melihat ekspresi karyawan yang berpapasan dengan mereka. Adnan tidak lagi menurunkannya di gedung sebelah. Kali ini ia juga tidak berusaha untuk menutupi apapun. Jika bukan karena kakinya yang terkilir, Fasya akan berlari sejauh mungkin dari Adnan. Sayangnya harapan hanya tinggal harapan. Pria itu masih setia berjalan di belakangnya. Mengekorinya seperti anak ayam yang menempel pada induknya. Sesekali Fasya mel
Kabar tersebar begitu cepat. Hanya karena kejadian beberapa menit tetapi efek yang ditimbulkan benar-benar luar biasa. Meskipun tidak terlihat jelas, tetapi Fasya bisa merasakannya. Setelah apa yang dilakukan Adnan tadi pagi tak lama telinganya mulai terasa panas. Fasya yakin jika banyak orang yang tengah membicarakannya saat ini. "Lo nggak apa-apa?" bisik Dinar khawatir. Fasya menggeleng sambil tetap fokus mengetik, "Gue mau muntah rasanya." Sejak Adnan pergi, konsisi ruangan mereka benar-benar riuh dan heboh. Namun itu tidak berselang lama saat Kinan tiba-tiba berteriak dan meminta semuanya untuk diam. Mau tidak mau semua orang kembali duduk ke meja masing-masing sebelum Kinan kembali marah. Fasya tahu apa yang wanita itu rasakan. Lagi-lagi dia tidak punya nyali untuk membahas masalah mereka lebih dulu. "Saran gue mending lo pulang," bisik Dinar lagi. "Gue takut izin Bu Kinan." Dinar menghela napas kasar. Benar juga, biar bagaimana pun posisi Fasya dan Kinan sedang tid
Di salah satu ruangan, terlihat seorang pria tengah fokus menatap layar komputernya. Wajahnya yang datar menambah kesan serius dan misterius. Saat ini ia tengah mencoba untuk berkonsentrasi penuh, berusaha mengabaikan percakapan memuakkan dari belakang punggungnya. "Gila, sih. Gue nggak nyangka kalau Pak Adnan udah nikah." "Bener, sama anak magang lagi." "Mana nikahnya diem-diem juga, kan?" "Sumpah, gue masih nggak percaya." Saka, pria itu masih mendengar percakapan yang seolah tak memiliki akhir itu. Sejak kembali dari Bali, dia memang sudah mendengar banyak gosip tentang Fasya dan Adnan. Hanya saja kali ini dia tidak menyangka jika Adnan secara terang-terangan mengakui Fasya. Dia tidak terkejut dengan kabar pernikahan mereka karena dia sudah mengetahuinya dari lama. Namun yang sulit membuatnya percaya adalah Adnan yang memilih untuk mengungkap semua. Setelah apa yang sudah terjadi, tentu Saka sakit hati. Dia sudah benar-benar jatuh hati pada Fasya. Namun kenyataan memb