Cuaca pagi menjelang siang kali ini begitu baik. Matahari menyembunyikan diri di sebalik awan hingga cahayanya tidak menyengat. Angin berhembus sedikit kencang hingga menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke arah Ruby yang terduduk kaku di hadapan sang Ratu.
Sesekali, gadis itu membenarkan surainya yang menutupi wajah karena tersapu angin. Sementara Ratu menatapnya dengan tatapan menilai. Sorot mata Ruby berubah ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya kini menjadi buyar.Apa Ratu akan memihaknya? Atau sebaliknya ia malah dihukum?"Maaf baru bisa mengunjungimu, Ruby," tutur Ratu membuka obrolan setelah mereka berdiam cukup lama."Ah, tidak masalah, Yang Mulia." Ruby menunduk. Menggenggam cangkir kaca miliknya yang ada di atas meja.Ratu tersenyum, menatap Ruby dengan penuh kelembutan. Dia anak yang berbeda. Benar kata Theron, Ruby terlihat seperti bukan dirinya. Cara menatap, bicara, dan perilakunya terasa sangatlah asing. Dia terlihat seperti orang lain."Bagaimana kabarmu, nak? Kudengar, kau mengalami hal yang serius akhir-akhir ini," ungkap Ratu lagi menyorot dalam ke arah Ruby."Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Hanya saja ... saya sedikit lupa tentang apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin seluruh orang Istana telah mengetahui tentang hal ini," jawab Ruby melirih. Ia lebih baik jujur.Lagipula, untuk apa ia berbohong. Ingatan Ruby hanya secuil dan penuh teka-teki. Cita-citanya dulu pun bukan menjadi detektif. Jadi, tidak salah bukan?Lagi-lagi, Ratu hanya bisa membalas dengan senyuman. Biasanya, jika Ratu sudah memanggil Ruby dengan panggilan 'anak' gadis itu akan mulai berkaca-kaca, lalu memanggilnya dengan sebutan Ibu Ratu. Akan tetapi, sekarang, dia bahkan melupakan hal itu.Apa yang sebenarnya terjadi pada Ruby?"Rubyku adalah orang yang kuat," tutur sang Ratu memandang ke arah bunga daisy di sampingnya, membuat Ruby mengangkat alis dengan senyuman yang perlahan memudar.Ruby siapa?"Kau sudah melewati banyak hal, putriku. Aku yakin, hal seperti ini tidak menghalangi ambisi yang ingin kau capai dari awal." Ratu kembali menoleh ke arah Ruby yang menatapnya dengan tanda tanya."Dan jika ... ingatanmu kembali pulih, mungkin kau akan merasakan lelah yang selama ini kau pendam. Datanglah padaku, ya? Jangan sungkan, aku selalu akan membantumu," tuturnya lembut membuat mata Ruby berkaca-kaca.Entah kenapa, hatinya menghangat. Jujur saja, ia merindukan sang Ibu. Akhirnya Ruby menemukan orang berkuasa yang tengah memihaknya. Jika Ibunda Ratu sebaik ini, lantas apa yang membuat Ruby yang dulu mengakhiri hidupnya?Ratu pasti akan menyelesaikan masalahnya, 'bukan?"Terima kasih banyak, Yang Mulia," balas Ruby tulus menatap Ratu dengan senyuman mengembang. Dia merasa sedikit tenang. Ratu berada di pihaknya."Ngomong-ngomong, kau dan Putra Mahkota tidak bertengkar, 'kan?"Sial. Ruby tidak jadi tenang.