Share

Bab 8 (pulang)

Cuaca pagi menjelang siang kali ini begitu baik. Matahari menyembunyikan diri di sebalik awan hingga cahayanya tidak menyengat. Angin berhembus sedikit kencang hingga menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke arah Ruby yang terduduk kaku di hadapan sang Ratu.

Sesekali, gadis itu membenarkan surainya yang menutupi wajah karena tersapu angin. Sementara Ratu menatapnya dengan tatapan menilai. Sorot mata Ruby berubah ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya kini menjadi buyar.

Apa Ratu akan memihaknya? Atau sebaliknya ia malah dihukum?

"Maaf baru bisa mengunjungimu, Ruby," tutur Ratu membuka obrolan setelah mereka berdiam cukup lama.

"Ah, tidak masalah, Yang Mulia." Ruby menunduk. Menggenggam cangkir kaca miliknya yang ada di atas meja.

Ratu tersenyum, menatap Ruby dengan penuh kelembutan. Dia anak yang berbeda. Benar kata Theron, Ruby terlihat seperti bukan dirinya. Cara menatap, bicara, dan perilakunya terasa sangatlah asing. Dia terlihat seperti orang lain.

"Bagaimana kabarmu, nak? Kudengar, kau mengalami hal yang serius akhir-akhir ini," ungkap Ratu lagi menyorot dalam ke arah Ruby.

"Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Hanya saja ... saya sedikit lupa tentang apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin seluruh orang Istana telah mengetahui tentang hal ini," jawab Ruby melirih. Ia lebih baik jujur.

Lagipula, untuk apa ia berbohong. Ingatan Ruby hanya secuil dan penuh teka-teki. Cita-citanya dulu pun bukan menjadi detektif. Jadi, tidak salah bukan?

Lagi-lagi, Ratu hanya bisa membalas dengan senyuman. Biasanya, jika Ratu sudah memanggil Ruby dengan panggilan 'anak' gadis itu akan mulai berkaca-kaca, lalu memanggilnya dengan sebutan Ibu Ratu. Akan tetapi, sekarang, dia bahkan melupakan hal itu.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Ruby?

"Rubyku adalah orang yang kuat," tutur sang Ratu memandang ke arah bunga daisy di sampingnya, membuat Ruby mengangkat alis dengan senyuman yang perlahan memudar.

Ruby siapa?

"Kau sudah melewati banyak hal, putriku. Aku yakin, hal seperti ini tidak menghalangi ambisi yang ingin kau capai dari awal." Ratu kembali menoleh ke arah Ruby yang menatapnya dengan tanda tanya.

"Dan jika ... ingatanmu kembali pulih, mungkin kau akan merasakan lelah yang selama ini kau pendam. Datanglah padaku, ya? Jangan sungkan, aku selalu akan membantumu," tuturnya lembut membuat mata Ruby berkaca-kaca.

Entah kenapa, hatinya menghangat. Jujur saja, ia merindukan sang Ibu. Akhirnya Ruby menemukan orang berkuasa yang tengah memihaknya. Jika Ibunda Ratu sebaik ini, lantas apa yang membuat Ruby yang dulu mengakhiri hidupnya?

Ratu pasti akan menyelesaikan masalahnya, 'bukan?

"Terima kasih banyak, Yang Mulia," balas Ruby tulus menatap Ratu dengan senyuman mengembang. Dia merasa sedikit tenang. Ratu berada di pihaknya.

"Ngomong-ngomong, kau dan Putra Mahkota tidak bertengkar, 'kan?"

Sial. Ruby tidak jadi tenang.

***

"Bagaimana, nona? Apa Ratu mengizinkan?" tanya Elina setelah menyambut Ruby di dalam kamar.

Ruby datang dengan wajah kusut, moodnya sedang buruk. Mungkin Elina sebentar lagi akan diamuk, dicabik-cabik, lalu dibuang untuk makanan harimau di luaran sana. Wajah sang nona tidak menyiratkan keberhasilan, padahal Elina sendiri tidak menginginkan hal itu.

"Kau bilang, Putra Mahkota pasti menolak dan Ratu akan mengizinkan aku pulang, 'bukan?" tanya Ruby dengan nada ketus.

"Y-ya?" jawab Elina terbata.

"Dan ... YA! Tentu saja dia mengizinkanku!" Jawab Ruby antusias mulai memeluk Elina dan membawa gadis itu berputar-putar sembari loncat-loncat dengannya.

Sementara Elina hanya memasang wajah khawatir. Bagaimana ia menjelaskan hal ini, sementara Ruby terlihat sangat antusias untuk pulang. Mungkin, dengan kepulangannya kali ini, dia bisa mengingat kenangan lain sedikit demi sedikit.

"Tunggu apa lagi? Cepat bantu aku bersiap!"

B-baik nona."

Elina bergegas mempersiapkan barang sang nona untuk perjalanan mereka ke kediaman Duke yang cukup jauh dari wilayah kerajaan. Ruby sudah minta izin secara resmi pada Ratu kalau ia ingin melihat Ayahnya sebentar sebelum kembali ke istana.

Itu yang diajarkan Elina sebelum menghadap sang Ratu.

Dan besoknya mereka benar-benar pergi dengan kereta kuda. Meninggalkan Istana dengan keseluruhan beban yang Ruby lepas. Ia tidak lagi melihat drama Theron dan Zalina yang sangat klise. Bodoh sekali dia menikmati drama itu sedangkan ia dicap sebagai antagonis.

Sialan!

"Kalian tidak bertengkar, 'bukan?"

Tiba-tiba ucapan Ratu saat ia meminta izin kembali terngiang di kepala. Seandainya ia bisa menjawab maka ia akan jawab 'YA' berteriak sampai oktaf penghabisan yang ia bisa. Ia akan mengatakan kalau ia sangat benci pada anak Ratu satu-satunya itu.

Dia boleh jadi budak cinta pada Zalina, bahkan Ruby tidak ingin peduli. Tetapi kenapa harus melibatkan urusan keadilan yang terjadi pada Ruby yang tersangkut paut pada Zalina. Ruby jadi meradang.

"Sampai di rumah nanti, saya mohon anda tidak mengatakan kalau anda ingin mundur dari kandidat

Putri Mahkota atau tentang kecelakaan yang menimpa anda, nona," celetuk Elina tiba-tiba menggenggam erat tangan Ruby di pangkuannya.

"Kenapa?"

"Saya yakin, tuan Duke tidak akan suka dan akan memukul nona lagi. Saya tidak sanggup melihat anda terluka lagi, jadi saya mohon, jangan menyinggung hal itu, nona." Gadis pirang itu membungkuk di hadapan Ruby.

Seketika raut wajah Ruby berubah sendu. Rona cerah yang menghiasi wajahnya tiba-tiba pudar diterpa angin dan tidak membawanya kembali ke sisi gadis itu. Bibirnya bergetar dan bola matanya berlarian ke kanan dan kiri.

Selamat datang di neraka sebenarnya, Ruby.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status