"Ada apa ini?" tanya seseorang menyela.
Astaga, pas sekali. Sang pahlawan telah datang di waktu yang tepat untuk menyalahkan Ruby. Kenapa ia merasa de javu dalam hal ini? Seolah ini sudah terjadi berkali-kali dalam hidupnya dan membuat Ruby mati rasa untuk menanggapi hal ini."Salam kebahagiaan dan keselamatan Darian, Putra Mahkota," ucap Zalina di iringi semua orang kecuali Ruby yang masih memalingkan wajahnya kesal.Dasar muka dua."Zalina, apa yang terjadi? Aku mempercayaimu untuk menjelaskan semua ini," seru Theron pada Zalina kemudian membantunya untuk berdiri tegak. Sementara Ruby lagi-lagi mendecih.Drama Queen. Asataga! Kenapa ia kesal sekali?"Saya tidak apa, Yang Mulia. Mungkin, nona Ruby belum sepenuhnya sembuh, saya yang salah di sini," tutur gadis itu dengan senyuman yang menawan, dan mata berbinar. "Seharusnya saya tidak datang kesini dan memancing keributan," tandasnya kemudian.Rahang Theron mengeras melihat Zalina yang lembut dan rapuh kemudian menatap Ruby yang masih saja geming membelakanginya tanpa hormat yang tersirat dan penyesalan yang kentara. Gadis itu memang tidak pernah lagi menghormati Theron sebagai Putra Mahkota."Apalagi yang kau perbuat kali ini Ruby? Aku sudah berusaha mempercayaimu, tapi sekarang kau berusaha menghancurkan kepercayaanku lagi!" bentaknya keras membuat Ruby membalikkan badan."Apa anda akan mempercayai saya, Yang Mulia?" tanya Ruby melirih.Sekali lagi mimpi yang selalu datang padanya itu bagai sebuah petunjuk, bahwa Theron tidak lagi mempercayai Ruby. Saat ini saja, dia harus bertanya pada Zalina untuk pertama kali."Apa anda akan percaya kalau pelayan nona Zalina mengatai saya murahan?" lirih Ruby."Y-Yang Mulia, ampuni saya! S-saya tidak bermaksud demikian," Bela pelayan Bizzie menggosokkan kedua telapak tangannya ingin sujud pada Theron yang dilanda kebingungan. Mata elangnya bergulir ke arah Zalina yang masih menunduk.Ruby mendecih, "Lihatlah, dia berbohong padahal banyak yang jadi saksi."Elina juga ikut bersujud di hadapan Theron kemudian berucap, "saya berani sumpah kalau pelayan Bizzie benar-benar mengatakan hal itu pada nona Ruby yang masih sakit dan lupa ingatan. Nona saya masih belum ingat soal memakai baju karena terburu-buru. Ini salah saya, tolong jangan hukum nona Ruby."Theron menelisik penampilan Ruby dari atas sampai bawah dengan mata menyalak tajam. Tidak ada Putri Bangsawan keluar dari kamarnya memperlihatkan betisnya meski barang selutut. Kesalahan Ruby juga tak bisa ditoleransi oleh Theron."Pelayan Bizzie memang bersalah dan kunci masalahnya itu adalah kau Ruby," tegas Theron dihadiahi pelototan oleh Elina dan pelayan tua di belakang Ruby. Bahkan para pengawal yang mendengarnya pun ikut tercengang.Apa yang baru saja mereka dengar?"Aku akan melupakan masalah ini dan tidak menghukum siapa pun," putus Theron membuat Ruby tercengang.Keadilan macam apa ini? Bukankah dia bangsawan? Kedudukannya lebih tinggi dari pelayan rendahan ini!"Maaf, tapi ini termasuk penghinaan, Yang Mulia!" Bela Ruby menunjuk pelayan Zalina yang masih bersujud."Itu sudah keputusanku," putus Theron dengan tatapan tajamnya pada Ruby.Bibir Ruby berkedut menahan emosi. Ia menatap presensi Theron dengan mata berkaca-kaca dan dibalas lelaki itu dengan datar. Pandangan itu jelas sangat terluka. Ruby menoleh ke arah Elina yang masih bersujud di bawah kaki Theron."Elina! Tidak perlu bersujud padanya!" Sentak Ruby tajam menarik tubuh Elina bangkit dari posisinya."Putra Mahkota tidak akan memihak kita, tidak perlu merendahkan dirimu demi kebenaran yang tidak dihargai!" desis Ruby tajam menatap Theron yang juga menatapnya penuh emosi."Jika saya benar-benar sahabat anda seperti yang dikatakan Elina. Ini adalah penghinaan dari seorang sahabat yang tidak akan pernah saya lupakan, Yang Mulia," Ruby menyeringai. Kecewa. Satu hal yang perlu Theron ketahui. Ruby kecewa."Silakan nikmati keadilan anda yang timpang itu, saya permisi!" Pamitnya undur diri.***"Aku mau pulang!"Isak Ruby parau terdengar sangat pilu bagi Elina yang menenangkan di sampingnya. Putra Mahkota sudah keterlaluan. Jelas-jelas Ruby direndahkan oleh pelayan Bizzie tepat di hadapan semua orang. Akan tetapi, yang dilakukan Putra Mahkota hanya memaafkan karena Bizzie adalah pelayan Zalina.Meski berusaha terlihat kuat tidak menunjukkan tangisnya di depan Theron dan Zalina, Ruby tetap seorang manusia yang menumpahkan segala emosinya dengan tangisan. Meski sering bertengkar, Ruby merindukan saudaranya."Aku tidak tahu kalau tidak boleh keluar memakai baju tidur. Memangnya ini salahku? Tidak mau tahu! Aku ingin pulang!" teriak Ruby pada Elina. Entahlah, kenapa ia bisa menangis sedemikian hebat.Moodnya sedang buruk.Ruby sendiri sudah berulang kali mengucapkan kalimat itu. Ia ingin pulang, ke rumah. Ia rindu dengan keluarganya. Rindu menjadi babu hanya untuk mendapat jajan lebih dari sang kakak, menjahili adiknya yang berakhir ia jadi korban.Hidup yang Ruby kira tentram ini ternyata tidak seperti yang ia pikirkan. Untuk apa tinggal di sini kalau tidak ada yang menyukainya. Hanya Elina yang berdiri tegap melindungi di sampingnya. Akan tetapi, tetap saja Elina bukan orang yang berkuasa."Aku mau pulang!" lirihnya sekali lagi dengan tangisan pilu menyesakkan dada."Nona mau pulang ke kediaman Duke?" tanya Elina berusaha menenangkan Ruby yang masih saja terisak pilu dengan ingus terjulur. Ia tidak peduli lagi."Tentu saja! Aku akan memberitahukan semua penghinaan ini. Memangnya orang tua mana yang tidak sakit hati saat anaknya dipojokkan?" balas Ruby cepat. Orang tuanya adalah seorang Duke. Orang nomor tiga yang berkuasa setelah Raja dan Putra Mahkota."T-tapi ... nona—""Apa!" sewot Ruby membuat elina menutup mulutnya lagi."T-tapi, Yang Mulia Putra Mahkota pasti akan marah. Beliau tidak mengizinkan nona pulang ke kediaman Duke sudah sejak dulu, jadi—""Memangnya kenapa? Punya hak apa dia melarangku untuk bertemu keluargaku? Sialan memang!" umpat Ruby menyapu air matanya yang jatuh lagi.Memangnya alasan apa yang membuat Theron memaksa Ruby untuk tinggal di Istana? Ia anak dari seorang bangsawan. Bukan tawanan. Apa maksudnya menghalangi Ruby ini dan itu. Ia juga bukan lagi calon Putri Mahkota. Kenapa?"Ayo pulang Elina! Dan aku tidak mau lagi kembali ke sini!" Ruby bangkit dengan semangat menghapus air matanya yang tak kunjung kering."T-tapi, nona. Tuan Duke—""Kau tidak dengar mereka menghinaku sesuka mereka? Aku tidak mau tinggal di sini!" bentak Ruby menggelegar ke seluruh penjuru kamar.-tok tok tok-Kedua gadis itu saling berpandangan sesaat sebelum Elina berjalan untuk membuka pintu. Gadis itu sedikit tersentak saat pelayan pribadi dari Ratu sendiri yang berkunjung. Elina membungkuk sembilan puluh derajat memberi hormat padanya, sementara pelayan itu hanya tersenyum dan membungkuk pada Ruby sebentar."Salam nona Ruby, Yang Mulia Ratu mengundang anda untuk minum teh di gazebo taman Istana."Cobaan macam apa lagi ini?Cuaca pagi menjelang siang kali ini begitu baik. Matahari menyembunyikan diri di sebalik awan hingga cahayanya tidak menyengat. Angin berhembus sedikit kencang hingga menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke arah Ruby yang terduduk kaku di hadapan sang Ratu. Sesekali, gadis itu membenarkan surainya yang menutupi wajah karena tersapu angin. Sementara Ratu menatapnya dengan tatapan menilai. Sorot mata Ruby berubah ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya kini menjadi buyar. Apa Ratu akan memihaknya? Atau sebaliknya ia malah dihukum? "Maaf baru bisa mengunjungimu, Ruby," tutur Ratu membuka obrolan setelah mereka berdiam cukup lama. "Ah, tidak masalah, Yang Mulia." Ruby menunduk. Menggenggam cangkir kaca miliknya yang ada di atas meja. Ratu tersenyum, menatap Ruby dengan penuh kelembutan. Dia anak yang berbeda. Benar kata Theron, Ruby terlihat seperti bukan dirinya. Cara menatap, bicara, dan perilakunya terasa sangatlah asing. Dia terlihat seperti orang lain. "Bagaimana
-Braaakkk- "Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau Ruby pulang ke Mansion Duke?" "M-maaf Yang Mulia, tapi, yang mulia Ratu melarang kami untuk memberitahu anda," Theron semakin mengeraskan kepalan tangannya. Urat-uratnya menonjol keluar dengan nafas memburu menahan emosi untuk memukul pengawal yang berjaga di istana wilayah Ruby. Padahal dia yang memerintahkan mereka untuk berjaga di sana. Tetapi kenapa perintah Ratu yang dituruti? Lelaki itu mendesis tajam. Apa gadis itu benar-benar lupa apa yang dilakukan oleh Duke jika ia pulang dengan tangan kosong. Apalagi saat ini status Putri Mahkota masih tidak jelas antara Ruby atau Zalina. Duke, Ayahnya Ruby pasti akan melakukan sesuatu pada gadis itu. Theron menyugar rambutnya kasar. Tangan kekarnya dengan mudah merobek jubah kebesaran yang tengah ia pakai selama latihan berperang. Lagi-lagi ia memukul meja sebagai pelampiasan kekesalannya. Andai saat itu Theron percaya kalau Ruby benar-benar lupa ingatan. Ia pasti akan memperbaiki hu
Kacau. Ruby pikir, ini semua akan berjalan sesuai rencana. Pertemuan pertama Theron dengan gadis itu, ia pikir hanya sekilas. Namun ternyata membekas bagi keduanya hingga tumbuhlah benih-benih asmara yang membuat Ruby terlupakan. Tersingkir dari posisinya. "Lihat, dia sangat manis, 'bukan?" kekeh Theron di samping Ruby memandang ke arah Zalina saat pesta Lady sedang berlangsung di Istana. "Kupikir, aku telah menyukainya. Aku jatuh cinta, Ruby." Kata-kata itu, seperti tanda bahaya yang mengelilingi Ruby. Sifat Theron berubah setelahnya. Para bangsawan membelah menjadi dua kubu dan mulai mengajukan banding atas posisi Putri Mahkota yang sudah pasti di isi oleh Ruby. Raja dan Ratu tidak punya pilihan saat Zalina juga dikenal banyak orang dengan kebaikannya, keelokannya, serta lemah lembut sifatnya. Berbeda dengan Ruby yang jauh lebih tegas dan keras. Sifat alami keluarga Duke Edelmiro. Dan setelahnya, banding diterima. Theron bahkan dengan antusias menyambut kedatangan Zalina ke Ista
Derap langkah kuda menggema di tengah keheningan malam. Bulan menjadi saksi bagaimana khawatirnya seorang Putra Mahkota di negeri ini pada sahabatnya. Dengan emosi yang masih menjunjung tinggi, ia pergi ke wilayah selatan dengan kuda kesayangannya. Menyusul Ruby, sahabatnya. Meski ratusan kali peringatan datang karena malam sangat berbahaya untuk perjalanan ke selatan. Akan tetapi, lelaki itu lebih keras dari batu. Ia tetap pergi dengan syarat membawa beberapa pengawal untuk menjaganya dari teror. Sesampainya di mansion Duke, gerbang sudah ditutup rapat. Theron yakin, ada penyiksaan di dalam sana. Rubynya yang malang. Seharusnya Theron menjaga gadis itu agar hal seperti ini tidak terulang. "Bilang pada Duke, Putra Mahkota ingin bertamu," perintah salah satu pengawal Theron pada pengawal yang menjaga gerbang. Salah satunya berlari untuk memberi kabar, dan yang lainnya membukakan gerbang untuk Theron masuki. Lelaki itu menelisik halaman suram yang ia pijaki. Masih sama seperti dulu,
Hari demi hari telah berlalu. Hinaan demi hinaan yang tidak pernah Ruby lakukan selalu ia dapatkan. Gadis itu mulai mengerjakan pekerjaannya dalam diam. Berusaha abai tentang kabar Zalina dan Theron yang semakin dekat. Tujuannya sekarang bukan Theron lagi, melainkan adalah Ratu. Jika ia bisa mengambil hati Raja dan Ratu dengan kerja kerasnya, mungkin, gelar Putri Mahkota akan segera ia sandang. Setidaknya ia naik pangkat menjadi tunangan tanpa harus ada sayembara. "Maaf, Ruby. Mau bagaimana pun yang akan menikah nanti adalah putraku. Meski aku adalah Ratu dan Ibunya, yang berhak menentukan pasangannya adalah dirinya sendiri." Ruby terpaku mendengar penuturan Ratu yang tidak pernah ia bayangkan. Jadi, semua keputusan akan ada di tangan Theron? Dengan hati yang masih kasmaran itu, bagaimana bisa ia akan bersikap adil? Selama ini saja, dia selalu membela Zalina. "Datangilah Putra Mahkota." Ratu menyerahkan sebuah tumpukan kertas pada Ruby, "perbaiki hubungan kalian. Aku yakin ini hany
Setetes air mata jatuh di pipi Ruby. Pandangan matanya kosong. Setelah pulang dari rumah Duke, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Kadang, air mata Ruby menetes dengan sendirinya. Sungguh, ia lelah dengan keadaan ini. Apa yang harus dilakukan? Ruby menghembuskan nafas pelan, terlihat asap mengepul karena sudah memasuki musim dingin. Setelah tiga hari dirawat oleh Theron, luka Ruby sudah mulai membaik, dan istirahatnya lumayan cukup. Lelaki itu merawatnya dengan konsisten. Meski memaksa, pekerjaannya cukup baik. "Berhenti menangis, sialan!" umpatnya pada diri sendiri. Semakin hari, bukannya tersanjung dengan kebaikan lelaki itu, ia malah semakin benci. Sesak dadanya saat memandang wajah hangat Theron. Dia melakukan itu karena merasa bersalah. Pemenangnya tetaplah Zalina. Bayangan mereka bersama sukses membuat ulu hatinya seperti diremas. Potongan memori Ruby terdahulu sukses mempengaruhi dirinya. "Berhenti melamun, Ruby. Apa yang kau pikirkan, hm? Bukankah kau sudah aman?" ucap Ther
Kala itu, petir menyambar dengan hebatnya. Ruby berlari di tengah hujan menuju tempat kejadian. Kabar ini mengguncang mental Ruby begitu hebat, hingga air matanya menetes tanpa disadari. Dengan gaun yang basah kuyup, Ruby melewati lorong demi lorong hingga sampai ke tempat eksekusi. Zooya, bukanlah orang jahat. Sesampainya di sana, semua orang menyaksikan Zooya dicambuk di tengah hujan deras serta petir yang menyambar. Selain Zooya, Ruby tidak memperhatikan Zalina yang menangis tersedu serta Theron yang kini memandangnya tajam. Sesaat lutut Ruby lemas. Kesalahan apa yang dibuat Zooya hingga hukumannya demikian? Melihat Zooya yang mulai terjatuh, ia langsung berlari menghampiri jika saja Theron tidak mencegah. "Lepas!" Katanya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman Theron yang berusaha menahannya. "TIDAK!" teriak Ruby saat cambukan berhasil mengenai punggung Zooya. Tangisan Ruby tidak bisa dicegah. Ia tidak tega melihat semua ini. "Jangan ... jangan lakukan itu ... kumohon!"
"Ah sial, aku menangis lagi!" Umpatnya melemparkan sapu tangan yang baru saja ia pakai ke sembarang arah. Ruby bingung. Seharian ini, ia tidak berhenti menangis selain tidur. Sekali pun ingin berhenti, otaknya kembali memutar hal yang menyakitkan hingga air matanya kembali merembes keluar. Sulit untuk menahan semua ini. Sepertinya, ini efek ingatan Ruby yang dulu, atau memang luka di hatinya belum pulih. Hari ini rasanya begitu mencekam. Kepalanya sakit, hidungnya memerah, dan matanya mulai panas. Ruby ingin segera tidur meski matahari belum terbenam sekali pun. Rasanya, ia sangat lelah. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Elina yang kini duduk bersimpuh di bawah Ruby demi membenarkan gaun yang majikannya pakai. Ah, iya. Ada undangan makan malam dari Raja yang tidak bisa Ruby lewatkan. Padahal, sebelumnya Ruby menolak ajakan Theron untuk minum teh bersama dengan Zalina. Tidak lagi. Mungkin Zalina akan berulah lagi dan Ruby yang jadi getahnya. Sungguh merepotkan. "Tentu saja tidak. K