***"Bagaimana, nona? Apa Ratu mengizinkan?" tanya Elina setelah menyambut Ruby di dalam kamar.Ruby datang dengan wajah kusut, moodnya sedang buruk. Mungkin Elina sebentar lagi akan diamuk, dicabik-cabik, lalu dibuang untuk makanan harimau di luaran sana. Wajah sang nona tidak menyiratkan keberhasilan, padahal Elina sendiri tidak menginginkan hal itu."Kau bilang, Putra Mahkota pasti menolak dan Ratu akan mengizinkan aku pulang, 'bukan?" tanya Ruby dengan nada ketus."Y-ya?" jawab Elina terbata."Dan ... YA! Tentu saja dia mengizinkanku!" Jawab Ruby antusias mulai memeluk Elina dan membawa gadis itu berputar-putar sembari loncat-loncat dengannya.Sementara Elina hanya memasang wajah khawatir. Bagaimana ia menjelaskan hal ini, sementara Ruby terlihat sangat antusias untuk pulang. Mungkin, dengan kepulangannya kali ini, dia bisa mengingat kenangan lain sedikit demi sedikit."Tunggu apa lagi? Cepat bantu aku bersiap!"B-baik nona."Elina bergegas mempersiapkan barang sang nona untuk perjalanan mereka ke kediaman Duke yang cukup jauh dari wilayah kerajaan. Ruby sudah minta izin secara resmi pada Ratu kalau ia ingin melihat Ayahnya sebentar sebelum kembali ke istana.Itu yang diajarkan Elina sebelum menghadap sang Ratu.Dan besoknya mereka benar-benar pergi dengan kereta kuda. Meninggalkan Istana dengan keseluruhan beban yang Ruby lepas. Ia tidak lagi melihat drama Theron dan Zalina yang sangat klise. Bodoh sekali dia menikmati drama itu sedangkan ia dicap sebagai antagonis. Sialan!"Kalian tidak bertengkar, 'bukan?"Tiba-tiba ucapan Ratu saat ia meminta izin kembali terngiang di kepala. Seandainya ia bisa menjawab maka ia akan jawab 'YA' berteriak sampai oktaf penghabisan yang ia bisa. Ia akan mengatakan kalau ia sangat benci pada anak Ratu satu-satunya itu.Dia boleh jadi budak cinta pada Zalina, bahkan Ruby tidak ingin peduli. Tetapi kenapa harus melibatkan urusan keadilan yang terjadi pada Ruby yang tersangkut paut pada Zalina. Ruby jadi meradang."Sampai di rumah nanti, saya mohon anda tidak mengatakan kalau anda ingin mundur dari kandidatPutri Mahkota atau tentang kecelakaan yang menimpa anda, nona," celetuk Elina tiba-tiba menggenggam erat tangan Ruby di pangkuannya."Kenapa?""Saya yakin, tuan Duke tidak akan suka dan akan memukul nona lagi. Saya tidak sanggup melihat anda terluka lagi, jadi saya mohon, jangan menyinggung hal itu, nona." Gadis pirang itu membungkuk di hadapan Ruby.Seketika raut wajah Ruby berubah sendu. Rona cerah yang menghiasi wajahnya tiba-tiba pudar diterpa angin dan tidak membawanya kembali ke sisi gadis itu. Bibirnya bergetar dan bola matanya berlarian ke kanan dan kiri.Selamat datang di neraka sebenarnya, Ruby.-Braaakkk- "Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau Ruby pulang ke Mansion Duke?" "M-maaf Yang Mulia, tapi, yang mulia Ratu melarang kami untuk memberitahu anda," Theron semakin mengeraskan kepalan tangannya. Urat-uratnya menonjol keluar dengan nafas memburu menahan emosi untuk memukul pengawal yang berjaga di istana wilayah Ruby. Padahal dia yang memerintahkan mereka untuk berjaga di sana. Tetapi kenapa perintah Ratu yang dituruti? Lelaki itu mendesis tajam. Apa gadis itu benar-benar lupa apa yang dilakukan oleh Duke jika ia pulang dengan tangan kosong. Apalagi saat ini status Putri Mahkota masih tidak jelas antara Ruby atau Zalina. Duke, Ayahnya Ruby pasti akan melakukan sesuatu pada gadis itu. Theron menyugar rambutnya kasar. Tangan kekarnya dengan mudah merobek jubah kebesaran yang tengah ia pakai selama latihan berperang. Lagi-lagi ia memukul meja sebagai pelampiasan kekesalannya. Andai saat itu Theron percaya kalau Ruby benar-benar lupa ingatan. Ia pasti akan memperbaiki hu
Kacau. Ruby pikir, ini semua akan berjalan sesuai rencana. Pertemuan pertama Theron dengan gadis itu, ia pikir hanya sekilas. Namun ternyata membekas bagi keduanya hingga tumbuhlah benih-benih asmara yang membuat Ruby terlupakan. Tersingkir dari posisinya. "Lihat, dia sangat manis, 'bukan?" kekeh Theron di samping Ruby memandang ke arah Zalina saat pesta Lady sedang berlangsung di Istana. "Kupikir, aku telah menyukainya. Aku jatuh cinta, Ruby." Kata-kata itu, seperti tanda bahaya yang mengelilingi Ruby. Sifat Theron berubah setelahnya. Para bangsawan membelah menjadi dua kubu dan mulai mengajukan banding atas posisi Putri Mahkota yang sudah pasti di isi oleh Ruby. Raja dan Ratu tidak punya pilihan saat Zalina juga dikenal banyak orang dengan kebaikannya, keelokannya, serta lemah lembut sifatnya. Berbeda dengan Ruby yang jauh lebih tegas dan keras. Sifat alami keluarga Duke Edelmiro. Dan setelahnya, banding diterima. Theron bahkan dengan antusias menyambut kedatangan Zalina ke Ista
Derap langkah kuda menggema di tengah keheningan malam. Bulan menjadi saksi bagaimana khawatirnya seorang Putra Mahkota di negeri ini pada sahabatnya. Dengan emosi yang masih menjunjung tinggi, ia pergi ke wilayah selatan dengan kuda kesayangannya. Menyusul Ruby, sahabatnya. Meski ratusan kali peringatan datang karena malam sangat berbahaya untuk perjalanan ke selatan. Akan tetapi, lelaki itu lebih keras dari batu. Ia tetap pergi dengan syarat membawa beberapa pengawal untuk menjaganya dari teror. Sesampainya di mansion Duke, gerbang sudah ditutup rapat. Theron yakin, ada penyiksaan di dalam sana. Rubynya yang malang. Seharusnya Theron menjaga gadis itu agar hal seperti ini tidak terulang. "Bilang pada Duke, Putra Mahkota ingin bertamu," perintah salah satu pengawal Theron pada pengawal yang menjaga gerbang. Salah satunya berlari untuk memberi kabar, dan yang lainnya membukakan gerbang untuk Theron masuki. Lelaki itu menelisik halaman suram yang ia pijaki. Masih sama seperti dulu,
Hari demi hari telah berlalu. Hinaan demi hinaan yang tidak pernah Ruby lakukan selalu ia dapatkan. Gadis itu mulai mengerjakan pekerjaannya dalam diam. Berusaha abai tentang kabar Zalina dan Theron yang semakin dekat. Tujuannya sekarang bukan Theron lagi, melainkan adalah Ratu. Jika ia bisa mengambil hati Raja dan Ratu dengan kerja kerasnya, mungkin, gelar Putri Mahkota akan segera ia sandang. Setidaknya ia naik pangkat menjadi tunangan tanpa harus ada sayembara. "Maaf, Ruby. Mau bagaimana pun yang akan menikah nanti adalah putraku. Meski aku adalah Ratu dan Ibunya, yang berhak menentukan pasangannya adalah dirinya sendiri." Ruby terpaku mendengar penuturan Ratu yang tidak pernah ia bayangkan. Jadi, semua keputusan akan ada di tangan Theron? Dengan hati yang masih kasmaran itu, bagaimana bisa ia akan bersikap adil? Selama ini saja, dia selalu membela Zalina. "Datangilah Putra Mahkota." Ratu menyerahkan sebuah tumpukan kertas pada Ruby, "perbaiki hubungan kalian. Aku yakin ini hany
Setetes air mata jatuh di pipi Ruby. Pandangan matanya kosong. Setelah pulang dari rumah Duke, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Kadang, air mata Ruby menetes dengan sendirinya. Sungguh, ia lelah dengan keadaan ini. Apa yang harus dilakukan? Ruby menghembuskan nafas pelan, terlihat asap mengepul karena sudah memasuki musim dingin. Setelah tiga hari dirawat oleh Theron, luka Ruby sudah mulai membaik, dan istirahatnya lumayan cukup. Lelaki itu merawatnya dengan konsisten. Meski memaksa, pekerjaannya cukup baik. "Berhenti menangis, sialan!" umpatnya pada diri sendiri. Semakin hari, bukannya tersanjung dengan kebaikan lelaki itu, ia malah semakin benci. Sesak dadanya saat memandang wajah hangat Theron. Dia melakukan itu karena merasa bersalah. Pemenangnya tetaplah Zalina. Bayangan mereka bersama sukses membuat ulu hatinya seperti diremas. Potongan memori Ruby terdahulu sukses mempengaruhi dirinya. "Berhenti melamun, Ruby. Apa yang kau pikirkan, hm? Bukankah kau sudah aman?" ucap Ther
Kala itu, petir menyambar dengan hebatnya. Ruby berlari di tengah hujan menuju tempat kejadian. Kabar ini mengguncang mental Ruby begitu hebat, hingga air matanya menetes tanpa disadari. Dengan gaun yang basah kuyup, Ruby melewati lorong demi lorong hingga sampai ke tempat eksekusi. Zooya, bukanlah orang jahat. Sesampainya di sana, semua orang menyaksikan Zooya dicambuk di tengah hujan deras serta petir yang menyambar. Selain Zooya, Ruby tidak memperhatikan Zalina yang menangis tersedu serta Theron yang kini memandangnya tajam. Sesaat lutut Ruby lemas. Kesalahan apa yang dibuat Zooya hingga hukumannya demikian? Melihat Zooya yang mulai terjatuh, ia langsung berlari menghampiri jika saja Theron tidak mencegah. "Lepas!" Katanya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman Theron yang berusaha menahannya. "TIDAK!" teriak Ruby saat cambukan berhasil mengenai punggung Zooya. Tangisan Ruby tidak bisa dicegah. Ia tidak tega melihat semua ini. "Jangan ... jangan lakukan itu ... kumohon!"
"Ah sial, aku menangis lagi!" Umpatnya melemparkan sapu tangan yang baru saja ia pakai ke sembarang arah. Ruby bingung. Seharian ini, ia tidak berhenti menangis selain tidur. Sekali pun ingin berhenti, otaknya kembali memutar hal yang menyakitkan hingga air matanya kembali merembes keluar. Sulit untuk menahan semua ini. Sepertinya, ini efek ingatan Ruby yang dulu, atau memang luka di hatinya belum pulih. Hari ini rasanya begitu mencekam. Kepalanya sakit, hidungnya memerah, dan matanya mulai panas. Ruby ingin segera tidur meski matahari belum terbenam sekali pun. Rasanya, ia sangat lelah. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Elina yang kini duduk bersimpuh di bawah Ruby demi membenarkan gaun yang majikannya pakai. Ah, iya. Ada undangan makan malam dari Raja yang tidak bisa Ruby lewatkan. Padahal, sebelumnya Ruby menolak ajakan Theron untuk minum teh bersama dengan Zalina. Tidak lagi. Mungkin Zalina akan berulah lagi dan Ruby yang jadi getahnya. Sungguh merepotkan. "Tentu saja tidak. K
"Memangnya mudah untuk membatalkan sayembara dengan seenaknya," cibir Ruby dengan nada mengejek. Gadis itu berkacak pinggang. "Yeeahh sangat mudah karena kau calon Rajanya bodoh!" Umpat Ruby kemudian menendang pot bunga yang baru saja lepas dari pandangannya. Emosi, kesal, dan muak menjadi satu. Gadis itu menggenggam rambutnya frustasi. Baru saja dia sembuh dari penyakit tangisnya, ia justru harus memutar otak tentang sayembara ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kabur. Namun, tentu saja kabur dengan uang sedikit bukanlah hal yang bagus. Jika saja ini adalah sebuah novel, mungkin Ruby sedang merencanakan balas dendamnya karena sudah dijahati oleh sang penulis. Ah tidak, itu karmanya karena sudah menjahati sang protagonis. "Apa aku terus menjahati Zalina saja agar dipenggal dan kembali ke duniaku?" gumamnya lagi. "Tapi ... mengerikan juga kalau aku mati langsung masuk neraka, HIH!" Ruby merinding seraya memegang lehernya sendiri. "Ngomong-ngomong kalau aku tidak jadi Putri