Hidup Fasya mendadak berubah hanya dalam waktu 24 jam. Semua terjadi karena kesehatan kakeknya yang menurun. Dengan berharap akan kesembuhan kakeknya, Fasya terpaksa harus menikah hari itu juga dengan pria yang baru ia temui. Harapan akan masa depan yang indah dan cerah langsung hancur saat status Fasya berubah menjadi istri dari seorang Adnan Atmadja. Semua yang ada di dalam pria itu sangat jauh dari ekspektasinya. Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Atau bahkan ada lika-liku yang membuat mereka sengsara?
View MoreDi depan ruang rawat inap rumah sakit, tampak seorang gadis tengah terduduk dengan lemas. Pandangan matanya tampak kosong dengan wajah yang begitu pucat. Sepinya lorong rumah sakit seolah mendukung suasana hatinya yang kelam. Gadis itu mencoba menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Berusaha menenangkan dirinya dari rasa terkejut. Ingin rasanya dia menangis dan berteriak, tapi mulutnya seolah mendadak bisu. Lagi-lagi dia hanya bisa memendam perasaan sedihnya.
Fasya, gadis itu masih terduduk sambil memainkan tangannya gelisah. Dia ingin lari sejauh mungkin, tapi dia tidak bisa meninggalkan orang yang ia sayangi di dalam ruang rawat inap itu. "Kakek," gumam Fasya mengusap wajahnya kasar. Saat kembali membuka mata, Fasya terkejut dengan keberadaan seorang pria yang berdiri di depannya. Dia mengangkat wajahnya dan menelan ludahnya gugup. Mendadak tenggorokannya terasa kering. Pria di hadapan Fasya mengulurkan sebuah botol air mineral. Dia bisa melihat ada raut kebingungan dari wajah gadis itu. "Ambil," ucapnya singkat. Fasya dengan pelan menerimanya. Dia memilih untuk kembali menunduk, "Terima kasih." Pria itu diam dan memilih untuk duduk di samping Fasya. Tidak ada percakapan di antara mereka. Semua masih terasa asing. Fasya tidak mengenal pria itu dan begitu juga sebaliknya. "Siapa nama kamu?" "Fasya," jawabnya pelan. "Saya Adnan." Fasya hanya bisa mengangguk. Dia bingung harus menjawab apa. Dia bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang baru. Apalagi dengan pria di sampingnya. Saat pertama kali bertatap muka, Fasya langsung tahu jika dia harus segera menghindar. "Fasya..," panggil Adnan lagi. Kali ini ada nada putus asa dari ucapannya. Matanya terpejam erat tampak lelah dengan apa yang ia lalui akhir-akhir ini. "I—iya?" Entah kenapa perasaan Fasya menjadi tidak enak. "Ayo, kita menikah." Ucapan itu membuat Fasya terkejut. Dia menjatuhkan botol di tangannya dan menatap Adnan tidak percaya. Demi Tuhan, bukan ini yang Fasya inginkan. Mereka baru bertemu hari ini dan ia tidak menyangka jika Adnan akan benar-benar melakukan ini. "Mas Adnan gila?!" Adnan menatap Fasya datar. Dia tidak berniat membantah ucapan Fasya. Toh benar jika dia memang sudah gila. Siapa yang berani mengajak seorang gadis menikah di saat pertama kali bertemu? "Demi kakek saya." "Saya nggak bisa." Fasya menggeleng tegas. "Demi kakek kamu juga." Kali ini Adnan memberikan ultimatum yang membuat Fasya terdiam. Fasya kembali menunduk hingga rambut panjang mulai menutupi wajahnya. Perlahan matanya memanas dengan tangan yang terkepal. Dia sangat ingin berteriak untuk mengungkapkan perasaannya, tapi ia tidak bisa. Fasya memilih untuk menggigit bibirnya hingga berdarah. Rasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan sakit hatinya. "Saya—" "Saya mohon." Fasya menatap Adnan terkejut. Apa dia baru saja mendengar pria itu memohon? Dia masih ingat bagaimana pria itu berteriak di dalam ruangan karena menolak perjodohan yang dibuat kakek mereka dan menatap rendah dirinya dengan penuh kebencian. "Kesehatan Kakek Faris bukan urusan saya." Fasya mengutuk dirinya sendiri setelah mengatakan itu. Dia merasa menjadi orang yang jahat. "Bagaimana dengan kesehatan Kakek Farhat, kakek kamu?" Fasya terdiam mendengar itu. Benar, bagaimana jika kesehatan kakeknya juga menurun? "Kakek saya sehat." "Bagus kalau sehat. Semoga kesehatan Kakek Farhat nggak menurun seperti Kakek saya." Fasya menatap Adnan tajam. Matanya masih buram karena air mata. "Maksud Mas Adnan apa?!" "Kamu paham maksud saya. Apa kamu tega liat Kakek Farhat sedih?" Fasya berdiri dan mengusap air matanya kasar, "Jawaban saya masih sama. Saya nggak mau nikah sama Mas Adnan!" "Fasya..." Suara parau itu mengejutkan mereka berdua. Tepat di pintu ruangan, terlihat Kakek Farhat menatap cucunya sedih. Dia kecewa dengan jawaban yang ia dengar dari cucunya. "Kek, aku masih muda, Kek." Fasya kembali menangis dan menggenggam tangan kakeknya erat. Mencoba untuk mengubah pikiran kakeknya mengenai perjodohan mendadak ini. "Kamu liat Kakek, Sya. Kakek sudah tua, sudah nggak bisa jaga kamu lagi kayak dulu." Fasya menggeleng cepat, "Kakek jangan ngomong gitu." "Untuk kali ini aja, Sya. Kabulin permintaan Kakek." Kakek Farhat mulai menangis. Saat melihat keadaan sahabatnya yang merupakan kakek Adnan kritis, akhirnya perjanjian yang dulu pernah terlupakan kembali teringat. Ini saatnya mereka menyatukan dua keluarga. Dengan menjodohkan cucu mereka masing-masing, Efasya dan Adnan. "Kek, aku nggak mau!" "Fasya...," pria tua itu mulai menyentuh dadanya yang terasa sesak. "Kek, Kakek kenapa?" Fasya mulai panik. "Nek! Nenek! Dokter!" teriaknya saat kakeknya mulai terjatuh lemas. Tak lama dokter datang dan mulai membawa Kakek Fasya untuk diperiksa. Ini yang Fasya takutkan. Dia takut jika penyakit kakeknya akan kambuh saat mendengar penolakannya. Fasya selalu berusaha menjadi cucu yang baik selama ini demi menjaga kesehatan kakenya, tapi dengan perjodohan? Fasya masih belum bisa menerimanya. Di kursi tunggu, Adnan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia bisa melihat betapa keras kepalanya Fasya. Apa yang mereka takutkan benar terjadi. Kesehatan kakek mereka sama-sama kembali menurun. "Bahkan mereka punya penyakit yang sama," gumam Adnan tidak percaya. Dia menatap Fasya lekat. Jujur saja, jauh di dalam hatinya Adnan juga memiliki jawaban yang sama dengan Fasya. Dia juga ingin menolak perjodohan ini. Namun demi kakeknya dia rela mengorbankan perasaannya. Lalu sekarang, apa yang ia rasakan saat melihat kakeknya terbaring sakit juga telah dirasakan Fasya. "Jadi?" tanya Adnan. Air mata Fasya kembali tumpah. Kali ini dia menangis dengan diam. Perlahan kepalanya mulai mengangguk. "Ayo, kita menikah." "Demi Kakek," ucap Adnan. Fasya mengangguk pasrah, "Demi Kakek." *** Semua orang yang berada di dalam ruangan serba putih itu tampak tegang saat mendengar Adnan mulai mengucapkan ijab qabul. Fasya yang duduk di sampingnya hanya bisa menunduk dengan pasrah. Lagi-lagi air mata mengalir dari matanya. Sebuah elusan lembut di punggungnga membuatnya sedikit kuat. Fasya melirik dan tersenyum tipis pada neneknya. Setelah itu dia melihat kakeknya yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya begitu pucat tapi senyum lega tak pernah hilang dari wajahnya. Suara saksi terdengar lantang sebagai pertanda jika mulai saat ini dan detik ini, semuanya tidak akan lagi sama. Adnan telah menjadi seorang suami dan Fasya telah menjadi seorang istri. Tidak ada yang menyangka jika mereka akan menikah di kali pertama bertemu. Jika saya kesehatan kakek mereka tidak memburuk, mereka masih memiliki waktu dan bisa memutar otak untuk keluar dari perjodohan ini. Namun rasa sayang mereka ke pada kakek yang tengah berjuang untuk hidup membuat mereka menyerah dan pasrah. Lupakan dengan kebahagaiaan diri sendiri. Baik Adnan dan Fasya hanya ingin melihat kakek mereka bisa hidup dengan sehat dan tenang. "Selamat, Nduk." Tangis Fasya kembali pecah. Dia memeluk neneknya dengan napas yang tersengal. Dia masih tidak menyangka jika akan menikah di usia yang cukup muda, 20 tahun. Meskipun Fasya bukan tipe gadis yang hobi bermain, akan tetapi dia juga ingin menikmati masa mudanya dengan caranya sendiri. "Maafin, Nenek." Fasya menggeleng saat mendengar suara bergetar neneknya. Dia sudah rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Oleh karena itu semua orang harus bahagia. Biarkan hanya dirinya yang menangis di sini, tidak dengan yang lain. "Cium tangan suamimu, Nduk." Perlahan Fasya melepaskan pelukannya dan mulai beralih pada Adnan. Pria itu juga enggan untuk melihatnya. Tentu saja, meskipun sudah setuju, dirinya dan Adnan sangat terpaksa melakukan pernikahan ini. Dengan ragu, Fasya meraih tangan Adnan dan menciumnya ragu. Hanya sebentar, karena setelah itu Adnan menarik tangannya cepat. Hal itu kembali mengusik Fasya. Saat ini dia sudah menjadi istri dari pria yang memandangnya sebelah mata saat pertama kali bertemu tadi pagi. "Ter—ima kasih, Cucuku." Tiba-tiba Kakek Faris berbicara dengan suara serak. Semua orang beralih pada pria tua itu. Wajah pucatnya terlihat bersinar dengan senyum bahagianya. Adnan dan Fasya hanya bisa mengangguk. Setidaknya di balik kesedihan mereka, ada senyum dari orang-orang yang mereka sayangi. *** TBCDi tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments